Kamis, 14 Januari 2016

MUHAMMAD IQBAL | FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI



Oleh : Sanusi Batubara 
Pendahuluan

Mohammad Iqbal sebenarnya seorang failosof Muslim, 
beliau tidak suka kalau dirinya disebut sebagai seorang penyair. 
Nilai-nilai kebudayaan Islam hendak digaungkannya dan digunakan persajakan 
justru sebagai alat penjelma semata. 

Iqbal memang penyair yang hendak menggabungkan suatu pesan, 
dia telah mempelajari rahasia kehidupan dan 
inginlah dia menyampaikan rahasia ini kepada umat Islam.

Memang sulit tugas Iqbal, 
sebab hendak diwujudkannya kesatuan falsafah dengan cinta. 

Iqbal amat dalam tinjauannya tentang falsafash dan sejarah Islam, 
dalam pula telaahnya tentang filsafat barat. 

Ia melihat intelektualisme Hindi dan Pantheisme Islam 
membinasakan kemauan dan kesanggupan orang Islam 
untuk mengadakan suatu aksi 
dalam rangka menentukan kejayaannya kembali 
seperti pada masa kejayaan Islam. 

Maka untuk itu dibinalah semacam falsafah berasal dari hadist Nabi Muhammad SAW: 

“Tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Tuhan”.

Lalu Iqbal pun menantang para filisof idealis dan para penyair mistis 
yang menurutnya telah menyebabkan kemerosotan kejayaan Islam. 

Iqbal menyatakan bahwa dengan jalan menegaskan diri sendiri, 
menjelmakan dan menumbuhkan pribadi sebulat-bulatnya 
beserta memajukan wujud diri sendiri, 
orang Islam dapat menjadi Umat yang kuat dan merdeka kembali. 

Maka di dalam makalah yang sederhana ini, 
mencoba memberikan gambaran  pendapat Mohammad Iqbal 
tentang Tuhan dan Khudi (Rahasia Pribadi).


Riwayat Hidup Iqbal

Iqbal lahir di Sialkot (Punjab) tanggal 22 Pebruari 1873. 
Nenek moyangnya berasal dari Kashmir dan 
telah memeluk agama Islam kira-kira 300 tahun sebelumnya. 
Sesudah menamatkan pendidikan Sekolah Rendah dan menengah di Saikot 
maka ia pergi ke Lahore pada tahun 1895 untuk melanjutkan studinya. 
Ia berguru kepada seorang syekh yang telah mashur yakni Syamsul Ulema MirHasan. 

Selanjutnya ia meneruskan studinya ke Eropa. 
Di Eropalah pemikirannya berkembang. Iqbal wafat tanggal 21 April 1938.  

Pemikiran Iqbal Tentang Tuhan

Filsafat Iqbal tentang tuhan dapat dibagi dalam tiga fase. 
Adapun dasar yang dipakai dalam pengelompokan tersebut adalah 
keaslian dan keterpengaruhan pemikiran Iqbal tersebut mengenai konsepsi Tuhan. 

Fase pertama berlangsung mulai dari tahun 1901M hingga kira-kira tahun 1908M, 
pada fase ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai suatu keindahan yang abadi, 
yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu 
dan karena itu menampakkan diri dalam semua itu. 

Ia menyatakan dirinya 
dilangit dan dibumi, dimatahari dan dibulan, pada kerlap kerlip bintang –bintang dan jatuhnya embun ditanah dan dilaut, diapi dan nyalanya, di batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, diwewangian dan nyanyian, 
tetapi dimana pun ia menunjukkan diri 
tidak lebih daripada yang nampak di mata Salimah, 
bahkan sebagaimana pada Dante; 
dimana pun, 
ia menampakkan diri tidak lebih dari pada yang tampak pada Beatrice. 
Seperti halnya besi ditarik oleh magnet, 
demikian pula segala sesuatu ditarik oleh Tuhan. 

Demikianlah, 
Tuhan sebagai keindahan Abadi adalah penyebab gerak segala sesuatu. 

Kekuatan pada benda-benda, daya tumbuh pada tanaman, naluri pada binatang buas dan kemauan pada manusia hanyalah sekedar bentuk daya tarik ini, cinta untuk Tuhan ini.

Karena itu, 
Keindahan Abadi adalah sumber, essensi dan ideal segala sesuatu. 

Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti lautan, 
dan individu adalah seperti halnya setetes air. 

Demikianlah, 
Tuhan adalah seperti matahari dan individu adalah seperti lilin, 
dan nyala lilin hilang di tengah cahaya. 
Seperti balon atau bunga api, 
kehidupan ini bersifat sementara 
tidak hanya itu bahkan keseluruhan mewujudtan 
atau eksistensi adalah suatu yang fana.[1]

Secara umum telah dikemukakan tentang kosepsi Iqbal tentang Tuhan 
pada fase pertama seperti termuat diatas. 

Pemikiran seperti ni tidak sulit dicari sumbernya, 
pada dasarnya pemikiran seperti ini bersifat platonis. 

Plato juga menganggap Tuhan sebagai keindahan yang Abadi, 
sebagai alam universal yang medahului segala sesuatu 
serta terwujud pada kesemuanya itu sebagai bentuk. 

Plato juga menganggap, Tuhan sebagai ideal tujuan manusia. 
Ia juga memisahkan cinta dari pengertian seks dan memberinya makna universal, 
konsep platonis ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Plaonus 
diambil alih oleh kaum skolastik Muslim awal dan 
dicangkokkan ke dalam pantheisme oleh para ,
mistikus patheistis menurut kepada Iqbal sebagai suatu tradisi lama 
dalam puisi, parsi dan urdu ditambah lagi 
lewat studinya atas puisi-puisi romantis inggris. 

Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase pertama ini tidak asli. Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita 
apa yang ia terima sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah. 
Ia menjadikan ide keTuhanan ini sebagai bahan puisi-puisinya 
dengan berbagai cara baru.

Masa kedua perkembangan pemikiran Iqbal bermula kira-kira tahun 1908-1920 M. 
kunci untuk memahami masa ini adalah 
perubahan sikap Iqbal kearah perbedaan yang ia tarik 
antara keindahan sebagaimana tampak pada segala sesuatu,[2]
disatu pihak dan cinta kepada keindahan dipihak lain. 

Sebagaimana telah dicatat 
bahwa Iqbal menyebut keindahan sebagai sesuatu yang kekal dan efisien 
serta kausalitas akhir dari segala cinta, gerakan dan keinginan. 
Tetapi pada masa kedua, sikap ini mengalami perubahan.

Pertama, 
suatu kesangsian dan kemudian berubah menjadi semacam pesimisme yang menyelinap 
ke dalam dirinya mengenai sikap kekal dari keindahan dan efisiensinya serta kausalitas.

Pada fase ini pemikirannya dibimbing oleh konsep tentang pribadi(self)
yang dianggap sebagai pusat dinamis 
dari hasrat, upaya, aspirasi, usaha ,keputuisan ,kekuatan dan aksi. 

Pribadi tidak maujud dalam waktu, 
melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi. 

Pribadi adalah aksi yang seperti pedang 
merambah jalannya dengan menaklukkan kesulitan, halangan dan rintangan.

Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup adalah pribadi 
karena itu waktu hidup dan pribadi ketiganya dibandingkan dengan pedang.

Yang disebut dengan dunia luar 
dengan segala macam kekayaannya yang menggairahkan 
termasuk ruang dan waktu serial 
dan apa yang disebut dengan dunia perasaan, 
ide-ide dan ideal-ideal keduanya adalah ciptaan pribadi mengikuti fichte dan ward, 

Iqbal menyatakan kepada kita bahwa pribadi menuntut dari dirinya sendiri 
sesuatu yang bukan pribadi demi kesempurnaannya sendiri.

Dunia yang terindera adalah ciptaan pribadi. 
Karena itu 
segala keindahan alam merupakan bentukan hasrat-hasrat kita sendiri. 
Hasrat menciptakan mereka,bukannya mereka yang mempunyai hasrat.

Tuhan sang hahekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi. 
Ia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar. 
Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi dan 
keindahan disusutkan menjadi suatu sifat Tuhan, 
menjadi sebutan yang sekarang mencakup nilai-nilai estetis dan nilai-nilai moral sekaligus.

Disamping keindahan Tuhan, 
pada tahap ini 
keesaan tampak menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi 
karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan 
pada individu, bangsa-bangsa dan manusia 
sebagai keseluruhan kekuatan yang mengikat, 
menciptakan hasrat yang tak kunjung padam, 
harapan dan aspirasi dan menghilangkan semua rasa gentar dan takut 
kepada yang bukan Tuhan.

Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang indera 
melainkan dalam pribadi terbatas, 
dan karena itu usaha mendekatkan diri padanya 
hanya akan dimungkinkan lewat pribadi. 

Dengan demikian 
mencari tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. 

Demikian pula 
tuhan tidak bisa diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata-mata 
karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. 

Mendekati tuhan menurutnya harus konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri. 

Ia harus menangkap DIA dengan cara sama 
seperti seorang pemburu menangkap buruannya. 

Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap. 

Ia mencari manusia seperti manusia mencari Dia.

Dengan menemukan 
Tuhan seseorang 
tidak boleh membiarkan dirinya 
terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. 
Sebaliknya 
manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, 
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan 
kemungkinan ini tidak terbatas. 

Dengan menyerap tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego. 
Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ketingkat wakil Tuhan.

Masa ketiga perkembangan mental dan pemikiran Iqbal 
dimulai sejak tahun 1920 hingga tahun 1938 dimana tahun wafatnya Iqbal. 
Masa ketiga ini dianggap sebagai 
masa kedewasaan dari pemikiran Iqbal itu sendiri. 
Ia mengumpulkan unsur-unsur dari sintesisnya dan 
kini menghimpunnya dalam suatu sistem yang menyeluruh.

Menurutnya Tuhan adalah 
hakikat sebagai suatu keseluruhan dan 
hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual 
dalam artian suatu Individu dan suatu ego. 

Ia dianggap sebagai ego karena seperti manusia, 
Dia adalah suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, 
suatu paduan yang terikat satu sama lain 
yang berpangkal pada fitrah kehidupan organisme-Nya 
untuk suatu tujuan konstruktif. 

Ia adalah ego karena menanggapi refleksi kita. 
Karena ujian yang paling nyata pada suatu pribadi adalah 
apakah ia memberi tanggapan kepada panggilan pribadi yang lain.[3] 
Tepatnya,
Dia bersifat mutlak karena Dia meliputi segalanya, 
dan tidak ada sesuatu pun diluar Dia.

Ego mutlak tidaklah statis 
seperti alam semesta sebagaimana dalam pandangan Aristoteles. 

Dia adalah jiwa kreatif, 
kemauan dinamis atau tenaga hidup 
dan karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya, 
maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. 

Dia juga tidak terbatas. 
Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, 
karena ketidak terbatasan ruang tidak bersifat mutlak. 

Ketidak terbatasan Nya bersifat intensif bukan ekstensif 
dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang tidak terbatas. 

Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas 
mempunyai arti bahwa Dia Maha Kuasa.
Dengan demikian 
Ego terakhir adalah tenaga yang maha kuasa, 
gerak kedepan yang merdeka,suatu gerak kreatif.

Konsepsi Iqbal Tentang Khudi

Khudi dalam bahasa Parsi berarti pribadi. 
Yaitu pribadi-pribadi yang sempurna. 

Sedangkan yang dimaksud Iqbal di sini adalah 
usaha menjadikan diri Individu 
yang selalu di liputi sifat-sifat Tuhan yang sempurna. 

Ini terlihat 
ketika Iqbal melukiskan kejayaan pribadi dan jalan hidup nabi Muhammad.

 Yang mana dalam tafsir sajaknya bahwa 
untuk perkembangan sewajarnya dari setiap muslim 
dirindukannya suatu masyarakat menurut acuan Islam, 
dan setiap muslim yang berusaha akan menjadikan dirinya 
Individu yang sempurna 
turut membina kerajaan Islam dibumi ini.

Syarat-syarat untuk masyarakat Islam itu dilukiskan Iqbal 
dalam kumpulan syairnya yang kedua, yakni: 
Rumuz -i-bekhudi, yang diterbitkan sesudah Asrar –i-khudi. 

Dalam buku kumpulan syair Rumuz –i-bekhudi itu Iqbal melukiskan bahwa 
orang yang dapat menafikan dirinya sendiri dalam masyarakat, 
membayangkan yang silam dan yang akan datang 
sebagai suatu satuan didalam cermin, 
dapatlah dia mengatasi sang ajal dan 
masuk kedalam hidup ke Islaman yang bersifat abadi dan tidak terbatas. 

Diantara acara-acara terpenting yang abadi dan tak terbatas. 
Diantara acara-acara terpenting yang didendangkan Iqbal ialah: 
asal-usul masyarakat, 
kepemimpinan Tuhan pada manusia 
dengan perantaraan para nabi. 

Pembentukan pusat –pusat hidup kolektif dan nilai sejarah 
sebagai faktor penting untuk menetapkan tanda tersendiri dalam sesuatu bangsa.

Khudi yakni ego yang hendak menangkap Ego yang besar 
oleh kian membulatnya dirinya sendiri. 

Pribadi bukanlah lagi ada dalam waktu, 
tetapi waktu sendiri sudah menjadi dinamisme pribadi. 

Pribadi atau khudi itu ialah action ialah hidup dan hidup ialah pribadi.

Tuhan menjelmakan sifat-sifatnya 
bukanlah di alam ini dengan sempurna 
tetapi pada para pribadi sehingga mendekati Tuhan berarti 
menumbuhkan sifat-sifatNya dalam diri, 
yang sebenarnya sesuai dengan hadist rasullah s.a.w: 

Takhallaqu bi akhlaqi’llah, tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Allah.

Jadi mencari tuhan 
bukanlah dengan jalan merendah-rendahkan diri atau meminta-minta, 
tetapi dengan himmah tenaga yang berkobar-kobar 
mejelmakan sifat-sifat uluhiyyah (ketuhanan) 
dalam diri kita dan kepada masyarakat ramai. 

Tegasnya mendekati Tuhan ialah 
menyempurnakan diri pribadi insan, memperkuat iradah atau kemauannya.

Maka menurut 
Iqbal pribadi sejati adalah 
bukan yang menguasai alam benda 
tetapi pribadi yang dilingkupi Tuhan kedalam khuduinya sendiri. 
Maka sifat dan pikiran pribadi atau khudi ialah:[4]

1. Tidak terikat oleh ruang sebagaimana halnya dengan tubuh.

2. Hanyalah lanjutan masa mengenai kepribadian

3. Kepribadian pada asasnya tersendiri dan Unik.

Sedangkan cita tentang pribadi itu memberikan kepada kita 
ukuran yang sebenarnya, 
diselesaikannya soal buruk dan baik. 

Hal-hal yang memperkuat pribadi bagi Iqbal Ialah:

1. ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.

2. Faqr yang artinya sikap tak peduli terhadap apa yang disediakan oleh dunia ini, 
   sebab bercita-cita yang lebih agung lagi.

3. Keberanian

4. Sikap tenggang rasa (tolerance)

5. Kasb-i-halal yang sebaik-baiknya terjalin dengan hidup 
   dengan usaha dan nafkah yang sah.

6. Mengerjakan kerja kreatif dan asli.


Kunjungi lebih banyak makalah di Aneka ragam Makalah 
selain Makalah MUHAMMAD IQBAL | FILSAFAT TENTANG TUHAN DAN KHUDI


DAFTAR PUSTAKA


Syarif, M.M, 1984, 
Iqbal Tentang Tuhan dan Khudi
Iqbal, Moh.,1976, 

Asrar-I Khudi:Rahasi-Rahasia Pribadi, 
er. Bahrum Rangkuti Jakarta: Bulan Bintang., Jakarta: Mizan.


Footnote

[1] Bang-I Dara, h. 73.

[2] M.M. Syarif, Tentang Tuhan dan Keindahan, Terj. Yusuf Jamil, (Jakarta: Mizan, 1984), h. 30

[3] Iqbal dalam Syarif,.Hal.37.

[4] Iqbal , Asrari khudi : Rahasia-Rahasia Pribadi, Terj Bahrum Rangkuti, (Jakarta: Bulan Bintang), hal.25..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar