Selasa, 08 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA.

Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti 
hidup dengan sungguh-sungguh, dan 
orang yang menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya.

Keyakinan para Sufi ini menunjukkan pada kebenaran penting bahwa
cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan, 
melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting 
dalam perkembangan batin kita.

Seperti yang telah disebutkan, kekuatan cinta bersifat transformatif.
Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan 
dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri.
Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan 
substansi konkrit (menurut alkemi) melambangkan tranformasi batin
yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa ,
memungkinkannya meraih kesatuan dengan Ruh 
dalam cara yang konkret.

Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta.
Kita bisa mencintai orangtua, anak-anak , dan kerabat kita.
Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita.
Ada cinta pada alam dan seni .
Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci;
semuanya mengarah kepada cinta Tuhan.
Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya,
melakukan pengorbanan dan menderita , memberi dan memberi lagi.

Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa 
yang mendalam akan cinta murni yang bersifat Ilahiah.
Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia -
dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan - 
dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan dan 
cinta perempuan untuk lelaki .

Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa
secara emosional dan spiritual , dan ini terkait langsung dengan cinta 
dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Ruh.

Pernyataan ini tentu saja tidak menghapuskan kemungkinan 
keterlepasan dari cinta seperti itu demi Allah, 
seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang 
yang dipraktikkan agama-agama tertentu.

Cinta yang sejati dan autentik dalam pengertian romantis, 
dan bukan keterkaitan seksual semata, 
merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit.

Ia menghujam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat,
menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama.
Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasaan diri dan egoisme.
Menyebabkan sukacita sekaligus derita , kegairahan dan kerinduan.

Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan 
mengikatkannya pada objek kecintaannya, 
bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan 
memusatkannya pada satu objek itu saja.

Sifat kemutlakan cinta kepada Allah 
tercermin dalam cinta manusia seperti itu 
yang memerlukan peluruhan 
seluruh sikap mementingkan diri sendiri 
dan memberi tanpa batas.

Cinta seperti itu, jika autentik, 
tidak akan berkurang tatkala yang dicintai 
menjadi kurang cantik secara lahiriah 
dan  kehilangan daya tarik lahiriahnya,
sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukannya atributnya,
yang mungkin menyenangkan hati Pencintanya pada satu momen 
dan tidak pada demikian pada momen lainnya.

Itulah sebabnya cinta romantis yang autentik bertumbuh, 
bukannya berkurang , seiring berjalannya waktu.
Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya, 
yang Dia ciptakan berpasang-pasangan , 
seperti yang ditegaskan Al-Qur'an, dan cinta ini ...
dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan 
dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita .

Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.

Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan 
signifikansi spiritual.
Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi.
Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas, dan 
perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini,
yang mengembalikan , meski untuk sejenak ,
masuk ke dalam keutuhan androginik.

Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan 
dari kebahagian kesatuan jiwa dan Ruh , seperti yang dibicarakan
Hermetisisme Kristen serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya.

Seperti disebutkan di atas , 
jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini 
melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Ruh, 
seperti yang kita lihat dalam monastisime dan 
berbagai bentuk spiritualitas Kristen, 
namun kesatuan seksual tetap penting secara ruhani, 
khususnya dalam Tasawuf, yang seperti Islam selebihnya , 
memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral, 
sehingga harus diatur oleh Hukum Suci, 
bukan sebagai perbuatan dosa semata 
yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga.

Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fana 
atau anihilasi dan karenanya keterbebasan, betapapun sejenak,
dari belenggu keberadaan yang terpisah dan keterbatasan se hari-hari.

Dari sudut pandang Sufi , 
dorongan ke arah kesatuan seksual, 
yang merupakan dorongan sensual 
yang paling kuat di dalam sebagian besar manusia , 
pada kenyataannya merupakan pencarian jiwa 
akan kesatuan dengan Allah, 
terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta.

Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari sang Kekasih
atau ma'syuq, sebagaimana dikatakan para Sufi, 
yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin - Nya,
kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminim.

Dipandang sebagai Kekasih , 
dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminim 
yang dirindukan oleh jiwa lelaki.
Namun, 
dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan.

Dari sudut pandang metafisika murni, Allah tentu saja di atas 
mengatasi perbedaan lelaki dan perempuan sebagaimana 
dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi 
mentransendensi dualisme yin dan yang.

Al-Qur'an menggunakan kata-kata yang berasal dari kata hubb, 
ketika merujuk kepada cinta.
Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu, 
tetapi mereka menambahkan istilah 'isyq, 
yang menyiratkan cinta yang intens , 
dan mengklaim bahwa Al-Qur'an , sebagai kitab suci,
tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya.

Kata 'isyq, menurut sumber-sumber tradisional , diturunkan dari nama
untuk tanaman anggur yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon
dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati.
Etimologi puitis  ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam 
bahwa cinta  melibatkan kematian.
Seperti dikatakan Rumi,
"sang Kekasih hidup dan sang pencinta mati".
Di sini kita teringatkan pada "Nyanyian Cinta-Kematian"
(Liebestod) dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.

Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian, 
seperti yang kita lihat, misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat
seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet .
Kematian mereka tampak dari luar seperti berkaitan dengan kekuatan 
dan keadaan lahiriah, tetapi secara batiniah menunjukkan hubungan
antara cinta yang intens dan kematian.

Dikatakan bahwa untuk setiap lelaki ada seorang perempuan - 
dan sebaliknya - yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian 
sempurna sehingga ketika keduanya bertemu di bumi intensitas cinta 
mereka akan menyebabkan mereka mati.

Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini 
selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian - 
kematian terhadap ego sendiri, terhadap hasrat sendiri, 
terhadap kesenangan-kesenangan sendiri demi kepentingan yang lain.

Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri merupakan pantulan
dari Cinta Tuhan, yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita,
dan dapat mengantarkan jiwa-jiwa mereka yang beruntung 
mengalami cinta ini kepada Tuhan.

Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris 
tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia  dan 
dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan, 
dan karena itu sering berakhir dengan kematian 
sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.

Ada begitu banyak dongeng dalam Tasawuf, 
dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Layla dan Majnun.
Cerita aslinya , yang memiliki banyak versi yang lebih baru , 
sederhana saja.
Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Layla 
dalam suatu perkumpulan.
Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya.
Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu.
Ketika seorang lelaki bernama Manazil datang ke pertemuan itu,
perhatian semua perempuan kecuali Layla terarah kepadanya, 
yang membalas cinta Qays kepadanya.
Qays kemudian melamar dia kepada ayahnya , tetapi ayahnya menolak,
mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain.
Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran
lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang , 
hidup bersama binatang liar.
Julukan Majnun, yang berarti tergila-gila atau gila, 
muncul akibat perilaku ini. 
Ayah Qays membawanya berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa 
ia akan sembuh , tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya
pada Layla.
Ketika sadar , Majnun menggubah beberapa puisi 
mengungkapkan cintanya kepada Layla tetapi 
ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.

Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis.
Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab dan 
kemudian menjadi bagian dari tradisi sastera Persia.
Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini, 
secara sangat panjang lebar , adalah karya penyair Persia 
abad kedua belas Nizhami, yang mengubahnya menjadi salah satu 
adikarya puisi liris Persia.

Sufi seperti Ahmad Ghazali , Attar, dan Rumi mengubah cerita ini
menjadi contoh cinta Allah dan manusia sebagaimana yang dipahami 
dalam Tasawuf.

Amir Khusraw , penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India,
juga menyusun sebuah karya berjudul Layli dan Majnun 
(Layla sebagai veri Persia dari Layla) dan mendedikasikannya 
untuk Nizham al-Awliya', orang suci Delhi yang terkenal.
Selain itu , Sufi penyair abad kelima belas Jami' menyusun 
sebuah karya besar dengan judul ini.
Kisah Layla dan Majnun menjadi terkenal bukan hanya dalam sastra Arab
melainkan juga Turki , Kurdi, Pashto, dan beberapa bahasa lainnya.

Dalam versi Sufi ini , kisah cinta terkenal ini, Layla atau Layli 
melambangkan Zat Ilahi .
Nama Layla/Layli berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl),
dan itu berarti keindahan malam yang gelap, 
dari sinilah akar pengaitannya dengan "cahaya gelap" Zat Ilahi,
yang menghitam karena intensitas cahayanya, 
mengatasi cahaya yang terlihat, yang melambangkan manifestasi.

Adapun Majnun , artinya seorang gila, juga dilihat secara simbolis.
Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, dann bahkan cinta manusia 
sering melanggar logika dan akal sehat  serta tampak bagi mereka 
yang tak mengalaminya sebagai sejenis ketidakwarasan.

Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya tentu akan tampak
seperti ditimpa sebentuk kegilaan dalam pandangan orang-orang umum
yang menganggap sikap abai terhadap Cinta Allah  
sebagai keadaan yang normal.

Kisah indah Layla dan Majnun karena itu merupakan sarana 
mengekspresikan Cinta Allah yang terbungkus 
dalam bahasa cinta manusia.

#SHN.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar