Matinya Metafisika Barat
Rate This
MATINYA METAFISIKA BARAT
(Suatu Pengantar ke Pemikiran Martin Heidegger)
A. PENDAHULUAN
Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Positivisme,
terutama di bidang ilmu pengetahuan.
Abad positivisme ditandai oleh peranan yang menentukan dari pikiran-pikiran ilmiah.
Tokohnya adalah August Comte (1798-1857) yang terkenal dengan
hukum tiga tahap pemikiran manusia:
Teologis, Metafisik, dan Positivisme yang bermakna real dan ilmiah.
Positivisme memberikan inspirasi yang luar biasa
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-19 hingga abad ke-20.
Namun pada awal abd ke-20, berkembang aliran-aliran pragmatisme,
dengan tokohnya William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952)
di Amerika Serikat.
Fenomenologi dengan tokohnya Edmund Husserl (1859-1938)
dan kemudian Eksistensialisme yang dibintangi oleh Soren Kierkegard,
Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jasper dan Gabriel Marcel
yang menekankan pada eksistensi manusia dengan seluruh otonaminya yang tak terbatas.
Aliran-aliran pemikir ini kemudian dikenal dengan Post-modernisme.
Inti dari pemikiran abad Post-Modernisme adalah
kritik terhadap pemikiran abad modern
yang memposisikan rasionalitas di atas segala-galanya.
Abad Modern dari filsafat Barat terryata sudah sampai pada titik puncaknya,
dimana banyak pemikir yang berusaha menggoyang kemapanannya.
Dalam hal ini, Martin Heidegger (1884-1976) ialah salah satunya,
seorang filsuf kenamaan Jerman sekaligus santri Edmund Husserl sang fenomenolog.
Dengan maha karyanya Sein und Zeit (Ada dan Waktu)
yang menggemparkan ini ia sesungguhnya
bercerita bahwa metafisika Barat sudah mati.
Apakah benar bahwa metafisika barat telah mati?
Lalu yang dimaksud Heidegger dengan matinya metafisika Barat itu bagaimana?
Entahlah…, yang paling tahu persis hanyalah Heidegger sendiri,
karena kita di sini hanyalah sebatas menafsirkan.
Dan sebagaimana yang Heidegger sendiri katakan,
“Tidak ada yang baku dari penafsiran.”
Tapi bagaimana mungkin kita bisa memahami sesuatu tanpa dengan menafsirkan?
Apakah mungkin bahwa pemahaman dapat muncul dengan sendirinya,
tanpa kita memaksanya sebagaimana yang ia ceritakan?
Entahlah.., semua serba Entahlah!
Oleh karena itu,
dalam pembahasan kali ini penulis berusaha menafsirk ulang
apa yang dimaksud Heidegger dengan “Matinya Metefisika Barat” dalam pemikirannya
B. PEMBAHASAN
Martin Heidegger adalah orang yang pertama mengungkapkan kritik terhadap tradisi metafisika Barat yang secara sistematis mempersoalkan sejarah ontologi. Menurut Heidegger, dalam sejarahnya, metafisika Barat selalu mempertanyakan Ada, tanpa menghubungkannya antara Ada (being) dan adaan (beings). Padahal hubungan ini tidak bisa terelakkan jika kita hendak memahami kehidupan.
Dalam kritiknya, Heidegger sebetulnya sedang menggugat posisi pikiran yang selalu diletakkan sebagai subjek atau tolak ukur realitas, sementara adanya subjek sendiri telah terabaikan. Metafisika Barat selalu mengembangkan suatu pendekatan yang memprioritaskan logos di atas segala-galanya. Logos dianggap sebagai sesuatu yang universal dan tidak bisa diganggu gugat.
Poros pemikiran Heidegger bermuara pada apa yang disebut pembedaan ontologis (ontologishe differenz), yaitu antara Sein (Ada) dan Seinde (Mengada). Di sini F. Budi Hardiman memberikan penerjemahan bahwa Seinde biasanya diterjemahkan sebagai “Adaan.” Seinde harus dipahami secara aktif, yaitu mengada, karena ia tidak tergeletak begitu saja, melainkan bermukim. Istilah “Being-in-the-world” bukan hanya ada di dalam dunia, melainkan bermukim, ada nuansa aktifitas di sana.[1] Untuk memahami Ada, menurut Heidegger, kita harus memulai dari Mengada yang bisa mempertanyakan Ada. Tidak semua Mengada bisa bertanya tentang Ada. Yang bisa melakukan itu hanyalah Dasein.[2] Dasein berarti “Ada-di-sana.” Ada-di-sana untuk menunjukkan ciri khas kemewaktuan dan keterlemparan manusia, atau faktisitas (Faktizität), kenyataan bahwa manusia telah ada di dunia, dan pertanyaan tentang muasalnya yang tidak relevan. DaseinDasein tidak seperti Mengada yang lain, ia selalu dalam proses menjadi Ada. Oleh karenanya, Dasein mungkin ada, tapi juga mungkin tiada. Bahkan Dasein adalah kemungkinan itu sendiri (Seinkönnen). Dasein selalu berproses mencari jati dirinya, yakni dengan memahami (verstehen) Ada sebagai eksistensi Dasein itu sendiri. Hal ini mungkin dilakukan Dasein dengan menyembul keluar dari keseharian, yang melupakan Ada, dan menyadari Adanya. bisa mempertanyakan Ada karena memiliki hubungan dengan Ada-nya.
Manusia adalah wadah satu-satunya bagi penyingkapan Sang Ada. Ia berdiri dalam suatu hubungan hermeneutis, dimana ia adalah seorang pembawa pesan, pengungkap keberadaan. Manusia adalah media yang menghubungkan jurang antara Ada yang tersembunyi dan yang terungkap; antara ketidak-beradaan dan keberadaan.
Bagaimana hal itu mungkin? Keberadaan manusia sebagai Dasein tidak bisa disamakan dengan benda-benda yang lain. Manusia memiliki potensi untuk mempertanyakan keberadaannya. Melalui mempertanyakan ini, manusia membuka diri terhadap realitas. Dengan mempertanyakan, manusia telah menggambarkan keberadaan ke dalam penampakan Ada itu sendiri. Proses mempertanyakan merupakan media eksistensi manusia. Namun, kebanyakan orang tenggelam dalam kelupaan akan mempertanyakan.
Proses mempertanyakan yang selanjutnya yaitu menginterpretasi, tidak dalam pengertian filsafat modern yang menggunakan pengandaian subjek-objek, dimana subjek begitu dominan dan berusaha menguasai objek melalui unsur manipulatif. Ketika unsur-unsur subjektivitas begitu dominan dalam proses interpretasi, maka yang terjadi bukanlah pengungkapan realitas, melainkan pemaksaan. Realitas, sejak Descartes, selalu tertutup oleh hasrat kesadaran subjektif. Selama ini realitas hanya dipahami sejauh kesadaran subjektif memahaminya, sehingga ketertutupan das ding an sich menjadi niscaya. Apa yang dilakukan Husserl melalui metode fenomenologis juga tidak mampu mengungkap realitas, sebab kesadaran subjektif masih menjadi penentu di sana. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.
Bagi Heidegger, kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, melainkan juga sadar sebagai sesuatu. Kita tidak sekedar sadar akan sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Bukan kesadaran yang lebih utama daripada Ada, melainkan Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri. Heidegger menekankan bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia. Karena memang realitas tidak terpenjara dalam kesadaran subjektif, melainkan realitas sendirilah yang pada akhirnya menelanjangi dirinya di hadapan subjek.
Realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri. Proses penyingkapan realitas itu terjadi melalui pengungkapan jati diri manusia yang dimulai dari mempertanyakan. Manusia adalah wadah satu-satunya bagi penyingkapan Sang Ada. Ia berdiri dalam suatu hubungan hermeneutis, dimana ia adalah seorang pembawa pesan, pengungkap keberadaan. Manusia adalah media yang menghubungkan jurang antara Ada yang tersembunyi dan yang terungkap; antara ketidak-beradaan dan keberadaan.
Berangkat dari proses mempertanyakan, berpikir, dan menginterpretasi (hermeneutic)[3], Heidegger kemudian membahas bahasa sebagai satu yang amat signifikan dalam bangunan filsafatnya. Heidegger berpendapat, bahasalah yang membuat manusia menjadi manusia. Pertanyaan tentang hakikat manusia, pertama-tama seharusnya adalah pertanyaan tentang hakikat bahasa. Sebab bahasalah yang memberi kemungkinan kepada manusia menjadi manusia. Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Heidegger telah terlibat secara serius dalam pembicaraan tentang bahasa. Bahasa adalah sarana bagi pengungkapan Ada kepada manusia. Bahasa adalah rumah Ada (das Haus des Seins), dan manusia bermukim di dalam bahasa.[4]
Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandaikan. Keberadaan menjadi mungkin ketika ada ketersingkapan. Dengan begitu, tidak akan ada keberadaan tanpa ketersingkapan, dan tidak ada ketersingkapan tanpa keberadaan; demikian pula tidak ada keberadaan tanpa bahasa, dan tidak ada bahasa tanpa keberadaan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri. Dengan demikian, hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermenutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks.[5] Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
Di titik lainnya Heidegger merumuskan gagasan fenomenologi yang dipinjam dari Husserl dengan sebaris slogan “kembali kepada kenyataan itu sendiri”. Heidegger bersikeras melepaskan diri dari tradisi filsafat Barat yang bercorak metafisik. Tradisi filsafat Barat lalai membedakan antara “Ada” (being) dengan “a” besar dan “adaan” (beings). “Ada” ditafsirkan sama dengan “adaan” namun “ada” sendiri bukan rumah, jalan atau pohon itu sendiri. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “adaan”, filsafat Barat yanag lupa akan “Ada” melukiskan “ada” sebagai benda-benda deskriptif, sedangkan “Ada” dengan “a” besar lebih agung dari itu. Maka, filsafat Barat mulai Plato hingga Nietzsche menurut Heidegger pada dasarnya memiliki satu pemahaman tentang “Ada”. ”Ada” dipahami sebagai prinsip universal yang menyangga hal ihwal. Apakah itu ide, subtitusi, atau kehendak untuk berkuasa (will to power). “Ada” dasein adalah “ada-dalam-dunia” yang harus dipahami sebagai suatu kesatuan. Maksudnya “ada” dasein dan dunia tidak dapat dipisahkan dan berbeda satu sama lain.[6]
Manusia mengada dalam dunia (ruang dan waktu) atau dasein. Dasein tanpa disadari terus bergelut dengan dunia penafsiran sebagai prinsip dasar dari hermeneutika-fenomenologi. Hermeneutika yang melepaskan diri dari polarisasi subjek-objek. Subjek yang memahami objek. Subjek penafsir selalu sudah berada dalam dunia yang membuatnya terselubungi struktur presuposisi tertentu. Struktur yang menentukan kemungkinan makna-makna yang muncul pada objek penafsiran. Memahami objek bagi Heidegger, sama saja dengan melakukan suatu eksplitasi eksistensi dasein dari kekaburan-kekaburan sehari-harinya. Penasiran bersifat melingkar, bertolak dari teks. Penafsiran menyingkap struktur presuposisi dasein. Struktur presuposisi yang pada gilirannya diperkaya oleh perjumpaan dengan teks. Heidegger dilepaskan dari kerangka epistemologi untuk dikembalikan pada ontologi eksistensial.
Metode penafsiran ini berarti upaya untuk menyingkap struktur dan hakikat “Ada” melalui analisis eksistensial. Hermeneutika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia atas bentuk-bentuk ungkapan pemahaman itu. Mengikuti Heidegger dan Gadamer, bahasa adalah berada yang khas manusiawi di dunia ini. Maka objek utama hermeneutika akhirnya adalah segala bentuk permainan bahasa yang memungkinkan manusia memahami dunia dan dirinya sendiri.
C. PENUTUP
Pada intinya, Heidegger hendak mengetakan bahwa filsafat barat memahami Ada hanya sebagai pusat segala sesuatu. Dan manusia adalah pusat dari Ada, bahkan manusia sebagai subjek disamakan dengan adaan dan dipahami sebagai ada. Menurutnya, inilah problem dalam modernitas (tema besar yang diusung dalam filsafat barat), bagaimana mungkin filsafat barat mampu wujudkan mimpi modernitas jika antara Ada (being) dan adaan (beings) saja tidak bisa dibedakan. Filsafat barat telah terjebak dalam dialektika intelektual, yang kerap disebutnya dengan Logosentrisme.
Dalam hal ini Heidegger pun menawarkan sebuah solusi bahwa, rasionalitas tidak bisa dipahami semata-mata objektif, melainkan sebetulnya dipengaruhi oleh pra-pemahaman yang belum diobjektifkan mengenai dunia sebagai Ada, sebagaimana yang dipahami dalam eksistensi konkret (da-sein). Kemudian pemahaman fenomenoligis sebagaimana yang diceritakan Edmund Husserl harus digantikan dengan hermeneutika ontologis, di mana aktifitas berpikir adalah menafsirkan. Akan tetapi menafsir di sini bukan semata-mata menafsir, melainkan aktifitas menafsir yang analisis eksistensial adalah sebagai kuncinya. Dalam arti, klaim kebenaran harus dihubungkan dengan autentisitasnya.[7]
Usaha keras Heidegger untuk membongkar tradisi Logosentrisme filsafat Barat yang sudah mendarah daging memang patut diacungi jempol. Meski sebetulnya usaha tersebut dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil. Karena Heidegger sendiri pun masih dibayang-bayangi logosentrisme yang hendak dibedahnya. Bagi Derrida, yang juga pengagum berat Heidegger, kegagalan Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang logosentrisme terlihat jelas dari metode fenomenologi yang digunakannya dalam rangka menyingkap sang Ada. Nuansa “metafisika kehadiran” dalam pemikirannya juga masih terlihat di sana-sini.[8]
Heidegger juga sepertinya masih terjebak pada perkara kesadaran subjektifitas untuk menyingkap sang Ada. Dia menyisakan harapan seperti yang dilakukan eksistensialis lainnya mengenai karakter intensionalitas kesadaran, harapan akan datangnya dasein yang otentik. []
DAFTAR PUSTAKA
Arif Gunawan. Tragedi Bangkrutnya Metefisika; Meretas Jalan Semiotika. http://www.arifgun@blogger.com. 6 November 2006
F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit . Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004
Hans-Georg Gadamer. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika. (terj.) Ahmad Sahidah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004
Henrik R. Wulf MD dkk. Filsafat Kedokteran: Suatu Pengantar. Yogyakarta. Pallmal Yogyakarta. 2007
Isyraq. Menyusuri Belantara Hermeneutik. http://us.f335.mail.yahoo.com/ym/compose? 7 Agustus 2007
K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2006
Muhammad al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta. LkiS. 2006
Moch. Nasrulloh. Tanggapan Jurgen Habermas Terhadap Pandangan Postmodernisme. Skripsi. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga. 2006
Saidiman. Hermeneutika Ontologi Eksistensial Heidegger. http://www.wordpress.com. 8 Juni 2007
[1]Dikutip dari Saidiman, Hermeneutika Ontologi Eksistensial Heidegger, http://www.wordpress.com 8 Juni 2007
[2]Heidegger menyebut manusia dengan Dasein (ada di situ atau ada di sini). Dasein adalah khas manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga sifat yang menandai keberadaan Dasein yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan “kemerosotan”. Faktisitas adalah kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu
[3]Dalam pandangannya, setiap maujud memiliki hakikat eksistensi yang berbeda, bahkan di mana saja suatu maujud tertentu berada, maka di situ pula hadir hakikat eksistensi. Kita tidak bisa mengetahui hakikat eksistensi itu dengan cara mengamati dan melihat secara langsung, karena hakikat eksistensi itu merupakan dimensi lain dari maujud-maujud yang tercipta, dengan demikian, hakikat tersebut mesti diungkap dan dihadirkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan analisis. Di antara maujud-maujud, maujud manusia, oleh Heidegger disebut sebagai dasein, memiliki satu jalan pengenalan terhadap hakikat eksistensi, karena dasein itu adalah suatu maujud yang bisa melahirkan beri-ribu pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat eksistensi dibanding maujud-maujud lain dan penelitian terhadap hakikat eksistensi itu merupakan salah satu dari kemampuan-kemampuan wujudnya yang luar biasa. Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa dari dimensi wujud, dasein itu mendahului hakikat eksistensi. Oleh karena itu, dalam pengenalan dan pengungkapan hakikat itu tidak ada cara lain kecuali mengenal secara hakiki eksistensi manusia (dasein).
Heidegger menegaskan bahwa bentuk pengenalan fenomenologikal dasein yang dimaksudkan untuk memahami hakikat wujud itu tidak lain adalah tujuan utama filsafat dan fenomenologikal ini disebut dengan hermeneutik, karena arti hermeneuin itu ialah “membuat sesuatu itu bisa dipahami” dan feneomenologikal dasein dirumuskan untuk memahami hakikat eksistensi. Maka dari itu, analisis terhadap esensi wujud dasein itu dan fenomenologikalnya merupakan aktivitas hermeneutik. Dikutip dari Isyraq, Menyusuri Belantara Hermeneutik, http://us.f335.mail.yahoo.com/ym/compose?, 7 Agustus 2007
[4]Saidiman, Hermeneutika ….
[5]Heidegger beranggapan bahwa penyingkapan makna dan hakikat eksistensi itu hanya melalui fenomenologi dasein dan analisis wujud manusia. Metode analisis ini, bukan bersifat argumentatif dan demonstratif silogisme, karena demonstratif silogisme itu berupaya menarik konklusi dari perkara yang lain, sementara tidak ada sesuatu yang lain selain wujud dan eksistensi itu sendiri. Dengan demikian, jalan pengenalan satu-satunya adalah analisis wujud manusia dan fenomenologi eksistensial. Hakikat wujud itu tidak bisa ternampakkan, oleh karena itu, dengan kita memahami konsep wujud dan melihat penampakan maujud tak seketika mengetahui hakikatnya. Isyraq, Menyusuri Belantara….
[6]Arif Gunawan, Tragedi Bangkrutnya Metefisika; Meretas Jalan Semiotika, http://www.arifgun@blogger.com, 6 November 2006
[7]Moch. Nasrulloh, Tanggapan Jurgen Habermas Terhadap Pandangan Postmodernisme, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga, 2006
[8]Muhammad al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKiS, 2006), Hlm. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar