Jumat, 15 Januari 2016

MANUSIA IDEAL VERSUS CITRA DIRI PERSPEKTIF  MUHAMMAD IQBAL

IQBAL
Categories: FILSAFAT ILMU

Jiwa dan Badan ibarat tangkai dan Daun 
Menyatu sepanjang masa
Namun nista dan penat terkadang mengusik kesatuan
Kesatuan kan bermakna, 
Bila menghembuskan kesejukan dan kedamaian 
Bagi kehidupan sekitarnya, 
Berusaha menemukan sosok manusia ideal 
Bukan untuk mendulang materi dan memupuk pujian 
Namun menjadi bunga kemuliaan sepanjang zaman 
Karena wujudnya bak bunga abadi selalu bersemi 

MANUSIA IDEAL VERSUS CITRA DIRI PERSPEKTIF 
MUHAMMAD IQBAL


A. Pengantar 
Dalam permasalahan filsafat manusia, 
persoalan citra diri diri menuju kesempurnaan dalam diri manusia tidak bisa dikesampingkan begitu saja. 
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mencoba membahas tentang pembentukkan citra diri versus Iqbal melalui pemikirannya tentang manusia ideal. 
Untuk masuk kedalam filsafat Iqbal kata kunci yang harus dipahami adalah ‘ego’ 
ditilik dari segi spiritual sebagai salah satu unsur terpenting 
dalam mengetahui identitas diri manusia.

Selain untuk mengetahui identitas diri manusia, 
persoalan ego merupakan kunci untuk mengetahui kepribadian manusia, 
sebab kepribadian manusia terbentuk dari unsur-unsur konstruktif dan positif 
dalam diri manusia itu sendiri. 

Manusia sebagai makhluk yang terbatas harus menghidupkan ciptaan Tuhan 
yang terimanesi dalam dirinya, 
dengan hal-hal yang baik sebagai jalan menuju manusia ideal. 

Tidak semua filsuf membicarakan tentang manusia ideal secara lugas dan tepat, 
Iqbal merupakan salah satu tokoh filsafat yang berbicara tentang ego secara mendalam, sehingga pada statementnya menyatakan tujuan akhir kehidupan manusia adalah 
‘Insan al-Kamil’. 

Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa memilih Iqbal sebagai tokoh 
yang akan dibahas dalam permasalahan ini adalah 
tindakan sekaligus keputusan yang tepat, 
dalam memperkaya pengetahuan tentang hakekat manusia ideal 
yang ditilas balik dari dimensi spiritual dan sosial. 

B. Setting Historis 
Di rumah yang putih bersih itu, lahir seorang anak, yang oleh ibunya diberi nama Muhammad Iqbal. Dituturkan, bahwa ayahnya sebelum kelahirannya, bermimpi melihat burung dara putih cemerlang sedang terbang kemudian jatuh dan tinggal di kamarnya. Mimpi itu diinterpretasikan, bahwa ia akan dikaruniai seorang anak yang terkenal. Iqbal lahir di Sialkot pada 9 November 1877. Sialkot merupakan perbatasan Punjab, hanya beberapa mil dari wilayah Jammu dan Kashmir (Natsir, 2008:138-139). Pada masa kanak-kanak, ia mulai belajar pada ayahnya, Nur Muhammad yang dikenal sebagai ulama terkemuka. Selanjutnya, pada tahun 1895 ia menyelesaikan studinya di Scotch Mission College, Sialkot, dan langsung pergi ke Lahore untuk melanjutkan di Government College,  lembaga pendidikan tinggi yang terbaik di anak benua itu. Subjek yang ditekuninya di antaranya adalah sastra dan filsafat serta bahasa Arab dan Inggris. Ia berhasil lulus dengan predikat Cumlaude dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan program magister dalam bidang filsafat  (Ali, 1998:174). .
 Pengaruh paling besar terhadap perkembangan intelektual Iqbal selama di Government College berasal dari Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkemuka dalam filsafat modern.  Iqbal mendapatkan sosok guru yang patut dicintai, yang memadukan dalam dirinya pengetahuan luas tentang filsafat Barat dan pengertian mendalam atas kebudayaan Islam dan kesusasteraan Arab (Iqbal, 1992:26). Meskipun berhasil meraih gelar master dalam filsafat dan mulai memberikan kuliah, namun ia menyadari keterbatasan kehidupan akademik dan posisinya sebagai pegawai pemerintah telah mencampakkan bakatnya di bidang kedokteran, sebagaimana cita-cita awalnya. Pada masa itu, ia menulis puisi bergaya tradisional tentang alam dan cinta dalam lirik khas Urdu. Di Universitas tersebut, Iqbal justru merasakan telah kehilangan seluruh tanda kebesaran pemikiran Islam yang dapat memberikan ilham tentang harapan masa depan. Buku-buku tentang Islam yang tersedia pada umumnya mengecilkan dan terkadang malah mendiskreditkan Islam. Berdasarkan latar belakang inilah, Iqbal tampil sebagai pembawa semangat baru, dan menyalakan “lampu khudi” (kedirian dan ego), di mana ia mengibarkan panji-panji pemberontakannya.
Berkat dorongan Sir Thomas Arnold, Iqbal berangkat ke Inggris, untuk melanjutkan studi di Trinity College, Cambridge University di bawah bimbingan Prof. Mc. Taggart dan James Ward. Melalui keduanya, Iqbal lebih mengenal empirisisme Inggris, rasionalisme Jerman, Spinoza Belanda, panteisme, doktrin Neitzsche, lembaga dan politik Eropa serta konsep-konsep dan tradisi hukumnya. Itu sebabnya secara intens, ia menemui para ilmuwan dan mengadakan pelbagai diskursus tentang persoalan-persoalan ilmu pengetahuan dan filsafat. Iqbal mengajukan disertasi berjudul The Development of Metaphysics in Persia pada November 1907 di bawah bimbingan F. Hommel (Effendi, 1986:vii), kemudian ia kembali ke tanah air dengan menyuarakan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab dalam membangun suatu bangsa. 
Pada tahun 1922, ia menerima gelar Sir dari pemerintahan Inggris karena pemikiran dan karya-karyanya yang penuh harapan, optimisme, keteguhan dan perjuangan.  Kehidupan Iqbal banyak menginspirasikan pembaharuan dengan konsep Manusia Unggul, ia meninggal saat fajar 21 April 1938 setelah menderita sakit agak lama namun pemikirannya tetap eksis hingga saat ini (Iqbal, 1966:xxxiii). 

Anotasi Karya-karyanya 
Di sini penulis akan mengulas beberapa karya penting Iqbal 
yang berkaitan dengan pemikirannya tentang filsafat manusia, diantaranya:

1.Asrar-I-Khudi (Rahasia Diri). 
Merupakan buku puisi Iqbal mengenai filsafat agama yang pertama. 
Secara garis besar ia menguraikan tema-tema pokok dalam buku tersebut 

1). Asal mula alam semesta adalah dari kepribadian dan 
     keberlangsungan eksistensinya tergantung dari kemampuan 
     mengendalikan dan memberdayakannya,

 2). Hidupnya kepribadian adalah dengan membentuk kehendak dan membangkitkannya, 

3). Kepribadian dapat dikendalikan dengan cinta dan 
     dapat melemah dengan  meminta pertolongan, 

4). Penafian kepribadian, merupakan ajaran yang diciptakan 
     oleh kolonial untuk melemahkan bangsa Timur/Islam, 

5). Pendidikan pribadi mempunyai tiga fase: 
     Ketaatan, pengendalian diri dan perwakilan Ilahi, 

6). Menejemen waktu, dan 

7). Kekuatan doa.

2. Rumuz-i Bekhudi (Misteri Ketiadaan Diri). 
        Tulisan terpenting kedua Iqbal adalah syair-syair berbahasa Persia, 
        tema-tema utamanya mencakup hubungan 
        antar individu, masyarakat dan umat manusia, 
        hakekat  komunitas ideal dan prinsip etika serta sosial berdasarkan ajaran Islam. 
  
3. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. 
        Buku ini merupakan kumpulan enam kuliahnya yang disampaikan di Madras    
        Heyderabad pada Desember 1982-Januari 1929. 
        Iqbal mengkritisi filsafat Barat secara cermat dan radikal 
        yang sebagian besar materialistik. 

Secara garis besar buku tersebut memuat enam pokok mata kuliah; 
1). Pengetahuan dan pengalaman religius, 
2). Pembuktian filsafat dan wahyu tentang pengalaman religius, 
3). Konsepsi tentang makna Tuhan dan sembahyang, 
4). Ego insani kebebasan dan keabadian, 
5). Jiwa kebudayaan Islam, 
6). Prinsip gerak dalam Islam. 

4. Javid Nama (Kitab Keabadian). 
        Buku ini sering dinilai sebagai magnum opus Iqbal 
        merupakan puisi mastnawi yang religius filosofis. 
        Puisi ini menceritakan perjalanan spiritual Muhammad 
        dari dunia ini menuju 
        wilayah langit-bulan, merkurius, venus, mars, yupiter, dan saturnus 
        dan dari sana melampaui semua ikatan makhluk-makhluk ciptaan 
        menuju ke hadirat Tuhan, ilham utamanya diambil drai kisah rasul Isra’ & Mi’raj.  

5. Development of Metaphysic. 
        Merupakan disertasi Iqbal yang mencakup pandangan historis tentang filsafat Persia           dan konsepsi Iqbal dalam mengupas Realisme dan Idealisme Persia 
        serta menganalisislahirnya konsep sufisme. 

Adapun karya-karya Iqbal yang lain, yaitu; 
Bang-i-dara (Genta Lonceng), 
Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), 
Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), 
Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq 
(Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), 
Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), 
Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), 
A Contribution to the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-'Ajam 
(Taman Rahasia Baru) dan Khusal Khan Khattak. 

C. Manusia Ideal Versus Iqbal

Ego antara Esensi & Eksistensi 

Gagasan tentang khudi dalam filsafat Islam murni pemikiran Iqbal, 
melukiskan manusia sebagai penerus ciptaan Tuhan 
dengan mencoba membuat dunia yang belum sempurna menjadi sempurna. 

Secara harfiah leksikal, khudi berarti kehadiran (selfhood), 
yang bisa diterjemahkan sebagai ego, pribadi atau individualitas. 
Akan tetapi, 
kata khudi menurut Abdul Qadir telah dimaknai oleh Iqbal dengan konotasi yang luas.

Iqbal memaparkan filsafat khudi dalam bentuk sajaknya “matsnawi” 
dengan judul Asrar-I-Khudi atau Rahasia Diri yang sistematis dan logis 
berusaha mengungkapkan kesatuan nyata, 
dan mempunyai arti pusat dan landasan keseluruhan organisasi kehidupan manusia.

Iqbal (1966:95-96) 
menjelaskan rahasia diri manusia secara sederhana, 
terdapat tiga hal dalam Qur’an 
yang menekankan individualitas dan keunikan manusia 
yang memiliki tinjauan pasti mengenai takdir manusia 
sebagai kesatuan kehidupan, 
yaitu:

1. Bahwa manusia adalah pilihan Tuhan: “Kemudian Tuhannya memilihnya (Adam).       
        Maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk” (20:122).

2. Bahwa manusia, dengan kesalaham-kesalahannya, 
        dimaksudkan menjadi wakil Tuhan diatas bumi:  
        “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan 
         Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,    
         untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. 
         Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan 
         Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (6:165).

3. Bahwa manusia adalah kepercayaan suatu pribadi yang merdeka 
        yang diterima dengan menginsafi resiko yang akan ditanggungnya: 
        “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat 
        kepada langit, bumi dan gunung-gunung, 
        maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu 
        dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, 
        dan dipikullah amanat itu oleh manusia. 
        Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (33:72).

Keunikan manusia memperlihatkan suatu kesadaran 
yang membentuk pusat kepribadian suci 
sehingga tidak membantah bahwa sifat Tuhan adalah Transcenden. 

Penciptaan Tuhan akan nyata dengan wujud fungsionalitas manusia terhadap dunia. 

Karena itu, 
pengalaman bukan ibarat tetesan air yang jatuh ke dalam lautan, 
tetapi realisasi dan peneguhan diucapkan dalam sebuah kalimat abadi, 
mengenal realitas dan tetapnya ego manusia 
dalam suatu pribadi yang lebih mendalam (Iqbal, 1966:96).

Sementara itu, 
Whitehead juga memandang tujuan manusia dalam hidupnya 
ingin mencapai idealisme dalam dirinya 
yang disebut citra diri atau ‘subjective aim’. 

Citra diri setiap individu bisa bersifat spiritual, akademis, ekonomis dan sosial, 
melalui kemampuan untuk dibentuk oleh dunia 
dan membentuk diri dengan menginterpretasikan 
kemudian mempribadikan dunia 
merupakan proses yang melibatkan dua kutub di dalam setiap kenyataan, 
yaitu 
kutub mental sebagai reaksi fisik 
dalam menambah peningkatan (enhancement) dan kebaruan (novelty) 
bagi aspek fisik dan 
kutub fisik adalah badan utama bagi ekspresi human (Hadi, 1996:74). 

Oleh sebab itu, 
tidak ada substansi lain 
daripada dorongan kreatif (creativity) yang buta dan yang serba tidak menentu. 

Realisasi paling fundamental adalah peristiwa-peristiwa (event), 
yang lebih kemudian disebut entitas aktual (actual entity). 

Peristiwa-peristiwa atau entitas-entitas aktual itu 
menghayati kemungkinan-kemungkinan objektif tertentu yang murni (eternal objects). 

Tuhan itu dari Dirinya sempurna dan tidak terbatas (primordial nature); 
menurut segi itu Tuhan merupakan atribut dalam dorongan kreatif tadi. 

Tetapi kesempurnaan itu sudah ‘mati’, 
kesempurnaan itu baru mulai ‘hidup’ karena penciptaan-Nya; 
tetapi dalam hubungan dengan ciptaan-Nya Tuhan ‘menjadi’ terbatas 
(consequent nature). 

Peristiwa atau entitas aktual itu unik, 
tetapi masing-masing juga merangkum dan mengikhtisarkan segenap kenyataan. 
Entitas aktual yang unik itu meresapi semua peristiwa lainnya; 
sebaliknya yang lainnya semua hadir didalamnya (Bakker, 1991:35).

Moralitas individu sangat ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan ini: 

“Apakah sebenarnya ego itu?” 

Penekanan ini dimaksudkan sebagian untuk menyeimbangkan 
satu kecenderungan tertentu dalam pemikiran dan spiritualitas Timur 
yang menekankan pada sudut pandang kesatuan, 
memandang keberadaan diri hanya sebuah bayangan. 
Pandangan tersebut penyebab pasifitas fatalistik 
dalam jiwa muslim dan bangsa Timur lainnya (Khuza’i, 2007:101). 

Ego yang tidak menemukan kesatuan 
berdampak pada runtuhnya nilai-nilai spiritual, 
dinamika dan khazanah religi dalam komunitas masyarakat Islam 
sesuai dengan idea pokok Iqbal, 
hubungan manusia dengan Tuhan, 
atau ego terbatas dengan Ego Takterbatas 
yang berpangkal pada ajaran Qur’an (23:14, 3:110, 33:72 dsb) dan Hadist Rasul ‘Takhalluqu bi akhlaqillah’ dan ‘Bu’itstu li utammima Makarimal Akhlaq’ 
(Iqbal, 1966:xx).

Iqbal menggaris bawahi sajaknya 
yang mengungkapkan asal dan keberlanjutan 
semua yang ada berawal dari Diri, 
dilahirkan berbentuk hasrat dan kehendak untuk mewujudkannya. 

Pada bagian akhir puisinya, 
menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh setiap ego individual 
untuk mencapai kesempurnaan diri. 

Iqbal menegaskan ada tiga tahap yang mesti dijalani. 

Pertama, 
setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk 
kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Illahi. 

Kedua, 
ia harus belajar berdisiplin dan mengendalikan diri, 
melalui ketakutan dan cintanya kepada Tuhan 
serta ketidak bergantungannya kepada dunia. 

Ketiga, 
setiap individu menyelesaikan perkembangan dirinya 
dan mencapai kesempurnaan spiritual 
atau mampu memperlihatkan eksistensi khudi dalam dirinya 
serta mampu menyatakan: “Inilah aku”. 

Dalam Asrar-i-Khudi, 
ia menggambarkan makna proses evolusi (berkembang) 
menuju suatu pencapaian tingkat individualitas yang lebih kaya. 

Intinya, 
bila kehidupan berhasil menghimpun kekuatan khudi, 
sungai kehidupan akan menjelma menjadi lautan nan luas 
sesuai dengan sajak Muhammad Iqbal (1915:16): 

In as much as the life of the universe comes from the power of the Self,
Life is in proportion to this power.
When a drop of water gets of Self's lesson by heart,
it makes its worthless existence a pearl.
Wine is formless because its self is weak;
It receives a form by favour of the cup.
Although the cup of wine assumes a form,
It is indebted to us for its motion.
When the mountain loses its self, it turns into sands
And complains that the sea surges over it;
The wave, so long as it remains a wave in the sea's bosom. 

Ungkapan Iqbal tersebut, 
menurut Feroze Hasan 
esensi khudi adalah kekuatan 
sementara 
keteguhan dan kepastian adalah kebajikan 
yang bekerja aktif ke arah pembaharuan, perubahan dan penciptaan. 

Hal ini merupakan pelajaran 
dalam gerak, keberhasilan dan kemenangan. 

Iqbal senantiasa meneriakkan slogan “bergeraklah!” 
sebab 
kenikmatan hidup direngkuh dengan gerak dan kerja keras. 

Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih, 
dan jika berhenti, ia menjadi keruh. 
Bukankah biji emas yang belum diolah 
sama dengan debu di tempatnya. 
Maka, 
ketika orang bergerak, 
bekerja dan berjuang meneguhkan diri, 
ego dan individualitasnya, 
dia akan mulia seperti bernilai emas. 

Apabila dipandang dari sudut filsafat Whitehead, 
latar belakang gerak Iqbal 
tidak terlepas dari detil pembicaraan tentang jatidiri manusia 
dan dasar persiapan dalam suatu proses. 

Saat sekarang, 
yang mempunyai ketajaman yang padat penuh isi, 
merupakan kesatuan utuh dan tidak terbagi. 

Saya hadir secara lengkap dan utuh, 
tidak ada bagian dari diriku yang tidak terlibat 
dalam saat sekarangku yang utuh 
dan tak terbagi karena merupakan satu kesatuan itu, 
juga aku sadari sebagai  proses pembentukkan diri. 

Proses tersebut melibatkan 
tahap-tahap perkembangan dan pengolahan terus menerus 
sampai pada kesatuan terakhir 
di dalam menentukan nilai-nilai 
yang kujadikan pembentuk diriku sendiri (Hadi,1996:80). 

Proses selalu mengalami kontinuitas, 
sedangkan keberhentian adalah lonceng kematian, 
baik jasmani maupun rohani 
sedangkan perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. 

Ia menuntut desakan dari dalam dan keinginan positif 
untuk menciptakan takdir-takdir baru. 

Karena itu, 
prakarsa untuk mendatangkan khudi 
harus datang dari masing-masing individu, 
pengembangan khudi bermakna 
memberdayakan etos kerja secara aktif dan kreatif. 

Etos adalah karakter dan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya. 

Ia merupakan evaluatif 
yang memberi penilaian akan berharga dan bernilainya sesuatu. 

Sejauh dihubungkan dengan persoalan “kerja”, 
ia memberikan landasan motivasi dan arti 
apakah kerja itu dilihat sebagai beban, 
atau bermakna secara eksistensial 
sebagai imperatif kemanusiaan dan jangkar jati diri. 

Iqbal percaya, 
bahwa gagasan untuk bekerja semata 
tidaklah memberikan momentum gerak maju pada manusia. 

Perbuatan dan kerja konkret 
yang membentuk esensi dan bobot kehidupan dalam suatu pengalaman. 

Al-qur’an, kata Iqbal, 
adalah kitab yang lebih mengutamakan kerja daripada gagasan atau ide 
(Jamaluddin, 2007:137). 

Pusat pengalaman yang terbatas adalah nyata, 
sekalipun kenyataannya terlalu mendalam 
untuk dipikirkan secara intelektual. 

Kalau begitu apakah sebenarnya sifat ego yang karakteristik? 

Ego menyatakan dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan 
dari yang kita namakan keadaan-keadaan mental. 

Keadaan-keadaan mental tidak berdiri sendiri-sendiri 
sebagai suatu isolasi satu sama lain, 
mereka jalin-menjalin dan memberi arti satu sama lain. 

Keadaan-keadaan itu berdiri sebagai fase-fase 
dari suatu keseluruhan yang rumit, 
dinamakan: pikiran (mind), 
tetapi kesatuan organik dari keadaan-keadaan yang berhubungan ini, 
atau katakanlah dari kejadian-kejadian yang saling berhubungan ini, 
adalah suatu kesatuan yang punya bentuk tersendiri. 

Secara fundamental kesatuan itu berbeda dari kesatuan benda material; 
karena bagian-bagian material dapat berdiri sendiri dan isolasi satu sama lain.

Perlangsungan waktu peristiwa fisik 
dibentangkan dalam ruang sebagai suatu fakta yang terjadi kini: 
perlangsungan waktu ego dipusatkan dan dihubungkan 
dengan masa kini dan masa depan secara unik 
(Iqbal, 1966: 98-99). 

Menurut Ghazali, 
ego dalam paham theologi Islam adalah suatu substansi jiwa yang bersahaja, 
tidak terbagi-bagi dan kekal, 
sama sekali berbeda dengan kelompok keadaan-keadaan mental kita 
serta tidak dipengaruhi oleh perjalanan waktu. 

Pengalaman kesadaran kita adalah satu kesatuan, 
sebab keadaan-keadaan mental kita berhubungan 
dalam demikian banyak kualitas-kualitas dengan substansi kualitasnya. 

Pengenalan saya kembali akan seseorang 
hanya mungkin apabila saya tetap bertahan tidak berubah 
diantara saat pencerapan atau persepsi yang mula-mula 
dengan ingatan saya saat ini 
(Iqbal, 1966: 100). 

Ego selalu mengarahkan manusia 
pada suatu hal sehingga kedudukannya lebih tinggi dari pada pengalaman, 
namun ego tidaklah berdiri sendiri 
ia membutuhkan materi (badan) dalam bertindak 
untuk mendapatkan kepribadian sejati atau citra diri. 

Jika demikian timbullah pertanyaan, apakah materi itu? 

Suatu kelompok ego-ego berderajat yang lebih rendah 
dan disana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, 
apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai 
suatu derajat koordinasi tertentu. 

Tidak ada benda yang bersifat murni fisik, 
dalam arti memiliki suatu kematerialan, 
yang secara asasi tak sanggup untuk melaksanakan sintesa kreatif 
yang kita sebut hidup dan jiwa, 
dan yang membutuhkan ke-Tuhanan transcendental 
yang membekalinya dengan suatu yang melihat-merasa dan berjiwa 
(Iqbal, 1966:106). 

Ego dalam diri manusia tidak terlepas dari sifat material fisik 
yang mendasari gerakan mental.

Dalam buku Jatidiri Manusia dibicarakan 
keunikan manusia di dalam sub bagian akhir, 
penulis melihat bahwa 
manusia yang terdiri dari sifat material dan jiwa di satu pihak 
merupakan superjek atau produk dari masyarakat dan 
dunia dan dari lain pihak, 
merupakan subjek membentuk dirinya sendiri 
di samping memberi arti bagi dunia. 

Dua aspek ini sebenarnya tidak hanya terdapat dalam diri manusia, 
kemampuan untuk di bentuk oleh dunia dan kemampuan 
untuk membentuk diri 
dengan menginterpretasikan dan mempribadikan dunia 
merupakan proses yang melibatkan dua kutub di dalam setiap kenyataan, 
yaitu kutub mental dan kutub fisik (hadi, 1996:74-76). 

Kutub fisik, 
merupakan kemampuan kenyataan 
yang sedang dalam proses pembentukkan diri 
untuk menangkap warisan atau pengaruh 
yang dihasilkan oleh perbagai pengada di seluruh dunia 
yang telah selesai didalam dirinya. 

Kutub mental, 
merupakan kemampuan kenyataan baru 
yang sedang dalam proses pembentukkan diri 
untuk menginterpretasikan dan 
menilai tawaran-tawaran yang ditangkap oleh kutub fisik, 
serta menilai-nilai mana yang pantas di pribadikan, 
kemudian menyusunnya di dalam skala nilai menurut citra dirinya. 

Dengan begitu tampak bahwa 
dalam kegiatan mental terjadi pengolahan bahan 
yang telah disediakan oleh dunianya 
sesuai dengan idealisme dirinya disebut “citra diri” atau subjective aim. 

Namun 
peran yang disampaikan oleh kutub fisik dan mental tidak selalu seimbang, 
karena dunia ini bisa dikelompokkan berdasarkan 
taraf organik, vegetatif, sensitif dan rasional. 

Manusia sebagai makhluk hidup bertaraf rasional, 
koordinasi jauh lebih sempurna dan rapi 
dibanding dengan taraf-taraf dibawahnya. 
Namun
harus diingat bahwa 
taraf yang lebih tinggi 
mengandaikan berfungsinya taraf-taraf yang lebih rendah, 
jika tidak maka 
akibatnya akan menggangu pusat 
yang mengatur segala kehidupan manusia. 

Oleh sebab itu, 
kemampuan akal budi membendung rasionalitas manusia agar tidak liar, 
meskipun cita-cita untuk hidup yang lebih baik selalu diprioritaskan.

Iqbal memandang bahwa manusia menghidupkan realitas wujud Tuhan 
dengan adanya wujud materi dan jiwa, 
proses menuju Ego atau manusia ideal bersifat kausalitas 
berasal dari kesadaran prilaku manusia 
(Iqbal, 1966:108), 
namun ia belum menjelaskan proses tersebut 
tidak terlepas 
dari hirearki perkembangan pemikiran individu 
yang dipandang oleh Whitehead sebagai jalan 
menuju rasionalisasi pemikiran manusia.  

Kesempurnaan Khudi Menuju Keluhuran Jiwa.

Bagi Iqbal kehidupan adalah 
proses melalui cara-cara praksis terus menerus maju 
sambil mengasimilasi segala sesuatu dalam gerak dan esensinya. 
Sedangkan pemikiran Whitehead 
proses tersebut lebih ditekankan untuk mengilhami nilai-nilai positif 
bagi setiap individu yang membentuk kepribadiannya 
melalui beberapa tahapan. 

Untuk memahami setiap tahap dalam proses pengembangan diri, 
yang terjadi pada satuan waktu yang paling kecil, 
utuh dan tidak terbagi-bagi, 
kita akan membicarakan unsur-unsur yang terlibat didalamnya 
hal ini bukan hanya berlaku bagi manusia, 
tetapi untuk segala pengada dengan tarafnya masing-masing 
(Hadi,1996:81-84). 

Pertama, 
tahap pengumpulan data. 

Setiap proses pembentukkan diri dari sebuah pengada melibatkan data, 
yakni bahan yang disediakan oleh dunia dan masa lampau pengada tersebut. 

Datum hanya bisa diberikan oleh pengada-pengada 
yang telah mencapai kepenuhan dalam perkembangannya. 

Jika mereka sudah mati memiliki dua makna mati 
terlepasnya ruh dari jasad atau 
sudah melewati masa-masa ujian dan puncak problematika, 
maka proses pembentukkan diri telah selesai. 

Pengada-pengada itu mati sebagai “causa sui”, yakni 
sebagai pencipta diri sendiri 
namun nilai-nilai dan sistemnya sebagai warisan tetap abadi. 

Kemudian nilai-nilai yang telah dijadikan unsur konstitutif pengada itu 
ditawarkan kepada pengada-pengada berikut, 
sebagai “causa effisien” yaitu 
sebab yang aktif menyebabkan suatu peristiwa terjadi 
atau munculnya pengada baru tersebut. 

Jadi masa lampau yang mewariskan pembentukkan diri 
dan unsur-unsur dunia pengada yang telah menjadi tetap dan tertentu 
akan mengambil alih sebagai penopang pembentukkan diri  
menjadi satu subjek dengan satu kepribadian yang utuh dan sempurna. 

Kedua, tahap pengolahan data. 

Proses pembentukkan diri selalu melibatkan idealisme 
mengenai diri sendiri yang disebut citra diri atau subjective aim. 

Citra diri ini sendiri selalu mengalami penyesuaian 
selama proses pembentukkan diri belum selesai. 

Citra diri bergantung pada taraf pengada 
yang sedang menjalani proses pembentukkan diri. 
Ia akan menjadi warisan bagi masa mendatang, 
karena sifatnya yang akan jelas dan terkristalisasi  
di saat proses pembentukkan telah selesai. 

Ketiga, tahap kepenuhan diri. 

Proses pembentukkan diri ini berakhir 
bila pengada yang bersangkutan sudah mencapai 
apa yang disebut kepenuhan diri. 

Di dalam tahap ini, pengada benar-benar merasa puas. 
Namun kata puas di mengerti secara netral, yakni 
sebagai kepenuhan atau tercapainya perwujudan cita-cita diri, 
sehingga tidak tersisa lagi inisiatif  atau kreativitas untuk saat itu. 

Dari satu pihak, 
proses pembentukkan diri boleh dikatakan selesai secara mutlak  atau mati, 
karena kegiatannya yang berhenti. 
Namun dilain pihak, 
justru pengaruhnya terhadap dunia sekitarnya dan
 terhadap pembentukkan diri yang lainnya baru dimulai. 

Berdasarkan pengertian ini, 
maka diriku sebagai manusia juga selalu terlibat 
di dalam proses pembentukkan diri. 

Proses pembentukkan diri ini melibatkan data-ku, 
yaitu seluruh nilai yang ada di dunia dan masyarakat, 
dan masa lampauku sendiri. 

Unsur lain yang terlibat adalah citra diri-ku, yakni 
idealku mengenai diri sendiri 
sebagaimana aku cita-citakan untuk dibentuk dan diwujudkan. 

Interaksi antara data dan citra ini akan berlangsung 
selama proses pembentukkan diri berlangsung. 

Data akan diseleksi dan ditata menurut relevansinya, 
dan citra disesuaikan dengan bahan yang ada, 
sehingga diriku yang benar-benar aku wujudkan adalah 
diri pribadi yang konkret dan riil. 

Hal ini akan berakhir pada titik jenuh atau merasa puas 
dan seluruh pembentukkan diri telah sampai 
pada tahap kepenuhan diri dalam mempribadikan dan mewujudkan nilai 
yang aku anggap perlu untuk aku jadikan diriku sendiri.

Pernyataan di atas hampir sama dengan pemikiran Iqbal tentang Khudi, 
bukanlah anugerah alam, 
ia dibentuk melalui usaha kreatif dan kerja keras yang simultan 
dan berkesinambungan dengan disiplin yang tidak kenal lelah, 
dengan keteguhan watak dan kepribadian. 

Dalam Asrar-i-Khudi, barulang kali Iqbal menyebutkan, 
karakteristik khusus tentang 
pikiran (mind), 
pemikiran (thought), 
watak (character) yang sangat esensial 
bagi pertumbuhan dan perkembangan khudi. 

Kualitas yang memperkokoh khudi adalah 
cinta (isyqa’), 
faqr, 
keberanian dan 
kreativitas 
tetapi timbul pernyataan
 ‘apakah sesuatu yang buruk dan pandangan Iqbal tentang nilai?’ 

Semua nilai bagi Iqbal adalah kekal, 
segala sesuatu yang baik atau buruk bergantung kepada hal itu 
memperkuat atau memperlemah pribadi (ego) 
dan tak bisa diputar balik (Iqbal, 1966:xvii). 

Menurut Iqbal (Iqbal, 1976:26-40) 
keluhuran dan ketinggian jiwa diperkuat oleh beberapa hal, 
yaitu;
Pertama, cinta (isyq’). 
Ia merupakan terma universal dalam pencarian puitik dan intelektual. 
Cinta adalah pengalaman batin manusia 
yang mungkin merupakan kegandrungan mistik 
untuk fana dalam naungan Tuhan. 

Lebih dari itu, 
cinta adalah kecenderungan yang memunculkan 
benda-benda dan pikiran-pikiran indah di dunia. 

Iqbal sendiri menjelaskan dengan kata-katanya 
seperti ia tulis dalam suratnya kepada Nicholson (1977:XXV), 
“The ego is fortified by love. 
This word is used in a very wide sense and means the desire to assimilate, to absorb. 
Its highest form is the creation of values and ideals and the endeavour to realise them. Love individualises the lover as well as the beloved.”

 Pandangan Iqbal tentang sangat jelas, 
cinta adalah kekuatan yang membuat pribadi makin semarak dan makin kokoh. 
Cinta yang memanusiakan manusia dan mengangkatnya ke ketinggian sejati. 

Showing that the self is strengthened by love
The luminous point whose name is the self
Is the life‐spark beneath our dust.
By Love it is made more lasting,
More living, more burning, more glowing.
From Love proceeds the radiance of its being.
And the development of its unknown possibilities 
(The Secret of the Self).

Bagi Iqbal, kata Feroze, 
cinta adalah fenomena kreatif 
yang melahirkan intensitas kesadaran 
yang mengamankan keabadian manusia. 

Ia memadatkan emosi 
dan membantu mewujudkan ambisi dan obsesi kehidupan yang memberdayakan. 
Ia membuat manusia untuk mampu bergerak maju dan berbuat secara optimal 
(Hasan, 1970:162).  

Kedua, adalah faqr 
benar-benar kondisi positif sebagai kualitas kedua 
yang akan memperkaya khudi. 

Seorang faqr bukan hanya tidak acuh terhadap perubahan dunia, 
namun ia seorang yang berkemauan keras, 
mempunyai pandangan moral dalam kehidupan sosial sekelilingnya, 
didorong oleh kecintaan 
cita-cita regenerasi moral dan spiritual umat manusia 
sehingga untuk cita-cita yang baik ia sedia mengorbankan dirinya. 

Seorang faqir dalam filsafat Iqbal, 
bukanlah faqir menurut sufi yang hanyut 
dalam pencarian mistik dan memarginalkan dirinya 
dari pergaulan dan kehidupan menyepi dalam kontemplasi. 
Namun 
ia merupakan kekuatan maknawi 
yang berada dibalik segala tindak kebaikan, 
bukan miskin untuk menerima nasib dengan meminta 
tetapi bertujuan untuk memperjuangkan haknya dengan bekerja keras. 

Iqbal memberi gambaran nyata dalam sajaknya (Nicholson, 1915:25); 

Said that God loves a man that earns his living.
Woe to him that accepts bounty from anotherʹs table
And lets his neck be bent with benefits!
He hath consumed himself with the lightning of the favours bestowed on him,
He hath sold his honour for a paltry coin.
Happy the man who thirsting in the sun
Does not crave of Khizr a cup of water! 

Ketiga, keberanian dan kreativitas 
merupakan kausalitas yang secara universal diakui 
sebagai pilar yang sah untuk mengatur karakter manusia. 

Ia merupakan kondisi yang diperlukan manusia dalam menghadapi kondisi hidupnya. 

Sejarah manusia adalah sejarah pasang surut keberanian 
untuk mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 
Tanpa keberanian baik fisik maupun moral, 
tidak mungkin seorang manusia dapat akan mencapai 
suatu yang benar-benar penting dan bernilai di dunia ini. 

Semua kemajuan, 
dicapai dengan keberanian menghadapi tantangan dan ujian kehidupan. 
Hanya yang lemah takhluk pada rintangan 
sedangkan si pemberani, rintangan hanya merupakan sarana 
pengembangan watak dan penjelmaan nilai-nilai kebajikan 
yang masih terpendam (Iqbal, 1953:37). 

Keempat, sikap toleransi terhadap pendapat dan orang lain 
menumbuhkan kebaikan dalam masyarakat, 
bila sebaliknya akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian. 

Ego maupun keakuan menumbuhkan dalam dirinya 
sifat toleransi yang akan memperkuat kepribadian. 
Sehingga toleransi merupakan asas memupuk dan memelihara ego 
dengan menghormati ego pribadi dan orang lain.

Kelima, kasb-l-halal atau hidup dengan usaha dan nafkah yang syah. 

Menurut ahli fiqih, 
hal tersebut mencakup segala macam usaha yang diperoleh 
atau mewujudkan sesuatu di jalan yang syah, 
bukan dengan mencuri atau menipu, 
sehigga segala sesuatu yang berasal bukan dari jerih payahnya 
akan merusak kepribadian seseorang.

Menurut Iqbal kasb yang tidak halal maupun bersandar kepada orang lain 
sangat memalukan (1976:39), 
“Haruslah kau malu mewarisi intan berlian dari leluhurmu. 
Bagaimana mungkin ini memberi nikmat kepadamu dalam usaha memburunya”. 

Keenam, kreatif dalam mencapai kasb-l-halal 
bukan dengan jiblakan atau meniru orang lain 
tanpa mengembangkan diri. 

Setiap manusia harusnya dengan sekuat tenaga menyempurnakan keinginannya, 
sehingga sifat kreatif dalam insan itu akan mengingkatkan dirinya ke taraf Ilahi. 

Sedangkan hal-hal yang memperlemah khudi menurut Iqbal (Iqbal, 1976:40-45), 
yaitu;
Pertama, takut dengan berbagai penjelmaan dan tautan seperti; 
keluh, gelisah, marah, cemburu dan segan sampai malu ialah 
penghalang besar bagi kemajuan dan perkembangan bangsa dan orang-orang. 

Tuhan selalu membukakan jalan bagi hambanya sesuai dengan usahanya, 
sehingga sebagai manusia ideal tidak boleh putus asa dalam menyelesaikan masalah. 

Kedua, meminta-minta (su’aal) ialah 
segala usaha dan karunia yang diperoleh 
dengan tidak ada usaha dari pihak insan sendiri. 
Seseorang yang mewarisi harta pusaka orang tuanya yang kaya 
menurut Iqbal ialah tukang minta-minta. 

Begitu juga orang-orang yang meminjam buah pemikiran orang lain 
dengan tak mengujinya seluas-luas mungkin ialah tukang minta-minta. 

Bagi Iqbal segala macam usaha yang meminta-minta ialah ‘aflas’ atau hina dina. 

Segala orang yang kaya dan berfoya-foya ialah kaum peminta-minta yang tidak tampak. 

Raja dan pengendali negara yang hidup 
dengan harta yang melimpah drai keringat rakyat adalah peminta-minta. 

Ketiga, perbudakan melenyapkan semangat berusaha 
dari orang atau bangsa yang dijajah, 
ia dapat merusak tabiat dan watak seseorang 
karena perbudakan dapat meruntuhkan moral insan 
kepada taraf yang rendah sekali. 

Iqbal menyerukan 
untuk menjauhkan setiap macam penaklukkan politik, ekonomi dan rohani 
dikalangan umat manusia. 

Keempat, sombong atau nasab parasti 
karena kekayaan dan faktor biologis 
membuat seorang individu ego binasa 
karena cita-citanya tidak bisa menjadi cermin yang baik bagi orang lain. 

Manusia pada hakektnya tidak sempurna, 
tetapi setiap manusia mengaindaikan ego yang ideal 
dalam tatanan kehidupan 
sehingga kita harus menjauhkan ego dari hal-hal yang melemahkannya. 

Memperkuat ego dengan cinta, faqr, keberanian dan toleransi, 
khudi menjelma menjadi kekuatan dahsyat, 
tetapi semua tindakannya mesti bersifat kreatif.

 Karena tanpa kreativitas dan orisionalitas dalam tindakan 
yang ada hanyalah reproduksi dan duplikasi tanpa makna dan nilai. 

D. Tanggapan 
Iqbal merupakan penyair yang berusaha keras 
untuk mengkomunikasikan makna dalam sedikit kata. 

Seorang filosof yang berangkat dari dimensi filsafat menuju tasawuf, 
berusaha mendinamisasikan 
nilai-nilai akherat dan duniawi berdasarkan spiritual. 

Manusia sebagai ego terbatas merupakan cerminan dari Ego Tidakterbatas, 
namun ego tidak bisa berdiri sendiri 
ia membutuhkan kutub fisik dalam menopang gerak 
dan mewujudkan eksistensinya.

 Ego terbatas selalu mengandaikan kesempurnaan sebagai tujuan utama hidup 
yang diperkuat oleh khudi (cinta, faqr, keberanian, toleransi, hasil yang halal dan kreatif) dan menjauhi hal-hal yang memperlemahnya. 

Menela’ah kembali pemikiran Iqbal tentang manusia ideal 
lebih memaparkan tentang kunci atau cara dalam membentuk pribadi ideal. 

Sementara pemikiran Whitehead lebih cenderung 
memandang proses menemukan citra diri, 
berawal dari proses serta tahapan-tahapan khusus yang harus dilewati 
sampai tahap kepenuhan diri, 
pertama kedinamisan kutub fisik dan mental 
diharapkan mempunyai koordinasi ideal sampai tahapan rasionalisasi pemikiran, 
proses rasionalisasi manusia pasti dihadapkan dengan realitas sosial 
sebagai datum yang diolah dan sinkronisasikan dalam dirinya. 

Daftar Pustaka 
Iqbal, Muhammad. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam. Yogyakarta: Penerbit Lazuardi.
Iqbal, Muhammad. 1992. The Development of Metaphysic in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy (diterj. Koebar Ayoeb). Bandung: Mizan. 
Iqbal, Muhammad. 1976. Asra-Khudi, Rahasia-Rahasia Pribadi. Bandung: Bulan Bintang. 
Iqbal, Javid. et. al. 1992. Sisi Manusiawi Iqbal (diterj. Nurul Agustina dkk). Bandung: Mizan. 
Bilgram. 1982. Glimpses of Iqba’s Mind and Thought (diterj.Djohan Effendi). Jakarta: Bulan Bintang.
Widyastini. 2008. Filsafat Islam Abad Tengah Modern Kontemporer. Yogyakarta: Kepel Press. 
Mohammad, Herry (dkk). 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani.
Natsir, Mohammad. 2008. Kapita Selekta 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta.
Hadi, Hardono. 1996. Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme A.N. Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. 
Khuza’i, Radliyah, 2007. Dialog Epistemologi: Muhammad Iqbal dan Charles Pierce. Bandung: PT. Refika Aditama. 
Miss Luce-Maitre, Claude. 1985. Pengantar Ke Pemikiran Iqbal (terjemh. Djohan Effendi). Bandung: Mizan. 
Bakker, Anton. 1992. Ontologi Metafisika Umum Filsafat Pengada & Dasar-Dasar Keyakinan. Yogyakarta: Kanisius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar