Jumat, 15 Januari 2016

MUHAMMAD IQBAL, FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI

MUHAMMAD IQBAL, FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI
BAB I
PENDAHULUAN 
    
Mohammad Iqbal adalah seorang penyair dan filosof. 
Iqbal adalah filosof terakhir abad ke-20 yang muncul dari kalangan sunni. 

Syair dan falsafahnya cenderung bersifat tasawuf. 

Hal ini dimungkinkan karena latar belakang keluarganya yang taat beragama. 
Dijelaskan juga bahwa nenek moyang Iqbal  telah beragama Islam sejak 3 abad 
sebelum kelahirannya. 
Ditambah lagi pendalaman dan penghayatan beliau dalam bidang tasawuf 
ketika ia hendak meraih gelar doktor (Ph.D) 
dengan judul disertasinya “TheDevelopment of Metaphysics In Persia”. 

Pada masa mudanya Iqbal sangat menyukai karya sastra.
Hal inilah yang mendorongnya pergi ke Lahore untuk mempelajari sastra Arab dan Inggris di Government college, hingga meraih gelar Master of Arts (M.A).

. Di kota ini  ia berkenalan dengan seorang orientalis Sir Thomas Arnold 
yang mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris. 
Setelah dua tahun di Inggris , Iqbal memilih Munich, Jerman 
untuk melanjutkan program doktor di bidang tasawuf. 
Ia mendapat gelar doktor  dengan predikat cum laude. 

Seperti para pembaharu lain, 
Muhammad Iqbal pun berpendapat bahwa kemunduran umat Islam 
selama hampir lima abad terakhir disebabkan oleh kebekuan 
dalam perkembangan pemikiran. 

Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis. 
Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa 
rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah 
akan membawa kepada disintegrasi dan 
dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam 
sebagai suatu kesatuan politik. 

Untuk memelihara kesatuan itu kaum konservatif tersebut 
lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan diam. 

Padahal menurut Iqbal, 
hukum Islam Bersifat dinamis, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kedinamisan hukum Islam, 
sesungguhnya, merupakan bahagian dari semangat dinamisme 
yang terkandung dalam ajaran Islam. 
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam, 
menurutnya sangat mendukung pemakaian akal 
untuk memahami mekanisme yang terjadi di alam ini. 
Islam menolak konsep lama yang beranggapan bahwa alam bersifat statis. 

Penonjolan paham dinamis Islam inilah yang membuat Iqbal 
menempati posisi penting dalam pembaharuan Islam. 

Dalam syair-syairnya tercermin betapa Iqbal membakar semangat umat Islam 
untuk senantiasa bergerak dan maju. 

Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. 

Maka Iqbal berseru kepada umat Islam 
supaya bangun dan mencipta dunia baru. 
Begitu tinggi ia menghargai gerak, 
sehingga ia menyebut bahwa 
kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang passif/ pemalas.    

Berbeda dengan pembaharu lain, ia menampilkan sosok dirinya yang khas. 

Bagi rakyat Pakistan Iqbal adalah tokoh besar yang sangat berjasa 
bagi keberadaan negara itu. 

Mereka menghormati Iqbal bukan hanya sebagai pemikir politik 
dan penggagas negara Pakistan, tapi juga sebagai intlektual. 

Untuk menghormati jasa-jasanya pemerintah Pakistan mendirikan “Iqbal Academy” sebagai lembaga pengkajian pemikirannya. 
Sebuah jurnal ilmiah yang diberi nama “Iqbal Review” juga menunjukkan
betapa ia memiliki tempat istimewa dihati para ilmuan.

Sebagai seorang tokoh pembaharu, 
pemikir dan politikus maka banyak hal yang dapat dikaji dari dirinya. 
Khusus dalam makalah ini maka yang akan dikaji adalah 
tentang pemikirannya dengan judul “ Muhammad Iqbal :
 Filsafat tentang Tuhan dan Khudi”. 


BAB : II
PEMBAHASAN
MUHAMMAD IQBAL : FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI

A. Riwayat Hidup Iqbal
Iqbal lahir di Sialkot (Punjab) tanggal 22 Pebruari 1873. 
Para ahli berbeda pendapat dalam mencatat tanggal dan tahun kelahirannya. 
Pendapat pertama dari Luce claude-Maitre  bukunya: 
Pengantar kepemikiran Iqbal, terjemahaan DJohan Effendi, Bandung: Mizan,1983) h.13. Pendapat kedua dari W.C. Smith, 
dalam bukunya: Modern Islam In India (Lahore:Usha Publication, 1976) h.116, 
menyebut tahun 1876, Sementara pendapat ketiga, J. Marek, 
seperti yang dikutip Annemarie Schimmel dalam bukunya gabriel’s Win (Leiden: E.J. Brill,1963), h.35, mencatat 9 Nopember 1877. 

Pendapat inilah dianggap paling kuat dan diakui secara resmi oleh pemerintah Pakistan.
Nenek moyangnya berasal dari Kashmir dan telah memeluk  Islam kira-kira tiga abad sebelum beliau lahir. 
Sesudah menamatkan pendidikan Sekolah Rendah dan menengah di Sialkot 
maka ia pergi ke Lahore pada tahun 1895 untuk melanjutkan studinya di Government college. 
Ia berguru kepada seorang syekh yang telah mashur yakni Syamsul Ulema Mir `Hasan. sampai meraih gelar Master of Art (M.A) dalam bidang filsafat pada tahun 1899.

Selanjutnya ia meneruskan studinya ke Eropa. Setelah dua tahun di Inggris , 
Iqbal memilih Munich, Jerman untuk melanjutkan program doktor di bidang tasawuf, dan meraih gelar Doctor (Ph.D) pada tahun 1908. 
Adapun judul disertasi adalah: “The Development of  Metaphysics In Persia. 
Di Eropalah pemikirannya berkembang. Iqbal wafat tanggal  18 Maret 1938, 
dalam usia 62 tahun.   

B. Pemikiran Iqbal Tentang Tuhan

Dalam memahami konsep tentang Tuhan, 
Iqbal mengalami tiga tahap perkembangan pemikiran. 

Pertama, tahap ini sekitar tahun 1901-1908. 
Iqbal berpendapat bahwa Tuhan sebagai keindahan abadi. 
Iqbal  memiliki pemahaman seperti ini karena terpengaruh dengan konsepsi mistik 
yang berkembang di Persia. 
Pemikiran Iqbal yang demikian juga terpengaruh dengan Plotinus 
yang mengembangkan pemikiran Plato, 
yang menganggap Tuhan sebagai keindahan abadi.

Kedua, Dalam tahapan ini (1908-1920),
Iqbal mulai menyangsikan tentang pikirannya, 
pertama yang mengatakan bahwa Tuhan sebagai keindahan abadi. 
Karena sesuai dengan ilmu yang diperolehnya dari seseorang 
yang bernama Jalaluddin Rumi. 

Sehingga tahapan ini berkembang kepada anggapan bahwa Tuhan adalah 
asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan (The ultimate spiritual basis of a life). 
Dan tahapan ini merupakan tahapan pertumbuhan 
yang terjadi pada diri Iqbal dalam konsepsi tentang Tuhan.    
      
Ketiga: pada tahap ini (1920-1938), 
merupakan tahap kematangan Iqbal dalam memahami tentang ketuhanan. 
Karena pada tahap ini Iqbal menyakini Tuhan adalah 
“Hakikat sebagai suatu keseluruhan”, 
dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual, 
dalam arti suatu individu dan suatu ego. 

Berkenaan dengan ayat Al-Qur’an 
surat An-Nur ayat: 35 yang berkaitan dengan Tuhan, 
maka Iqbal 
menolak konsepsi tentang Metafor cahaya pada akhir surat tersebut, 
karena menurut Iqbal 
Metafor ‘cahaya’ yang dikenakan pada konsepsi Tuhan, 
harus dipakai untuk menyatakan kemutlakan Tuhan, 
bukan kemahahadiran Tuhan. 

Walaupun ada keterkaitan pendapat Iqbal antara cahaya dengan Tuhan, 
tetapi ia beranggapan Tuhan adalah sesuatu yang mutlak. 
Dan cahaya tersebut merupakan, 
sebagai pendekatan (Approach) mirip dengan yang mutlak. 

Dibalik itu juga ada hal yang menarik dalam pemikiran Iqbal, 
tentang Tuhan yaitu masalah realitas akhir 
yang berhubungan dengan Imanensi dan Transendensi. 

Dalam hal ini, 
Iqbal lebih menekankannya Transenden-nya. 
Ego Akhir daripada imanensi-nya . 

Karena menurut Iqbal: Imanensi berhubungan dengan pola pikir Pantheistik.

Hal tersebut secara langsung mendorong orang untuk berpikir bahwa 
diri manusia tidak eksis dan tidak nyata. 
Sementara Transcendence lebih memuaskan kesadaran keagamaan, 
yang memiliki beberapa tuntutan, yaitu: 

yang pertama: 
realita akhir harus digambarkan sebagai suatu yang Transenden. 

Yang kedua:  
Realitas akhir tersebut mesti dianggap sebagai kepribadian. 

Lebih detilnya kepribadian Ego akhirnya mencakup, 
Mahakreatif, Mahatahu, Mahakuasa dan Mahaabadi. 

Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase pertama ini tidak asli. Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita apa yang ia terima 
sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah. 

Ia menjadikan ide keTuhanan ini 
sebagai bahan puisi-puisinya dengan berbagai cara baru..

Tuhan sang hakekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi. 
Ia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar. 
Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi dan keindahan disusutkan 
menjadi suatu sifat Tuhan. 

Menjadi sebutan yang sekarang mencakup 
nilai-nilai estetis dan nilai-nilai moral sekaligus. 

Disamping keindahan Tuhan, 
pada tahap ini 
keesaan tampak menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi 
karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan 
pada individu, bangsa-bangsa dan manusia 
sebagai keseluruhan kekuatan yang mengikat, 
menciptakan hasrat yang tak kunjung padam, 
harapan dan aspirasi dan 
menghilangkan semua rasa gentar dan takut 
kepada yang bukan Tuhan.

Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang indera 
melainkan dalam pribadi terbatas, dan 
karena itu usaha mendekatkan diri padanya 
hanya akan dimungkinkan lewat pribadi. 

Dengan demikian mencari Tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. 

Demikian pula pengetahuan tentang  Tuhan 
tidak bisa diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata-mata 
karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. 

Mendekati Tuhan menurutnya harus konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri. 
Kita harus menangkap “Dia” 
dengan cara sama seperti seorang pemburu menangkap buruannya. 
Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap. 
Ia mencari manusia seperti manusia mencari Dia. 

Dengan menemukan Tuhan seseorang tidak boleh membiarkan dirinya 
terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. 
Sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, 
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan 
kemungkinan ini tidak terbatas. 

Dengan menyerap Tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego. 
Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ketingkat wakil Tuhan.

Ego mutlak tidaklah statis seperti alam semesta, 
sebagaimana dalam pandangan Aristoteles. 

Dia adalah jiwa kreatif, kemauan dinamis atau tenaga hidup 
dan karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya, 
maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. 
Dia juga tidak terbatas. 
Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, 
karena ketidak terbatasan ruang tidak bersifat mutlak. 

Ketidak terbatasan Nya bersifat intensif bukan ekstensif 
dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang tidak terbatas. 
Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas 
mempunyai arti bahwa Dia Maha kuasa. 

Dengan demikian Ego terakhir adalah 
tenaga yang mahakuasa, gerak kedepan yang merdeka, suatu gerak kreatif. 

C. Sikap Keberagamaan Iqbal Dan Pandangannya terhadap Ideologi Barat

Sikap keberagamaan Iqbal penting kiranya sekilas disebutkan dalam makalah ini, 
guna mengetahui bagaimana aplikasi dari pemikiran ketuhanan Iqbal 
dalam menghadapi persoalan global umat manusia di berbagai belahan dunia.

a. Pandanganya terhadap Nasionalisme 

Sebagai anak dari bangsa yang terjajah, 
pemikiran Iqbal terhadap gagasan dan ideologi Barat 
mengalami perkembangan. 
Pada masa awal kehidupanya 
ia sangat mendukung perjuangan orang-orang Hindu dan Muslim 
untuk menentang dan menuntut kemerdekaan dari Inggris. 

Adapun pandangan Iqbal tentang Ideologi Barat 
Pada awalnya ia simpati terhadap nasionalisme India 
dan mengiginkan penyatuan komunitas ini ke dalam sebuah negara. 

Namun setelah menempuh pendidikan di Eropa, 
Iqbal mengubah pandangannya dan menolak nasionalisme 
yang semula dikumandangkannya itu. 

Karena pada kenyataannya kerjasama antara kedua golongan ini adalah semu belaka. 

Mayoritas orang hindu dalam semangat nasionalismenya 
membawa konsep Hinduisme yang bertentangan dengan Islam.

Ide Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa 
dan oleh karena itu memerlukan satu negara tersendiri 
tidaklah bertentangan dengan pendiriannya 
tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam. 
Ia bukanlah seorang nasionalis dalam arti sempit. 
Ia sebenarnya adalah seorang Pan Islamis. 

Ketika di Eropa 
ia melihat bagaimana nasionalisme memainkan peranan dalam perluasan nafsu imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap Dunia Timur (Islam). 
Iqbal juga menyaksikan 
bagaimana kekuatan-kekuatan Eropa memecah-belah Dunia Islam, 
terutama di Timur Tengah dan di Afrika Utara. 
Mereka memecah-belah kerajaan Turki Usmani yang sudah lemah 
menjadi negara-negara kecil atas nama nasionalisme. 

b. Pandangannya terhadap Demokrasi

Pandangannya terhadap demokrasi bertitik tolak dari keyakinannya, pada ajaran Islam. 

Namun penilaiannya terhadap demokrasi tidak dapat dipisahkan 
dari praktek-praktek yang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. 

Iqbal menilai kelemahan dalam demokrasi Barat 
sedikitnya ada tiga kelemahan. 

Pertama, 
demokrasi dimanfaatkan oleh politisi-politisi professional Eropa 
untuk memanipulasi dan memaksakan kehendak mereka. 
Partai politik yang berkuasa, dengan mengatas namakan etika politik, 
memaksa rakyat untuk mengikuti mereka. 
Meskipun bertentangan dengan keyakinan dan hati nurani rakyatnya. 

Dalam kecamannya, 
Iqbal menegaskan bahwa para politisi 
yang mengatas namakan demokrasi tersebut adalah 
orang-orang yang sangat jahat. 
Sehingga dengan kejahatannya itu, 
kehadiran syetan tak diperlukan lagi didunia ini. 

Kedua, 
praktek-praktek demokrasi modren 
ternyata telah mengakibatkan korupsi moral dalam prilaku politik. 
Banyak penyimpangan moral yang dilegitimasi 
atas dasar prinsip-prinsip demokrasi liberal. 

Demokrasi yang merupakan prinsip kekuasaan 
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dalam pandangan Iqbal, 
telah mengabaikan nilai-nilai agama. 
Parlemen yang merupakan alat 
dapat saja menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan agama, 
kalau saja para anggotanya menghendaki.  

Ketiga, 
demokrasi Eropa, dengan memisahkan agama dari kehidupan politik, 
dijadikan sebagai alat eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lainnya. 

Iqbal menyatakan bahwa demokrasi adalah akar-akar eksploitasi kaum kapitalis. 

Pada prinsipnya Iqbal dapat menerima konsep demokrasi, 
akan tetapi bentuknya yang ideal 
bukanlah seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa . 

Iqbal menawarkan gagasan demokrasi spritual 
yang diilhami dan dipraktikkan oleh generasi sahabat. 

Prinsip-prinsip demokrasi spritual itu adalah:

1. Pemilihan merupakan satu-satunya cara yang tepat 
    untuk mengekspressikan kehendak rakyat. 
    Ekspressi kehendak sebahagian rakyat dianggap batal dan tidak berlaku.

2. Secara de facto, kedaulatan terletak ditangan rakyat.

3. Masyarakat muslim berdasarkan pada kesamaan mutlak para anggotanya.

4. Kepala negara tidak berarti imam tertinggi dalam Islam. 
    Dia bukanlah wakil Tuhan di bumi. 
    Ia harus tunduk pada hukum Tuhan, karena kedudukannya sama di depan hukum.

5. Pemilihan berhak menuntut pengunduran diri kepala negara atau pemecatan    
    bawahannya, jika tingkah laku mereka bertentangan dengan hukum syariat. 

D.  Pandangannya  terhadap Komunisme 

     Pandangan Iqbal tentang komunisme 
     berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat dunia yang disaksikannya saat itu. 

Iqbal melihat penindasan 
yang dilakukan kaum kapitalis borjuis 
terhadap pekerja dan kelas ekonomi lemah. 
Penindasan ini semakin memperbesar jurang perbedaan 
antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin, 
antara borjuis dengan kaum proletar. 

Namun dalam melihat penyebab dan mencarikan solusi 
untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ketidakadilan tersebut, 
Iqbal mendiagnosis bahwa 
kondisi demikian disebabkan oleh 
pemisahan manusia dari nilai-nilai spritual dan agama. 

Manusia teralienasi dari agama 
sehingga mereka menjadi srigala atas yang lain (homo homini lupus). 

Karena, itu Iqbal menawarkan penyembuhan tersebut 
dengan mengembalikan manusia kepada kesadaran ketuhannannya. 

Ini berbeda dengan ajaran komunisme 
yang memandang semuanya dari sudut ekonomi semata 
dan mengajarkan penyembuhannya 
dengan teori pertentangan kelas (class conflict).

Menurut Iqbal,
komunisme tidak memiliki landasan spiritual dan 
tidak mempercayai Tuhan sebagai pencipta. 

Bagi komunisme, 
individu hanyalah instrumen untuk melakukan revolusi kelas proletar. 
Komunisme juga menolak agama 
dan menganggapnya sebagai candu yang membius masyarakat. 

Dalam kritiknya ,
Iqbal menyatakan bahwa 
Karl Marx tidak melihat cahaya kebenaran agama. 
Ia melandasi agamanya hanya pada persamaan perut. 
Inilah keburukan dan kebobrokan komunisme yang dikecam Iqbal. 
Ideologi ini juga tidak mampu membawa manusia 
kepada kebahagiaan hakiki. 


E. Pandangannya tentang Sosialisme 

Terhadap Sosialisme Iqbal mempunyai pandangan yang lain. 
Iqbal menyatakan bahwa antara sosialisme dan Islam 
tidak terdapat perbedaan yang tajam. 

Iqbal melihat bahwa konsep Islam 
tentang egalitarianisme dan semangat anti rasialisme sejalan 
dengan teori-teori kaum sosialis. 
Namun Iqbal dengan tegas menolak 
sosialisme-atheisme sebagaimana diterapkan di Rusia. 

Dalam sebuah tulisannya Iqbal mengungkapkan bahwa 
situasi negatif orang Rusia tidak akan bertahan lama. 
Sebab, 
tiada satu sistem pun dalam masyarakat 
yang mampu bertahan dan langgeng 
bila dibangun diatas dasar yang tidak berketuhanan. 

F. Konsepsi Iqbal Tentang Khudi 

     1.  Konsep ego (khudi)

Perkataan Khudi adalah berasal dari bahasa Persia, kata Khud berarti diri, (self), 
sedang Khudi berarti sifat mementingkan diri sendiri, arogansi, egoisme,  

Menurut pengertian ini jelaslah dilihat bahwa Khudi tersebut adalah suatu kekuatan. 

Yang dimaksud Iqbal dengan Khudi adalah 
sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan “sebuah aku yang unik”, 
kreatif dan senantiasa bergerak maju. 

Khudi adalah bermakna 
Self-Reliance (Kepercayaan pada diri sendiri), 
Self-Resferct (Rasa harga diri), 
Self Confidence (yakni percaya diri ), 
Self Prevervation (penjagaan diri sendiri), bahkan 
Self Assertion (penegasan diri). 

Bila yang demikian itu perlu 
untuk kepentingan kehidupan dan kekuasaan 
agar tetap berpegang 
pada tujuan kebenaran, keadilan kewajiban dan lain-lain, 
bahkan dalam menghadapi kematian. 

Iqbal memiliki beberapa gagasan menarik sekitar pemikiran dan falsafah Islam. 

Salah satu gagasannya yang terkenal adalah penjelasannya tentang konsep ego (khudi). 

Menurut Iqbal, 
ego adalah pendorong daya kreatifitas pada setiap manusia. 
Setiap manusia memiliki ego yang berbeda. 
Karenanya , 
hasil kreasi yang mereka ciptakan juga tidak sama . 

Tuhan menurut Iqbal memberikan kebebasan penuh kepada setiap ego itu. 
Untuk berkreasi dan berekspressi. 
Iqbal sendiri menggambarkan Tuhan sebagai ego absolut 
yang paling berdaya kreatifitas sempurna. 

Menurut Iqbal, 
sebagai mana dikutip Hasyimsyah Nasution dalam bukunya:
 “Filsafat Islam” bahwa 
khudi secara harfiah Ego atau Self atau Individualitas
merupakan sesuatu yang riil atau yang nyata, 
adalah pusat atau landasan dari semua kehidupan, 
merupakan suatu iradah kreatip yang terarah secara rasional. 

Arti terarah secara rasional, 
menjelaskan hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, 
melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, 
suatu kegiatan yang sintesis yang melingkupi 
serta memusatkan kecendrungan-kecendrungan yang bercerai-berai 
dari organisme yang hidup kearah satu tujuan konstruktif.  

Khudi  dalam bahasa Persia berarti pribadi. 
Yaitu pribadi-pribadi yang sempurna. 
Sedangkan yang dimaksud Iqbal di sini adalah 
usaha menjadikan diri Individu yang selalu diliputi sifat-sifat Tuhan yang sempurna. 

Ini terlihat ketika Iqbal melukiskan 
kejayaan pribadi dan jalan hidup Nabi Muhammad saw. 

Yang mana dalam tafsir sajaknya bahwa untuk perkembangan sewajarnya 
dari setiap muslim dirindukannya suatu masyarakat menurut acuan Islam, 
dan setiap muslim yang berusaha akan menjadikan dirinya individu yang sempurna 
turut membina kerajaan Islam dibumi ini.

Syarat-syarat untuk masyarakat Islam itu 
dilukiskan Iqbal dalam kumpulan syairnya yang kedua, yakni:
Rumuz -i- bekhudi, yang diterbitkan sesudah Asrar -i-khudi. 

Dalam buku kumpulan syair Rumuz -i- bekhudi itu 
Iqbal melukiskan bahwa 
orang yang dapat menafikan dirinya sendiri dalam masyarakat, 
membayangkan yang silam dan yang akan datang 
sebagai suatu satuan didalam cermin, 
dapatlah dia mengatasi sang ajal dan 
masuk kedalam hidup keIslaman 
yang bersifat abadi dan tidak terbatas. 

Diantara acara-acara  terpenting yang didendangkan Iqbal ialah: 
asal-usul masyarakat, 
Kemimpinan Tuhan pada manusia dengan perantaraan para nabi. 
Pembentukan pusat -pusat hidup kolektif dan 
nilai sejarah sebagai faktor penting 
untuk menetapkan tanda tersendiri dalam diri suatu bangsa.

Khudi yakni ego yang hendak menangkap Ego yang besar 
oleh kian membulatnya dirinya sendiri. 

Pribadi bukanlah lagi ada dalam waktu, 
tetapi waktu sendiri sudah menjadi dinamisme pribadi. 
Pribadi atau khudi itu ialah action hidup dan hidup ialah pribadi.

Tuhan menjelmakan sifat-sifatnya bukanlah di alam ini dengan sempurna 
tetapi pada para pribadi sehingga mendekati Tuhan berarti 
menumbuhkan sifat-sifatNya dalam diri, 
yang sebenarnya sesuai dengan hadist Rasullah s.a.w: 
Takhallaqu bi akhlaqi’llah, tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Allah.

Jadi mencari Tuhan 
bukanlah dengan jalan merendah-rendahkan diri atau meminta-minta, 
tetapi dengan himmah tenaga yang berkobar-kobar 
menjelmakan sifat-sifat uluhiyyah (ketuhanan) dalam diri kita 
dan kepada masyarakat ramai. 

Tegasnya mendekati Tuhan ialah 
menyempurnakan diri pribadi insan, memperkuat iradah atau kemauannya.

Maka menurut Iqbal pribadi sejati adalah 
bukan yang menguasai alam benda 
tetapi pribadi yang dilingkupi Tuhan kedalam khudinya sendiri. 

Maka sifat dan pikiran pribadi atau khudi ialah 
tidak terikat oleh ruang sebagaimana halnya dengan tubuh :

1.    Hanyalah lanjutan masa mengenai kepribadian.
2.    Kepribadian pada asasnya tersendiri dan unik.

Sedangkan cita tentang pribadi itu 
memberikan kepada kita ukuran yang sebenarnya, 
diselesaikannya soal buruk dan baik. 

Hal-hal yang memperkuat pribadi bagi Iqbal Ialah:
1.    ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
2.    Faqr yang artinya sikap tak peduli 
       terhadap apa yang disediakan oleh dunia ini, 
       sebab bercita-cita yang lebih agung lagi.
3.    Keberanian
4.    Sikap tenggang rasa (tolerance)
5.    Kasb-i-halal yang sebaik-baiknya terjalin dengan hidup 
       dengan usaha dan nafkah yang sah.
6.   Mengerjakan kerja kreatif dan asli.  

Jadi menurut Iqbal 
bahwa pribadi sempurna adalah 
pribadi yang dapat mencontoh sifat- sifat Tuhan dalam egonya. 
Ego yang sempurna tersebut berihktiar secara dinamis 
sedikitnya sesuai dengan enam kreatifitas diatas. 

               
BAB : III
PENUTUP

Bagi Iqbal dalam hal mendekatkan pemahaman tentang Tuhan 
dibagi menjadi tiga Fase. 

Dan Fase-Fase tersebut memiliki perbedaan corak yang begitu kentara. 
Adapun Fase-fase tersebut adalah: 

Pertama, 
Tuhan bagi Iqbal adalah zat yang indah 
yang terwujud didalam segala bidang di alam semesta ini. 

Kedua, 
Tuhan bagi Iqbal tidak lagi menjelmakan diri-Nya di alam semesta, 
tetapi pada pribadi insani tertentu. 

Dan ketiga, 
Tuhan menurut Iqbal adalah Ego mutlak yang gerakan-Nya meliputi segala hal.

Sedangkan konsep Iqbal tentang Tuhan 
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Filsafat Khudi-nya. 

Khudi merupakan suatu kebulatan yang jelas dan mempunyai arti, 
yang menjadi sentral dari segala kehidupan manusia. 

Hidup manusia ditentukan oleh aktifitas khudi-nya, 
aktifitas Khudi-nya yang selalu mengarah kepada kesempurnaan, 
sewaktu-waktu akan mencapai perkembangan yang tertinggi, 
yakni kesempurnaan 
dimana pada waktu itu insan akan merangkum samudra ketuhanan.

Iqbal menafsirkan manusia yang utama adalah 
insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari  sifat-sifat Tuhan, 
sehingga sebagai manusia sempurna dia menjadi khalifah di muka bumi. 

Dalam sebuah puisinya ia mengatakan:

    Tiap atom sangat mengharap kemuliaan
    Mendamba buah diri dari syahadat seisi bumi 
    Hatimu adalah lilinmu
    Dirimu sendiri adalah seluruh cahaya yang kau dambakan
    Kaulah satu-satunya kebenaran didua dunia ini, 
    yang lain tidak 
    Ilusi laksana sirih  
    Dari gurun memasukkan keraguan pada banyak orang 
    Jangan mengeluh bila kaki telanjangmu  berdarah.

Penalaran dan apresiasi terhadap puisinya, 
apalagi puisi dilukiskan dalam bahasa simbolik, 
yang merupakan bagian paling besar karyanya 
tentu dapat melahirkan inspirasi baru 
tentang bagaimana sesungguhnya yang dimaksudkan Iqbal 
tentang Tuhan dan khudi dalam filsafatnya.      


DAFTAR PUSTAKA

Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam / Moderen  Di India Dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998 

Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti, 1997 

Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan,  Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995

Hasan Enver Ishrat, Metafisika Iqbal Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Iqbal, Moh.,1976, Asrar-I Khudi:Rahasi-Rahasia Pribadi, Terj.Bahrum Rangkuti Jakarta: Bulan Bintang.  

Syarif, M.M, Iqbal Tentang Tuhan dan Khudi, Jakarta: Mizan, 1984

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999 

Syafi’I A., Pete Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995 

Saiyidan, Filsafat Politik Aristoteles,  Jakarta: Rajawali, 1988

Diposkan oleh hadifauzan di 7:57:00 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar