Nalar, Iman dan Yakin
Pengantar “Nalar Sehat Iman Sempurna”
A. Nalar
Apabila mendengar kata nalar diucapkan, pastilah bayangan kita langsung tertuju kepada hal-hal njlimet yang berbau filsafat. Padahal tidak sepenuhnya demikian, sebab –sadar ataupun tidak—nalar telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Buktinya seseorang tidak mungkin keluar rumah dengan meletakkan kepalanya terlebih dahulu di kamar, lalu dipasangnya kembali setelah selesai. Konon menurut Mbah Maridjan, justeru kepala malah lebih penting daripada kaki. Mbah Maridjan berani naik-turun gunung Merapi setiap hari dengan bertelanjang kaki namun ia tak pernah melepaskan peci hitamnya, hingga meninggal. Untuk menjelaskan betapa pentingnya nalar, yang selama ini kita meyakini letaknya di kepala, saya tak perlu bercerita panjang x lebar = luas, pasalnya kita semua telah memaklumi bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari nalarnya. Terhadap manusia yang meninggalkan nalarnya pastilah kita menyebutnya binatang, sebab menurut sabda Aristoteles manusia adalah binatang yang berpikir (bernalar). Bagi Charles Darwin, teori Aristoteles tersebut demikian mengagumkan sehingga berhasil menjadikannya inspirasi terbesar sepanjang masa mengenai teori evolusi. Darwin memang harus berterima kasih kepada Aristoteles mengenai teori evolusinya, yang di kemudian hari berhasil dikembangkan Darwin menjadi lebih sistematis dan ilmiah. Darwin pun meyakini bahwa sesungguhnya manusia memiliki kekerabatan dengan simpanse, hanya saja manusia memiliki volume otak lebih besar daripada simpanse.
Dalam al-Qur’an (kitab suci agama Islam), penjelasan yang sama dapat kita telusuri mulai dari kisah penciptaan Adam. Setelah Tuhan menciptakan Adam berikut dengan pernak-perniknya, Tuhan memerintahkan kepada seluruh malaikat dan iblis supaya bersujud di hadapan Adam. Seluruh malaikat bersujud akan tetapi iblis malah protes sebab merasa dirinya lebih mulia daripada Adam. Singkatnya, terpaksa iblis harus menanggung murka Tuhan karena tidak mematuhi perintah-Nya dan sebagai pelampiasan kekesalannya maka iblis berjanji untuk menggoda manusia. Dalam salah satu tafsir disebutkan bahwa iblis itulah yang dewasa ini kita kenal sebagai nafsu. Nafsu selalu berjuang menjerumuskan manusia dalam kenistaan. Sementara manusia yang telah diperlakukan oleh Tuhan secara istimewa, bila mampu menahan diri dari godaan iblis maka –di mata Tuhan—derajatnya akan terangkat melebihi malaikat. Pertanyaan kita selanjutnya, apakah keistimewaan manusia di antara makhluk-makhluk yang lain? Jawabannya jelas, yaitu: nalar. Manusia adalah makhluk bernalar, yang membedakan dari malaikat dan iblis.
Menurut hemat saya, kisah mengenai penciptaan Adam tersebut telah tersebar secara luas di kalangan agama abrahamik (Yahudi, Nasrani dan Islam), serta penjelasan mengenai keistimewaan nalar manusia pun tidak mungkin terselip. Dalam sejarah pemikiran para filsuf misalnya –baik filsuf barat maupun filsuf timur—, ajaran mengenai keistimewaan nalar demikian memonopli. Tidak jarang bila kita mendapati beberapa filsuf agamis yang memposisikan nalar di atas teks (kitab suci), sebagian yang lain memposisikan nalar sejajar dengan teks dan sisanya hanya meletakkan nalar sesudah teks. Namun ketiganya sepakat untuk tidak meninggalkan nalar dan teks. Peletakan posisi nalar yang demikian istimewa itu menjadi sangat penting dalam diskusi kita kali ini, pasalnya –mau tidak mau— kita harus bersentuhan dengan doktrin-doktrin agama yang didasarkan atas teks suci.
Sebelum kita berbicara lebih jauh, alangkah menarik bila diskusi mengenai nalar kita tuntaskan secara gamblang di sini. Apabila merujuk referensi-referensi filsafat pastilah kita akan menemukan pembahasan yang berbelit-belit dan melelahkan, namun untuk sekedar menyimak kesimpulan para filsuf, kita tak perlu bersusah-payah sebab nalar merupakan pembahasan yang sangat sederhana. Sesederhana kita memakainya, selama ini.
Nalar adalah pikiran. Nalar disebut pula akal, sementara dalam pembahasan ilmiah nalar adalah logika. Pembahasan ini cukup menggunakan istilah nalar, dengan pertimbangan bahwa nalar memiliki cakupan yang lebih luas daripada logika. Pasalnya konsep/gagasan mengenai logika telah dimonopoli oleh filsuf-filsuf Barat untuk mengembangkan pemikiran besarnya menaklukkan dunia sehingga nalar kita yang –dituduh oleh mereka sebagai—“masyarakat pinggiran” selalu diklaim irrasional alias tidak logis. Padahal penilaian mengenai logis ataupun tak logis, menurut pemikir-pemikir kaum postmodernisme, merupakan penilaian relativistik. Artinya logis ataupun tak logis-nya pemikiran kita, tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Sudut pandang di sini tidak cukup diartikan sekedar ‘tempat memandang’ akan tetapi meliputi ‘kondisi mata, kondisi psikis, selera, mainstream, kepentingan’ dan sebagainya. Bukankah setiap manusia normal memiliki mata yang dapat digunakan untuk melihat? Seandainya saya melihat seorang wanita dan sedetik kemudian berkesimpulan ‘cantik’, sementara Anda yang sama-sama melihat lalu berkesimpulan ‘tidak cantik’. Apakah karena persoalan sesederhana itu kita harus bertengkar, lalu untuk mencari kebenarannya kita harus merujuk ke perpustakaan? Tentu akan sangat melelahkan sekaligus memalukan bila hal tersebut sungguh-sungguh terjadi. Itulah nalar, pastinya setiap orang memiliki nalar masing-masing yang antara seorang dengan lainnya jelas berbeda. Tugas kita adalah, bagimana caranya melestarikan hidup damai dalam perbedaan, menarik bukan?
Sedikit mengutip diskusi panjang kaum filosof era kontemporer, bahwa dalam dunia ilmu alam –sebutlah Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, maupun Teknik—logika ilmiah (rasional-empiris) lebih mudah dipraktekkan daripada di dunia ilmu sosial. Pasalnya objek kajian yang dihadapi para saintis merupakan objek kajian yang rasional dan empiris (lahiriah), sehingga metode ilmiah merupakan tinjauan yang sesuai. Hal tersebut jauh berbeda dengan kajian ilmu sosial, para ilmuwan sosial tidak lagi mengkaji “benda-benda tak hidup” melainkan mengkaji manusia yang antara seorang dengan lainnya memiliki isi kepala berbeda, belum lagi dengan isi kepala sang ilmuwan. Nah, dalam konteks semacam itulah kaum postmodernisme angkat bicara di muka publik menentang keras hegemoni kaum saintis yang berpusat di Universitas Wina, Austria. Sampai detik ini para pemikir kajian sosial belum memiliki tinjauan baku sebagaimana metode ilmiah. Pasalnya ketika metode tersebut baru selesai diciptakan, manusia sebagai objek kajiannya telah berkembang lebih jauh melampaui rumusan sang ilmuwan. Singkatnya, tiada penelitian objektif dalam dunia sosial. Tiada rumusan baku yang dapat dirujuk secara universal dalam dunia sosial, semua serba relatif. Jangankan dunia sosial, Albert Einstein pun sebagai seorang fisikawan, telah berani menggagas teori Relativitas tatkala meneliti kuanta-kuanta yang sulit diprediksi. Gagasan Einstein yang demikian menggemparkan dunia itu, sungguh gagasan yang sangat filosofis!
Bagi masyarakat Jawa, barangkali peran akal tidaklah begitu penting, terbukti mereka lebih mengutamakan rasa daripada akal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan pengertian sikap batin dan tidakan yang tepat, itulah gagasan yang dikenal dengan istilah rasa, yakni harus dirasakan bukan dipikirkan (Franz Magnis-Suseno, 2001). Demikian tidak jauh berbeda dengan ajaran kaum sufisme, bahwa untuk dapat mengenali Tuhan maka seseorang harus meninggalkan akalnya sebab akal selalu dipahami sebagai penghalang. Namun menurut hemat saya, permasalahannya tidak sesederhana itu: bagaimanapun manusia tidak dapat meninggalkan akalnya. Untuk dapat memahami sesuatu pastilah manusia membutuhkan akal untuk melaluinya. Manusia memang mengenal intuisi, pengalaman maupun emosi, namun sekali lagi, informasi-informasi tersebut tetaplah tak terpahami kecuali melalui bantuan akal. Dengan kata lain, baik intuisi, pengalaman maupun emosi hanya dapat diposisikan sebagai sumber pengetahuan sementara pengetahuan itu sendiri hanya terpahami melalui akal. Pola berpikir manusia yang intuitif, empirik (pengalaman inderawi dan pengalaman batin), rasional dan emosional itulah yang dimaksud nalar. Singkatnya nalar adalah logika dalam pengertian yang lebih luas.
Dalam diskusi selanjutnya kita akan bergumul dalam pembahasan nalar dalam keimanan kaum agamawan. Nalar dan iman merupakan dua wilayah kecerdasan manusia yang berbeda, akan tetapi saling berkaitan. Ingatlah pengakuan Einstein, “Science without religion is lame, religion without science is blind –sains tanpa agama adalah lumpuh sementara agama tanpa sains adalah buta.” Sains merupakan simbol bagi rasionalitas (nalar) sementara agama ialah simbol untuk iman. Apakah nalar keimanan kita selama ini sudah benar ataukah sesat? Lalu bagaimanakah mengukur kebenaran (validitas) nalar keimanan seseorang? Kedua pertanyaan tersebut memang sangat filosofis namun terasa berbelit-belit dan memusingkan, pasalnya sejauh pembacaan saya, belum ada seorang pemikir pun yang telah berhasil merumuskannya dengan mengagumkan. Oleh karena itu, kita tidak perlu bersusah-payah memasuki wilayah perdebatan mereka, yakni perdebatan epistemologis (teori validitas pengetahuan). Sebagai gantinya kita cukup memasuki wilayah tersebut melalui pintu aksiologis. Aksiologi adalah kajian untuk menegakkan axis (sumbu) kesemestaan, demikian menurut Damardjati Supadjar. Itulah rumusan yang paling mudah dipahami.
Saya teringat kepada Jürgen Habarmas, salah seorang pemikir Mazhab Frankfurt, tatkala mengritik pemahaman kaum Positivisme mengenai kebebas-nilaian sains (value free). Untuk menanggulangi perdebatan yang tak kunjung usai, Habermas melakukan manuver supaya tidak terjebak dalam perdebatan epistemologis, dengan demikian Habermas melancarkan kritiknya dari berdasarkan penilaian aksiologis. Barangkali ilmu pengetahuan memang bebas nilai, demikian ujar Habermas, namun perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan demi kepentingan penelitian ilmiah, itulah aspek aksiologis yang luput dari sasaran kaum Positivisme. Selang beberapa waktu, Habermas berhasil merumuskan kritik tersebut menjadi teori baru, yakni kritik ideologi. Mainstream kritik ideologi mengatakan bahwa suatu ideologi harus bersifat kritis dan memihak kaum lemah, bukan malah menindas. Mazhab Frakfurt dikenal sebagai Neo-marxisme, meskipun ideologi Marx telah dimodifikasi sedemikian rupa namun masih tetap mewarnai mainstream mereka.
Singkatnya, wacana kritis semacam itulah yang diperlukan untuk meninjau ulang ‘nalar keimanan’ kita selama ini. Keimanan seseorang tidak diukur berdasarkan banyak-sedikitnya ritual ibadah melainkan bagaimana keimanan tersebut dapat membawa kemaslahatan umat yang notabene “tertindas”. Benang merahnya adalah ketika ‘nalar keimanan’ dikaji melalui pintu epistemologi, maka kita akan berhadapan dengan ‘salah dan benar’. Sementara ketika ‘nalar keimanan’ ditinjau secara aksiologis maka sikap kita sendirilah yang harus dikaji. Kita akan ketemu dengan pertanyaan bagaimanakah ‘nalar keimanan’ dapat teraplikasi secara emansipatoris bagi masyarakat sekitar. Selama ini kita menyaksikan bahwa keimanan telah dimonopoli oleh pihak tertentu, nalar semacam apa yang dapat membenarkan tindakan tersebut, bukankah hal itu sama dengan penindasan? Nalar emansipatoris, itulah gagasan yang kita sebut sebagai nalar sehat. Sekali lagi, nalar sehat bukanlah nalar yang netral apalagi objektif, melainkan nalar yang teleologis (bertujuan) dan nalar yang emansipatoris (memerdekakan). Seseorang yang memiliki nalar sehat pastilah tidak pernah berpikir membuat bom lalu meledakkannya di tempat umum, tangan kanannya memegang tasbih tapi tangan satunya mengangkat senjata dan membunuh manusia.
Sesungguhnya manusia hanya memiliki 2 (dua) tanggung jawab di dunia; pertama, mengenali eksistensi dirinya; dan kedua, tanggap terhadap kondisi sosialnya. Apabila semua manusia mengedepankan dua hal tersebut maka dunia menjadi surga, namun kenyataan berkata lain. Seseorang lebih merasa gagah bila mengenal dirinya sebagai penindas orang lain. Demikian pula pihak yang ditindas, selamanya akan terus disimpan sebelum dendam-kesumat itu sukses terbalaskan. Sebaiknya kita mengingat nalar Marx, yang telah membenarkan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah pertentangan kelas, yaitu pertentangan antara kelas penindas dan kelas tertindas. Demikian seterusnya roda kehidupan terus berputar sehingga menegaskan bahwa yang kuat adalah pemenang sementara yang lemah, kalah. Namun menurut himbauan Marx, bila seluruh anggota kelas tertindas itu bersatu maka muncullah kekuatan besar yang revolusioner. Revolusi merupakan gerakan serba cepat yang berharga mahal, untuk itulah bila setiap orang –termasuk kaum kapital— sadar dan peduli terhadap lingkungan sosialnya maka revolusi sebagaimana ramalan Marx tidak akan terjadi.
Apabila kita melakukan kajian mendalam mengenai nalar, akan semakin memahami bahwa nalar tidak lebih dari sekedar alat. Nalar memang tidak lebih sekedar alat, namun bukan berarti setiap orang bisa sewenang-wenang menggunakannya. Kritik ideologi yang disampaikan Habermas tiada lain karena dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan bangsa Barat karena berambisi menguasai bangsa lain melalui ideologi. Sebutlah modernisme, suatu ideologi besar yang pernah digagas oleh pemikir-pemikir Barat dengan semboyan ilmu pengetahuan, padahal di balik kepentingan ilmiah, manusia sedang diarahkan menuju suatu dimensi kehidupan yang tunggal. “One dimentional man,” demikian istilah Herbert Marcuse. Sebagai konsekuensinya, bangsa-bangsa non-barat (negara dunia ketiga) yang diklaim sebagai bangsa irasional harus menerima nasib sebagai objek permainan mereka dan uniknya bangsa-bangsa irasional tersebut merasa bangga karena dihargai. Barangkali itulah perbedaan mendasar antara bangsa yang “menciptakan nalar” dengan bangsa yang “mengikuti nalar”. Meskipun bangsa Barat memiliki otak dengan kualitas nalar cemerlang tetapi nalar mereka adalah nalar sakit. Nalar yang dikembangkan untuk memberangus nalar bangsa lain, tentu setelah diatur melalui kemasan yang apik. Kesimpulannya adalah nalar sehat bukan dihargai karena kemasannya melainkan karena tujuannya yang emansipatoris. Namun begitu bukan berarti nalar emansipatoris tidak perlu dikemas secara apik.
Komputer mini saya menggunakan dual booting, yaitu Ubuntu (Linux) dan Windows 7 (Microsoft). Semua orang mengetahui bahwa Microsoft merupakan perusahaan software (close source) raksasa berkelas dunia, siapapun yang menginginkan kenyamanan operating system-nya maka mau tidak mau harus membayar kepada Microsoft, kecuali bila menggunakan software bajakan alias barang curian. Bagi sebagian orang kendala itu dirasa memberatkan, sehingga Linus Torvalds –seorang mahasiswa Universitas Helsinky, Finlandia— berhasil menciptakan operating system tandingan berlogo pinguin. Bukan Linus namanya kalau sampai mengikuti jejak-langkah Bill Gates, software tersebut disebarluaskan secara gratis dan siapapun berhak mengembangkannya (open source). Tidak ada unsur komersial apapun dalam Linux sebab hak cipta tidak dihargai menggunakan duit, itulah filosofi Open source. Saat ini perkembangan Linux sudah sedemikian pesatnya hingga melampaui Microsoft. Operating system Linux yang saya pakai masih Ubuntu 10.04 –beberapa aplikasi Windows pun tetap lincah di Ubuntu—, sekarang telah muncul Ubuntu 11.04 dan sebentar lagi muncul versi terbarunya Ubuntu 11.10, dan seterusnya. Ubuntu bukanlah satu-satunya distro (jenis) Linux sebab masih terdapat lainnya, antara lain: Debian, OpenSUSE, Dream Linux, Redhat, Opensolaris, BlankOn, dan lain-lain. Bagian paling menarik dalam pengamatan ini adalah munculnya adu gagasan antara keduanya, Microsoft sebagai simbol kapitalisme global sementara Linux di sisi lain tampil mewakili kaum sosialis. Artinya, nalar yang dikembangkan oleh Linus adalah nalar sehat, jauh berbeda dengan nalar Bill Gates, bukan?
Nalar sehat ialah nalar teleologis, yakni nalar yang memiliki tujuan terhadap kebaikan. Suatu tindakan yang ditujukan demi kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan kelompok, kepentingan negara, kepentingan suatu agama, maupun kepentingan tertentu, barangkali baik namun jelas tidak utama. Sebab menurut Aristoteles, tiada kebaikan apapun yang lebih utama selain demi kebaikan itu sendiri. Demikian pula nalar sehat, suatu nalar yang dirumuskan demi kesehatan nalar itu sendiri. Sesungguhnya nalar sehat dapat berupa apapun, baik logika formal, logika matematika, logika ilmiah, logika dialektika, logika mistik, maupun logika lokal sekalipun, asalkan memiliki tujuan demi kesehatan nalar itu sendiri berarti itulah nalar sehat. Hal tersebut sangatlah mungkin sebab nalar merupakan gagasan ideal yang memiliki rumusan ideal. Sementara nalar yang digunakan untuk tujuan tertentu –selain kesehatan nalar— merupakan nalar sakit, artinya harus segera disembuhkan. Apa-apa yang menjadi penyakitnya harus disingkirkan, apa-apa yang mengotorinya harus dibersihkan, lalu setelah kembali bersih maka nalar tersebut kembali menjadi nalar sehat. Singkatnya, gagasan mengenai nalar sehat ialah mengembalikan fungsi nalar kepada asalnya. Nalar yang tidak berfungsi dengan baik itulah yang selama ini menjadi penyakit masyarakat, entah masyarakat ilmiah terlebih lagi masyarakat umum. Sejujurnya diskusi ini masuk dalam wilayah epistemologi.
Sementara dalam wilayah sosial, nalar sehat ialah nalar yang berpihak terhadap pembebasan. Artinya nalar sehat harus memperlakukan manusia secara berimbang, yang kuat tidak menindas yang lemah. Sedangkan yang lemah pun tidak harus memberontak terhadap yang kuat karena perlakuan nalar yang tidak berimbang. Dengan kata lain, nalar sehat memandang semua manusia dalam arti yang sama, semua manusia memiliki hak yang sama. Mengenai apakah hak tersebut akan dimanfaatkan ataukah tidak, merupakan persoalan lain. Jikalau suatu nalar telah dapat memperlakukan setiap manusia secara berimbang, artinya itulah nalar sehat. Suatu nalar yang dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat untuk melakukan pemberontakan terhadap status quo misalnya, nalar tersebut pun sesungguhnya nalar sakit. Dalam hukum logika, nalar sakit memang harus dikontraskan dengan nalar sakit lain supaya melahirkan nalar sehat, sayangnya dalam fenomena sosial hal tersebut sulit diwujudkan. Seseorang yang semenjak awal memiliki nalar sakit, sulit sekali –bukan berarti tak bisa, lho!— mengubah nalarnya menjadi sehat. Hal tersebut dikarenakan hukum nalar yang semenjak awal berkembang memang sudah sakit, artinya menyehatkan kembali hukum nalar memang bukanlah pekerjaan mudah, namun bukan berarti mustahil diusahakan.
Nalar-nalar yang pesakitan. Salah satu cara paling memungkinkan untuk menyehatkan kembali nalar-nalar pesakitan ialah melalui pendidikan. Pendidikan yang mendidik dan tidak doktriner, merupakan jalur potensial untuk men-seting ulang nalar anak bangsa yang selama ini pesakitan. Pendidikan yang berorientasi pada dunia kerja, pendidikan yang berorientasikan untung-rugi merupakan bagian dari nalar pesakitan yang selama ini berkembang. Pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana rumusan Ki Hadjar Dewantoro, masih jauh dari harapan pasalnya pendidikan kita dewasa ini berdiri dengan gagah di atas landasan nalar pesakitan. Nalar yang mencerdaskan kehidupan bangsa, itulah nalar sehat dalam konteks kebangsaan kita saat ini.
B. Iman
“BERIMAN,” itulah slogan religius yang disematkan untuk kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Barisan huruf tersebut terpampang jelas pada sebuah gapura, setiap kali memasuki wilayah tersebut kita dapat melihatnya. Ada hubungan apakah slogan ‘beriman’ tersebut dengan diskusi kita ini? Jawabannya sederhana: tidak ada.
Dalam bahasa kita (Indonesia), iman adalah percaya. Namun berdasarkan penuturan Izutsu, iman adalah pembenaran. Iman tidak cukup hanya dengan mengetahui tetapi juga membenarkan (Toshihiko Izutsu: 1994, 153). Jelaslah tatkala berpendapat demikian Izutsu sedang mengkaji ‘iman’ dalam konteks teologi Islam, bukan yang lain. Iman menurut kita adalah iman dalam pengertian yang sangat luas, yaitu: percaya. Sesungguhnya pengertian iman tidak hanya sebatas dalam konteks keagamaan, apalagi teologi (ilmu tentang ketuhanan). Pengertian iman di sini harus disandingkan dengan skeptis (ragu-ragu). Skeptis (ragu-ragu) merupakan suatu kondisi ketika kita tidak mampu memutuskan sesuatu, termasuk kita sendiri bingung apakah sedang ragu ataukah iman. Namun ketika sudah mengetahui bahwa kita sedang ragu, artinya kita sudah tidak lagi ragu. Ketika pengertian iman dan skeptis diungkapkan dengan bahasa semacam itu akan terasa sangat rumit, meski sesungguhnya sangatlah sederhana. Pasalnya dalam kehidupan sehari-hari, –sadar ataupun tidak— kita mengalaminya. Dalam bahasa sederhana, iman ialah kondisi ketika sadar sementara skeptis ialah sebaliknya, ketika tak sadar.
Sebagai misal: Anda percaya bahwa Tuhan itu ada, pemahaman seperti itu sudah lebih dari cukup. Mengenai seperti apa esensi dan wujud Tuhan –apakah Tuhan itu Esa, Mahakuasa, Mahabesar, Mahaadil dan sebagainya— ini merupakan permasalahan lain sebab telah masuk dalam wilayah tafsir. Iman memang membutuhkan tafsir, setidaknya tafsir sangat berguna untuk meguatkan keimanan. Sayangnya tafsir itu pulalah yang sering memancing amarah sehingga harus berebut benar dengan sesama saudara. Sesungguhnya selama kita mengimani bahwa Tuhan itu ada, berarti iman kita sama. Kita adalah seiman. Dengan demikian tiada alasan rasional untuk menuduh seseorang dengan label ‘beda iman’ hanya karena beda penafsiran mengenai Tuhan. Sayangnya persoalan sederhana itulah yang selalu heboh dalam masyarakat, seolah-olah tafsir adalah segalanya. Padahal tafsir kita mengenai Tuhan belum tentu benar, dalam arti sesuai dengan kondisi Tuhan yang sesungguhnya. Terhadap Tuhan, memang manusia hanya dapat menafsir namun bila tafsir tersebut diimani sebagai satu-satunya kebenaran pastilah tidak bijaksana. Tafsir adalah teori. Teori adalah pendekatan. Sedangkan pendekatan merupakan perkiraan. Siapa yang berani menyimpulkan bahwa perkiraan kita terhadap Tuhan adalah kebenaran Tuhan itu sendiri? Setiap orang pasti memiliki perkiraan masing-masing mengenai Tuhannya. Hal tersebut sah-sah saja sebab persoalan Tuhan adalah persoalan individual, dalam arti kita tidak bisa memaksakan orang lain supaya memiliki perkiraan (mengenai Tuhan) yang sama dengan perkiraan kita.
Apakah iman dapat berkembang: mulur-mungkret? Barangkali benar, namun dalam konteks semacam apa. Pengertian iman, sebagaimana yang dirumuskan oleh para teolog Asy’ariyah (teolog muslim klasik) ialah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melakukannya dengan tindakan. Iman yang dimaknai dengan pemaknaan demikian memang sangat memungkinkan terjadi perkembangan mulur-mungkret. Sekarang mari kita bandingkan; seseorang yang mempercayai bahwa –misalnya— ini adalah meja, selama meja tersebut belum berubah bentuk pastilah kepercayaannya terhadap meja itu tak akan goyah. Tentulah aneh bila sekarang kita meyakini bahwa benda itu adalah meja, semenit kemudian kepercayaan kita terhadap meja tersebut tinggal 50% dan sejam kemudian kita hanya mempercayai bahwa benda itu hanyalah kayu. Demikian pula iman seseorang terhadap Tuhan, selama dia mengimani bahwa Tuhan itu ada berarti imannya tidak goyah. Sejujurnya permasalahan ini lebih rumit, pasalnya Tuhan tidaklah seperti meja yang wujudnya dapat dilihat dengan mudah. Manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, –awalnya— hanya mengandalkan nalar, kemudian turunlah wahyu untuk menguatkan kebenaran nalariah tersebut. Artinya, oleh sebab argumentasi tertentu maka seseorang dapat meragukan keberadaan Tuhan, bahkan dapat mengingkari-Nya. Bila seseorang telah mengingkari keberadaan Tuhan, tentu dia tidaklah beriman.
Namun bila dirunut lebih jauh lagi, kesimpulan tersebut masih menimbulkan permasalahan. Mengingkari keberadaan Tuhan, sedikitnya dapat dipahami menggunakan 2 (dua) pernyataan. Pertama, seseorang memang mengingkari esensi Tuhan; dan kedua, seseorang hanya mengingkari kebenaran tafsir mengenai Tuhan. Kita harus berhati-hati memaknainya; pernyataan pertama berarti tidak beriman, sedangkan pernyataan kedua berarti masih beriman. Demikian pula mengenai atheisme, yang dapat diartikan menggunakan model pertama maupun model kedua. Namun sejauh pembacaan saya, atheis hanyalah sikap seseorang yang merasa tidak puas terhadap tafsir ketuhanan sebagaimana yang tercatat dalam ajaran agama-agama, artinya ia memiliki tafsir sendiri terhadap Tuhan. Dengan demikian, seorang atheis pun masih beriman.
Fenomena keimanan merupakan fenomena universal, artinya semua orang di dunia ini memiliki iman. Semua orang mengakui bahwa di luar dirinya, ada suatu kekuatan maha dahsyat yang menggumuli kehidupan manusia. Meskipun tidak semua mengakui bahwa kekuatan maha dahsyat tersebut adalah Tuhan, dalam bahasa Plato kekuatan maha dahsyat tersebut ialah Eidos tertinggi (Sang Baik), sedangkan menurut Aristoteles adalah Unmoved Mover. Sementara dalam istilah lain, kekuatan maha dahsyat itu disebut unlimite reality. Ajaran Hindu telah memperkenalkan istilah neti-neti, bahwa Tuhan ialah bukan ini, bukan itu. Berbeda lagi dengan ajaran Budha yang tidak memiliki istilah khusus mengenai Tuhan, ajaran Budha lebih mementingkan pembebasan manusia dari penderitaan hidup (dhuka), ketika seseorang telah terbebas dari penderitaan (moksa) maka secara otomatis dapat memahami Tuhan. Agama Islam yang memiliki banyak konsep mengenai Tuhan pun tidak jauh berbeda, dalam suatu ayat al-Qur’an disebutkan bahwa “Laisa kamitslihi syai’un –Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya,” itulah Tuhan.
Mengenai konsepsi ketuhanan yang berbeda-beda, penjelasannya sangat sederhana. Bagi masyarakat awam yang memiliki nalar sangat sederhana, mereka hanya dapat menggunakan istilah yang sangat sederhana pula untuk membahasakan Tuhan. Seorang anak yang baru belajar mengenal dunia misalnya, baginya Tuhan sangatlah konkret (nyata—lahiriah) sebab nalarnya belum mampu menjangkau objek-objek yang bersifat abstrak. Berbeda dengan orang dewasa, yang mencemooh terhadap konsep ketuhanan yang bersifat konkret sebagai Tuhannya anak-anak, sebab baginya Tuhan bersifat abstrak. Demikian pula ajaran Nasrani mengenai konsep trinitas (Allah Bapa, Bunda Maria dan Yesus), bila dirunut lebih serius sesungguhnya konsep terinitas tersebut tiada lain merupakan salah satu tafsir untuk menjelasan keesaan Tuhan. Bukan berarti Tuhan ada 3 (tiga) yang masing-masing berdiri sendiri. Singkatnya, semakin tinggi daya nalar seseorang maka konsepsinya mengenai Tuhan semakin njlimet (sofisticated). Hal tersebut tidak menutup kemingkinan bagi Jean Paul Sartre yang dikenal sebagai tokoh eksistensialisme-atheistik. Manusia adalah bebas, demikian penuturan Sartre, manusia adalah kebebasan itu sendiri sehingga ketika manusia mengakui adanya Tuhan maka hilanglah kebebasan manusia. Namun suatu ketika Sartre mengungkapkan, “Jika saya beragama maka saya akan memilih agamanya Ali Syari’ati –yakni agama pembebasan.” Jika demikian, apakah Sartre tidak beriman?
Kembali mengenai iman. Atas dasar apakah seseorang mempercayai bahwa dirinya memiliki iman? Setidaknya terdapat 2 (dua) teori yang menjelaskan hal tersebut, yakni teori akal dan teori wahyu. Pertama, seseorang dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki iman memang berdasarkan pertimbangan akal, sebab menurut pengakuan Ibn Rusyd, akal cukup mampu untuk mengetahui keberadaan Tuhan tanpa bantuan wahyu (teks). Sedangkan kedua, seseorang hanya dapat mengetahui bahwa dirinya beriman harus berdasarkan wahyu, sebab perintah mengenai kewajiban beriman ialah perintah wahyu (teks). Akal memang dapat menjangkau keesaan Tuhan, namun kewajiban untuk mengimani keesaan Tuhan hanya didapatkan melalui wahyu. Itulah teori klasik yang menjadi biang perdebatan antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kita pun dapat menambahkan satu teori lagi di sini, yakni teori intuisi. Seseorang dapat mengetahui bahwa dirinya beriman tiada lain melalui intuisi, sebab iman memang sulit dijelaskan secara rasional juga tidak harus diakui menunggu datangnya wahyu. Itu mengenai iman, sementara menganai keesaan Tuhan kita juga dapat menjangkaunya melalui akal, wahyu, intuisi maupun pengalaman batin (mistik), namun hal tersebut tidak perlu kita bahas di sini.
Meninjau karakteristik iman tidaklah sulit, sebab iman identik dengan rasionalisasi alias penjelasan-penjelasan tertentu. Seseorang yang mengimani sesuatu pasti memiliki penjelasan tentang sesuatu yang diyakininya tadi, demikian pula jika mengimani bahwa sesuatu itu benar pastilah memiliki penjelasan tentang kebenaran sesuatu yang diyakininya tadi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, seseorang mengimani “tindakan korupsi” itu salah maka tidak bisa ketika diminta untuk menjelaskan bahwa korupsi itu benar. Namun juga kita harus berhati-hati terhadap orang-orang yang pandai bicara, sangatlah sulit mencari posisi keimanan mereka. Bagi mereka keimanan merupakan persoalan individual yang tidak perlu dibeberkan, sehingga ketika terpaksa harus membeber keimanan mereka gunakan sudut pandang netral. Konon, itulah posisi paling aman.
Sementara mengenai iman sempurna, bagaimanakah iman sempurna itu? Pertama, iman sempurna ialah iman yang stagnan. Iman yang telah melewati perkembangan mulur-mungkret, iman yang telah tak tergoyahkan oleh godaan argumentatif apapun. Berdasarkan bahasa Ghazalian, iman sempurna ialah iman yang telah mencapai derajat haq al-yaqin. Seseorang yang mengimani Tuhan berdasarkan pertimbangan pahala-dosa maupun surga-neraka, iman semacam itu masih jauh dari kesempurnaan sebab mudah sekali tergoyahkan oleh berbagai argumentasi lika-liku kehidupan. Oleh sebab itu, iman sempurna –mau tidak mau— harus bediri mantap di atas pijakan yang kokoh. Dari manakah kita mengetahui bahwa landasan keimanan kita telah kokoh? Jawabannya singkat: nalar (rasionalitas). Sekali lagi, pengertian nalar di sini tidak identik dengan logika ilmiah. Nalar adalah pikiran argumentatif, yang sumbernya bermacam-macam antara lain: logika, teks (wahyu), intuisi, pengalaman lahiriah maupun pengalaman batin. Pikiran-pikiran yang terilhami kemudian dapat merumuskan keimanannya, itulah dasar-dasar iman sempurna. Singkatnya, iman sempurna bukanlah iman yang sekedar ikut-ikutan alias taklid, melainkan iman yang dirumuskan secara independen (otentik) dengan penuh kesadaran.
Kedua, iman sempurna ialah iman yang dewasa dan membebaskan. Asghar Ali Enginer dalam “Islam dan Teologi Pembebasan” menyebutkan bahwa teologi yang berkembang selama ini tidak memberi kebebasan terhadap masyarakat, padahal sesungguhnya teologi sangat memberi ruang yang bebas terhadap manusia. Teologi sebagaimana rumusan Asghar Ali ialah teologi pembebasan, yakni teologi yang tidak berpihak terhadap status quo akan tetapi sebaliknya, teologi harus membela kelompok masyarakat yang tertindas dan tercerabut hak miliknya serta membekalinya senjata ideologis yang kuat untuk melawan kaum penindas. Oleh karena itu, bila agama masih ingin mendapat tempat di hati masyarakat maka teologi pembebasan perlu diupayakan, pasalnya sebagian besar masyarakat ialah masyarakat lemah dan tertindas, baik secara ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Lebih lanjut Asghar Ali mengutip Karl Marx, Marx pernah mengungkapkan bahwa agama adalah candu masyarakat. Harus dipahami bahwa Marx tidak sepenuhnya menyalahkan agama, sebagaimana yang dipahami banyak orang. Marx adalah seorang religius, namun bila agama hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kemapanan (status quo) maka agama adalah candu. Apa yang diinginkan Marx malah sebaliknya, agama harus membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama harus menjadi senjata pamungkas bagi pembebasan masyarakat (Ashgar Ali Enginer: 1999, 2-3). Dengan kata lain, teologi dalam konteks Asghar Ali ialah teologi komunal, yakni teologi yang dilembagakan dalam suatu aliran-aliran.
Sedangkan teologi (baca: keimanan) dalam konteks kita ialah sebaliknya, teologi individual. Keimanan yang membebaskan secara individual menjadi pertanda bahwa keimanan seseorang telah mencapai derajat sempurna. Iman yang open minded, itulah iman yang membebaskan penganutnya dari kepicikan. Dengan konsep iman yang open minded (terbuka), seseorang yang paling militan sekalipun tidak dengan mudahnya menuduh orang lain sebagai “kafir”, apalagi halal darahnya alias halal dibunuh. Hidup harmonis bersama masyarakat yang heterogen seperti Indonesia ini tentu gampang-gampang susah, di satu sisi kita harus beridentitas namun di saat yang sama juga harus mengakui identitas orang lain. Jika tidak bijaksana dalam bersikap, seorang bayi yang baru lahir pun akan cepat menjadi tua karena mudah tegang dan stress. Namun sejujurnya, ketegangan-ketegangan emosional semacam itu dengan mudah dapat diatasi asalkan kita bersedia menjadi dewasa. Karateristik dasar kedewasaan teologis ialah menganut keimanan yang open minded, yakni iman yang berorientasi terhadap objek, bukan iman yang terpaku pada nilai (benar-salah dan baik-buruk, maupun turunannya). Iman yang berorientasi terhadap objek hanya membicarakan “apakah itu?”, sedangkan iman yang berorientasi terhadap nilai akan mempersoalkan “benar atau salahkah itu?”. Sekali lagi perlu dicatat, iman sempurna ialah iman yang open minded dan membebaskan penganutnya dari perdebatan tentang nilai-nilai.
Ketiga, iman sempurna ialah iman yang tidak egois. Iman yang (baik secara konseptual maupun praksis) tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi, melainkan juga mempertimbangkan kepentingan umat. Barangkali seseorang dapat mengimani bahwa Tuhan hanya dapat dikenali melalui pribadi masing-masing, namun bukan berarti harus terus berdzikir dan mengurung diri dalam kamar karena ketika keluar khawatir tercemari dosa-dosa. Justeru sebaliknya, untuk mengukur seberapa kuat keimanan seseorang, haruslah terjun menghadapi tantangan-tantangannya. Seekor katak yang hanya berpuas diri dalam tempurung, tidak mungkin akan mengetahui bahwa di luar sana terdapat ribuan katak yang lebih hebat. Apabila analogi katak itu disandingkan dengan manusia maka cukup masuk akal bila iman sempurna memang harus siap tanding. Terus terang saya tertarik dengan konsepsi mistik Budha Mahayana; seseorang yang dalam perjalanan mistiknya (baca: biksu) hampir mencapai pencerahan akan menahan diri, mengingat banyak masyarakat awam yang belum tercerahkan. Setelah menyelamatkan sebanyak mungkin umat, ia akan melanjutkan perjalanan mistiknya menuju pencerahan. Hal tersebut mirip dengan hubungan antara mursyid dan murid di setiap komunitas tarekat dalam mistisisme Islam (Tasawuf). Namun menurut hemat saya, gerakan mistikus –semacam tarekat dan Budha— masih sebatas gerakan mistisisme, malah sebagian dari mereka anti sosial. Itulah salah satu kritik Simuh terhadap mistisisme Islam, bahkan al-Ghazali –salah seorang mistikus besar dalam sejarah pemikiran Islam— dituduh sebagai biang kemunduran dunia Islam. Sederhananya, iman yang tidak egois ialah keimanan yang tidak menjadikan seseorang menjadi anti sosial alias tidak peduli terhadap sesama. Manusia hidup di dunia, biar bagaimanapun tidak mungkin dapat menggeser pijakan kakinya dari tanah, meskipun pikirannya sedang terbang mengarungi angkasa raya. Bahkan seekor burung yang pagi-pagi terbang keliling dunia pun ketika sore hari harus kembali, terlebih bagi burung-burung yang sedang menyimpan bayi-bayinya di sarang.
C. Yakin
Pembahasan selanjutnya mengenai yakin atau keyakinan, apakah perbedaan antara iman dan yakin? Secara sederhana sangatlah mudah kita membedakan pengertian keduanya, sebab iman hanyalah sekedar percaya sementara lebih dari itu, ialah yakin. Iman mendahului yakin, artinya hubungan antara keduanya laksana saudara kandung, memang sangatlah dekat. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa believe is a way to faith, iman merupakan suatu jalan menuju yakin. Haruslah kita cermati, jika iman hanyalah suatu jalan berarti ada jalan lain untuk menuju yakin, selain iman. Pepatah kuno, “Banyak jalan menuju Roma,” pun nampaknya berlaku pula untuk yakin.
Namun sebelum menemui kesulitan lebih lanjut, kita harus menggarisbawahi pengertian ‘yakin’ terlebih dahulu. Seseorang dapat meyakini sesuatu tentu memiliki pemahaman mengenai keyakinannya –kita tidak perlu membahas objek keyakinan, melainkan keyakinan itu sendiri. Anda yakin bahwa Anda sedang membaca tulisan ini, itulah pengertian dasarnya. Sedangkan mengenai apakah tulisan yang Anda baca ini mengandung kebenaran ataukah tidak, itu persoalan lain alias persoalan nilai (value). Sama halnya ketika mendengarkan seseorang bercerita, saya yakin bahwa saya sedang mendengarkan ceritanya, mengenai benar atau tidaknya cerita tersebut merupakan persoalan lain. Sungguh menarik jika keyakinan dipahami begitu, bukan?
Marilah kita cermati, sesungguhnya pengertian yakin pada dasarnya hanya berkaitan dengan objek, bukan berkaitan dengan nilai yang dilekatkan terhadap objek. Persoalan ini sederhana, akan tetapi dapat menimbulkan perdebatan sesama saudara ketika pengertian yakin selalu dikaitkan dengan persoalan nilai. Padahal sesungguhnya nilai –mengenai salah-benar dan baik-buruk, ataupun turunannya— merupakan pertimbangan yang kita lekatkan terhadap objek. Nilai tidak terletak pada objek itu melainkan sembunyi di kepala kita masing-masing. Salah satu contoh tentang perdebatan nilai ‘benar atau salah’-nya tindakan mbok Minah mencuri Kakao. Tindakan mbok Minah mencuri Kakao dan benar-salahnya tindakan tersebut merupakan persoalan lain, meskipun kedua hal tersebut dapat berkaitan. Bukankah ketika tindakan mbok Minah mencuri Kakao tidak dikait-kaitkan dengan persoalan hukum maupun norma-norma, berarti tindakan mbok Minah sah-sah saja? Dan hanya semata-semata persoalan hukumlah sehingga tindakan mbok Minah harus dimejahijaukan. Meskipun mbok Minah sendiri tidak tahu-menahu tentang persoalan hukum, barangkali mbok Minah hanya tahu bahwa mengambil 3 (tiga) buah Kakao bukan pencurian (tindakan melanggar hukum) sebab banyak orang melakukannya dan “aman-aman saja”.
Di sini kita tidak sedang menyalahkan –sebab menyalahkan atau membenarkan merupakan bagian dari pertimbangan nilai— seseorang yang menyampuradukkan pengertian yakin dengan nilai, hanya sebaiknya kita lebih cermat memposisikan diri. Apakah konteks keyakinan kita, jika terhadap ‘sesuatu’ hanya cukup meyakininya maka kita tidak perlu merepotkan diri dalam persoalan nilai, namun sebaliknya bila penilaian kita sedang diminta dan penilaian kita terhadap suatu objek juga memerlukan keyakinan. Rasanya melelahkan sekali mendiskusikan perihal keyakinan, terutama bila Anda sudah tidak yakin dapat memahaminya. Padahal kita sedang mendiskusikan keyakinan dalam pengertian yang sangat sederhana, bukan dalam konteks keyakinan terhadap Tuhan. Sesungguhnya yakin tidak perlu dipikir, tapi cukup diyakini. Anda harus meyakini bahwa Anda yakin, itulah kuncinya.
Al-Ghazali memiliki suatu konsep keyakinan yang telah diadopsi oleh banyak masyarakat muslim, pengertian yakin terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, ialah ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haq al-yaqin. Pengertian ‘ilm al-yaqin ialah yakin secara aqliah (teoritis), sementara ‘ain al-yaqin ialah yakin secara inderawiah, sedangkan gabungan keduanya memunculkan haq al-yaqin. Sebagai contoh: seseorang mendengar cerita bahwa Pasar Beringharjo terletak di Yogyakarta (‘ilm al-yaqin), ketika menonton suatu siaran televisi ia pun melihat liputan tentang Pasar Beringharjo (‘ain al-yaqin), kemudian ia berkunjung ke Yogyakarta dan mampirlah ke Pasar Beringharjo (‘ain al-yaqin). Contoh lain: Anda membayangkan seorang wanita cantik yang memiliki ciri-ciri seperti ini, itu dan sebagainya (‘ilm yaqin), lalu setelah searching lewat mbah Google Anda melihat sosok tersebut sebagai Dian Sastro Wardoyo (‘ain al-yaqin) dan suatu ketika secara langsung Anda bertemu dan mendapatkan tanda tangan asli Dian Sastro (haq al-yaqin). Sesungguhnya kategorisasi mengenai ketiga yakin tersebut ditentukan oleh metode yang digunakan, yaitu rasional, empiris (inderawi) dan gabungan keduanya. Seseorang yang tiba-tiba tersesat di Beringharjo atau tiba-tiba bertemu dengan Dian Sastro –tanpa mengetahui sebelumnya bahwa itu Dian Sastro— pasti memiliki tingkat keyakinan berbeda dengan seseorang yang sengaja berkunjung ke Beringharjo atau sengaja ingin bertemu dengann Dian Sastro. Sesunggunya konsepsi ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haq al-yaqin merupakan teori yang dipakai al-Ghazali untuk menjelaskan Tuhan.
Sesungguhnya keyakinan memiliki posisi sangat strategis bagi manusia. Masyarakat Jawa mengenal istilah otak-atik gatuk, suatu ngelmu yang ketika diyakini maka akan membawa manfaat. Itulah kedahsyatan keyakinan. Sebaliknya bila suatu rumusan rasional dan sistematis yang tidak diyakini –apalagi tidak diyakini kebenarannya— maka tidak lebih sekedar otak-atik gatuk yang tak berguna. Semenjak awal kita telah mendiskusikan secara panjang x lebar = luas mengenai nalar dan iman, namun bila Anda tidak yakin bahwa kita sedang membicarakan tema tersebut maka sia-sialah diskusi kita. Setiap orang memerlukan keyakinan ketika membicarakan nalar, setidaknya yakin bahwa dirinya bernalar. Demikian pula tatkala mendiskusikan iman, keyakinan bahwa dirinya “beriman” menjadi modal dasar untuk dapat memahaminya.
Sekarang kita bicarakan kedahsyatan yakin dalam konteks yang lebih luas. Seorang kawan saya pernah bercerita, suatu ketika ia diminta oleh saudaranya untuk memintakan “air putih” kepada seorang kyai sebab anaknya demam tinggi. Sekembalinya dari sang kyai, segelas air putih yang dibawanya terjatuh. Ia hendak kembali kepada sang kyai tapi sudah larut malam sehingga diam-diam ia mengganti air tersebut dengan air kran, lalu dengan penuh percaya diri diserahkannya air kran tersebut kepada saudarnya. Esoknya ia kaget setengah mati setelah saudaranya berterima kasih sebab anaknya telah sembuh. Kisah tersebut sama persis dengan pengalaman mbah Kartomi alm., tetangga saya di desa. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1980-an. Suatu hari ia menderita sakit kepala, bahasa Banyumas untuk sakit kepala ialah mumet. Berhubung ada kepentingan mendesak maka terpaksalah ia berangkat ke pasar Ajibarang sekaligus membeli obat sakit kepala. Kepada seorang pedagang keturunan Cina langganannya, yang sudah sama-sama tua dan tuli, ia memesan, “Bah, tuku obat mumet!” “Tuku apa, obat sremet?” suara pedagang mata sipit itu ditinggikan dengan setengah bertanya. Barangkali bunyi mumet dan sremet tidak jelas perbedaannya sebab pendengaran mbah Kartomi juga tidak begitu jelas, asal jawab saja, “Iya!” Mbah Kartomi memang buta huruf dan lugu, sekaligus sosok yang sangat percaya diri begitu saja. Obat tikus tersebut diminumnya seperti meminum obat sakit kepala. Untunglah mbah Kartomi hanya pingsan beberapa jam, warga sekitar pun sudah dibuat geger. Tapi begitu siuman mbah Kartomi kembali sehat dan sakit kepalnya sembuh.
Itulah keyakinan, bagi orang-orang seperti mbah Kartomi, keyakinannya muncul dengan mudahnya tanpa memerlukan pembuktian. Namun bagi orang-orang seperti kita yang –setidaknya— pernah mengenyam pendidikan, meyakini sesuatu bukanlah perkara mudah kecuali telah membuktikannya, terutama menyangkut hal-hal asing alias belum dikenal.
Sehingga kesimpulannya bukan hanya iman, nalar pun menjadi rujukan bagi munculnya keyakinan seseorang. Bagi sebagian orang yang mengandalkan rasionalitas, nalarlah yang bekerja pertama kali, kemudian iman dan terakhir yakin. Terjadinya rentetan sebab-akibat mulai dari nalar menuju iman hingga yakin merupakan bagian proses berpikir manusia yang tak dapat dipungkiri. Biarlah sedikir berbeda dengan rumusan Anselmus, baginya nalar berfungsi untuk merasionalisasikan iman. Iman datang pertama kali, kemudian nalar dan akhirnya yakin, demikian rumusannya. Pendapat itu dipegangi oleh Anselmus, tentu dengan tidak melepaskan posisinya sebagai pemikir gereja saat itu. Sudah sewajarnya bagi seorang agamawan akan mendahulukan iman daripada nalar, tentu ketika berbicara dalam konteks ketuhanan. Sementara ketika konteksnya diperluas ke wilayah profan-duniawi, di mana posisi nalar dan iman tidaklah menjadi persoalan. Terlebih ketika mengingat bahwa sasaran tembak kita sekarang adalah yakin, bukan lagi soal iman apalagi nalar. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar