Kamis, 14 Januari 2016

EGO – Muhammad Iqbal

      1 Votes

EGO SEBAGAI DASAR METAFISIKA M. IQBAL

A. PENDAHULUAN


Dalam kajian filsafat, 
metafisika selalu ditempatkan pada bab pertama 
dan dijadikan sebagai dasar pijak suatu pemikiran. 

Bahkan bagi para filosof klasik, filsafat identik dengan metafisika. 
Dalam filsafat Islam khususnya, 
kajian metafisika selalu diidentikkan dengan kajian tentang Tuhan (Allah SWT). 
Bahkan berbagai bangunan epistemologi yang digagas 
semata-mata hanya untuk satu hal; 
mengetahui tentang esensi Sang Ada. 

Memang tren pemikiran waktu itu menuntut bahwa
 Sang Ada mutlak harus dapat dipahami secara nalar.

Dalam perkembangannya, 
metafisika banyak menuai kritik dari kalangan pemikir-pemikir muslim sendiri. 

Al-Ghazali misalnya, ia menolak keras 
bahwa Tuhan tidak bisa dipahami secara nalar an sich 
tapi harus dengan hati (al-qalb). 

Lalu kemudian al-Ghazali lebih memilih jalan tasawuf 
dari pada filsafat yang dianggapnya sesat. 
Namun sayangnya, 
kritik al-Ghazali terhadap filsafat terlampau keras 
akibatnya perkembangan filsafat di dunia Islam kemudian menjadi layu. 
Kemerdekaan berfikir umat Islam surut 
dan diganti dengan model taklid pada para ‘ulama.[1]

Adalah Mohammad Iqbal, 
seorang pujangga sekaligus filsuf 
kelahiran Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 November 1877[2] 
telah tebukti mampu meniupkan angin segar bagi kefilsafatan dunia Islam. 

Dengan magnum opusnya 
”The Reconstuction of Religious Though in Islam” 
ia dengan sederet pemikir Islam lainnya berupaya mendobrak 
kejumudan yang menidur-lelapkan dunia Islam. 
“Agar umat Islam dapat bangkit, 
rekonstruksi pemikiran harus diupayakan,” 
itulah inti gagasannya.[3]

Sebagaimana filsuf-filsuf terdahulu, 
Iqbal mendasari filsafat rekonstruksinya dengan metafisika 
dan konsep metafisikanya adalah ego dan kehendak manusia (will to power). 

Rekonstruksi baginya semacam metodologi 
yang membuka ruang bagi penyesuaian dengan perubahan 
demi terciptanya pemikiran yang sesuai dengan semangat zaman. 
Sementara kehendak untuk berbuat dan kekreatifan berpikir adalah kunci utama. 

Memang, 
Pemikiran manusia tidak pernah mencapai titik final dan karena itu, 
rekonstruksi adalah proses tanpa henti.



B.  PEMBAHASAN


Ada pendapat dari barat bahwa 
agama telah menghancurkan kepribadian manusia 
serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. 

Ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan 
maka manusia menjadi lemah, tidak berkuasa.[4] 

Iqbal menolak keras pandangan ini, 
baginya manusia memiliki kehendak bebas (will to power) 
untuk melakukan sesuatu. 

Hal inilah yang membuat manusia memiliki dirinya, manusia memiliki ego. 
Ego yang bersifat bebas unifed dan immoratal dan dapat diketahui secara pasti, 
tidak sekedar pengandaian logis. 

Karena itulah, 
kemudian dikenal bahwa Filsafat Iqbal terpusat pada ego atau “self hood”. 
Dan demi memperkuat pengetahuan tersebut, 
ia tidak segan-segannya menimba ilmu pengetahuan Timur maupun Barat.

Sebetulnya, 
pendapat Iqbal tersebut persisnya membantah tesis Imannuel Kant 
yang mengatakan bahwa 
diri yang bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit. 

Dan Iqbal memaparkan pemikiran ego-nya 
terbagi menjadi tiga macam antara lain: pantheisme, empirisme dan rasionalisme.

Dalam pandangan Iqbal, 
pantheisme terlalu memandang ego manusia 
sebagai non eksistensi dimana eksistensi riil adalah ego absolut. 

Hal ini bertentangan dengan keyakinannya bahwa ego manusia adalah nyata.  
Terbukti bahwa manusia mampu berfikir dan bertindak, 
yang sekaligus membuktikan bahwa aku ada.

Sementara empirisme memandang ego 
sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman, sementara yang real adalah pengalaman. 

Benak manusia dalam pandangan ini adalah 
bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. 

Iqbal menolak empirisme 
karena tidak dapat menyangkal bahwa 
ternyata adanya kesatuan dalam pengalaman. 

Iqbal pun menolak rasionalisme ego 
yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum 
(semuanya bisa diragukan kecuali aku 
sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). 

Baginya, 
ego yang bebas dan terpusat 
juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi.

Menurut Iqbal 
aktivitas ego pada dasarnya berupa aktivitas kehendak. 

Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan 
dan bergerak menuju satu arah (Ego absolut). 

Tujuan tersebut 
tidak ditetapkan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir 
dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif.[5]

Menurut CA. Qodir, 
Iqbal mengambil pandangan tentang “ego” ini terutama dari kaum idealis 
seperti Hegel dan Fichte, tetapi menggabungkannya dengan paham perubahan. 

Ia berpendapat bahwa ada semacam tangga nada (hierarkhi) ke-aku-an 
yang muncul secara perlahan-lahan di alam semesta ini 
hingga mencapai tingkat manusia, 
di mana ke-ego-an berada pada titik titik tertingginya. 

Allah SWT dipandang sebagai ego, tetapi Ia adalah Ego absolut. 
Sementara alam semesta adalah lembah ego-ego yang lebih rendah 
yang biasanya dipandang sebagai materi.[6]

Iqbal sangat menekankan dan mengukuhkan perkembangan ego 
dan menjelaskan dengan rinci 
faktor-faktor pembangun ego 
dan juga faktor-faktor yang bisa menghancurkannya. 

Seperti halnya Rumi, 
Iqbal pun percaya bahwa ego membutuhkan lingkungan sosial 
untuk berkembang karena dalam kesendirian ia akan melemah dan kering.

Dalam karyanya Romaz-i Bekhudi (Rahasia non-Diri), 
Iqbal menunjukan adanya saling ketergantungan antara individu dan masyarakat. 

Dan menyatakan dengan tegas bahwa
keanggotaan yang aktif dalam suatu masyarakat yang riil inilah 
yang memberi tujuan dan makna dalam kehidupan seseorang. 

Ego sebagai diri adalah keseluruhan kepribadian 
yang menerima dan mengintegrasikan rangsangan 
lalu menjawabnya secara kreatif dan inovatif. 

Ego pada dasarnya bebas 
dan kebebasan ini dipandang oleh Iqbal sebagai “rahmat”.[7]

Sementara Tuhan 
harus diperoleh lewat perjuangan yang berkesinambungan dan bertahan. 
Iqbal sendiri mendefinisikan ego (khudi) sebagai berikut: 
“Secara metafisik kata “khudi” (keakuan) digunakan dalam arti 
adanya perasaan yang tak terperikan tentang “Aku” 
yang membentuk dasar bagi setiap keunikan “individu”. 

Secara etik kata khudi berarti 
kemandirian (self reliance), penghargaan diri, kepercayaan diri 
atau pemeliharaan diri untuk berpegang teguh 
pada cita-cita kebenaran.[8]

Manusia adalah wakil Allah di atas bumi. 
Ia dikaruniai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas 
tetapi juga dibebani tanggung jawab yang tak terbatas juga. 

Dalam merealisasikan kemaslahatan dunia melalui kerja dan perjuangan keras, 
manusia menjadi “yang bekerja sama” dengan Tuhan. 

Dalam hal ini Iqbal tidak percaya pada fatalisme 
karena akan menghapuskan kebebasan dan kreatifitas 
bagi kehendak bebas manusia. 

Allah dengan kehendaknya sendiri, membatasi kehedak-Nya 
dengan cara memberikan sebagiannya kepada manusia, 
suatu pandangan yang barangkali bertentangan 
dengan pandangan-pandangan ortodoks.



C.  PENUTUP


Dengan konsep filsafat ego-nya, 
Iqbal hendak menafsirkan bahwa 
setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk menentukan dirinya sendiri 
dengan demikian 
harus berani berkreasi dan mandiri dalam berfikir (ijtihad). 

Tidak seperti apa yang selama ini terjadi. 
Bahkan ia mengkritik, 
bahwa penyebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, 
konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. 
Sehingga umat Islam hanya bisa puas 
dengan keadaan yang sekarang di dalam kejumudan.

Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, 
ditantang untuk bisa 
mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut 
agar sesuai dengan kehendak-Nya. 
Oleh sebab itu 
umat Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, 
yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat 
dalam mengantisipasi gerak dan perubahan zaman?. 

Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, 
kalau umat Islam memahami Islam 
seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.

Begitulah M. Iqbal. 
Dalam kehidupannya, 
ia telah berusaha secara serius 
terhadap perumusan kembali tentang pemikiran Islam. 
Meski ia tidak diberi umur panjang 
namun lewat tarian penanya 
ia mampu menghempaskan awan mendung 
yang menyelimuti dunia islam semasa hidupnya. 
Memang, pena lebih tajam dari pada pedang.

Semestinya 
semangat Iqbal perlu diapresiasi dan kemudian diteladani. 
Dan sayangnya di Indonesia sendiri, 
semangat Iqbal dalam memberontak kejumudan 
masih belum terlihat sosoknya.[9] 
Hal ini terbukti bahwa pemikir-pemikir muslim kita 
kerap membangga-banggakan iqbal, 
namun mereka tak mampu menjadi Iqbal. 

Kejumudan demi kejumudan selalu mengalami bentuk modifikasinya. []


























DAFTAR PUSTAKA




Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta, Jalasutra, 2003


Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta, PT Ichtiar baru Van Hoeve, tt


Lukman S. Thahir, Liberalisme Islam (Studi Tentang Pemikiran Filsafat Iqba)l, Tesis Jurusan Aqidah dan Filsafat Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994


M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004


Administrator, Konsepsi Manusia Super: Mengkaji Eksistensi Manusia dari Sufistik hingga Mekanistik (Studi Komparatif Atas Perspektif Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Muhammad Iqbal), www.skripsizone.com, 5 Agustus 2007


Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001 dalam Rumiadi Hartawa, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999


Fathurrahman, Pemikiran Mohammad Iqbal, http://udhiexz.wordpress.com, 13 April 2008


Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999

[1] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 127

[2] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar baru Van Hoeve. tt), hal. 410

[3] Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal. Dikutip dari Fathurrahman, Pemikiran Mohammad Iqbal, http://udhiexz.wordpress.com/2008/04/13/pemikiran-muhammad-iqbal/, 13 April 2008

[4] Lihat. Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001 dalam Rumiadi Hartawa, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999

[5] Lihat. Donny Grahal Adian dalam Matinya Metafisika Barat, 2001

[6] Lihat. Rumaidi Hartawa, Humanisme Religius: Pengantar pada Filsafat Iqbal, http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com, 14 April 1999

[7] Lihat. Lukman S. Thahir, Liberalisme Islam: Studi Tentang Pemikiran Filsafat Iqbal, Tesis Jurusan Aqidah dan Filsafat Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994

[8] Bagus Takwin, Filsafat Timur: Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, (Yogyakarta, Jalasutra, 2003), hal. 148


[9] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam…, Op.Cit. hal. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar