Jumat, 15 Januari 2016

IQBAL ;FILOSOF ISLAM KONTEMPORER YANG MULTI DIMENSIONAL

I. Pendahuluan
Filsafat Islam disinyalir sebagai mata rantai atau 
perpanjangan tangan dari Filsafat Yunani. 
Hal ini tentunya menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai pihak. 
Walaupun diskursus mengenai Filsafat Islam masih dalam perdebatan, 
tetapi kita tidak memungkiri bahwa Filsafat Islam memiliki sistem filsafat sendiri. 
Sistem tersebut dibangun berdasarkan pada pedoman hidup Islam yakni al-Quran. 
Jika dilihat dari dimensi historis, filsafat Islam mengalami perkembangan yang signifikan. Lahirnya filsuf Islam kontemporer memupuskan pendapat yang menyatakan bahwa 
filsafat Islam telah berakhir setelah kematian Ibn Rusyd.

Pembicaraan berkenaan dengan pemikiran filsuf Kontemporer 
memerlukan waktu yang panjang. 
Hal itu dikarenakan banyaknya filsuf di dunia Islam yang lahir 
dan perkembangan pemikiran mereka sangat beragam. 
Sehingga, 
hal tersebut membutuhkan pembahasan yang mendalam dan menyeluruh. 
Oleh karena itu, 
dalam makalah ini penulis mengetengahkan Iqbal 
sebagai tokoh yang representatif dalam diskursus Filsafat Islam Kontemporer.

Iqbal merupakan tokoh yang memiliki cara yang berbeda 
dengan filsuf klasik dalam upaya rasionalisasi agama 
agar dapat diterima oleh akal. 

Ia tidak terbawa arus kepada pembicaraan mengenai Tuhan 
dalam kerangka klasik, 
seperti masalah pembuktiaan keberadaan Tuhan 
dengan menggunakan hukum kausalitas, 
sifat Tuhan dalam konteks qadim dan azalinya Tuhan 
dibandingkan dengan sesuatu yang bukan Tuhan. 

Iqbal juga tidak mengulangi apa yang pernah ditempuh 
oleh para filosof muslim karena titik singgung pemikiran agamanya 
berkiblat pada pemikiran filsuf Barat periode rennaisans.

Selain konsepsinya berkaitan dengan Tuhan, Iqbal berbicara mengenai manusia. 

Dia berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk dua dimensi 
yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. 

Dengan kata lain, 
manusia memiliki elemen jasmani dan rohani 
yang keduanya merupakan unsur yang menyatu. 

Perwujudan dari ide ini adalah bahwa 
manusia haruslah memiliki dua tanggungjawab secara sekaligus 
yaitu sebagai orang yang harus “membangun kerajaan di bumi” 
dan rohaninya mampu menyatu dengan Tuhan dalam setiap tindakannya. 

Ibadah, merupakan perwujudan pengalaman keagamaan 
dan panggilan yang datang dari manusia itu sendiri. 

Sembayang misalnya, 
merupakan naluri manusia untuk memperoleh pencerahan rohani 
sebagai realisasi dari kesadaran manusia akan keberadaannya 
sebagai bagian dari dunia yang lebih besar di luar dirinya. 

Melihat pemikiran Iqbal yang begitu unik dan fenomenal, 
maka saya merasa tertarik untuk menyuguhkan tokoh ini dalam sebuah makalah. 

Berikut ini, 
penulis akan mengetengahkan 
pembahasan mengenai biografi Iqbal, dan Filsafatnya, diantaranya adalah 
konsep mengenai 
Ego atau Khudi, Ketuhanan, Materi dan Kausalitas, serta Insan Kamil (Manusia Sempurna).

II. Biografi Muhammad Iqbal

Iqbal merupakan seorang penyair, 
sekaligus filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis Muslim. 
Dia dilahirkan di Sialkot-India pada bulan Dzulhijjah 1289 H, atau 22 Februari 1873, dan wafat pada tanggal 21 April 1938. 
Iqbal dilahirkan dari kalangan keluarga yang taat beribadah. 
Sejak masa kanak-kanak ia telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah, 
Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq, kakeknya.

Kemudian, 
Iqbal mendapatkan pengajaran al-Qur’an dan pendidikan Islam di sebuah surau. Selanjutnya, 
dia melanjutkan ke pendidikan dasar sampai tingkat menengah di Sialkot. 
Di sana Iqbal mendapatkan pendidikan yang baik. 
Setelah pendidikan dasarnya selesai, ia masuk ke Government College 
(Sekolah Tinggi Pemerintah) Lahore. 
Iqbal tercatat sebagai murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold. 

Iqbal lulus pada tahun 1897 dan mendapatkan dua medali emas 
karena kemampuannya yang baik dalam bahasa Inggris dan Arab, 
serta memperoleh beasiswa. hingga pada tahun 1909, 
ia mendapatkan gelar master dalam bidang filsafat.

Berkat kecerdasannya dalam memahami ilmu, 
dia mendapatkan bantuan beasiswa 
dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. 
Dia melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi di Lahore, 
di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman 
dengan mengajukan tesis berjudul The Development of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 
ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara.

Adapun karya-karya Iqbal yang tercatat diantaranya adalah 
Bang-i-dara (Genta Lonceng), 
Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), 
Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), 
Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), 
Jawaid Nama (Kitab Keabadian), 
Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), 
Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq 
(Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?),
 Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril),
 Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), 
Development of Metaphyiscs in Persia, 
Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam -
‘Ilm al-Iqtishâd, A Contibution to the History of Muslim Philosopy,
 Zabur-i-‘Ajam (Taman Rahasia Baru),
 Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).

Sebagai seorang pemikir, 
tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa 
gagasan-gagasannya tersebut lahir 
tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. 
Jika dilihat dari kondisi sosial politik di masanya, 
Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. 
Pada masa ini, 
pemikiran kaum muslimin di benua India sangat dipengaruhi 
oleh seorang tokoh religius, yaitu 
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan .

Dalam bidang politik, 
Iqbal menjadi aktivis partai Liga Muslim India. 
Pada tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab. 
Pada tahun 1930, ia menjadi presiden Liga Muslim India. 
Iqbal merupakan orang yang pertama kali 
menyerukan dibaginya India, 
sehingga kaum Muslimin mempunyai negara otonom. 
Hal tersebut tentunya tidak bertentangan 
dengan persatuan umat Islam dan Pan-Islamisme. 
Oleh karena itu, dia dijuluki sebagai Bapak Pakistan.

Di antara paham Iqbal 
yang mampu ‘membangunkan’ kaum muslimin dari ‘tidurnya’ adalah “dinamisme Islam”, yaitu dorongannya terhadap ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. 

Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, 
maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. 

Begitu tinggi ia menghargai gerak, 
sehingga ia menyebut bahwa 
seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif ‘lebih baik’ 
dari pada muslim yang ‘suka tidur’. 
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas, 
yaitu gigih menentang nasionalisme 
yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan (ras). 
Bagi dia, 
kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang 
di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme.

III. Filsafat Iqbal

a. Ego
Konsep dasar dari filsafat Iqbal adalah konsep tentang hakikat ego. 
Bahkan, 
konsep ini dijadikan pondasi bagi pemikirannya. 
Pembahasan berkaitan dengan ego dikupas dalam karyanya Asrar-I Khudi. 
Iqbal mengemasnya dalam berbagai puisi dan kumpulan ceramahnya 
yang kemudian dibukukan dengan judul 
The Reconstruction of Religious Thought in Islam.

Menurut Iqbal,
khudi memiliki makna harfiah, yakni ego atau individualitas. 

Ego sendiri berarti pusat atau landasan dari semua kehidupan 
yang merupakan suatu kehendak kreatif yang terarah secara rasional. 

Dengan kata lain, 
hidup bukan merupakan arus yang tidak terarah, 
melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur; 
suatu kegiatan sintetis yang melingkupi 
serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang terpisah-pisah 
dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. 

Iqbal juga menerangkan bahwa 
khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. 
Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-I Khudi.

Iqbal juga menyatakan bahwa 
Realitas Tertinggi sebagai suatu Ego. 
Kemudian, 
Ego Tertinggi merupakan sumber kebermulaan dari ego-ego. 
Energi Kreatif dari Ego Tertinggi berfungsi sebagai kesatuan ego-ego. 

Dunia dengan segala isinya merupakan manifestasi dari “Aku Yang Maha Besar”. 
Setiap atom yang kecil dalam skala wujud juga merupakan “ego”. 
Namun, 
yang membedakan antara “ego” yang satu dengan lainnya adalah 
pada tingkatannya atau gradasi. 
Jadi, 
terdapat ego yang memiliki intensitas yang kecil 
dan ada juga ego yang mencapai tingkat kesempurnaannya.

Walaupun Iqbal berpandangan bahwa 
ego-ego di alam semesta merupakan penjelmaan dari Tuhan (Aku Yang Maha Besar), tetapi Iqbal menolak panteisme. 
Sebenarnya, 
Iqbal berpendapat bahwa 
ego harus berjuang mempertahankan dan memperkuat individualitas. 
Jadi, 
tujuan ego bukan membebaskan diri dari batas-batas individualitas, 
melainkan memberi batasan tentang dirinya dengan lebih tegas. 

Adapun tujuan akhir ego adalah ‘menjadi’ sesuatu 
sehingga ia menemukan kesempatan 
untuk mempertajam pandangan objektif dan 
mencapai ‘aku’ yang fundamental 
yang memperoleh bukti realitasnya dirinya.

Pencarian ego adalah 
pencarian untuk mendapatkan definisi yang lebih tepat untuk dirinya. 
Tindakan tersebut tidak terbatas pada tindakan intelektual, 
melainkan suatu tindakan fundamental yang kreatif 
untuk memperdalam seluruh wujud ego dan mempertajam kemauannya. 

Inilah saat kebahagiaan terginggi dan 
juga percobaan besar bagi ego ketika ego menyadari bahwa 
dirinya bukanlah sesuatu yang dikenal melalui konsep, 
melainkan sesuatu yang harus dibangun secara terus menerus 
agar mengalami perkembangan.

b. Ketuhanan

Pemahaman Iqbal berkaitan dengan ketuhanan mengalami tiga tahap perkembangan.

Tahap pertama, dari periode 1901 hingga tahun 1908-an, 
Iqbal cenderung berpandangan mistik-panteistik. 
Hal itu tercermin dari kekagumannya pada konsepsi mistik 
yang berkembang di wilayah Persia, seperti Ibn ‘Arabi. 

Pada tahapan ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi. 
KeberadaanNya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu. 
Bahkan, 
Tuhan menampakkan diri-Nya pada segala sesuatu (manifestasi). 
Tuhan juga merupakan penggerak dari segala sesuatu. 
Oleh karena itu, 
Keindahan Ibadi adalah sumber, esensi dan ideal dari segala sesuatu; 
Tuhan itu universal.

Tahap Kedua, dari periode 1908 sampai 1902, 
Iqbal mulai menyangsikan tentang kekekalan 
yang melekat pada keindahan dan efisiensinya, serta kausalitas akhirnya. 
Sebaliknya, 
tumbuh keyakinan akan keabadian cinta, hasrat, dan upaya atau gerak. 

Kondisi ini tergambar dari karyanya, Haqiqat-I Husna (Hakikat Keindahan). 

Pada tahapan ini, 
Iqbal menjadikan Rumi sebagai pembimbing spiritualnya. 
Tuhan dalam hal ini menjadi asas rohaniah tertinggi dari kehidupan . 
Tuhan menyatakan diri-Nya dalam pribadi terbatas. 
Oleh karena itu, 
usaha mendekatkan kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. 
Dengan kata lain, 
manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya 
dengan menyerap sifat-sifat-Nya. 

Dengan menyerap Tuhan ke dalam diri, maka ego akan tumbuh. 

Kemudian, 
ketika tingkatan ego naik menjadi super ego, ia akan menjadi wakil Tuhan.

Tahap Ketiga, periode ini berlangsung dari tahun 1920 sampai 1983. 
Tahapan ini merupakan pengembangan 
menuju kematangan konsepsi Iqbal tentang ketuhanan. 
Menurutnya, 
Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”. 
Lalu, 
Hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual, 
dalam arti suatu individu dan suatu ego. 
Dengan kata lain, 
Ia merupakan Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya; 
tidak ada sesuatu pun di luar Dia. 
Ego Mutlak juga merupakan Ego Tertinggi yakni suatu Pribadi (individualitas).

c. Materi dan Kausalitas
Menurut Iqbal, 
kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah 
dan semua yang sekuler sebenarnya adalah suci 
dalam akar-akar perwujudannya. 

Adapun materi adalah suatu kelompok ego yang memiliki derajat (tingkatan) yang rendah.

Dari situlah muncul ego yang berderajat lebih tinggi. 
Hal itu terjadi apabila penggabungan dan interaksi mereka 
mencapai suatu derajat koordinasi tertentu. 

Iqbal menunjuk pada evolusi kehidupan bahwa 
sekalipun pada mulanya berasal dari hal yang fisik, 
tetapi pada akhirnya sampai pada kondisi dimana 
ia mencapai kebebasan sepenuhnya.

Iqbal menekankan bahwa kodrat kehidupan ego selalu berproses. 
Dalam artian, 
ego senantiasa mengalami perkembangan 
untuk berjuang meningkatkan dirinya 
ke arah individualitas yang lebih kompleks dan sempurna. 

Menurut Iqbal, 
alam semesta bukanlah produk yang sudah selesai, 
tak berubah, diciptakan sekali untuk seterusnya; 
ia adalah kenyataan dalam gerak gerak maju.

Jauh dari wujud yang tak berdaya dan statis, 
materi selalu mengalir dan berubah. 
Alam semesta bukanlah benda materi, melainkan perbuatan, 
aliran dari chaos ke kosmos, 
munculnya kehidupan dan kesadaran 
yang merupakan hasil suatu proses evolusi. 
Proses ini tak mempunyai batas, sebab tidak ada akhir untuk maju.

d. Insan Kamil (Manusia Sempurna)

Iqbal menafsirkan Insan Kamil (Manusia Sempurna) yaitu 
setiap manusia potensial merupakan mikrokosmos. 
Selain itu, 
insane yang telah mencapai tingkat kesempurnaan rohaniah 
menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan. 
Sehingga, 
sebagai orang suci dia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.

Manusia dengan segala kelemahannya 
masih memiliki posisi yang lebih tinggi daripada alam. 
Hal itu dikarenakan manusia mengemban amanah besar dalam dirinya. 

Sudah menjadi nasib manusia, 
turut mengambil bagian dengan cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan 
turut menentukan nasibnya sendiri terhadap alam itu. 
Selain itu, 
manusia mengerahkan seluruh kekuatannya 
agar dapat mempergunakan tenaga-tenaga alam itu 
untuk tujuannya sendiri.

Manusia senantiasa bergerak maju 
untuk selalu menerima cahaya yang baru 
dari Realitas Yang Tak Terbatas. 

Sang penerima cahaya Ilahiah itu 
tidak hanya seorang penerima yang pasif. 

Setiap tindakan ego yang merdeka 
menciptakan suatu situasi baru 
dan dengan demikian memberikan kemungkinan selanjutnya 
untuk kerja kreatif. 

Iqbal berpendapat bahwa 
tujuan seluruh kehidupan adalah 
membentuk insane yang mulia (Insan Kamil). 

Kemudian, 
setiap pribadi haruslah berusaha untuk mencapainya. 
Adapun kehidupan menurut Iqbal adalah 
proses yang terus maju ke depan 
dan esensinya ialah penciptaan terus-menerus. 

Penciptaan gairah baru dan cita-cita yang baru 
tentulah selamanya 
mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan.

IV. Penutup

Iqbal adalah seorang intelektual asal India-Pakistan 
yang telah melahirkan pemikiran dan peradaban besar 
bagi generasi setelahnya. 
Ia merupakan sosok pemikir multidisiplin, 
seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. 

Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, 
pak Natsir mengatakan, 
“tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. 
Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui”.

Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan 
dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, 
Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, 
yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. 

Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, 
bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini 
tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.

Namun yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia 
dengan bukti berupa literatur-literatur yang beredar luas, 
Iqbal adalah seorang negarawan, filosof dan sastrawan. 

Hal ini tidak sepenuhnya keliru 
karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. 
Dan jika dikaji, 
pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia, dan Tuhan) itulah 
yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India 
pada khususnya dan di belahan dunia timur ataupun barat pada umumnya, 
baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. 

Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.

DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Mohammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi:
Kitab Bhavan. 1981.
Iqbal, Mohammad. Rahasia-rahasia Pribadi, terjemahan Bahrum Rangkuti dari
Asrar-I Khudi. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Maitre, Miss Luce-claude Maitre. Pengantar ke Pemikiran Iqbal. diterjemahkan
oleh Djohan Effendi dari Introduction Iqbal to Thought. Bandung: Mizan. 1996.
M.M. Sharif, About Iqbal and His Thought. Lahore: Institute of Islamic Culture.
1996.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999.
Saiyidan K.G. Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan. diterjemahkan oleh
M.I. Soelaeman dari Iqbal’s Educational Philosophy. Bandung: Dipenogoro. 1981.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar