Kamis, 14 Januari 2016

Shalat, Khusu’

Shalat, Khusu’

      Rate This

Shalat merupakan salah satu bagian dari Rukun Islam, urutan kedua. Secara umum shalat dipahami sebagai suatu ibadah yang diawali takbir dan diakhiri salam, tentu dengan syarat dan rukun tertentu. Syarat merupakan serangkaian aturan yang harus dipenuhi sebelum seseorang mengerjakan shalat, mengenai syarat-syarat pun masih dibagi menjadi 2 macam, yakni: syarat sah dan syarat wajib. Sementara rukun ialah aturan dasar selama mengerjakan Shalat dan bersifat wajib. Dikatakan wajib karena masih terdapat pula aturan tambahan yang lebih bersifat sunnah, yaitu:  sunnah ab’adh dan sunnah hai’ah. Di luar aturan-aturan itu juga masih terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain hal-hal yang menyebabkan makruh dan batalnya Shalat. Perbuatan-perbuatan makruh masuk dalam kategori larangan namun bila dilanggar tidak akan menggugurkan shalat, sementara perbuatan-perbuatan yang apabila dikerjakan dapat menggugurkan shalat masuk dalam kategori perbuatan batal.

Semua rangkaian aturan tersebut telah menjadi kajian intens fuqaha (para ahli fiqh). Namun demikian kajian Fiqh hanya terbatas pada wilayah lahiriyah, sementara wilayah batiniyah telah diakui sebagai bidang kajian tasawuf. Pahala-pahala shalat atau dosa-dosa bagi yang meninggalkan shalat, semua telah dikupas tuntas oleh kaum sufi. Bahkan mereka telah dapat mengetahui shalat siapa yang diterima oleh Allah SWT dan shalat siapa yang akan ditolak.

Ada satu kajian para sufi yang saya rasa menarik untuk disimak bersama, yakni mengenai khusu’ (konsentrasi dalam shalat). Suatu teks pernah menceritakan bahwa Ali Ibn Abi Thalib merupakan salah seorang yang shalatnya sangat khusu’, suatu waktu Ali pun terkena panah. Sebelum mengangkat takbir, Ali berpesan kepada seorang shahabatnya supaya mencabut anak panah tersebut sewaktu shalat. Pasalnya seseorang yang sangat khusu’ dalam shalatnya tak akan merasakan apapun, selain merasakan sedang berhadapan dengan Tuhannya.

Kekhusu’an ini pun diyakini menjadi faktor penting yang sangat menentukan diterima atau ditolaknya ibadah shalat seseorang. Bagi al-Ghazali, khusu’ tidak sekedar berkonsentrasi sewaktu tetapi juga berkaitan dengan kehalalan makanan, pakaian, tempat, kondisi hati dan sebagainya. Artinya, kekhusu’an shalat bukanlah sesuatu yang mudah diperoleh dengan instan, melainkan butuh kedisiplinan tingkat tinggi. Memang bukan sembarangan! Di samping memerlukan kedisiplinan melatih diri, kekhusu’an juga membutuhkan peran kesadaran tingkat tinggi: sadar bahwa dirinya sadar sedang shalat.

Michael Talbot, secara diam-diam tidak hanya mengikuti jejak F. Capra tetapi juga berdiri untuk menegaskan keyakinan al-Ghazali: kesadaran berpengaruh besar terhadap realitas. Apa dan bagaimana penampakan realitas, sangat tergantung pada usaha manusia meyakinkan dirinya. Saya sadari fokus kajian Talbot memang berbeda dengan isu yang sedang digagas al-Ghazali, jauh sekali berbeda. Meskipun demikian kajian tersebut telah meninggalkan benang merah yang sewaktu-waktu dapat kita pungut. Kesadaran dalam diskursus Talbot ialah kesadaran seorang ilmuwan ketika meneliti, entah apapun objeknya, tentu bersifat behavioristik. Sementara kesadaran dalam konteks al-Ghazali ialah kesadaran ilahiyah yang dipupuk dengan penuh kedisiplinan, supaya ampuh untuk menyadarkan diri bahwa tatkala seseorang mengangkat takbir (shalat) merupakan satu-satunya moment di saat seseorang berhadapan dengan Tuhannya.

Namun menurut keyakinan kaum “postmo” tidak demikian. Sehebat apapun al-Ghazali mampu menghadirkan kekhusu’an dalam shalatnya, tetap tak dapat dipungkiri bahwa semua itu hanyalah kekhusu’an semu. Pertanyaan sederhana yang sangat mengagumkan, “Seberapa sadarkah seseorang meyakini kesadaran dirinya?” Kesadaran merupakan satu persoalan rumit dalam diskursus postmodernisme, bahkan tak ada jawaban finalnya. Pasalnya tak ada standard epistemolgis yang mampu menjelaskan batas-batas kesadaran seseorang.

Untungnya pemikir-pemikir Islam, dengan tetap berpegang teguh pada keyakinannya, berhasil menghdirkan pemahaman yang mudah dipahami dengan nalar. Kesadaran dalam konteks khusu’ dipahami sebagai kesadaran berhadapan dengan Allah SWT. Gradasi khusu’ dalam shalat ada 4 macam, antara lain:

4.   Khusu’ teredah ialah ketika seseorang sadar bahwa dirinya sedang bershalat dan meninggalkan hal-hal yang  membatalkan shalat.

3.  Khusu’ lebih tinggi ialah ketika seseorang sadar bahwa dirinya sedang bershalat dan meninggalkan hal-hal yang menggugurkan pahala shalat.

2. Khusu’ tingkat selanjutnya ialah ketika seseorang bershalat dan hanya sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Allah SWT.

1.  Khusu’ tertinggi yakni ketika seseorang bershalat dan hanya sadar bahwa dirinya sudah tak menyadari apapun.

Tingkatan Khusu’ tingkat tinggi tersebut hanya dapat dilalui ketika seseorang sudah tak lagi terikat oleh dimensi sadar dan tak sadar. Artinya saat-saat demikian hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah tak lagi membedakan antara hamba dan Tuhan, antara Allah SWT dan dirinya. Manusia adalah Allah SWT dan Allah SWT adalah manusia. Manusia dan Tuhan bukanlah dua entitas yang berbeda, melainkan satu dan tak mungkin dipisahkan. Bukankah kita tahu bahwa Tuhan tak akan pernah ada bila manusia tidak pernah memikirkannya? Dengan kata lain, manusia-manusia yang selama ini menyembah Tuhan tiada lain menyembah pikirannya sendiri. Manusia hanya mungkin menyembah dirinya sendiri. Manusia adalah Tuhan, bukan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar