Kamis, 14 Januari 2016

KOSMOLOGI SEBAGAI PENENTU KESADARAN MANUSIA

Kosmologi Sebagai Penentu,-

      Rate This

KOSMOLOGI SEBAGAI PENENTU KESADARAN MANUSIA

PENDAHULUAN

Alam semesta dengan segala aspeknya, sudah menjadi perhatian oleh manusia semenjak dahulu kala. Beberapa pertanyaan esensial yang sama selalu hadir: dari mana dunia ini datang, dari apa dibuatnya, bagaimana dan kapan permulaannya, bagaimana akhirnya, seberapa besar dan lain sebagainya. Berbagai jawaban terus berkembang dari waktu ke waktu pada masing-masing bangsa dan peradaban. Jawaban itu menjadi cerita, cerita menjadi legenda dan legenda menjadi mitos. Itulah pengetahuan.

Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu, mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Dalam hal ini, teologi memang menempati urutan terdepan sebagai inspirator. Setelah sains berkembang dan teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.[1]

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai melakukan pengamatan lebih rasional terhadap alam semesta. Astronomi kemudian berkembang, dari pengamatan bintang dan planet melebar ke studi struktur dan evolusi alam semesta. Lahirlah Kosmologi, sains yang mencari pemahaman fundamental alam semesta.[2] Namun dalam perkembangan selanjutnya, kosmologi yang merupakan bagian dari sains dijadikan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk tujuan tertentu. Sifatnya sebagai ilmu yang netral ternyata menjelma menjadi hidden agenda. Hal ini kemudian adanya kesenjangan antar peradaban manusia di dunia. Peradaban barat mengklaim dirinya sebagai superior dan secara tidak langsung memaksa the others untuk mengakuinya.


Apa Itu Kosmologi?

Kosmologi adalah salah satu cabang ilmu astronomi, dengan fokus utama pada alam semesta skala besar (cosmos). Yang dipelajari dalam kosmologi antara lain bagaimana terbentuknya alam semesta, proses-proses apa saja yang mungkin terjadi sejak awal terbentuk sampai sekarang, dan juga memprediksi bagaimana akhir alam semesta ini kelak –-kalau ternyata alam semesta memiliki akhir.

Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Makna Istilah kosmologi dan ideologi tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Makna kosmologi ialah serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang tersistematis mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai ‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan makna ideologi antara lain ialah serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai perilaku manusia.[3]

Di tengah umat manusia, terdapat aneka ragam kosmologi. Dengan pertimbangan diterima atau tidaknya alam immateri atau supranatural, semuanya bisa dibagi dalam dikotomi kosmologi ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme. Penganut kosmologi materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis) sedangkan sekarang lazim disebut materialis.[4] Ada banyak paham yang membidani lahirnya materialisme, dan di antaranya yang paling termashur ialah Materialisme Dialektik yang menjadi elemen filosofis ajaran Marxisme.


Kosmologi Zaman Modern[5]

Dalam era pasar global, kosmos tidak lagi dilihat semata-mata sebagai ciptaan Tuhan yang teratur, struktur teratur (cosmos) dari berbagai entitas (tanah, air, api dan angin), atau sebagai emanasi dari the ultimate reality. Akan tetapi akan dilirik sebagai sebuah pasar, tempat komunitas penjual dan pembeli dan aneka variabel yang menyokong relasi perekonomin (produksi-distribusi-advertasi) terjadi, yang eksistensinya dicipta dan ditopang jaringan informasi dan komunikasi virtual.

Kosmos terbangun dari aneka fenomena nyata keseharian dan interaksi manusia yang dibidik melalui lensa “dagang” dan disuguhkan secara virtual melalui internet, TV, dan media massa sejenis. Karena yang dibidik
merupakan fenomena aktual keseharian, maka kosmologi baru ini bernuansa fenomenologis; karena disuguhkan melalui media virtual maka kosmologi ini bersifat virtual; dan karena pemegang lensa-pembidik-penyuguh fenomena itu punya agenda tertentu maka kosmologi baru ini juga bersifat intensional (fenomenologis-virtual-intensional).[6]

Hal senada juga bisa disimak saat kita menyaksikan suguhan perang (invasi) AS dan sekutunya ke Irak, misalnya. Liputan perang di Irak yang dilakukan media dengan memotret kisah-kisah tragis-bengis dan kepahlawanan tiap hari dan dibidik/disuguhkan dengan intensi (agenda) tertentu, juga menandakan geneology (kosmogoni) dan definisi baru dari kosmos. Persaingan tayangan antara media barat dan media timur mengisyaratkan sifat intensionalitas setiap bidikan dan suguhan. Ke mana kamera dibidikkan, tergantung mereka yang mempunyai dan membawa kamera.

Memang tayangan-tayangan virtual perang di Irak mencipta gugusan kosmos yang lebih plural. Gugusan kosmos itu bisa merupakan horizon yang mencipta AS dan sekutunya sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan yang memerangi bentuk totalitarianisme ala Saddam Hussein, atau bisa juga menciptakan horizon yang melukiskan AS dan sekutunya sebagai wajah neokolonialisme yang berhadapan dengan Saddam Hussein sebagai pahlawan pembela kedaulatan sebuah negara.

Biarpun plural sosok kosmologi yang terbentuk, tayangan perang Irak menorehkan gambaran-gambaran virtual di dinding-dinding imaji dan kesadaran manusia, yang pada gilirannya menancapkan patok-patok demarkasi atau horizon atau kosmologi seseorang, yang akhirnya membatasi ruang imajinasi.

Kosmos sudah tidak lagi dibatasi oleh bentangan spasial yang mengakhiri atau menjadi batas kita bergerak, tetapi dibatasi oleh horizon-horizon yang tercipta dari aneka suguhan virtual yang mengepung kita, yang dibidik dan disuguhkan dengan agenda tertentu. Kemampuan kita menakar siapa AS atau Irak, terbatasi perspektif kita yang terbentuk dari imaji-imaji virtual tersebut.

Mengingat kosmologi selalu dicipta berdasar perspektif atau lensa tradisi tertentu, maka ia tidak pernah netral. Lensa atau perspektif itu selalu intensional. Karena itu pemahaman akan kosmogoni, akan bagaimana kosmos tercipta (geneologi kosmos), dan defenisi kosmologis yang diproduksi, serta ciri-ciri khas “lensa” yang menciptanya, akan membantu kita untuk mampu mengambil jarak atas “intensionalitas” lensa itu dan membuat kita mampu mentransendensi diri dan imajinasi kita dari kelopak bangunan kosmos tertentu.

Merunut sejenak ke belakang, kita akan menemukan kembali beberapa ciri khas lensa pembidik dan penyuguh realitas yang menggugus menjadi bangunan kosmos: era mitologis yang lebih ditandai pemanfaatan peran imajinasi dalam mencipta kosmos; era tradisi agama, yang menggabungkan imajinasi dan rasionalitas yang dilandasi keyakinan (faith); era modern, yang ditandai pemanfaatkan peran rasionalitas dan materialisme; dan era “postmodern” yang ditandai ciri-ciri fenomenologis dan virtualitas, atau pemanfaatan kemampuan perception dalam menancapkan image-image virtual dari fenomena-fenomena keseharian.

Kosmogoni (geneologi tentang kosmos) mencipta dan menentukan macam kosmologi, sedangkan macam kosmologi menentukan bentuk antropologi, yakni bagaimana manusia memahami dirinya, menempatkan dirinya dalam kosmos, dan meletakkan dasar-dasar prinsip sosial dalam berelasi dengan orang lain.

Kosmologi, yang dibangun berdasar fenomena-fenomena keseharian, yang dibidik dan disuguhkan secara virtual dengan intensionalitas tertentu, yang akhirnya mengandalkan peran kehidupan mental untuk menancapkan jangkar-jangkar imajinasi-persepsi, dengan demikian, membutuhkan perumusan kembali filsafat antropologi yang bisa memberi dasar-dasar etis bagi relasi sosial.


Sikap Kita

Dalam tataran lebih konkret, membiarkan diri terhadap kosmogoni dan kosmologi modern yang berciri fenomenologis-virtual-intensional akan membuat kita sekadar menjadi “bidak-bidak catur” yang berkutat dalam jaringan-jaringan mekanis aksi-reaksi yang dicipta oleh media virtual. Kapasitas kita sebagai subjek dan agen dari tindakan pun tereduksi ke tingkat tertentu sehingga kita sekadar sebuah unsur/emblem dari jaringan/lalu lintas aksi-reaksi yang  kompleks.

Karena subjek tereduksi sebagai unsur atau sekadar bagian sebuah sistem maka kerangka moralitas yang menjadi dasar penilaian tindakan  –yang mengandaikan adanya subjek yang menentukan dan menguasai tindakannya– menjadi kabur dan tidak punya dasar. Dan kita tidak pernah mampu mentransendensi diri dari kelopak dan kepungan kosmologi yang tercipta dari image-image virtual tersebut. Sadar ataupun tidak, kesadaran kita telah dibentuknya. Sifat kita sebagai subjek yang mandiri, yang bebas dalam menentukan pilihan sudah tidak berfungsi.  Kita selalu saja menerima begitu saja –bankan dengan senang hati– dijadikan sebagai objek. Seolah kita (Bangsa timur-Muslim) memang telah ditakdirkan untuk menjadi objek bagi the other.

Pertanyaannya adalah mengapa kita bisa menjadi sedemikian pasrah dengan kenyataan yang terjadi? Apakah kita memang benar (seperti anggapan mereka); bangsa yang tidak beradab? Menurut Hassan Hanafi, kita menjadi begitu lemah dikarenakan ego kita mengalami krisis. Kita begitu silau menyaksikan kemegahan peradaban the  other akibatnya mental kita pun ciut dibuatnya. Secara pragmatis, keberadaan the other di tengah-tengah kita membawa berbagai keuntungan tersendiri. Namun secara politis, kita talah dibuatnya menjadi kehilangan kesadaran kebangsaan kita, sebagai bangsa merdeka. [7]

Sesuai dengan kesadaran sejarah yang ada, peradaban kita sekarang menuntut adanya sikap kritis dari anak bangsanya. Labih lanjut Hanafi merumuskannya dalam tiga hal, antara lain; sikap kritis terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap tradisi barat dan terakhir, sikap kritis terhadap realitas kita dengan mengubah dan mengembangkannya.[8] Dengan demikian sifat kita sebagai subjek dapat berfungsi kembali. Atau setidaknya ada timbal balik, kita menjadi objek bagi barat dan sekaligus barat pun menjadi objek bagi kita.

Adanya pengaruh kebudayaan barat dalam kesadaran kita seolah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita. Pengaruh tersebut sudah mengakar kuat dalam budaya dan pola pikir kita karena memang sudah terjadi dalam rentan waktu yang begitu lama, semenjak zaman nenek moyang. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita harus mengkritisi apa yang terjadi dengan tradisi lama. Baru kemudian kita menentukan sikap kritis terhadap barat, dalam rangka untuk memperbaiki tradisi/budaya kita selanjutnya. Karena untuk dapat mengembalikan peran bangsa sebagai subjek, terlebih dahulu harus melakukan auto-kritik dan kritik terhadap the other.



PENUTUP

Meskipun kini zaman sudah menjadi modern, namun alam semesta sebagai objek kajian kosmologi, tetaplah masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kemenangan kosmologi materialisme atas kosmologi ketuhanan telah membawa teka-teki tersendiri bagi realitas hidup manusia, terutama penganutnya. Ternyata rasionalitas manusia tidak selamanya mampu mengungkapkan berbagai fenomena yang terjadi di alam semesta ini.

Namun bagi yang tetap mengakui kosmologi ketuhanan tentu saja membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya. Ada kecenderungan pesimistis dalam sikap hidup mereka. Hal ini yang kerap dijadikan sebagai celah oleh the other untuk memanfaatkannya untuk tujuan tertentu, yang kerap kali tidak menguntungkan bagi objeknya.

Sampai kapan pun, adanya kategorisasi memang selalu membawa kesenjangan karena (barangkali) diciptakan untuk membuat kesenjangan. Adanya kategorisasi kosmologi ketuhanan dan kosmologi meterialisme atau kategorisasi antara peradaban timur dan barat dan juga kategorisasi dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga misalnya, memang diciptakan dalam rangka membentuk kesenjangan karena dalam kesadaran alamiah manusia selalu mengakui ada “yang baik” dan yang lain ”buruk”. Terlebih lagi jika kategorisasi tersebut memang terbentu dalam rangka politik tertentu. Terbentuknya dialektika di antara sesama bahkan telah menjadi epistemologi tersendiri dalam ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan selama ia tetap menjadi pengetahuan tentu akan selalu mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi perubahan tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan. Usaha untuk itu pun tidak mudah karena membutuhkan proses yang panjang dan kerja keras yang tak ada habisnya. Tapi pertanyaannya, akan sampai kapan ilmu pengetahuan akan dapat mencapai kesempurnaannya? Wallahu a’lam.[]

DAFTAR PUSTAKA




Robertus Wijanarko Rohaniwan, mahasiswa S-3 Filsafat DePaul University, Chicago. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/opini/275463.htm



Febdian Rusydi, Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains. www.febdian.net, 14 Juni 2005



[1]Dikutip dari Febdian Rusydi, Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, http://www.febdian.net,  14 Juni 2005

[2]Sumber: A.M. Djelantik, Estetika: Sebuah pengantar, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), h. 103

[3]Sumber: Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Agama dan Kosmologi, www.icc-jakarta.com,

[4]Ibid

[5]Dikutip dari Robertus Wijanarko Rohaniwan, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/opini/275463.htm

[6]Ibid

[7]Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Barat, (Jakarta: Paramadina,2000), h. 20

[8]Ibid, h. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar