HIRARKI UNIVERSAL : TINGKAT-TINGKAT WUJUD.
Seperti yang telah disebutkan, semua tradisi berbicara
tingkat-tingkat wujud walau dalam bahasa dan simbol berbeda,
seperti yang dapat dilihat di dunia yang berbeda jauh
seperti Hinduisme dan Yudaisme.
Bahkan Buddhisme , yang berbicara tentang eksistensi sebagai samsara,
menyajikan pengikutnya , setidak-tidaknya dalam aliran Mahayana dan
Vajrayana , banyak hirarki Buddha , bodhisatwa , iblis, dan sebagainya.
Doktrin Sufi, tidak terkecuali dalam penekanannya pada beraneka ragam
keadaan wujud , yang merupakan ajaran sentral filsafat perenial.
Sementara Islam , berdasarkan kata-kata dari Al-Qur'an dan hadis,
terdiri atas dunia -dunia yang teramat luas, merentang
dari ranah material hingga hadirat Ilahi.
Sains modern sekarang berbicara tentang keluasan kosmos,
tetapi hanya dalam cara kuantitatif , berhubungan dengan hanya satu
tingkat keberadaan kosmik, tidak peduli berapa banyak angka nol
yang ditambahkan nya pada jarak di dalam ruang galaktik
dan antar bidang serta periode waktu kosmik.
Tetapi seluruh semesta material, tidak peduli seluas apa pun
dimensi fisiknya , tak lebih bagai setitik debu
di hadapan keagungan dunia Ruh.
Menurut sebuah hadis Nabi, ada tujuh puluh ribu selubung terang
dan gelap yang memisahkan kita dari Allah, dan selubung-selubung
itu membentuk semesta.
Jumlah yang besar ini merujuk pada luasnya kosmos melampaui level
eksistensi materialnya.
Doktrin Sufi tentang hierarki universal dan tingkat-tingkat wujud
merangkum realitas ini dalam cara yang dapat dipahami,
dan menyiapkan beberapa skema kosmologi berbeda yang melaluinya
tingkat-tingkat wujud yang utama dapat tergambarkan.
Akan tetapi, sebelum beralih ke tingkat-tingkat ini,
penting untuk menyebutkan sesuatu tentang simbolisme tabir (hijab),
yang memainkan peran sentral dalam metafisika Sufi,mirip dengan
maya dalam Hindu ,khususnya dalam aliran Advaita Vedanta ,
yang ajarannya tentang hakikat realitas mirip secara mendasar
dengan doktrin tentang "kesatuan Wujud" dan Tasawuf.
Karena ajaran metafisika Kristen, bahkan dalam formalisasinya
yang paling tradisional , jarang berbicara tentang konsep hijab
atau maya , tidak ada istilah yang sepadan akrabnya Barat dengan
Hinduisme setelah Perang Dunia Kedua , istilah maya telah dimasukkan
ke dalam bahasa Inggris, yang biasanya dipahami dalam pengertian Ilusi
atau tidak nyata.
Advaita Vedanta mengatakan bahwa yang Nyata hanyalah Atman,
atau Diri Ilahi,Identitas Individual Ilahi (Divine Ipserty), sedangkan
semua yang lain adalah maya , pada dasarnya tidak nyata.
Tetapi ini tak berarti bahwa maya hanya ilusi semata.
Yang-relatif tidak sama nyata nya dengan Yang Mutlak,
namun yang-relatif memiliki realitas relatif pada tingkatannya sendiri.
Hanya dari sudut pandang Atman , tidak ada hal lain yang nyata.
Maya bahkan diterjemahkan oleh pemikir tradisonal Hindu terkemuka,
Ananda K. Coomaraswamy , sebagai "kreativitas", yang niscaya
menyiratkan keterpisahan dari Sumber dan karena itu merupakan
tingkat realitas yang lebih rendah.
Doktrin Sufi tentang hijab atau tabir sangat mirip dengan maya.
Pada dasarnya , ada tingkatan realitas atau wujud yang tersusun
dengan cara tertentu sehingga yang lebih rendah kurang nyata
dibandingkan yang lebih tinggi , yang terselubung darinya.
Yang lebih tinggi berisikan semua hal yang nyata secara positif
di dalam yang lebih rendah , tetapi yang lebih rendah tidak memiliki
derajat wujud yang sama atau tingkat realitas dan kesempurnaan
dengan yang lebih tinggi.
Sebuah tabir atau hijab bukan hanya menutupi melainkan juga
menyingkapkan sesuatu melalui tindakan penabiran itu sendiri.
Kita dapat melihat contoh dari prinsip ini dalam kerudung perempuan
Muslim, yang juga disebut hijab,.
Jika tidak ada penyelubungan kosmik, tingkat realitas yang lebih rendah
akan terserap ke dalam yang lebih tinggi.
Sebuah kaca berwarna membatasi cahaya matahari , tetapi juga
membiarkan sebagiannya menembus masuk untuk membentuk
tingkat kecerahan berikutya.
Meskipun setiap tingkat wujud terselubung oleh satu tingkatan diatasnya
ia juga melambangkan apa yang ada di atasnya hingga mencapai realitas
dari tingkatan yang lebih rendah .
Pada setiap tingkat wujud ,
pada apa yang menyelubungi tetapi sekaligus mengungkapkan realitas
yang terdapat pada tingkat keberadaan yang lebih tinggi.
Tasawuf berbicara yang zhahir (al-zhahir) dan yang batin (al-batin)
tidak hanya dalam kaitannya dengan Allah
melainkan juga menyangkut makhluk.
Ia juga berbicara yang terlihat atau hadir (alam al-syahadah)
dan dunia yang tidak kelihatan atau gaib ('alam al-ghayb).
Beberapa , seperti Rumi,juga berbicara tentang bentuk (shirah),
yang dalam hal ini berarti aspek lahiriah dan bukan forma Aristotelian,
dan makna batin (ma'na) , yang juga berarti esensi.
Tujuan dari kehidupan spiritual adalah
untuk dapat mengangkat tabir lahiriah demi melihat yang batiniah
dan kemudian dapat mengenali yang lahiriah dalam terang yang batiniah.
Realisasi spiritual memungkinkan kita untuk melihat
yang tak terlihat secara lahiriah di dalam yang terlihat.
Hal ini memungkinkan perjalanan
dari bentuk lahiriah ke dalam makna batiniah ,
yakni apa yang disebut dalam Islam sebagai Ta'wil atau
hermeunitika spiritual, dengan cara tertentu
sehingga tabir itu sendiri menjadi tembus pandang ,
menyingkapkan realitas di dalam dan di luarnya.
Tetapi , itu hanya mungkin
jika kita kita dapat menembus ke dalam pusat diri kita sendiri
dan menyingkapkan selubung di dalam diri,
menjadi ter internalisasi , mendapatkan penglihatan batin.
Seperti yang dikatakan oleh filsuf dan penyair Persia terkemuka
abad kesebelas Nashiri Khusraw :
"Pandanglah kenyataan batiniah dunia
dengan mata yang memandang ke dalam
Karena..
Dengan mata yang memandang keluar
Kau takkan pernah dapat melihat
yang di dalam".
Tidak seorangpun dapat memasuki Taman Kebenaran
yang belum terlatih dalam menyingkapkan tabir itu (kasyf- al-mahjub)
dan melihat di balik selubung apa-apa yang ditutupinya
dan sekaligus diungkapkannya.
Menariknya,
apa yang terakhir terungkap selalu adalah Hadhrat yang Satu,
Zat tunggal yang terpantul dalam beragam cermin non- eksistensi.
Beraneka ragam keadaan wujud sama sekali tidak menafikan
kesamaan wujud pada seluruh tingkatan yang ada
tetapi merupakan pancaran Wajah sang Kekasih ;
pada akhirnya hanya ada satu Realitas Ilahi.
Keadaan mendasar dari realitas dapat dirangkum dalam banyak cara,
seperti yang kita lihat dalam berbagai teks Sufi.
Dalam cara yang sederhana ,
keadaan itu dapat dienumerasi sebagai satu,
yang kebendaan dua, yang psikologis dan imaginal ;
tiga , yang malakuti, yang juga merupakan
dunia intelegensi dan arketipe;
empat, Nama dan sifat Tuhan ; dan akhirnya ,
Lima , Zat Ilahi.
Dari sudut padang ontologis , kita bisa bicara tentang Di Luar Wujud,
Wujud, dan Logos in divinis yang juga dinamakan dengan
Prinsip yang mengadakan, "Firman" yang dengannya
segala sesuatu diciptakan dan akhirnya , ranah keberadaan yang terpisah .
Adapun Ruh (al-Ruh dalam bahasa Arab), ia dapat dikatakan
berada di perbatasan antara yang Ilahi dan tatanan yang tercipta.
Tiap-tiap tingkatan di dalam hierarki itu sendiri terdiri atas
berbagai dan derajat dunia imaginal, yang tidak boleh disamakan
seperti yang khayali dan imajiner ( yang dalam penggunaan istilah
biasa terkait dengan yang tidak nyata, sedangkan dunia imaginal
adalah nyata pada tingkatannya sendiri), dan
dengan hierarki dunia malakut , yang sangat akrab dalam Kristen.
Tetapi masing-masing derajat wujud atau tingkatan realitas
pada akhirnya tak lain adalah Hadhrat Ilahi.
Sebenarnya, wujud dan kehadiran pada dasarnya adalah sama
dari sudut pandangan metafisika Sufi.
Itulah mengapa salah satu versi kosmologi Sufi yang terkenal
hanya berbicara tentang kehadiran, dan kembali lagi ke Ibn 'Arabi,
mengkategorikan semua kenyataan ke dalam Lima Hadirat Ilahi.
Lima Hadhrat Ilahi , yang merupakan cara lain untuk menunjukkan
hierarki wujud , disebutkan satu per satu dan dijelaskan oleh Ibn "Arabi
sebagai berikut ;
satu, Hahut, "tingkat" Zat Tertinggi Ke Ilahian,
dua, Lahir, tingakat Nama dan Sifat Tuhan dan Wujud -Wujud sebagai
prinsip ontologis penciptaan (tingkatan juga mengandung Logos atau
Intelek yang belum tercipta;
tiga, Jabarut, tingkat Jibril dan alam-alam surgawi yang lebih tinggi
serta Logos yang tercipta ;
empat, malakut, wilayah yang subtil dan dunia imaginal
yang terletak persis di atas dunia ini, namun merentang
hingga alam surgawi,
lima, alam nasut atau mulk ,
yang bersesuaian dengan alam manusiawi, bendawi dan kasat mata.
Ada banyak masalah rumit sepanjang menyangkut hal ini
dan skema kosmologi Sufi lain, yang tidak akan bahas di sini
dalam ruang pembicaraan kita yang sempit.
(Misalnya, beberapa Sufi berbicara tentang Enam Hadhirat
yang diinterpretasikan secara agak berbeda).
Bagaimanapun,
apa yang penting untuk disadari adalah bahwa dalam seluruh skema ini,
semua tingkat wujud (wujud) juga merupakan kehadiran (hudhur) ,
kesatuan satu Realitas Ilahi tunggal.
Setiap tingkat keberadaan ,
semua yang menyusun banyak tingkatan alam semesta ,
semua makhluk dari ikan di laut ke burung-burung di langit
tidak lain adalah Pengungkapan Diri Ilahi.
Seperti yang dikatakan para Sufi ,
"Tidak ada sesuatu pun di rumah kecuali sang Tuan Rumah".
#SHG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar