Minggu, 06 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

REALITAS KEJAHATAN DAN PERLUNYA BIMBINGAN.

Dengan semua perdebatan yang kini menghebat di Amerika 
antara pandangan Kristen tentang dosa asal dan kejatuhan manusia
serta kebaikan watak manusia menurut apa yang oleh sebagian orang
yang disebut versi modern dari Gnotisisme, maka pentinglah,
dalam mendiskusikan kebenaran menurut Tasawuf, 
untuk menangani pertanyaan tentang kejahatan dan 
perlunya Bimbingan Ilahi.

Harus ditekankan bahwa risalah -risalah Sufi tidak sekadar 
"kotak alat realisasi -diri" untuk diserahkan 
kepada orang-orang yang ingin mewujudkan Diri Tertinggi 
di dalam dirinya atas dasar upaya mereka sendiri tanpa Bantuan Ilahi.
Dan selubung - selubung ,atau pemisahan ontologis dari Sumber kita,
inilah tepatnya yang mengakibatkan apa yang secara teologi 
disebut kejahatan.

Kejahatan yang dengannya kita biasanya mengaitkan diri dan 
eksistensi kita inilah yang dirujuk oleh Sufi kudus dari Basrah, 
Rabi'ah , saat ia berkata, 
"Wahai anakku , 
  keberadaanmu adalah sebuah dosa 
  yang tiada terbandingkan dengan dosa-dosa lain".

Secara metafisikal kita bisa menjelaskan realitas kejahatan 
sebagai keterpisahan dari Kebaikan mutlak.
Marilah kita mengingat perkataan dari penyair terkemuka Kristen,
Dante, yang mengatakan bahwa neraka adalah keterpisahan dari Allah.

Seperti yang disebutkan di atas, Yang Ilahi itu Mutlak,
sekaligus Tak Terbatas dan Mahabaik.
Dan marilah kita tidak melupakan bahwa tak terbatas berarti 
mengadung segala kemungkinan, termasuk kemungkinan 
penyangkalan diri ; seperti yang sudah disebutkan , 
sudah dalam watak kebaikan itu sendiri untuk memberikan dirinya
sebagaimana watak cahaya adalah menyinari.

Pemancaran ini, yang menyusun semua tingkat keberadaan di bawah 
Wujud Mutlak, juga menyiratkan adanya jarak dan pemisahan ,
meredupnya cahaya dan munculnya bayangan secara bertahap.
Secara positif, , realitas berasal dari Satu Realitas, tetapi penggunaan 
istilah dunia itu sendiri sudah menyiratkan keterpisahan dari Tuhan.

Seperti yang dikatakan pengikut Kabbalis , yang Ilahi harus "mundur" 
dari Kelimpahannya yang penuh untuk membuat "ruang" bagi 
penciptaan. 
Apa yang kita sebut kejahatan adalah hasil dari penarikan diri dan
perpisahan ini.
Itulah sebabnya, kejahatan tidak memiliki status ontologis yang sama 
dengan cahaya.
Apa yang disebut sebagai masalah teodisi - yakni, bagaimana bisa 
Tuhan yang baik menciptakan dunia yang mengandung kejahatan ?-
adalah hasil dari ketidaktahuan mengenai sifat Tuhan dan  dunia 
serta kurangnya pengetahuan tentang doktrin tabir dan maya.

Masalah ini, yang telah mendorong banyak orang Barat modern 
menjauh dari Kekristenan dan dalam beberapa kasus dari Yudaisme,
telah dibahas secara mendalam oleh banyak filsuf, teolog, dan 
mistkikus non-Barat dari agama-agama lain.
Tak berhingga jiwa di masyarakat tradisional telah mengamati 
kejahatan dan penderitaan di sekeliling mereka, tetapi pengalaman 
seperti hampir tidak pernah menarik kaum Muslim, Hindu, atau Budha,
untuk menyebut hanya beberapa contoh, untuk menjauh dari agama 
dan dunia keimanan.

Mengamati adanya kenyataan di sebuah dunia 
yang diciptakan oleh Tuhan yang baik tidak mempunyai konsekuensi 
religius yang sama bagi mereka, seperti pada banyak orang Barat modern 
dan tentu saja tidak memiliki konsekuensi yang sama 
bagi orang-orang Barat tradisional, yang reaksinya terhadap masalah ini 
serupa dalam berbagai cara dengan reaksi orang-orang 
di kebanyakan budaya non-Barat hari ini.

Dari sudut  pandang Realitas Ilahi , 
tidak ada yang jahat karena tidak ada sesuatu yang terpisah 
dari Sumber Kebaikan , 
tetapi bagi manusia yang hidup dalam domain kenisbian , 
kejahatan sama nyatanya dengan domain itu,
walaupun penciptaan dalam kenyataan ontologisnya adalah baik 
karena berasal dari Tuhan.

Hal ini ditunjukkan oleh keindahan luar biasa tatanan alam.
Itulah sebabnya baik Alkitab maupu Al-Qur'an menegaskan 
kebaikan ciptaan-Nya dan fakta bahwa 
kebaikan pada akhirnya selalu tegak mengatasi kejahatan.

Selanjutnya , keadaan-keadaan infernal , purgatorial, dan paradisal itu 
nyata walaupun terletak didalam dominan kenisbian, 
tetapi masing-masing dengan karakteristik yang sangat berbeda.

Masalah kejahatan menjadi sulit untuk dimengerti 
ketika kita mengabsolutkan yang relatif, dan 
gagal membedakan antara kenyataan eksistensial dari sesuatu 
yang berasal dari Tindakan Mengada, dan 
keberadaannya yang "tampak" terpisah.

Berbicara tentang dunia tanpa kejahatan 
berarti gagal memahami apa  dunia itu 
dan menyamakan yang Mutlak dengan yang relatif, 
Zat dengan selubungnya, atau untuk menggunakan bahasa Hinduisme,
Atman dan maya.

Beberapa Sufi telah mengatakan bahwa kejahatan itu tidak ada;
yang ada hanyalah kebaikan dan keindahan.
Pernyataan seperti itu harus dipahami dalam konteks keadaan kesadaran
yang darinya mereka berbicara, keadaan yang memungkinkan mereka
untuk melihat wajah Allah di mana-mana.

Segala sesuatu memiliki wajah batin yang berpaling kepada Allah 
melampaui semua cela dan kejahatan serta wajah lahiriah 
yang mengahadap keluar.

Kaum Sufi yang menolak adanya kejahatan 
telah memandang pada wajah yang menghadap ke dalam , 
lalu melihat wajah yang menghadap keluar itu 
dalam sorotan realitas batin itu.

Jika tidak, jika Tasawuf menolak keberadaan kejahatan,
Tasawuf itu sendiri menjadi tidak diperlukan 
karena peran Tasawuf adalah 
mengatasi ketidaksempurnaan dan kecenderungan jahat jiwa.
yang disebut "nafs yang mengundang keburukan " di dalam Al-Qur'an
al-nafs al-ammarah bi al-su'.

Pada tingkatan eksistensial jiwa yang biasa , 
mereka sama nyata-nya dengan jiwa itu sendiri.
Untuk dapat mengabaikan kejahatan dan 
melihat hanya yang baik dan indah, 
kita harus melampaui ego kita sendiri atau nafs ini.

Keindahan luar biasa ciptaan Tuhan dan kejayaan akhir segala kebaikan,
apa pun fenomena sementara yang seolah-olah dikuasai oleh kejahatan
dalam jangka pendek , merupakan bukti eksistensial kesenjangan 
antara yang baik dan yang jahat, yang indah dan yang jelek.

Mereka berpegang teguh kepada Kebenaran 
meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan ,
berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran, 
yang senantiasa dan indah dalam arti metafisik,
akhirnya akan menang.

Kaum Sufi akan menjadi yang pertama setuju dengan adagium Latin
abad pertengahan vincit omnia veritas,"kebenaran akan selalu menang.

Meruntuhkan ketidaksempurnaan jiwa 
dan tempat bersemayamnya kejahatan 
tidak dapat dilakukan oleh manusia manusia yang fana 
tanpa bimbingan.

Jika tidak ada pengecualian . itu hanya makin menguatkan aturan itu,
dan kita tidak boleh lupa bahwa "Ruh bertiup ke mana ia mau".
Dengan mengesampingkan kekecualian-kekecualian itu,
aturan dan prinsipnya adalah bahwa manusia memerlukan 
Petunjuk Ilahi untuk mengingat siapa diri mereka,
untuk dapat membunuh naga di dalam dirinya.

Oleh karena itu , melalui Rahmat-Nya Tuhan telah mengirim nabi-nabi
sepanjang sejarah untuk membimbing umat manusia menuju yang Esa.

Selain itu, bimbingan ini memiliki dua tingkat, 
yang pertama 
berkaitan dengan kenabian (nubuwwah), yang merupakan petunjuk 
untuk seluruh umat manusia dan semua anggota masyarakat, 
yang kepada mereka wahyu itu ditujukan, 

dan yang kedua 
dengan bimbingan batin dan kepemimpinan 
(walayah/wilayah) untuk sedikit orang 
yang bercita-cita meraih kesempurnaan ruhani.

Kenyataan ini di dalam Islam merupakan sumber , 
fondasi, dan kekuatan ruhani berkesinambungan 
yang membuat perjalanan di atas jalan Sufi menjadi mungkin.

Lebih jauh lagi , walayah/wilayah hanya dapat dijangkau 
di dalam realitas nubuwwah .
Itulah mengapa, jalan Sufi, Thariqah , tidak mungkin diikuti 
tanpa mengikuti perintah dan ajaran Hukum Islam, atau Syari'ah,
yang ditujukan bagi seluruh umat Islam, termasuk kaum Sufi.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar