SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA.
Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti
hidup dengan sungguh-sungguh, dan
orang yang menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya.
Keyakinan para Sufi ini menunjukkan pada kebenaran penting bahwa
cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan,
melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting
dalam perkembangan batin kita.
Seperti yang telah disebutkan, kekuatan cinta bersifat transformatif.
Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan
dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri.
Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan
substansi konkrit (menurut alkemi) melambangkan tranformasi batin
yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa ,
memungkinkannya meraih kesatuan dengan Ruh
dalam cara yang konkret.
Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta.
Kita bisa mencintai orangtua, anak-anak , dan kerabat kita.
Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita.
Ada cinta pada alam dan seni .
Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci;
semuanya mengarah kepada cinta Tuhan.
Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya,
melakukan pengorbanan dan menderita , memberi dan memberi lagi.
Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa
yang mendalam akan cinta murni yang bersifat Ilahiah.
Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia -
dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan -
dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan dan
cinta perempuan untuk lelaki .
Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa
secara emosional dan spiritual , dan ini terkait langsung dengan cinta
dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Ruh.
Pernyataan ini tentu saja tidak menghapuskan kemungkinan
keterlepasan dari cinta seperti itu demi Allah,
seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang
yang dipraktikkan agama-agama tertentu.
Cinta yang sejati dan autentik dalam pengertian romantis,
dan bukan keterkaitan seksual semata,
merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit.
Ia menghujam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat,
menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama.
Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasaan diri dan egoisme.
Menyebabkan sukacita sekaligus derita , kegairahan dan kerinduan.
Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan
mengikatkannya pada objek kecintaannya,
bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan
memusatkannya pada satu objek itu saja.
Sifat kemutlakan cinta kepada Allah
tercermin dalam cinta manusia seperti itu
yang memerlukan peluruhan
seluruh sikap mementingkan diri sendiri
dan memberi tanpa batas.
Cinta seperti itu, jika autentik,
tidak akan berkurang tatkala yang dicintai
menjadi kurang cantik secara lahiriah
dan kehilangan daya tarik lahiriahnya,
sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukannya atributnya,
yang mungkin menyenangkan hati Pencintanya pada satu momen
dan tidak pada demikian pada momen lainnya.
Itulah sebabnya cinta romantis yang autentik bertumbuh,
bukannya berkurang , seiring berjalannya waktu.
Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya,
yang Dia ciptakan berpasang-pasangan ,
seperti yang ditegaskan Al-Qur'an, dan cinta ini ...
dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan
dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita .
Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.
Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan
signifikansi spiritual.
Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi.
Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas, dan
perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini,
yang mengembalikan , meski untuk sejenak ,
masuk ke dalam keutuhan androginik.
Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan
dari kebahagian kesatuan jiwa dan Ruh , seperti yang dibicarakan
Hermetisisme Kristen serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya.
Seperti disebutkan di atas ,
jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini
melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Ruh,
seperti yang kita lihat dalam monastisime dan
berbagai bentuk spiritualitas Kristen,
namun kesatuan seksual tetap penting secara ruhani,
khususnya dalam Tasawuf, yang seperti Islam selebihnya ,
memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral,
sehingga harus diatur oleh Hukum Suci,
bukan sebagai perbuatan dosa semata
yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga.
Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fana
atau anihilasi dan karenanya keterbebasan, betapapun sejenak,
dari belenggu keberadaan yang terpisah dan keterbatasan se hari-hari.
Dari sudut pandang Sufi ,
dorongan ke arah kesatuan seksual,
yang merupakan dorongan sensual
yang paling kuat di dalam sebagian besar manusia ,
pada kenyataannya merupakan pencarian jiwa
akan kesatuan dengan Allah,
terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta.
Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari sang Kekasih
atau ma'syuq, sebagaimana dikatakan para Sufi,
yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin - Nya,
kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminim.
Dipandang sebagai Kekasih ,
dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminim
yang dirindukan oleh jiwa lelaki.
Namun,
dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan.
Dari sudut pandang metafisika murni, Allah tentu saja di atas
mengatasi perbedaan lelaki dan perempuan sebagaimana
dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi
mentransendensi dualisme yin dan yang.
Al-Qur'an menggunakan kata-kata yang berasal dari kata hubb,
ketika merujuk kepada cinta.
Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu,
tetapi mereka menambahkan istilah 'isyq,
yang menyiratkan cinta yang intens ,
dan mengklaim bahwa Al-Qur'an , sebagai kitab suci,
tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya.
Kata 'isyq, menurut sumber-sumber tradisional , diturunkan dari nama
untuk tanaman anggur yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon
dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati.
Etimologi puitis ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam
bahwa cinta melibatkan kematian.
Seperti dikatakan Rumi,
"sang Kekasih hidup dan sang pencinta mati".
Di sini kita teringatkan pada "Nyanyian Cinta-Kematian"
(Liebestod) dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.
Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian,
seperti yang kita lihat, misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat
seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet .
Kematian mereka tampak dari luar seperti berkaitan dengan kekuatan
dan keadaan lahiriah, tetapi secara batiniah menunjukkan hubungan
antara cinta yang intens dan kematian.
Dikatakan bahwa untuk setiap lelaki ada seorang perempuan -
dan sebaliknya - yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian
sempurna sehingga ketika keduanya bertemu di bumi intensitas cinta
mereka akan menyebabkan mereka mati.
Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini
selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian -
kematian terhadap ego sendiri, terhadap hasrat sendiri,
terhadap kesenangan-kesenangan sendiri demi kepentingan yang lain.
Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri merupakan pantulan
dari Cinta Tuhan, yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita,
dan dapat mengantarkan jiwa-jiwa mereka yang beruntung
mengalami cinta ini kepada Tuhan.
Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris
tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia dan
dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan,
dan karena itu sering berakhir dengan kematian
sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.
Ada begitu banyak dongeng dalam Tasawuf,
dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Layla dan Majnun.
Cerita aslinya , yang memiliki banyak versi yang lebih baru ,
sederhana saja.
Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Layla
dalam suatu perkumpulan.
Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya.
Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu.
Ketika seorang lelaki bernama Manazil datang ke pertemuan itu,
perhatian semua perempuan kecuali Layla terarah kepadanya,
yang membalas cinta Qays kepadanya.
Qays kemudian melamar dia kepada ayahnya , tetapi ayahnya menolak,
mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain.
Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran
lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang ,
hidup bersama binatang liar.
Julukan Majnun, yang berarti tergila-gila atau gila,
muncul akibat perilaku ini.
Ayah Qays membawanya berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa
ia akan sembuh , tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya
pada Layla.
Ketika sadar , Majnun menggubah beberapa puisi
mengungkapkan cintanya kepada Layla tetapi
ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.
Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis.
Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab dan
kemudian menjadi bagian dari tradisi sastera Persia.
Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini,
secara sangat panjang lebar , adalah karya penyair Persia
abad kedua belas Nizhami, yang mengubahnya menjadi salah satu
adikarya puisi liris Persia.
Sufi seperti Ahmad Ghazali , Attar, dan Rumi mengubah cerita ini
menjadi contoh cinta Allah dan manusia sebagaimana yang dipahami
dalam Tasawuf.
Amir Khusraw , penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India,
juga menyusun sebuah karya berjudul Layli dan Majnun
(Layla sebagai veri Persia dari Layla) dan mendedikasikannya
untuk Nizham al-Awliya', orang suci Delhi yang terkenal.
Selain itu , Sufi penyair abad kelima belas Jami' menyusun
sebuah karya besar dengan judul ini.
Kisah Layla dan Majnun menjadi terkenal bukan hanya dalam sastra Arab
melainkan juga Turki , Kurdi, Pashto, dan beberapa bahasa lainnya.
Dalam versi Sufi ini , kisah cinta terkenal ini, Layla atau Layli
melambangkan Zat Ilahi .
Nama Layla/Layli berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl),
dan itu berarti keindahan malam yang gelap,
dari sinilah akar pengaitannya dengan "cahaya gelap" Zat Ilahi,
yang menghitam karena intensitas cahayanya,
mengatasi cahaya yang terlihat, yang melambangkan manifestasi.
Adapun Majnun , artinya seorang gila, juga dilihat secara simbolis.
Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, dann bahkan cinta manusia
sering melanggar logika dan akal sehat serta tampak bagi mereka
yang tak mengalaminya sebagai sejenis ketidakwarasan.
Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya tentu akan tampak
seperti ditimpa sebentuk kegilaan dalam pandangan orang-orang umum
yang menganggap sikap abai terhadap Cinta Allah
sebagai keadaan yang normal.
Kisah indah Layla dan Majnun karena itu merupakan sarana
mengekspresikan Cinta Allah yang terbungkus
dalam bahasa cinta manusia.
#SHN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar