Sabtu, 05 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF.

MIKROKOSMOS MANUSIA.

Ada keterkaitan antara manusia dan semua tingkat keberadaan semesta,
semua tahapan kosmos dipahami dalam arti tradisionalnya, 
dan bahkan Realitas Ilahi diluar kosmos.
Itulah sebabnya mengapa mengenali diri sendiri sepenuhnya 
berarti mengenal Allah, 
seperti yang ditegaskan hadis terkenal  Nabi yang sudah dikutip :

"Barang siapa mengenali dirinya sendiri , mengenali Tuhan-Nya."
Selain itu, 
mengenali diri sendiri sepenuhnya berarti juga 
mendapatkan jalan untuk meraih seluruh tingkatan realitas 
Pengungkapan Diri oleh Allah.

Sebuah pepatah Arab berkata , 
"Manusia merupakan simbol dari semua keberadaan."
(al-insani ramz al-wujud).
Itulah mengapa kita dapat mengetahui dunia 
dan bahkan semua tingkatan realitas kosmik di luar yang kasat mata.

Pengetahuan metafisikal tentang keadaan manusia 
merupakan aspek integral dari kebenaran 
yang dengan mengetahuinya 
berarti membebaskan kita dari belenggu kebodohan dan 
mengantarkan kepada pengetahuan tertinggi 
yang melampaui seluruh manifestasi, 
yang menerangi dan mengantarkan kita 
ke puncak kebebasan dan keselamatan.

Doktrin tentang keterkaitan antara mikrokosmos manusia 
dan makrokosmos semesta itu ditemukan dalam semua ekpresi autentik
filsafat perenial, seperti yang kita lihat ,misalnya , dalam Hermetisme
Yunani dan Kristen dan Kabbalah Yahudi dan Kristen.

Dalam tradisi Islam , 
hal itu ditemukan secara implisit dalam beberapa ayat Al-Qur'an , 
seperti dalam surah Al-Baqarah (2) yang menyatakan 
bahwa Allah mengajarkan kepada Adam , nama-nama segala sesuatu,
karena mengetahui nama , sebagaimana dipahami secara tradisional,
berarti juga memiliki korespodensi ontologis 
dengan wujud yang dinamai.

Hal ini dinyatakan secara lebih eksplisit dalam beberapa puisi 
'Ali bin Abi Thalib , sepupu sekaligus menantu Nabi, 
Khalifah keempat dalam Sunni , dan Imam pertama dalam Syi'ah, 
yang juga merupakan sumber mata air Tasawuf.

Dalam salah satu puisi terkenal yang diasalkan kepadanya dikatakan :

"Kau pikir dirimu adalah sebuah tubuh kecil,
  Namun tidak,
  di dalam diri mu tersimpan segenap semesta".

Kelak kaum Sufi menjabarkan doktrin ini dalam berbagai cara.
Bahkan , doktrin Manusia Universal (al-insan al-kamil) , 
yang dibahas dalam bab terakhir , mencakup kajian 
mikrokosmos - makrokosmos dalam cara yang mendasar.

Kita bukan tubuh semata , dan bukan pula tubuh dan emosi saja.
Pun manusia tidak  hanya tersusun atas pikiran dan tubuh, 
seperti yang tergambar dalam dualisme Cartesian.

Dualisme terakhir ini, yang muncul di Barat, 
memenggal realitas manusia, yang bentuk paling sederhananya
terdiri atas tiga bagian,tersusun dari tubuh, jiwa, dan ruh, yakni
corpus, anima, dan spiritus menurut pemikir Kristen abad pertengahan,
dan hyle, psyche, dan pneuma menurut banyak mazhab falsafah Yunani 
yang menjadi landasan bagi doktrin abad pertengahan.
Tapi bahkan pembagian tradisional menjadi tiga bagian ini 
meringkaskan situasi yang lebih kompleks.

Menurut Metafisika Sufi , 
kita memiliki realitas pada tingkat jasmani,
yang merupakan aspek paling kelihatan dari wujud  kita.
Di atas tingkat itu, kita memiliki realitas psikologis ,
yang memiliki berbagai peringkat.

Kemudian kita memiliki fakultas imaginal, 
yang berkaitan dengan dunia tingkat imaginal dari keberadaan kosmik, 
yang berkaitan dengan dunia psikis.

Kemudian ada pikiran , yang merupakan pantulan dari intelek .

Kemudian intelek itu sendiri 
(yang pada esensi dan tingkatan tertingginya disamakan dengan ruh )
pada tingkatan manusia juga memiliki beberapa derajat dan 
kembali bersesuaian dengan tatanan kosmik dan juga metakosmik 
yang dapat terpahamkan.
Dan akhirnya di tengah-tengah wujud kita sendiri 
bersemayam yang Ilahi , Diri dari seluruh diri.

Untuk setiap tingkat realitas ini,
ada fakultas-fakultas yang dapat mengetahui tingkatan tertentu itu
di dalam dirinya sendiri dan dalam kaitannya dengan keadaan wujud
yang lebih tinggi dan lebih rendah.

Mari kita ingat bahwa , seperti yang dikatakan Aristoteles , 
kita mengetahui sesuai dengan modus wujud kita ; selain itu, 
apa yang kita ketahui akan mempengaruhi keadaan wujud kita
Bisa dikatakan bahwa kita adalah apa yang kita ketahui 
dan kita mengetahui sesuai dengan siapa diri kita.

Kita memiliki fakultas penglihatan , sentuhan , pendengaran , penciuman
dan perasa lahiriah yang dengannya kita mengetahui dunia jasmani 
dalam tampilan luarnya.

Kita memiliki modus mengetahui secara psikologis , secara emosi, 
yang membawa kita pada kesadaran tentang hal-hal tertentu.

Kita memiliki fakultas imaginal untuk mengetahui 
yang dengannya kita dapat mengetahui dunia imaginal 
seperti yang nyata , ketika kita mempersepsi secara batin 
sebuah bentuk imaginal yang memiliki korespondensi eksternal.

Kemudian kita memiliki nalar , 
yang dapat mengetahui pola rasional dari eksistensi, 
tetapi bukan realitas nomenal dari sesuatu.
Di fakultas itu , terdapat intelek , tempat berdiamnya hati 
dan yang dengan bantuannya kita dapat mengetahui realitas spiritual 
dan yang terpahamkan akal maupun aspek dari realitas eksternal.

Melalui fakultas inilah , 
yang dalam kebanyakan orang sudah tidak aktif lagi ,
kita bisa mendapatkan visi tentang realitas spiritual.

Kaum Sufi merujuk pada fakultas ini sebagai "mata hati" ,
dan orang Hindu menyebutnya "mata ketiga" .
Terakhir , terdapat Percikan Ilahi atau Intelek Ilahi yang tercermin
di pusat keberadaan kita , di jantung hati kita, yang dengannya 
kita dapat dengan mengenal Allah, tetapi melalui Allah.

Pengetahuan hati yang bersifat prinsipal ini mengantarkan 
bukan hanya pada pengetahuan tentang semua hal dalam esensinya
melainkan juga pengetahuan tentang seluruh tatanan realitas 
selain dari Allah dalam terang Pengetahuan Tertinggi itu.

Pengetahuan yang mencerahkan terutama berkaitan dengan 
pengetahuan tentang Cahaya dari cahaya , 
untuk mengutip bahasa Sufi dan filsuf Persia abad kedua belas , 
Suhrarwadi , tetapi itu juga menyorotkan cahaya 
pada semua mode mengetahui yang lain 
dan mengubah objek pengetahuan dari fakta menjadi simbol, 
dari kegelapan menjadi cahaya, dan 
manifestasi terselubung menjadi tembus pandang 
tentang kenyataan batin..

Pengetahuan yang disebut Nabi sebagai cahaya 
tentunya bukan informasi atau pengetahuan konseptual , 
melainkan pengetahuan yang mencerahkan subjek yang mengetahui 
dan sekaligus objek yang diketahui.


Biasanya ketika kita berpikir tentang tubuh, kita membahasnya 
hanya untuk tubuh fisik dan berbicara tentang indra kita 
sebagai alat yang dengannya melalui tubuh kita mengetahui 
dan berinteraksi dengan lingkungan fisikal kita.
Tetapi banyak Sufi juga berbicara tentang beberapa badan 
di dalam diri kita , masing-masing memiliki fakultasnya sendiri-sendiri.

Dari sudut pandang ini, kita dapat mengatakan bahwa 
kita memiliki sebuah tubuh fisikal , 
sebuah tubuh halus dan imaginal di dunia psikologis dan imaginal, 

sebuah tubuh yang terpahamkan oleh akal , dan akhirnya
sebuah tubuh yang secara murni bersifat spiritual dan suci.

Setiap tubuh memiliki fakultasnya masing-masing  untuk mengetahui
dengan cara yang sama seperti tubuh fisikal kita memiliki 
lima indera eksternal .
Dan kecuali untuk tubuh kasar yang fisikal, 
seluruh tubuh yang lain ini abadi dan tidak pernah mati.
Dalam kebangkitan kembali semua tubuh ini, termasuk yang fisikal, 
dipadukan ke dalam realitas arketipalnya.

Kita semua ,laki-laki dan perempuan , berpotensi untuk menjadi 
Manusia Universal di sini dan saat ini, dan 
bukan pada suatu masa mendatang, seperti yang ditegaskan 
oleh beberapa penafsir palsu atas doktrin-doktrin tradisional.
Mereka percaya bahwa melalui beberapa macam proses dalam waktu 
atau kemajuan dan evolusi , maka akan muncullah yang disebut 
Ubermensch atau manusia super di hari esok yang jaya.

Gagasan berbahaya ini tidak lain kecuali distorsi demonik 
atas doktrin tradisonal .
Karena kita memiliki eksistensi di sini dan saat ini di bumi,
maka kita juga memiliki realitas pada saat ini juga 
di tingkat eksistensi yang lebih tinggi, 
bergerak naik menuju realitas prinsipal kita in divinis,
menuju arketipe kita di dalam Allah sebelum penciptaan dunia.

Untuk menjadi manusia secara penuh berarti mengaktualisasikan 
semua kemungkinan ini di dalam diri kita 
melalui pengetahuan, cinta, tindakan yang benar dan kebajikan.
Tujuan jalan Sufi adalah untuk kembali kepada arketipe purba kita
di dalam Allah.
Inilah maksud dari ujaran Sufi yang membingungkan ,
"Para Sufi tidak diciptakan".

Sufi dalam pernyataan ini tidak berarti 
hanya orang yang mengikuti jalan Tasawuf, 
melainkan orang yang telah mencapai akhir dari jalan itu, 
lalu kembali dan menyadari bahwa kenyataannya adalah 
kita berada di sini dan sekarang, 
melampaui seluruh batasan waktu dan ruang 
dan sebelum penciptaan dunia, dalam Realitas Ilahi.

#SHN.

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar