Kamis, 10 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

KEINDAHAN - ILAHI, MANUSIA, KOSMIS.

Keindahan dan cinta adalah dua aspek dan kenyataan yang sama 
jika dilihat dari sudut pandang tertentu ;
yang satu memiliki sifat aktif dan yang lainnya pasif,
Yang satu seperti api yang membakar sedangkan yang lainnya 
sebuah danau tenang dan tak terganggu , walaupun 
ada dimensi ketenangan dalam cinta setelah direalisasi, 
dan ada keindahan dalam petir dan kilat.

Ada komplementaris di dalam komplementaris yang pertama, yaitu
sebuah elemen pasif di dalam sifat cinta yang aktif dan elemen aktif 
di dalam Yin dan Yang serta kehadiran Yin di dalam  Yang , dan 
Yang di dalam Yin pada hubungan mendasar 
antara cinta dan keindahan ini.

Singkatnya, keduanya tak terpisahkan pada tingkat tertentu , 
karena bagaimana mungkin orang tidak mencintai apa yang indah 
dan bagaimana mungkin sesuatu yang kita cintai tidak akan 
tampak indah pada tingkat tertentu 
( dan bukan hanya pada bentuk lahiriah dari tampilan luarnya) ?

Sebagaimana Al-Qur'an dan Hadis berbicara tentang cinta keduanya 
juga berbicara tentang keindahan dan bahkan Al-Qur'an 
merujuk kepada Nama Tuhan, yang mengungkapkan Sifat-Nya 
kepada kita, sebagai nama yang indah.
Hadis Nabi, yang mengatakan ,
"Tuhan itu indah dan Dia mencintai keindahan" secara praktis 
merupakan dasar estetika Islam.
Selain, itu, Nama-Nama Allah secara keseluruhan disebut 
Nama-Nama yang Indah.
Dua istilah dasar yang digunakan untuk keindahan 
dalam sumber-sumber dasar Islam pada umumnya dan 
Tasawuf khususnya adalah husn atau ihsan , dan jamal.

Yang terakhir ini adalah Nama Allah, sebagaimana disebut 
di dalam hadis yang sudah dikutip  
-  dan juga disebutkan dalam Al-Qur'an - sementara yang pertama 
menyangkut Allah dan sekaligus manusia, serta jalan kepada-Nya.

Husn dalam bahasa Arab pada saat bersamaan berarti keindahan , 
kebaikan , dan keutamaan, yang dari sudut pandang Sufi , 
tidak lain dari pada keindahan jiwa.

Tasawuf itu sendiri didefenisikan sebagai ihsan, 
yang seperti dijelaskan oleh sebuah qudsi , berarti 
"menyembah Allah seakan-akan kita melihat Dia
 dan jika tidak  melihat-Nya ,
 Dia pastilah melihat kita".

Jalan menuju Taman Kebenaran diliputi 
oleh berbagai bentuk keindahan yang semuanya merupakan teofani 
Keindahan Wajah sang Kekasih,
dan jalur ini tak bisa ditempuh kecuali oleh orang 
yang menghias jiwanya dengan keindahan.

Lalu, 
bagaimanakah para Sufi memahami kenyataan penting ini 
dalam kehidupan ruhani ?

Seperti halnya wujud, 
keindahan adalah kenyataan universal yang tidak dapat dibatasi,
dan defenisi logis tidak akan merangkum seluruh kenyataannya .
Kita dapat menunjuk kepadanya dalam kontras dengan kejelekan,
namun itu tidak mencukupi karena pada intisarinya keindahan 
melampaui dualisme keindahan /kejelekan, 
yang kita alami melalui indera kita.
Akan tetapi , sebagian guru bijak selama ber abad-abad telah berusaha 
untuk mendefinisikan keindahan.
Salah satu yang paling termasyhur adalah Plato, yang mengatakan

"Keindahan adalah Kebenaran yang memancar".

Kaum Sufi akan siap untuk menerima pernyataan ini , 
kecuali bahwa mereka akan menambahkan bahwa karena
Kebenaran adalah juga Kenyataan dalam perspektif mereka , 
seperti terangkum dalam kata al-haqiqah, 
yang berarti tingkatan eksistensi kosmik, 
Keindahan mutlak ini juga mewujud bersamaan dengan eksistensi,
di mana ia seperti aura di sekitar matahari .
Apa  yang tampak jelek oleh kita sebetulnya muncul dari non-eksistensi
yang menampakkan diri sebagai eksistensi .
Karena eksistensi itu sendiri memancar dari yang Nyata.
yang aura nya adalah keindahan yang muncul sebagai kejelekan 
merupakan akibat tiadanya cahaya Wujud,
dan bayangan yang terbentuk sebagai akibat jauhnya jarak 
dari Sumber cahaya ini.

Kaum Sufi juga setuju sepenuhnya dengan Plato ketika dalam Phileebus
ia menegaskan bahwa keindahan adalah bagian dari realitas segala hal
dan tidak bergantung pada apresiasi subjektif setiap wujud.

Ia tidak bergantung pada penontonnya kecuali hingga sejauh mana 
penonton itu mempersepsi keindahan sesuai partikularitas jiwanya
dan hingga sejauh mana jiwanya indah dan mampu mengapresiasi 
keindahan.

Tetapi itu tidak berarti bahwa keindahan semata-mata berdasarkan
pada penilaian subjektif kita, sebagaimana ketidaktahuan kita 
struktur geologi sebuah gunung karena tiadanya pengetahuan kita
tidaklah membuat struktur itu menjadi subjektif.

Ya, 
kita harus melatih mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar
keindahan , dan itu hanya dapat dilakukan , dalam peristilahan spiritual,
jika jiwa telah terlatih dan dibiasakan, dan dibuat indah 
melalui perolehan kebaikan.

Akan tetapi, 
pelatihan ini bukan satu-satunya syarat , 
sejauh menyangkut apresiasi pada manifestasi keindahan universal .
Tentu saja juga diperlukan penguasaan bahasa formal yang digunakan
untuk mewujudkan jenis keindahan tertentu .

Seorang Persia lazimnya tidak bisa mengapresiasi keindahan Sactus
dari Mass B Minor karya Bach atau seorang Jerman pada 
keindahan musik raga India tanpa pelatihan tentang "bahasa" formal 
yang digunakan.

Namun , beberapa jenis keindahan bersifat universal dan melintasi
kekhasan budaya.
Bagi mereka yang mengapresiasi keindahan alam , 
pegunungan Himalaya...
menunjukkan keagungan dan keindahan yang nyata ,  
yang diapresiasi manusia , baik yang berasal dari Brasil , 
Nigeria, ataupun Jepang.
Dan keindahan seorang manusia dapat dipersepsi 
ke mana pun orang tersebut pergi di muka bumi .

Bahkan dalam domain seni, dimana masing-masing peradaban
memiliki bahasa formal yang berbeda, beberapa adikarya besar
menampilkan keindahan universal.

Kita hanya perlu mengingat Chartres Cathedral , Alhambra, 
atau lukisan Sung.
Singkatnya, 
pelatihan jiwa dalam bahasa formal berbagai kesenian
dalam banyak kasus 
harus menyertai pendekorasian jiwa dengan keindahan batin.

Allah telah memanifestasikan keindahan dengan cara tertentu 
sehingga batas budaya seolah-olah untuk mengingatkan kita 
bahwa Keindahan seperti itu dimiliki oleh yang Tak berbentuk
dan melampaui partikulitas semua "bahasa" formal.

Dalam Tasawuf ,
estetika tidak terpisah dari disiplin ruhani dan etika.
Orang tidak dapat terbang dengan sayap keindahan 
menuju kebebasan dunia spiritual 
tanpa disiplin dan tanpa menjadi sadar dan mencintai 
Keindahan mutlak Allah yang dirindukan oleh jiwa , 
terlepas apakah ia menginsyafinya atau tidak, 
dalam pencariannya akan setiap bentuk keindahan duniawi.

Pencarian ini tidak mungkin dilakukan oleh Plotinus - 
yang disebut oleh para filsuf muslim sebagai Syaikh atau guru ruhani
dari Yunani - jiwa mengejar keindahan dan keindahan merupakan 
manifestasi dari kuasa ruhani yang menggerakkan semua tingkatan
realitas.
Kaum Sufi sepenuhnya setuju dengan pandangan ini , 
yang dulu pernah mendominasi estetika Barat , 
namun kemudian terpinggirkan di Barat bersama ajaran Neoplatonik 
tentang subjek ini, pada abad kedelapan belas.

Bagaimanakah keindahan yang didambakan jiwa ini 
dirasakan dan dialami ?

Karena keindahan bersemayam di kedalaman jiwa , 
dan pada saat yang sama jiwa pun mendambakannya, 
Allah telah menjadikannya dapat dialami melalui semua fakultas ,
baik lahiriah maupun batiniah, yang dimiliki oleh jiwa itu.
Semua indra lahiriah kita , dapat merasakan keindahan 
terutama fakultas penglihatan dan pendengaran .
Bahkan,  kerap kali ketika kita merujuk pada keindahan , 
keindahan yang terdengar dan terlihat lah yang ada dalam pikiran kita.
Tetapi,  fakultas batiniah dari jiwa kita juga dapat 
mempersepsi citra-citra keindahan yang tersembunyi 
dari mata lahiriah kita.

Fakultas imaginal  dapat mempersepsi citra-citra yang indah .
Pikiran dapat melihat keindahan bentuk-bentuk matematis 
dalam dunia matematika murni terlepas dari alam material.
Ia juga dapat memahami harmoni, 
yang tak dapat dipisahkan dari keindahan.

Akal yang bersinar di dalam diri kita dapat merenungkan 
yang dapat dipahami secara murni dan alam malakuti.
Adapun hati, ketika matanya di buka , 
ia dapat melihat Keindahan wajah sang Kekasih itu sendiri.

Melalui cara apa pun kesadaran kita berhubungan dan 
menjadi sadar akan realitas objektif, 
ada kemungkinan untuk mengalami keindahan,
sebuah kualitas ...
yang menjalari semua  tingkatan  dan modus keberadaan.

Walaupun keindahan ada di mana - mana , 
entah kita menyadarinya atau tidak ,
keindahan juga memiliki hierarki, 
sebagaimana halnya pada realitas, wujud , dan cinta.
Keindahan tertinggi adalah keindahan Realitas Tertinggi ;
keindahan mutlak adalah keindahan dari yang Mutlak .

Bahkan  keindahan paling intens yang dialami di dunia, 
entah dalam dalam bentuk wajah indah seseorang yang dicintai 
atau karya seni terhebat, alam yang perawan, atau bahkan 
semerbak jiwa seorang suci merupakan pantulan Keindahan Ilahi.

Mutlak dan sekaligus tak terbatas , 
Keindahan ini dapat dipahami sebagai Kecantikan , 
tetapi tidak dapat dijelaskan dalam kata-kata manusia,
sebagai realitas yang benar-benar tak terucapkan.

Keindahan ini merupakan mahkota dari hierarki keindahan dan
pada saat yang sama merupakan sumber setiap bentuk keindahan.
Dibawahnya dalam hierarki itu terdapat keindahan dunia 
yang terpahamkan secara murni dan dunia malakuti , 
dan setelah itu dunia ruang waktu yang mencerminkan dunia arketipal
dan terpahamkan secara langsung.

Kategori terakhir bentuk-bentuk yang terikat oleh waktu dan ruang ini 
tentu saja mencakup alam perawan 
sebagaimana yang diciptakan oleh sang Seniman Tertinggi 
dan karenanya mencerminkan keindahan 
Penciptanya dengan sangat mencengangkan .

Seni suci yang didasarkan pada inspirasi surgawi dan 
yang memungkinkan pengalaman langsung dunia spiritual 
dalam bentuk material juga termasuk dalam kategori ini.

Menurut ucapan Hermetik termasyhur , 
"Apa yang terendah melambangkan apa yang tertinggi".

Prinsip ini juga berhubungan dengan pengalaman keindahan.
Meskipun dunia material merupakan yang terendah 
dalam hierarki eksistensi, ia mencerminkan dunia tertinggi.

Keindahan suatu bentuk material dengan demikian 
dapat mencerminkan keindahan tertinggi 
dan akhirnya Keindahan Ilahi.
Banyak Sufi sepanjang zaman telah sepenuhnya sadar 
akan kebenaran ini dan memandang setiap bentuk yang indah 
sebagai pantulan Keindahan Wajah Dia.

Adapun mengenai keindahan manusia, 
penting untuk dijelaskan di mana kedudukannya di dalam hierarki ini.
Karena keadaan manusia mencakup semua tingkat keberadaan 
di dalam dirinya sendiri , dapat dikatakan bahwa 
manusia dapat merangkul seluruh hierarki .

Manusia dapat memiliki keindahan fisik, keindahan karakter, 
keindahan jiwa, keindahan pikiran dan akal , dan keindahan hati.

Dalam wilayah keduniaan, 
manusia sebenarnya merupakan bentuk keindahan tertinggi, 
terutama keindahan Manusia Universal, 
yang di dalamnya semua semua kemungkinan manusia terwujudkan.

Adapun keindahan fisik bagi manusia biasa, 
itu adalah pemberian Allah, terutama ketika seseorang masih belia.

Ketika kita semakin tua tindakan-tindakan kita 
yang didasarkan pada pilihan dan kehendak bebas 
akan semakin tercermin di dalam penampilan luar kita, 
dan kecantikan batin, dalam kasus orang-orang yang memiliki 
keindahan lahiriah seperti itu , mulai mendominasi tampilan luar 
sementara keindahan lahiriah pemberian Allah akan semakin memudar.
Tetapi keindahan lahiriah bukannya tidak berarti  .
Itu sebenarnya merupakan sebuah berkah yang besar dari Allah ,
membawa bersamanya banyak hak istimewa 
tetapi juga tanggung jawab besar.

Sebagian Sufi mengatakan bahwa merenungkan keindahan 
wajah seorang perempuan bagi seorang Sufi laki-laki adalah
jalan yang paling langsung untuk merenungkan Keindahan Ilahi,
dan yang sebaliknya berlaku.

Ibn 'Arabi dan Syabistari , misalnya , menulis bagaimana 
setiap sisi wajah perempuan mengungkapkan Sifat Tuhan 
dan menyingkapkan sebuah Misteri Ilahi.
Ibn 'Arabi menulis, ketika berada di Makkah 
dia bertemu dengan seseorang wanita Persia muda dan 
ketika melihat wajahnya semua ilmu esoterik ,
seolah-olah secara tiba-tiba terungkapkan baginya.

Singkatnya,
kaum Sufi, baik laki-laki maupun perempuan , 
bukan hanya pecinta Allah, tetapi mereka juga pecinta keindahan,
yang tak dapat dipisahkan dari Realitas Ilahi dan yang, 
karena terkait dengan ketidakterbatasan Ilahi, 
menghadirkan kedamaian total dan membebaskan jiwa 
dari semua belenggu yang membatasi keberadaan.

Meskipun banyak Sufi gencar mengejar keindahan 
dan bentuk-bentuk yang indah , 
ada beberapa yang memperingatkan terhadap pencarian akan keindahan 
jika jiwa belum bersiap untuk menerima pengalaman total Keindahan 
melalui bentuk-bentuk yang indah dengan membersihkan diri batinnya
dari berbagai ketidaksempurnaan dan keburukan.

Persis karena keindahan menarik jiwa , 
ia juga dapat menjebaknya dan bertindak sebagai sarana yang kuat
untuk mengalihkan nya dari Sumber segala keindahan.
Itulah mengapa beberapa guru bijak dan mistikus di semua agama 
menganggap keindahan sebagai pedang bermata dua 
dan mencoba untuk menahan diri mereka 
dari  mengapreasi bentuk-bentuk lahiriah keindahan 
pada tahap tertentu dalam perjalanan spiritual.

Orang-orang seperti itu disebut asketik (zuhhad dalam Islam ), 
dan banyak orang yang demikian dalam sejarah awal Tasawuf 
sebelum dimensi cinta dan pengetahuan mekar sepenuhnya.

Tokoh-tokoh ini mempersiapkan landasan yang diperlukan 
bagi perkembangan itu.
Pesan oleh orang-orang suci itu adalah bahwa jangan sampai 
jiwa terperangkap di dalam sesuatu yang terbatas 
dan menghalanginya untuk naik ke tingkat kesempurnaan.
Dengan demikian mereka berkonsentrasi hanya pada Allah 
sebagai yang Esa, melebihi semua manifestasi dan segala bentuk.

Bahaya yang menjadi keprihatinan mereka berkaitan dengan
kekeliruan menggangap suatu bentuk keindahan yang terbatas 
sebagai realitas yang mandiri , terlepas dari Allah 
sebagai Sumber segala keindahan.
Persis lantaran sifat keindahan itulah maka ia memiliki kekuatan 
untuk menarik kepada dirinya sendiri dalam cara tertentu 
sehingga jiwa lupa akan Sumber keindahan ini dan juga fakta bahwa 
keindahan bentuk duniawi bersifat sementara.

Tak banyak orang yang teralihkan dari Allah 
lantaran sesuatu yang buruk.
Biasanya yang menyibukkan jiwa dan menjauhkannya 
dari Taman Kebenaran adalah sebuah bentuk 
yang memiliki beberapa segi keindahan, 
yang padanya jiwa kemudian tertarik.

Bayangan dari Keindahan Wajah - Nya mulai bersaing di dalam jiwa 
dengan Keindahan mutlak, disebabkan oleh ketidaktahuan jiwa 
dalam membedakan antara yang Nyata dan pantulannya.
Singkatnya,
dalam visi Tasawuf yang integral, 
keindahan akan tetap menjadi kenyataan 
di pusat kehidupan spiritual.

Taman Kebenaran itu indah  , 
dan tak seorang pun dapat memasukinya 
apabila tidak menghargai keindahan 
dan yang tak indah secara batin, 
tidak dapat membedakan 
antara keindahan dan kejelekan,
antara yang nyata dan tak nyata,
antara yang salah dan yang benar.

Keindahan tidak dapat dipisahkan dari yang nyata dan benar karena, 
seperti mereka, ia mendampangi pantulan dari yang Esa 
di dalam yang banyak.
Ia membukakan pintu bagi yang terbatas menuju yang Tidak Terbatas
dan membebaskan jiwa dari  kungkungan bentuk-bentuk terbatas,
meskipun ia termanifestasi dalam tatanan formal.

Harmoni merupakan merupakan hasil dari pantulan yang Esa 
di dalam yang bermacam-macam , 
dan karena itu ia terkait erat dengan keindahan.

Objek keindahan memiliki harmoni kualitatif 
yang terkait dengan realitas seperti warna.
Mereka tidak hanya  dapat memiliki harmoni kualitatif , 
tetapi juga kuantitatif .
Ini dapat ditemukan , misalnya dalam musik , yang , 
di samping menyangkut kualitas suara , 
terkait  secara kuantitatif  dengan pengukuran dan matematika , 
disiplin yang dipelajari dalam sains harmonik.

Seni Islam dicirikan oleh proporsi harmonis , keteraturan matematis, 
dan berbagai tingkat simetri .
Dalam dunia spiritual lainnya, 
yang tidak simetris juga dapat menjadi kenderaan bagi keindahan , 
sebagaimana yang dapat kita lihat pada zaman Zen, 
tetapi dalam perspektif Sufi 
simetri biasanya dianggap terkait dengan harmoni,
dan harmoni terkait dengan keindahan.

Keindahan jenis ini melibatkan akal , 
dan kemampuan akal untuk mengerti , 
termasuk keindahan matematis , 
dianggap sebagai kualitas keindahan 
yang dirasakan pada tingkatan yang tinggi.

Dibawahnya terletak keindahan yang dicerap oleh panca indera 
dan diatasnya keindahan tak terlukiskan 
dari dunia yang mentransendensi segala bentuk.
Tetapi seperti yang sudah disebutkan, 
semua tingkat keindahan ini adalah pantulan dari Keindahan surgawi.

Pengalaman keindahan itu masih berdiam jauh di dalam jiwa.
Salah satu fungsi keindahan dalam kehidupan manusia adalah
untuk memunculkan ingatan tentang Keindahan Surgawi.

Jika dipahami secara spiritual, 
keindahan itu sendiri menjadi sarana pemusatan perhatian 
dan penemuan kembali watak sejati kita 
sebagaimana Allah telah menciptakan kita, 
watak yang masih kita bawa jauh di dalam diri kita 
meskipun sudah terlupakan sebagai akibat dari kejatuhan kita 
ke dalam keadaan ketidaktahuan akan siapa diri kita.

Setelah menjadi sepenuhnya terlahiriahkan (exteriorized) , 
kita cenderung untuk hanya melihat pada bentuk lahiriah 
dan mencari keindahan lahiriah, 
sedangkan para Sufi merenungkan , 
melalui bentuk-bentuk lahiriah , 
makna batiniahnya dan keindahan batiniah 
yang terkandung  di dalamnya.

Seperti kata penyair Sufi Persia abad ketiga belas Awhad al-Din Kirmani,

"Aku memandang wajah dunia dengan mata optik,
 Karena bentuk lahiriah membawa Makna batin,
 Dunia tak lain adalah bentuk dan kita harus hidup dalam bentuk
 Kita tak dapat melihat Makna lahiriah kecuali dalam bentuk".

Menurut hadis Nabi, 
Allah telah menuliskan keindahan di atas wadah segala sesuatu.
Inilah wajah yang dipalingkan setiap makhluk kepada Allah.
Realisasi spiritual berarti melihat wajah ini  
dan keindahan yang tertulis diatasnya 
serta mendengarkan musik  indah dari seruan setiap makhluk, 
yang membentuk inti eksistensinya.

Ini berarti melihat bentuk-bentuk 
dalam kebeningan metafisikal mereka .
Kebeningan ini  tak terpisahkan dari keindahan 
karena ia seperti jendela 
yang melaluinya  Cahaya dari yang Tak Berhingga 
dan bersamanya pantulan dari Keindahan-Nya 
memasuki substansi bentuk itu sendiri,
membuatnya menjadi kenderaan 
yang melalui kecantikan mereka,
membawa kita kepada yang Tak Berbentuk 
dan kepada Sumber dari semua keindahan.

"Ya Tuhan ,
  Engkau yang paling mengetahui kini dan nanti,
  Kami tidak melihat apapun kecuali keindahan Wajah - Mu
  Yang indah di dunia ini adalah cermin dari Keindahan -Mu
  Kami telah melihat di dalam cermin Wajah Raja yang Maha Perkasa".

Akan tetapi, 
untuk meraih tujuan perenungan Keindahan Allah 
di dalam bentuk-bentuk duniawi  , 
jiwa harus memperoleh kembali keindahan realitas purbanya, 
yang tak lain adalah ihsan.
dan yang dengan demikian juga berarti 
menjadi berhiaskan kebajikan-kebajikan 
 - kebajikan yang memperindah jiwa-
dan yang akhirnya merupakan milik Allah.

Jiwa yang indah tertarik kepada Keindahan  Ilahi 
seperti ngengat tertarik kepada cahaya lilin 
dan senantiasa mengalami di dalam setiap keindahan duniawi,
Keindahan Ilahi dari sang Tukang Kebun di Taman Kebenaran,
sebuah keindahan yang tak terpisahkan 
dari tujuan akhir kehidupan manusia.

"Para raja menjilati tanah yang darinya keindahan ini dibuat ,
  Sebab Allah telah mencampur di dalam tanah berdebu 
  Seteguk keindahan dari cangkir terpilih-Nya
  Inilah Dia, kekasih tersayang - bukan bibir tanah liat itu -
  Yang engkau kecup dengan ratusan gairah,
  Maka bayangkalah...
  seperti apa kiranya andai ia tak tercela !"

 ^Rumi -

#SHN.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar