Jumat, 15 Januari 2016

FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSHD ; MUHAMMAD IQBAL (1877-1938 M)

FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSHD ; MUHAMMAD IQBAL (1877-1938 M)
1. Sekilas Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga
yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai
muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir
Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai mendapat
gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold,
seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya
dalam bahasa Arab & Inggris. [1]
Iqbal kemudian menjadi dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair serta buku. Akan tetapi, di sini tidak
dijalani lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di
Trinity College, Universitas Cambridge, London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak
belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga sering diskusi dengan para pemikir lain serta
mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti
kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy
gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in
Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, balik ke London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk
School of Political Science. [2]
Yang penting dicatat dalam kaitannya dengan gagasan seni Iqbal, adalah tren pemikiran yang berkembang di Eropa saat
itu. Menurut MM Syarif, masyarakat Jerman, saat Iqbal tinggal di sana, sedang berada dalam cengkeraman filsafat
Nietzsche (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Gagasannya tentang manusia super (superman)
mendapat perhatian besar dari para pemikir Jerman, seperti Stefen George, Richard Wagner dan Oswald Spengler. Hal
yang sama terjadi juga di Perancis, berada dibawah pengaruh filsafat Henri Bergson (1859-1941 M), élan vital, gerak dan
perubahan. Sementara itu, di Inggris, Browning menulis syair-syair yang penuh dengan kekuatan dan Carlyle menulis
karya yang memuji pahlawan dunia. Bahkan, dalam beberapa karyanya, Lloyd Morgan dan McDougall, menganggap
tenaga kepahlawanan sebagai essensi kehidupan dan dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai inti kepribadian
manusia. Filsafat vitalitis yang muncul secara simultan di Eropa tersebut memberikan pengaruh yang besar pada Iqbal.
[3]
Selanjutnya, saat di London yang kedua kalinya, Iqbal sempat ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di
Universitas London, menggantikan Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan
Inggris di samping mengisi ceramah-ceramah keislaman. Ceramahnya di Caxton Hall, yang pertama kali diadakan,
kemudian disiarkan mass media terkemuka Inggris. Namun, semua itu tidak lama, karena Iqbal lebih memilih pulang ke
Lahore, dan membuka praktek pengacara di samping sebagai guru besar di Goverment College Lahore. Akan tetapi,
panggilan jiwa seninya yang kuat membuat ia keluar dari profesi tersebut. Ia juga menolak ketika ditawari sebagai guru
besar sejarah oleh Universitas Aligarh, tahun 1909. Iqbal lebih memilih sebagai penyair yang kemudian
mengantarkannya ke puncak popularitas sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan dunia Islam. [4]
Akhir tahun 1926, Iqbal masuk kehidupan politik ketika dipilih menjadi anggota DPR Punjab. Bahkan, tahun 1930, ia
ditunjuk sebagai presiden sidang Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad, yang menelorkan gagasan untuk
mendirikan negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan antara masyarakat muslim dan Hindu. Meski mendapat
reaksi keras dari para politisi, gagasan tersebut segera mendapat dukungan dari berbagai kalangan, sehingga Iqbal
diundang untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar di London, tahun 1932, juga konferensi yang sama pada tahun
berikutnya, guna membicarakan gagasan tersebut. Tahun 1935 ia diangkat sebagai ketua Liga Muslim cabang Punjab
dan terus berkomunikasi dengan Ali Jinnah. Namun, pada tahun yang sama, ia mulai terserang penyakit, dan semakin
parah sampai mengantarkannya pada kematian, tanggal 20 April 1938.
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi
karya orang lain. Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, semua ia maksudkan agar karyanya bisa
diakses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab, saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di
dunia Islam dan dipakai masyarakat terpelajar. Karya-karyanya, antara lain, The Development of Metaphysic in Persia 
(desertasi, terbit di London, 1908), Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insan kamil) Rumuz-I Bukhudi
(Lahore, 1918), Javid Nama (Lahore, 1932), The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London, 1934), Musafir
(Lahore, 1936), Zarb-I Kalim (Lahore, 1937), Bal-I Jibril (Lahore, 1938), dan Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967,
kumpulan surat dan artikel Iqbal)
2. Gagasan dan pemikiran M. Iqbal
2.1. Metafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga
menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh
cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan
dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah
perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini,
karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen
tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalangpenghalang
tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan
cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain
adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut. [5]
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego
kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam
(terutama Barat). Ketika Iqbal meramu postulat, ―Saya berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)‖,
membedakannya dari pemikir Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan ―asketisme di sana―.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan
―kesadaran mistis‖ dan tentunya sangat bertentangan dengan ―kesadaran profetik‖. Kesadaran mistik adalah istilah
yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia
dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak
terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran
melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi.
Jadi, konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah pengidentifikasian keinginan pribadi dengan kehendak
Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian menjadi otonom,
tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito
ergo sum, karena eksistensi manusia tidak ada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri.
Intelektualisme yang hanya mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praktis.
2.2. Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang
kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan idealideal—
harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika
melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia
(penanggap).[6] Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam.
Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang
seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal
tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan
sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah
terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam
pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang
harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan
keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang
berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi
lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan ―hal baru‖ bagi kehidupan.[7] Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam
penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi ―saingan‖ Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup
dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan. Mari kita lihat syairnya.
Kedua, berkaitan dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar
menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni
sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa,
sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‗apa yang seharusnya‘ dan ‗apa yang belum ada‘, bukan sekedar
menggambarkan ‗apa yang ada‘ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai
kematian terhadap seni Timur yang meniru seni Barat.
Di negeri ini berjangkit kematian imaginasi
Karena seni asing dan mengikuti Barat
Kulihat awan kelabu dan Behzad masaku
Merombak dunia Timur yang kemilau nan abadi
O, para seni di Timur
Usai sudah kreasi masa kini dan masa lalu
Berapa banyak kreasi tercipta
Tunjukkan pada kami pribadi
Pada semua bidang membumbung tinggi
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M),
seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai
tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan,
etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam
bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh
penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang
dimiliki oleh sang seniman10. Dengan pernyataan seperti ini, mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat
hal, (1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis, (2)
bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu
(intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan
kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan
kepribadian seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri
penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras
kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak
ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilainilai
yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup
manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga
fungsional.
2.3. Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang
agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat
Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka
dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: ―Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban
tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah
menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram
Mekah, dimana hati manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati
atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan meninggalkan
insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi‖.
―Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan
mereka. Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak lebih dari
ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai
kemanusiaan dan keadilan. Apa yang terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di
negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan
Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan
sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah memusnahkan hati-hati manusia dan
membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan yang mulia‖.
Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi yang berlangsung dikalangan
peradaban Barat tidak hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri. Perkembangan teknologi informasi di era
modern telah membawa kerusakan ini merasuki negeri-negeri Islam, yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam.
Bagaimanapun, apa yang dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat Islam itu
sendiri. Walaupun di satu sisi peradaban Barat dilihat secara positif dari aspek ilmiah, tetapi bagi Iqbal, beliau
merasakan bahwa di dalam jiwa bangsa Barat tidak ada lagi wujud kasih sayang sesama umat manusia walaupun
mereka sering mendengungkan nilai-nilai humanisme. Dan tidak ada lagi kepercayaan Barat kepada kebebasan, keadilan
atau persamaan. Apa yang terjadi hanyalah bersifat teori dan bukannya praktek.
Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani mengeluarkan pernyataan: ―Perkembangan Eropa itu sebenarnya
tidak pernah memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali dan hidup. Apa yang mereka slogankan
dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah, tetapi apa yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan
golongan hartawan di atas air mata golongan fakir miskin‖.
Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Ini karena kaum Muslimin
memiliki pemikiran dan akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk wahyu (al-Quran; S 3 : 110).
Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi solusi kepada pelbagai problem kehidupan karena mempunyai
kekuatan sama ada dari segi rohani maupun jasmani. Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani
semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan.
Dalam waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya
(al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan ajaran Islam demi tercapainya tujuan
tersebut.
Adapun peraturan ciptaan manusia telah gagal mengemukakan gagasan penyelesaian dan mengangkat derajat
kemanusian kerana ia bersifat lemah (sementara). Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme
adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan tanpa nilai dan tanpa memiliki apaapa
tujuan. Berbeda sekali dengan pendekatan al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut
ajaran Islam adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153 dan S 16 : 90).
Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa
depan . Bagaimanapun, apa yang diragukan hanyalah, sejauh manakah perlaksanaan Islam dalam kehidupan
masyarakatnya pada waktu ini?. Adakah Islam yang hakiki terwujud dikalangan umatnya atau hanya sekadar dari aspek
syiar semata-mata?.
2.4. Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa Iqbal terjun ke dunia politik, bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Iqbal
terpilih menjadi anggota legislatif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal
semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‗Sir‘ oleh pemerintah Kerajaan Inggris di
London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di bidang intelektual dan
politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas kemampuan intelektualitasnya dan memperkuat
bargaining position politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Iqbal juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan
yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ditunjukkan sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslimin
tahun 1930. Iqbal memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan
warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya, ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk
Negara sendiri. Ide ini dilontarkan ke berbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang
politikus muslim yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara
Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat
menghadapi front melawan Inggris. Bagi Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas
republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu.
Sebagai seorang negarawan yang matang, tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam.
Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani.
Karenanya Iqbal sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Beliau yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi
dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahamannya yang dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka ia
berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas keIslamannya. Umat Islam tidak boleh
merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu
imperialis. Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan umat Islam kepada
Barat baik secara personal maupun sosial dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan
menghancurkan peradaban Islam.
Diantara paham Iqbal yang mampu ‗membangunkan‘ kaum muslimin dari ‗tidurnya‘ adalah ―dinamisme Islam‖, yaitu
dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum
hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu
tinggi Iqbal menghargai gerak, sehingga menyebut bahwa seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif ‗lebih baik‘ dari
pada muslim yang ‗suka tidur‘.
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen
etnis dan kesukuan (ras). Bagi Iqbal, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas
dan jauh dari sentimen nasionalisme. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam,
Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapan ―Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan
fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya
ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu
perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana),
atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam
agama Islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan
sebagai "negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua
faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan
seperti itu‖.
Demikian tegasnya prinsip Iqbal, maka ia berpandangan bahwa dalam Islam politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan,
bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi;
kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami
dewasa ini. Iqbal kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh umat Islam. Ujung dari konsep
kepercayaan diri inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan Iqbal disebut sebagai Bapak Pakistan.
2.5. Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur‘an
adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur‘an adalah
sumber hukum utama dengan pernyataannya ―The Qur‘an Is a book which emphazhise deed rather than idea‖ (al-Qur‘an
adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun Iqbal berpendapat bahwa al-Qur‘an bukanlah
undang-undang. Iqbal berpendapat bahwa penafsiran al-Qur‘an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan
pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan utama al-Qur‘an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan
dan alam semesta, jika al-Qur‘an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk
mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam.
Disamping itu al-Qur‘an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh
karenanya, walaupun al-Qur‘an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun
masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap
berjalan di tempatnya.
Iqbal mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur‘an disebabkan tidak memahami
bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur‘an. Iqbal begitu
terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam
menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat
manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi.
Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan
organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal,
al-Qur‘an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa
membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang
dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas
Hindu.
Satu segi mengenai al-Qur‘an yang patut dicatat adalah bahwa Iqbal sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa
diamati. Tujuan al-Qur‘an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol. Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat,
diantaranya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu
dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui".[8]
2.6 Al-Hadits
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadits dengan berpedoman
langsung kepada Nabi selaku yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya
dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur‘an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam
dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip
dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan
tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip
kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep
istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada jamannya belum
dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat.
Sikap ini diambil Abu Hanifah karena memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.
2.7. Ijtihad
Menurut Iqbal, ijtihad adalah ―Exert with view to form an independent judgment on legal question‖ (bersungguh-sungguh
dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadits
maupun al-Qur‘an memang ada rekomendasi tentang ijtihad. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi
rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh
ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka
ragam pendapat (madzhâb).
Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu pertama; Otoritas penuh dalam
menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja. Kedua;
Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb. Dan ketiga; Otoritas khusus yang
berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan
pendiri madzhâb.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati
diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide
ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat
ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur‘an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya
ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad
yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi
kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma‘ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam
konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma‘ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi
semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun
statis tidak berkembang selama beberapa abad.
[1]Muhammad Iqbal. Drs., ―Rekonstruksi Pemikran Islam‖, Kalam Mulia, 1994, hlm. 126.
[2]Mukti Ali, ―Alam Pikiran Islam Modern di India & Pakistan‖. Mizan. 1998. Hlm. 174.
[3]Bilgrami, ―Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya‖, terj. Djohan Effendi. Bulan Bintang. 1982. Hlm. 16.
[4]Syarif, ―Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan‖, terj. Yusuf Jamil. Mizan, 1993. Hlm. 93-94.
[5]Bilgrami, ―Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya‖, terj. Djohan Effendi. Bulan Bintang. 1982. Hlm. 15.
[6]Abd Wahhab Azzam. ―Filsafat dan Puisi Iqbal‖, terj. Rafi Utsman. Pustaka. 1985. Hlm. 38-43.
[7]Syarif, ―Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan‖, terj. Yusuf Jamil. Mizan. 1993 Hlm. 99. Lih. Ali Mudhaffir. ―Kamus Teori &
Aliran dalam Filsafat‖. Liberty. 1988. Hlm. 100
[8]QS. 30:2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar