MUHAMMAD IQBAL, FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI
BAB I
PENDAHULUAN
Mohammad Iqbal adalah seorang penyair dan filosof.
Iqbal adalah filosof terakhir abad ke-20 yang muncul dari kalangan sunni.
Syair dan falsafahnya cenderung bersifat tasawuf.
Hal ini dimungkinkan karena latar belakang keluarganya yang taat beragama.
Dijelaskan juga bahwa nenek moyang Iqbal telah beragama Islam sejak 3 abad
sebelum kelahirannya.
Ditambah lagi pendalaman dan penghayatan beliau dalam bidang tasawuf
ketika ia hendak meraih gelar doktor (Ph.D)
dengan judul disertasinya “TheDevelopment of Metaphysics In Persia”.
Pada masa mudanya Iqbal sangat menyukai karya sastra.
Hal inilah yang mendorongnya pergi ke Lahore untuk mempelajari sastra Arab dan Inggris di Government college, hingga meraih gelar Master of Arts (M.A).
. Di kota ini ia berkenalan dengan seorang orientalis Sir Thomas Arnold
yang mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris.
Setelah dua tahun di Inggris , Iqbal memilih Munich, Jerman
untuk melanjutkan program doktor di bidang tasawuf.
Ia mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude.
Seperti para pembaharu lain,
Muhammad Iqbal pun berpendapat bahwa kemunduran umat Islam
selama hampir lima abad terakhir disebabkan oleh kebekuan
dalam perkembangan pemikiran.
Hukum dalam Islam telah sampai pada keadaan statis.
Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa
rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah
akan membawa kepada disintegrasi dan
dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam
sebagai suatu kesatuan politik.
Untuk memelihara kesatuan itu kaum konservatif tersebut
lari ke syariat sebagai alat yang ampuh untuk membuat ummat tunduk dan diam.
Padahal menurut Iqbal,
hukum Islam Bersifat dinamis, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedinamisan hukum Islam,
sesungguhnya, merupakan bahagian dari semangat dinamisme
yang terkandung dalam ajaran Islam.
Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam,
menurutnya sangat mendukung pemakaian akal
untuk memahami mekanisme yang terjadi di alam ini.
Islam menolak konsep lama yang beranggapan bahwa alam bersifat statis.
Penonjolan paham dinamis Islam inilah yang membuat Iqbal
menempati posisi penting dalam pembaharuan Islam.
Dalam syair-syairnya tercermin betapa Iqbal membakar semangat umat Islam
untuk senantiasa bergerak dan maju.
Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta.
Maka Iqbal berseru kepada umat Islam
supaya bangun dan mencipta dunia baru.
Begitu tinggi ia menghargai gerak,
sehingga ia menyebut bahwa
kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang passif/ pemalas.
Berbeda dengan pembaharu lain, ia menampilkan sosok dirinya yang khas.
Bagi rakyat Pakistan Iqbal adalah tokoh besar yang sangat berjasa
bagi keberadaan negara itu.
Mereka menghormati Iqbal bukan hanya sebagai pemikir politik
dan penggagas negara Pakistan, tapi juga sebagai intlektual.
Untuk menghormati jasa-jasanya pemerintah Pakistan mendirikan “Iqbal Academy” sebagai lembaga pengkajian pemikirannya.
Sebuah jurnal ilmiah yang diberi nama “Iqbal Review” juga menunjukkan
betapa ia memiliki tempat istimewa dihati para ilmuan.
Sebagai seorang tokoh pembaharu,
pemikir dan politikus maka banyak hal yang dapat dikaji dari dirinya.
Khusus dalam makalah ini maka yang akan dikaji adalah
tentang pemikirannya dengan judul “ Muhammad Iqbal :
Filsafat tentang Tuhan dan Khudi”.
BAB : II
PEMBAHASAN
MUHAMMAD IQBAL : FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI
A. Riwayat Hidup Iqbal
Iqbal lahir di Sialkot (Punjab) tanggal 22 Pebruari 1873.
Para ahli berbeda pendapat dalam mencatat tanggal dan tahun kelahirannya.
Pendapat pertama dari Luce claude-Maitre bukunya:
Pengantar kepemikiran Iqbal, terjemahaan DJohan Effendi, Bandung: Mizan,1983) h.13. Pendapat kedua dari W.C. Smith,
dalam bukunya: Modern Islam In India (Lahore:Usha Publication, 1976) h.116,
menyebut tahun 1876, Sementara pendapat ketiga, J. Marek,
seperti yang dikutip Annemarie Schimmel dalam bukunya gabriel’s Win (Leiden: E.J. Brill,1963), h.35, mencatat 9 Nopember 1877.
Pendapat inilah dianggap paling kuat dan diakui secara resmi oleh pemerintah Pakistan.
Nenek moyangnya berasal dari Kashmir dan telah memeluk Islam kira-kira tiga abad sebelum beliau lahir.
Sesudah menamatkan pendidikan Sekolah Rendah dan menengah di Sialkot
maka ia pergi ke Lahore pada tahun 1895 untuk melanjutkan studinya di Government college.
Ia berguru kepada seorang syekh yang telah mashur yakni Syamsul Ulema Mir `Hasan. sampai meraih gelar Master of Art (M.A) dalam bidang filsafat pada tahun 1899.
Selanjutnya ia meneruskan studinya ke Eropa. Setelah dua tahun di Inggris ,
Iqbal memilih Munich, Jerman untuk melanjutkan program doktor di bidang tasawuf, dan meraih gelar Doctor (Ph.D) pada tahun 1908.
Adapun judul disertasi adalah: “The Development of Metaphysics In Persia.
Di Eropalah pemikirannya berkembang. Iqbal wafat tanggal 18 Maret 1938,
dalam usia 62 tahun.
B. Pemikiran Iqbal Tentang Tuhan
Dalam memahami konsep tentang Tuhan,
Iqbal mengalami tiga tahap perkembangan pemikiran.
Pertama, tahap ini sekitar tahun 1901-1908.
Iqbal berpendapat bahwa Tuhan sebagai keindahan abadi.
Iqbal memiliki pemahaman seperti ini karena terpengaruh dengan konsepsi mistik
yang berkembang di Persia.
Pemikiran Iqbal yang demikian juga terpengaruh dengan Plotinus
yang mengembangkan pemikiran Plato,
yang menganggap Tuhan sebagai keindahan abadi.
Kedua, Dalam tahapan ini (1908-1920),
Iqbal mulai menyangsikan tentang pikirannya,
pertama yang mengatakan bahwa Tuhan sebagai keindahan abadi.
Karena sesuai dengan ilmu yang diperolehnya dari seseorang
yang bernama Jalaluddin Rumi.
Sehingga tahapan ini berkembang kepada anggapan bahwa Tuhan adalah
asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan (The ultimate spiritual basis of a life).
Dan tahapan ini merupakan tahapan pertumbuhan
yang terjadi pada diri Iqbal dalam konsepsi tentang Tuhan.
Ketiga: pada tahap ini (1920-1938),
merupakan tahap kematangan Iqbal dalam memahami tentang ketuhanan.
Karena pada tahap ini Iqbal menyakini Tuhan adalah
“Hakikat sebagai suatu keseluruhan”,
dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual,
dalam arti suatu individu dan suatu ego.
Berkenaan dengan ayat Al-Qur’an
surat An-Nur ayat: 35 yang berkaitan dengan Tuhan,
maka Iqbal
menolak konsepsi tentang Metafor cahaya pada akhir surat tersebut,
karena menurut Iqbal
Metafor ‘cahaya’ yang dikenakan pada konsepsi Tuhan,
harus dipakai untuk menyatakan kemutlakan Tuhan,
bukan kemahahadiran Tuhan.
Walaupun ada keterkaitan pendapat Iqbal antara cahaya dengan Tuhan,
tetapi ia beranggapan Tuhan adalah sesuatu yang mutlak.
Dan cahaya tersebut merupakan,
sebagai pendekatan (Approach) mirip dengan yang mutlak.
Dibalik itu juga ada hal yang menarik dalam pemikiran Iqbal,
tentang Tuhan yaitu masalah realitas akhir
yang berhubungan dengan Imanensi dan Transendensi.
Dalam hal ini,
Iqbal lebih menekankannya Transenden-nya.
Ego Akhir daripada imanensi-nya .
Karena menurut Iqbal: Imanensi berhubungan dengan pola pikir Pantheistik.
Hal tersebut secara langsung mendorong orang untuk berpikir bahwa
diri manusia tidak eksis dan tidak nyata.
Sementara Transcendence lebih memuaskan kesadaran keagamaan,
yang memiliki beberapa tuntutan, yaitu:
yang pertama:
realita akhir harus digambarkan sebagai suatu yang Transenden.
Yang kedua:
Realitas akhir tersebut mesti dianggap sebagai kepribadian.
Lebih detilnya kepribadian Ego akhirnya mencakup,
Mahakreatif, Mahatahu, Mahakuasa dan Mahaabadi.
Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase pertama ini tidak asli. Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita apa yang ia terima
sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah.
Ia menjadikan ide keTuhanan ini
sebagai bahan puisi-puisinya dengan berbagai cara baru..
Tuhan sang hakekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi.
Ia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar.
Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi dan keindahan disusutkan
menjadi suatu sifat Tuhan.
Menjadi sebutan yang sekarang mencakup
nilai-nilai estetis dan nilai-nilai moral sekaligus.
Disamping keindahan Tuhan,
pada tahap ini
keesaan tampak menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi
karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan
pada individu, bangsa-bangsa dan manusia
sebagai keseluruhan kekuatan yang mengikat,
menciptakan hasrat yang tak kunjung padam,
harapan dan aspirasi dan
menghilangkan semua rasa gentar dan takut
kepada yang bukan Tuhan.
Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang indera
melainkan dalam pribadi terbatas, dan
karena itu usaha mendekatkan diri padanya
hanya akan dimungkinkan lewat pribadi.
Dengan demikian mencari Tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri.
Demikian pula pengetahuan tentang Tuhan
tidak bisa diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata-mata
karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan.
Mendekati Tuhan menurutnya harus konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri.
Kita harus menangkap “Dia”
dengan cara sama seperti seorang pemburu menangkap buruannya.
Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap.
Ia mencari manusia seperti manusia mencari Dia.
Dengan menemukan Tuhan seseorang tidak boleh membiarkan dirinya
terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada.
Sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya,
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan
kemungkinan ini tidak terbatas.
Dengan menyerap Tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego.
Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ketingkat wakil Tuhan.
Ego mutlak tidaklah statis seperti alam semesta,
sebagaimana dalam pandangan Aristoteles.
Dia adalah jiwa kreatif, kemauan dinamis atau tenaga hidup
dan karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya,
maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas.
Dia juga tidak terbatas.
Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan,
karena ketidak terbatasan ruang tidak bersifat mutlak.
Ketidak terbatasan Nya bersifat intensif bukan ekstensif
dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang tidak terbatas.
Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas
mempunyai arti bahwa Dia Maha kuasa.
Dengan demikian Ego terakhir adalah
tenaga yang mahakuasa, gerak kedepan yang merdeka, suatu gerak kreatif.
C. Sikap Keberagamaan Iqbal Dan Pandangannya terhadap Ideologi Barat
Sikap keberagamaan Iqbal penting kiranya sekilas disebutkan dalam makalah ini,
guna mengetahui bagaimana aplikasi dari pemikiran ketuhanan Iqbal
dalam menghadapi persoalan global umat manusia di berbagai belahan dunia.
a. Pandanganya terhadap Nasionalisme
Sebagai anak dari bangsa yang terjajah,
pemikiran Iqbal terhadap gagasan dan ideologi Barat
mengalami perkembangan.
Pada masa awal kehidupanya
ia sangat mendukung perjuangan orang-orang Hindu dan Muslim
untuk menentang dan menuntut kemerdekaan dari Inggris.
Adapun pandangan Iqbal tentang Ideologi Barat
Pada awalnya ia simpati terhadap nasionalisme India
dan mengiginkan penyatuan komunitas ini ke dalam sebuah negara.
Namun setelah menempuh pendidikan di Eropa,
Iqbal mengubah pandangannya dan menolak nasionalisme
yang semula dikumandangkannya itu.
Karena pada kenyataannya kerjasama antara kedua golongan ini adalah semu belaka.
Mayoritas orang hindu dalam semangat nasionalismenya
membawa konsep Hinduisme yang bertentangan dengan Islam.
Ide Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa
dan oleh karena itu memerlukan satu negara tersendiri
tidaklah bertentangan dengan pendiriannya
tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam.
Ia bukanlah seorang nasionalis dalam arti sempit.
Ia sebenarnya adalah seorang Pan Islamis.
Ketika di Eropa
ia melihat bagaimana nasionalisme memainkan peranan dalam perluasan nafsu imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap Dunia Timur (Islam).
Iqbal juga menyaksikan
bagaimana kekuatan-kekuatan Eropa memecah-belah Dunia Islam,
terutama di Timur Tengah dan di Afrika Utara.
Mereka memecah-belah kerajaan Turki Usmani yang sudah lemah
menjadi negara-negara kecil atas nama nasionalisme.
b. Pandangannya terhadap Demokrasi
Pandangannya terhadap demokrasi bertitik tolak dari keyakinannya, pada ajaran Islam.
Namun penilaiannya terhadap demokrasi tidak dapat dipisahkan
dari praktek-praktek yang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.
Iqbal menilai kelemahan dalam demokrasi Barat
sedikitnya ada tiga kelemahan.
Pertama,
demokrasi dimanfaatkan oleh politisi-politisi professional Eropa
untuk memanipulasi dan memaksakan kehendak mereka.
Partai politik yang berkuasa, dengan mengatas namakan etika politik,
memaksa rakyat untuk mengikuti mereka.
Meskipun bertentangan dengan keyakinan dan hati nurani rakyatnya.
Dalam kecamannya,
Iqbal menegaskan bahwa para politisi
yang mengatas namakan demokrasi tersebut adalah
orang-orang yang sangat jahat.
Sehingga dengan kejahatannya itu,
kehadiran syetan tak diperlukan lagi didunia ini.
Kedua,
praktek-praktek demokrasi modren
ternyata telah mengakibatkan korupsi moral dalam prilaku politik.
Banyak penyimpangan moral yang dilegitimasi
atas dasar prinsip-prinsip demokrasi liberal.
Demokrasi yang merupakan prinsip kekuasaan
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dalam pandangan Iqbal,
telah mengabaikan nilai-nilai agama.
Parlemen yang merupakan alat
dapat saja menetapkan suatu hukum yang bertentangan dengan agama,
kalau saja para anggotanya menghendaki.
Ketiga,
demokrasi Eropa, dengan memisahkan agama dari kehidupan politik,
dijadikan sebagai alat eksploitasi oleh manusia terhadap manusia lainnya.
Iqbal menyatakan bahwa demokrasi adalah akar-akar eksploitasi kaum kapitalis.
Pada prinsipnya Iqbal dapat menerima konsep demokrasi,
akan tetapi bentuknya yang ideal
bukanlah seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa .
Iqbal menawarkan gagasan demokrasi spritual
yang diilhami dan dipraktikkan oleh generasi sahabat.
Prinsip-prinsip demokrasi spritual itu adalah:
1. Pemilihan merupakan satu-satunya cara yang tepat
untuk mengekspressikan kehendak rakyat.
Ekspressi kehendak sebahagian rakyat dianggap batal dan tidak berlaku.
2. Secara de facto, kedaulatan terletak ditangan rakyat.
3. Masyarakat muslim berdasarkan pada kesamaan mutlak para anggotanya.
4. Kepala negara tidak berarti imam tertinggi dalam Islam.
Dia bukanlah wakil Tuhan di bumi.
Ia harus tunduk pada hukum Tuhan, karena kedudukannya sama di depan hukum.
5. Pemilihan berhak menuntut pengunduran diri kepala negara atau pemecatan
bawahannya, jika tingkah laku mereka bertentangan dengan hukum syariat.
D. Pandangannya terhadap Komunisme
Pandangan Iqbal tentang komunisme
berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat dunia yang disaksikannya saat itu.
Iqbal melihat penindasan
yang dilakukan kaum kapitalis borjuis
terhadap pekerja dan kelas ekonomi lemah.
Penindasan ini semakin memperbesar jurang perbedaan
antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin,
antara borjuis dengan kaum proletar.
Namun dalam melihat penyebab dan mencarikan solusi
untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ketidakadilan tersebut,
Iqbal mendiagnosis bahwa
kondisi demikian disebabkan oleh
pemisahan manusia dari nilai-nilai spritual dan agama.
Manusia teralienasi dari agama
sehingga mereka menjadi srigala atas yang lain (homo homini lupus).
Karena, itu Iqbal menawarkan penyembuhan tersebut
dengan mengembalikan manusia kepada kesadaran ketuhannannya.
Ini berbeda dengan ajaran komunisme
yang memandang semuanya dari sudut ekonomi semata
dan mengajarkan penyembuhannya
dengan teori pertentangan kelas (class conflict).
Menurut Iqbal,
komunisme tidak memiliki landasan spiritual dan
tidak mempercayai Tuhan sebagai pencipta.
Bagi komunisme,
individu hanyalah instrumen untuk melakukan revolusi kelas proletar.
Komunisme juga menolak agama
dan menganggapnya sebagai candu yang membius masyarakat.
Dalam kritiknya ,
Iqbal menyatakan bahwa
Karl Marx tidak melihat cahaya kebenaran agama.
Ia melandasi agamanya hanya pada persamaan perut.
Inilah keburukan dan kebobrokan komunisme yang dikecam Iqbal.
Ideologi ini juga tidak mampu membawa manusia
kepada kebahagiaan hakiki.
E. Pandangannya tentang Sosialisme
Terhadap Sosialisme Iqbal mempunyai pandangan yang lain.
Iqbal menyatakan bahwa antara sosialisme dan Islam
tidak terdapat perbedaan yang tajam.
Iqbal melihat bahwa konsep Islam
tentang egalitarianisme dan semangat anti rasialisme sejalan
dengan teori-teori kaum sosialis.
Namun Iqbal dengan tegas menolak
sosialisme-atheisme sebagaimana diterapkan di Rusia.
Dalam sebuah tulisannya Iqbal mengungkapkan bahwa
situasi negatif orang Rusia tidak akan bertahan lama.
Sebab,
tiada satu sistem pun dalam masyarakat
yang mampu bertahan dan langgeng
bila dibangun diatas dasar yang tidak berketuhanan.
F. Konsepsi Iqbal Tentang Khudi
1. Konsep ego (khudi)
Perkataan Khudi adalah berasal dari bahasa Persia, kata Khud berarti diri, (self),
sedang Khudi berarti sifat mementingkan diri sendiri, arogansi, egoisme,
Menurut pengertian ini jelaslah dilihat bahwa Khudi tersebut adalah suatu kekuatan.
Yang dimaksud Iqbal dengan Khudi adalah
sebuah ungkapan yang dapat menggambarkan “sebuah aku yang unik”,
kreatif dan senantiasa bergerak maju.
Khudi adalah bermakna
Self-Reliance (Kepercayaan pada diri sendiri),
Self-Resferct (Rasa harga diri),
Self Confidence (yakni percaya diri ),
Self Prevervation (penjagaan diri sendiri), bahkan
Self Assertion (penegasan diri).
Bila yang demikian itu perlu
untuk kepentingan kehidupan dan kekuasaan
agar tetap berpegang
pada tujuan kebenaran, keadilan kewajiban dan lain-lain,
bahkan dalam menghadapi kematian.
Iqbal memiliki beberapa gagasan menarik sekitar pemikiran dan falsafah Islam.
Salah satu gagasannya yang terkenal adalah penjelasannya tentang konsep ego (khudi).
Menurut Iqbal,
ego adalah pendorong daya kreatifitas pada setiap manusia.
Setiap manusia memiliki ego yang berbeda.
Karenanya ,
hasil kreasi yang mereka ciptakan juga tidak sama .
Tuhan menurut Iqbal memberikan kebebasan penuh kepada setiap ego itu.
Untuk berkreasi dan berekspressi.
Iqbal sendiri menggambarkan Tuhan sebagai ego absolut
yang paling berdaya kreatifitas sempurna.
Menurut Iqbal,
sebagai mana dikutip Hasyimsyah Nasution dalam bukunya:
“Filsafat Islam” bahwa
khudi secara harfiah Ego atau Self atau Individualitas
merupakan sesuatu yang riil atau yang nyata,
adalah pusat atau landasan dari semua kehidupan,
merupakan suatu iradah kreatip yang terarah secara rasional.
Arti terarah secara rasional,
menjelaskan hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk,
melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur,
suatu kegiatan yang sintesis yang melingkupi
serta memusatkan kecendrungan-kecendrungan yang bercerai-berai
dari organisme yang hidup kearah satu tujuan konstruktif.
Khudi dalam bahasa Persia berarti pribadi.
Yaitu pribadi-pribadi yang sempurna.
Sedangkan yang dimaksud Iqbal di sini adalah
usaha menjadikan diri Individu yang selalu diliputi sifat-sifat Tuhan yang sempurna.
Ini terlihat ketika Iqbal melukiskan
kejayaan pribadi dan jalan hidup Nabi Muhammad saw.
Yang mana dalam tafsir sajaknya bahwa untuk perkembangan sewajarnya
dari setiap muslim dirindukannya suatu masyarakat menurut acuan Islam,
dan setiap muslim yang berusaha akan menjadikan dirinya individu yang sempurna
turut membina kerajaan Islam dibumi ini.
Syarat-syarat untuk masyarakat Islam itu
dilukiskan Iqbal dalam kumpulan syairnya yang kedua, yakni:
Rumuz -i- bekhudi, yang diterbitkan sesudah Asrar -i-khudi.
Dalam buku kumpulan syair Rumuz -i- bekhudi itu
Iqbal melukiskan bahwa
orang yang dapat menafikan dirinya sendiri dalam masyarakat,
membayangkan yang silam dan yang akan datang
sebagai suatu satuan didalam cermin,
dapatlah dia mengatasi sang ajal dan
masuk kedalam hidup keIslaman
yang bersifat abadi dan tidak terbatas.
Diantara acara-acara terpenting yang didendangkan Iqbal ialah:
asal-usul masyarakat,
Kemimpinan Tuhan pada manusia dengan perantaraan para nabi.
Pembentukan pusat -pusat hidup kolektif dan
nilai sejarah sebagai faktor penting
untuk menetapkan tanda tersendiri dalam diri suatu bangsa.
Khudi yakni ego yang hendak menangkap Ego yang besar
oleh kian membulatnya dirinya sendiri.
Pribadi bukanlah lagi ada dalam waktu,
tetapi waktu sendiri sudah menjadi dinamisme pribadi.
Pribadi atau khudi itu ialah action hidup dan hidup ialah pribadi.
Tuhan menjelmakan sifat-sifatnya bukanlah di alam ini dengan sempurna
tetapi pada para pribadi sehingga mendekati Tuhan berarti
menumbuhkan sifat-sifatNya dalam diri,
yang sebenarnya sesuai dengan hadist Rasullah s.a.w:
Takhallaqu bi akhlaqi’llah, tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Allah.
Jadi mencari Tuhan
bukanlah dengan jalan merendah-rendahkan diri atau meminta-minta,
tetapi dengan himmah tenaga yang berkobar-kobar
menjelmakan sifat-sifat uluhiyyah (ketuhanan) dalam diri kita
dan kepada masyarakat ramai.
Tegasnya mendekati Tuhan ialah
menyempurnakan diri pribadi insan, memperkuat iradah atau kemauannya.
Maka menurut Iqbal pribadi sejati adalah
bukan yang menguasai alam benda
tetapi pribadi yang dilingkupi Tuhan kedalam khudinya sendiri.
Maka sifat dan pikiran pribadi atau khudi ialah
tidak terikat oleh ruang sebagaimana halnya dengan tubuh :
1. Hanyalah lanjutan masa mengenai kepribadian.
2. Kepribadian pada asasnya tersendiri dan unik.
Sedangkan cita tentang pribadi itu
memberikan kepada kita ukuran yang sebenarnya,
diselesaikannya soal buruk dan baik.
Hal-hal yang memperkuat pribadi bagi Iqbal Ialah:
1. ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
2. Faqr yang artinya sikap tak peduli
terhadap apa yang disediakan oleh dunia ini,
sebab bercita-cita yang lebih agung lagi.
3. Keberanian
4. Sikap tenggang rasa (tolerance)
5. Kasb-i-halal yang sebaik-baiknya terjalin dengan hidup
dengan usaha dan nafkah yang sah.
6. Mengerjakan kerja kreatif dan asli.
Jadi menurut Iqbal
bahwa pribadi sempurna adalah
pribadi yang dapat mencontoh sifat- sifat Tuhan dalam egonya.
Ego yang sempurna tersebut berihktiar secara dinamis
sedikitnya sesuai dengan enam kreatifitas diatas.
BAB : III
PENUTUP
Bagi Iqbal dalam hal mendekatkan pemahaman tentang Tuhan
dibagi menjadi tiga Fase.
Dan Fase-Fase tersebut memiliki perbedaan corak yang begitu kentara.
Adapun Fase-fase tersebut adalah:
Pertama,
Tuhan bagi Iqbal adalah zat yang indah
yang terwujud didalam segala bidang di alam semesta ini.
Kedua,
Tuhan bagi Iqbal tidak lagi menjelmakan diri-Nya di alam semesta,
tetapi pada pribadi insani tertentu.
Dan ketiga,
Tuhan menurut Iqbal adalah Ego mutlak yang gerakan-Nya meliputi segala hal.
Sedangkan konsep Iqbal tentang Tuhan
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Filsafat Khudi-nya.
Khudi merupakan suatu kebulatan yang jelas dan mempunyai arti,
yang menjadi sentral dari segala kehidupan manusia.
Hidup manusia ditentukan oleh aktifitas khudi-nya,
aktifitas Khudi-nya yang selalu mengarah kepada kesempurnaan,
sewaktu-waktu akan mencapai perkembangan yang tertinggi,
yakni kesempurnaan
dimana pada waktu itu insan akan merangkum samudra ketuhanan.
Iqbal menafsirkan manusia yang utama adalah
insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan,
sehingga sebagai manusia sempurna dia menjadi khalifah di muka bumi.
Dalam sebuah puisinya ia mengatakan:
Tiap atom sangat mengharap kemuliaan
Mendamba buah diri dari syahadat seisi bumi
Hatimu adalah lilinmu
Dirimu sendiri adalah seluruh cahaya yang kau dambakan
Kaulah satu-satunya kebenaran didua dunia ini,
yang lain tidak
Ilusi laksana sirih
Dari gurun memasukkan keraguan pada banyak orang
Jangan mengeluh bila kaki telanjangmu berdarah.
Penalaran dan apresiasi terhadap puisinya,
apalagi puisi dilukiskan dalam bahasa simbolik,
yang merupakan bagian paling besar karyanya
tentu dapat melahirkan inspirasi baru
tentang bagaimana sesungguhnya yang dimaksudkan Iqbal
tentang Tuhan dan khudi dalam filsafatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam / Moderen Di India Dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998
Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti, 1997
Husein Machnun, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995
Hasan Enver Ishrat, Metafisika Iqbal Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Iqbal, Moh.,1976, Asrar-I Khudi:Rahasi-Rahasia Pribadi, Terj.Bahrum Rangkuti Jakarta: Bulan Bintang.
Syarif, M.M, Iqbal Tentang Tuhan dan Khudi, Jakarta: Mizan, 1984
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pertama, 1999
Syafi’I A., Pete Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995
Saiyidan, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali, 1988
Diposkan oleh hadifauzan di 7:57:00 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar