REALITAS KEJAHATAN DAN PERLUNYA BIMBINGAN.
Dengan semua perdebatan yang kini menghebat di Amerika
antara pandangan Kristen tentang dosa asal dan kejatuhan manusia
serta kebaikan watak manusia menurut apa yang oleh sebagian orang
yang disebut versi modern dari Gnotisisme, maka pentinglah,
dalam mendiskusikan kebenaran menurut Tasawuf,
untuk menangani pertanyaan tentang kejahatan dan
perlunya Bimbingan Ilahi.
Harus ditekankan bahwa risalah -risalah Sufi tidak sekadar
"kotak alat realisasi -diri" untuk diserahkan
kepada orang-orang yang ingin mewujudkan Diri Tertinggi
di dalam dirinya atas dasar upaya mereka sendiri tanpa Bantuan Ilahi.
Dan selubung - selubung ,atau pemisahan ontologis dari Sumber kita,
inilah tepatnya yang mengakibatkan apa yang secara teologi
disebut kejahatan.
Kejahatan yang dengannya kita biasanya mengaitkan diri dan
eksistensi kita inilah yang dirujuk oleh Sufi kudus dari Basrah,
Rabi'ah , saat ia berkata,
"Wahai anakku ,
keberadaanmu adalah sebuah dosa
yang tiada terbandingkan dengan dosa-dosa lain".
Secara metafisikal kita bisa menjelaskan realitas kejahatan
sebagai keterpisahan dari Kebaikan mutlak.
Marilah kita mengingat perkataan dari penyair terkemuka Kristen,
Dante, yang mengatakan bahwa neraka adalah keterpisahan dari Allah.
Seperti yang disebutkan di atas, Yang Ilahi itu Mutlak,
sekaligus Tak Terbatas dan Mahabaik.
Dan marilah kita tidak melupakan bahwa tak terbatas berarti
mengadung segala kemungkinan, termasuk kemungkinan
penyangkalan diri ; seperti yang sudah disebutkan ,
sudah dalam watak kebaikan itu sendiri untuk memberikan dirinya
sebagaimana watak cahaya adalah menyinari.
Pemancaran ini, yang menyusun semua tingkat keberadaan di bawah
Wujud Mutlak, juga menyiratkan adanya jarak dan pemisahan ,
meredupnya cahaya dan munculnya bayangan secara bertahap.
Secara positif, , realitas berasal dari Satu Realitas, tetapi penggunaan
istilah dunia itu sendiri sudah menyiratkan keterpisahan dari Tuhan.
Seperti yang dikatakan pengikut Kabbalis , yang Ilahi harus "mundur"
dari Kelimpahannya yang penuh untuk membuat "ruang" bagi
penciptaan.
Apa yang kita sebut kejahatan adalah hasil dari penarikan diri dan
perpisahan ini.
Itulah sebabnya, kejahatan tidak memiliki status ontologis yang sama
dengan cahaya.
Apa yang disebut sebagai masalah teodisi - yakni, bagaimana bisa
Tuhan yang baik menciptakan dunia yang mengandung kejahatan ?-
adalah hasil dari ketidaktahuan mengenai sifat Tuhan dan dunia
serta kurangnya pengetahuan tentang doktrin tabir dan maya.
Masalah ini, yang telah mendorong banyak orang Barat modern
menjauh dari Kekristenan dan dalam beberapa kasus dari Yudaisme,
telah dibahas secara mendalam oleh banyak filsuf, teolog, dan
mistkikus non-Barat dari agama-agama lain.
Tak berhingga jiwa di masyarakat tradisional telah mengamati
kejahatan dan penderitaan di sekeliling mereka, tetapi pengalaman
seperti hampir tidak pernah menarik kaum Muslim, Hindu, atau Budha,
untuk menyebut hanya beberapa contoh, untuk menjauh dari agama
dan dunia keimanan.
Mengamati adanya kenyataan di sebuah dunia
yang diciptakan oleh Tuhan yang baik tidak mempunyai konsekuensi
religius yang sama bagi mereka, seperti pada banyak orang Barat modern
dan tentu saja tidak memiliki konsekuensi yang sama
bagi orang-orang Barat tradisional, yang reaksinya terhadap masalah ini
serupa dalam berbagai cara dengan reaksi orang-orang
di kebanyakan budaya non-Barat hari ini.
Dari sudut pandang Realitas Ilahi ,
tidak ada yang jahat karena tidak ada sesuatu yang terpisah
dari Sumber Kebaikan ,
tetapi bagi manusia yang hidup dalam domain kenisbian ,
kejahatan sama nyatanya dengan domain itu,
walaupun penciptaan dalam kenyataan ontologisnya adalah baik
karena berasal dari Tuhan.
Hal ini ditunjukkan oleh keindahan luar biasa tatanan alam.
Itulah sebabnya baik Alkitab maupu Al-Qur'an menegaskan
kebaikan ciptaan-Nya dan fakta bahwa
kebaikan pada akhirnya selalu tegak mengatasi kejahatan.
Selanjutnya , keadaan-keadaan infernal , purgatorial, dan paradisal itu
nyata walaupun terletak didalam dominan kenisbian,
tetapi masing-masing dengan karakteristik yang sangat berbeda.
Masalah kejahatan menjadi sulit untuk dimengerti
ketika kita mengabsolutkan yang relatif, dan
gagal membedakan antara kenyataan eksistensial dari sesuatu
yang berasal dari Tindakan Mengada, dan
keberadaannya yang "tampak" terpisah.
Berbicara tentang dunia tanpa kejahatan
berarti gagal memahami apa dunia itu
dan menyamakan yang Mutlak dengan yang relatif,
Zat dengan selubungnya, atau untuk menggunakan bahasa Hinduisme,
Atman dan maya.
Beberapa Sufi telah mengatakan bahwa kejahatan itu tidak ada;
yang ada hanyalah kebaikan dan keindahan.
Pernyataan seperti itu harus dipahami dalam konteks keadaan kesadaran
yang darinya mereka berbicara, keadaan yang memungkinkan mereka
untuk melihat wajah Allah di mana-mana.
Segala sesuatu memiliki wajah batin yang berpaling kepada Allah
melampaui semua cela dan kejahatan serta wajah lahiriah
yang mengahadap keluar.
Kaum Sufi yang menolak adanya kejahatan
telah memandang pada wajah yang menghadap ke dalam ,
lalu melihat wajah yang menghadap keluar itu
dalam sorotan realitas batin itu.
Jika tidak, jika Tasawuf menolak keberadaan kejahatan,
Tasawuf itu sendiri menjadi tidak diperlukan
karena peran Tasawuf adalah
mengatasi ketidaksempurnaan dan kecenderungan jahat jiwa.
yang disebut "nafs yang mengundang keburukan " di dalam Al-Qur'an
al-nafs al-ammarah bi al-su'.
Pada tingkatan eksistensial jiwa yang biasa ,
mereka sama nyata-nya dengan jiwa itu sendiri.
Untuk dapat mengabaikan kejahatan dan
melihat hanya yang baik dan indah,
kita harus melampaui ego kita sendiri atau nafs ini.
Keindahan luar biasa ciptaan Tuhan dan kejayaan akhir segala kebaikan,
apa pun fenomena sementara yang seolah-olah dikuasai oleh kejahatan
dalam jangka pendek , merupakan bukti eksistensial kesenjangan
antara yang baik dan yang jahat, yang indah dan yang jelek.
Mereka berpegang teguh kepada Kebenaran
meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan ,
berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran,
yang senantiasa dan indah dalam arti metafisik,
akhirnya akan menang.
Kaum Sufi akan menjadi yang pertama setuju dengan adagium Latin
abad pertengahan vincit omnia veritas,"kebenaran akan selalu menang.
Meruntuhkan ketidaksempurnaan jiwa
dan tempat bersemayamnya kejahatan
tidak dapat dilakukan oleh manusia manusia yang fana
tanpa bimbingan.
Jika tidak ada pengecualian . itu hanya makin menguatkan aturan itu,
dan kita tidak boleh lupa bahwa "Ruh bertiup ke mana ia mau".
Dengan mengesampingkan kekecualian-kekecualian itu,
aturan dan prinsipnya adalah bahwa manusia memerlukan
Petunjuk Ilahi untuk mengingat siapa diri mereka,
untuk dapat membunuh naga di dalam dirinya.
Oleh karena itu , melalui Rahmat-Nya Tuhan telah mengirim nabi-nabi
sepanjang sejarah untuk membimbing umat manusia menuju yang Esa.
Selain itu, bimbingan ini memiliki dua tingkat,
yang pertama
berkaitan dengan kenabian (nubuwwah), yang merupakan petunjuk
untuk seluruh umat manusia dan semua anggota masyarakat,
yang kepada mereka wahyu itu ditujukan,
dan yang kedua
dengan bimbingan batin dan kepemimpinan
(walayah/wilayah) untuk sedikit orang
yang bercita-cita meraih kesempurnaan ruhani.
Kenyataan ini di dalam Islam merupakan sumber ,
fondasi, dan kekuatan ruhani berkesinambungan
yang membuat perjalanan di atas jalan Sufi menjadi mungkin.
Lebih jauh lagi , walayah/wilayah hanya dapat dijangkau
di dalam realitas nubuwwah .
Itulah mengapa, jalan Sufi, Thariqah , tidak mungkin diikuti
tanpa mengikuti perintah dan ajaran Hukum Islam, atau Syari'ah,
yang ditujukan bagi seluruh umat Islam, termasuk kaum Sufi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar