Senin, 07 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

HAKIKAT CINTA.

Apa gunanya menulis tentang cinta ?
Orang harus mengalami cinta agar dapat memahami apa itu cinta .

Seperti dikatakan Rumi, 
ketika harus menjelaskan hakikat cinta , pena patah tak mampu menulis.
Namun demikian , meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep,
menulis tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu
dalam pikiran dan jiwa pembaca, yang pada gilirannya 
dapat membuatnya siap untuk  mengalami  cinta pada beberapa tingkat.

Tapi, cinta sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya 
meskipun amat jernih dan puitis, sementara pada saat yang sama 
kata-kata yang berasal dari orang yang benar-benar telah mencinta 
dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri 
sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa 
semua laki-laki dan perempuan.

Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat 
jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta , 
yang tanpanya hidup menjadi kehilangan nilai , 
karena sekali lagi menurut Rumi,
"Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada".

Mari kita mulai dengan metafisika cinta.

Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan.
Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain 
dan kepada Sumber mereka.
Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi 
dan yang panasnya menghidupkan hati 
dan menganugerahkan kehidupan.
Ia juga badai yang dapat menjungkirkan jiwa  dan 
menumbangkan keberadaan yang biasa.

Cinta adalah kehidupan , tetapi bisa pula kematian.
Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan 
serta gairah penyatuan.

Cinta juga tidak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya.
Bukan hanya dalam Kekristenan, Allah dianggap cinta, 
menurut Al-Qur'an salah satu nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadud.

Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, 
semua keberadaan , yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta.
Allah adalah cahaya langit dan bumi, 
seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur'an.

Kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan 
dan kehatangannya dengan cinta.
Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali
jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi,
karena Allah telah memberi kita kehendak bebas 
untuk mencinta atau tidak.
Namun demikian, 
bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa 
bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau sesamanya 
mereka masih mencintai dirinya sendiri.

Sejauh menyangkut kosmos , cinta dapat dilihat di mana mana 
andai saja kita sadar akan realitasnya.
Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta.
Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta , 
yang kita reduksi menjadi sekedar fisika dan kuantitatif , 
dan kita sebut gravitasi.

Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy,
kesatuan ruhani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi 
dari "l'amor ce move il sole el'  altre stelle, yaitu , 
"cinta menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya".

Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta , demikian pula rahmat,
dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta.
Objek cinta kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta.
Objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi , terutama seseorang,
hingga Allah itu sendiri.

Tetapi seperti yang telah disebutkan, 
pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita.
Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya 
untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan 
mencintai sesamanya.

Al-Qur'an menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini 
dengan menegaskan bahwa Allah akan membawa orang-orang 
"yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya" (Q.S. Al-Maidah (5) ;54.

Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi
mengenai cinta, makin menjelaskan bahwa pertama-tama 
Allah mencintai makhluk-Nya , dan 
sebagai konsekuensi dari cinta-Nya,
kita bisa mencintai-Nya.

Selain itu, seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus ,
cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi 
dari pada cinta kepada sesama, 
yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.

Karena itu , dari sudut pandang manusia , 
ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal
dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi.

Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri
dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk -Nya , termasuk kita,
yang sebagai akibatnya cinta menjalari inti substansi makhluk 
di semua tingkat eksistensi.

Kemudian, 
ada cinta kita kepada Yang Ilahi, dan 
akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, 
yang menurut mereka yang percaya
diturunkan dari cinta kepada Allah.

Pemahaman spiritual tentang cinta ini 
karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, 
cinta palsu yang telah menjadi lumrah
pada kebanyakan laki-laki dan perempuan.

Hanya melalui hierarki ini dan hubungan di antara 
berbagai tingkatannya kekuatan spiritual dan transformatif cinta,
yang bahkan dapat mengubah cinta ego pada dirinya sendiri 
menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya , dapat dimengerti.
Tetapi ada unsur lain yang lebih halus yang melibatkan instrumen 
serta kandungan wahyu yang mengikatkan kita kepada Allah.

Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, 
di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat 
bagi cinta kepada Allah.

Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut :
untuk mencintai Allah, Dia harus terlebih dahulu mencintai kita,
dan Allah tidak mencintai orang yang tidak mencintai Nabi 
atau Rasul-Nya dan risalah-Nya.

Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya , 
cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada 
cinta kepada Allah.

Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros 
untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, 
dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen,
terutama teologi Katolik.

Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda .
Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam 
antara agape dan eros , 
memandang yang kedua sebagai bayangan dan 
juga tangga menuju yang pertama.
Sebaliknya, 
mereka berbicara tentang cinta sejati (al-isyq-al-haqiqi),
yaitu cinta manusia bagi Allah , dan 
cinta metaforis (al-isq-al-majazi),
yang meliputi segala bentuk cinta 
yang kelihatannya berada diluar dan bebas 
dari ikatan cinta antara Allah dan manusia.

Menurut pandangan ini , 
sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta 
bukanlah cinta yang sejati sama sekali melainkan
hanya dalam pengertian kiasan.

Selain itu, 
terdapat satu hierarki lagi dalam cinta yang dimulai 
dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, 
yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta 
pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah.
Namun, bahkan cinta metaforis adalah kilau dari cinta sejati
karena akhirnya hanya ada satu Cinta 
dengan banyak tingkatan manifestasi.

Kaum Sufi, 
juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta.
Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa dan 
berakhir dengan keadaan orang-orang suci.

Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah 
cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri.

Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, 
cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa 
dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta 
yang lebih tinggi.

Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau
benda-benda seperti tanaman ,mineral, dan juga 
artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni.

Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta 
dalam banyak kasus bersifat sementara.
Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia 
sehingga menghalangi dari mengalami 
tingkat cinta yang lebih tinggi,
yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan 
dari hal-hal yang bersifat keduniawiaan.

Kemudian ada cinta untuk realisasi suci , mencakup para nabi, 
kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci,
dan sebagainya, yang datang dari Allah , mengarahkan jiwa kepada-Nya,
asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci.

Akhirnya, ada cinta kepada Allah , yang suci adanya, yang tak terbatas
dan membebaskannya bukannya mengikat 
karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas.

Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, 
dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain 
menjadi mungkin.

Bahkan, segala bentuk cinta merupakan pantulan ,
meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.

Dari sudut pandang spiritual , 
semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif , 
dan masing-masing tingkat yang lebih rendah 
dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi 
alih-alih bersifat membatasi.

Cinta pada diri sendiri , 
dapat membuka kesadaran tentang sifat ego
yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari  ingatan 
serta efeknya yang memenjara, 
mengarahkan seseorang kepada pencarian 
akan dirinya yang lebih tinggi.

Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan 
serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa.

Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah
dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek 
kecintaan kita.

Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani, dan yang sejenisnya,
hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud , 
yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan 
yang hadir di dalamnya.

Hierarki cinta dengan demikian  dapat dipandang 
sebagai tangga pendakian menuju Kerajaan Langit 
dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan 
pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa seseorang saat ia turun 
ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.

#HSN.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar