Rabu, 09 Desember 2015

SAMSUDIN SUMATRANI DAN HAMZAH FANSURI

Syamsuddin as-Sumatrani sering ditempatkan pada barisan yang sama 
dengan Hamzah Fansuri, yaitu sebagai penganjur aliran wujudiyah. 

Seperti juga Hamzah Fansuri, Syamsuddin mula-mula mendalami soal keesaan Wujud, asal- usul yang banyak dari yang esa, dan soal manusia sempurna atau insan kamil. 

Dalam karya-karyanya, Syamsuddin memang mengajukan 
pemahaman tentang Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna dan Yang Maha Mutlak. 
Maka kesempurnaan Tuhan itu mencakup segala sesuatu 
termasuk seluruh alam dan manusia di dalamnya.

Dalam soal praktis ia terutama mencurahkan banyak perhatian pada ajaran tentang zikir, atau melafazkan terus menerus pengakuan tauhid dan Nama-nama Allah, 
yang akan mengantar manusia pada pemandangan atau musyahadah langsung 
terhadap Hakikat Yang Tertinggi.

Sumber-sumber metafisika dan onotologi Syamsuddin 
dapat ditemukan dalam karya-karya Ibnu al-Arabi dan al-Jill. 
Tetapi perbedaan dua sufi ini justru terdapat dalam ajaran mereka masing-masing 
tentang manifestasi Yang Mutlak. 

Menurut Hamzah, 
sesudah lima manifestasi pokok (martabat-martabat pernyataan yang Mutlak atau ta`ayyun) yang turun satu demi satu dari Zat Allah yang sama sekali transenden, 
tidak ternyatakan dan terkognisi, 
menyusul martabat terendah yang tidak terbilang banyaknya. 

Sedangkan menurut Syamsuddin, 
sistem Wujud terdiri dari tujuh martabat atau tingkatan. 
Karenanya sistem itu biasa disebut sebagai Martabat Tujuh.

Beberapa jalan untuk menuju kepada Tuhan itu disimpulkan oleh Syamsuddin 
dalam konsep wujudiyah yang disebutnya sebagai Wujud dan Martabat Tujuh. 

Dalam konsep ini, tiga konsep yang utama, 
yaitu ahadiyyah 
(ketunggalan atau keesaan yang belum dinyatakan atau tidak dapat dikenali), 

wahdah (keesaan sintetik dari istidad-istidad atau potensi-potensi Wujud) dan 

wahidiyah (ketunggalan analitik dari istidad-istidad Wujud, 
atau Wujud yang tunggal dan sekaligus beraneka ragam). 

Tiga martabat ini bersifat qadim dan baqa (kekal).

Sementara itu martabat yang empat, 
yaitu 
alam arwah, 
alam amthal, 
alam ajsam, dan 
alam insan adalah bayang-bayang Tuhan semata. 

Walaupun demikian, menurut Syamsuddin, 
bayang-bayang dan yang empunya itu sebenarnya adalah satu. 

Tegasnya, manusia dan Tuhan termasuk dalam satu kesatuan 
yang di dalamnya terangkum alam dan segala makhluknya. 

Untuk itu ungkapan yang sering digunakan oleh Syamsuddin as-Sumatrani adalah
“Tiada wujudku hanya wujud Allah”.

Dari uraiannya tentang Martabat Tujuh, 
terlihat perbedaan antara Syamsuddin dengan gurunya. 

Bila Hamzah Fansuri mengutamakan pengalaman batin, 
Syamsuddin lebih cenderung pada cara pemikiran filsafat yang ketat dan terkadang kering. 

Pengalaman mistik memang tidak asing bagi Syamsuddin, 
namun karya-karyanya lebih cenderung menunjukkan dirinya sebagai ahli ilmu tasawuf, yang terutama berpegang pada pertimbangan logis dan sistematis.

Walaupun yang dominan di dalam karangan Syamsuddin adalah 
pemikiran yang bergaya ilmiah, namun di dalamnya juga terdapat 
citra simbolis dan perumpamaan. 

Salah satunya adalah persamaan beberapa bagian mata manusia 
dengan alam-alam dalam ontologi sufi: 

putih mata dengan alam nasut, 
lingkungan hitam di sekeliling selaput pelangi dengan alam malakut, 
selaput pelangit itu sendiri dengan alam jabarut, dan
 “mata hitam yang bernama basr” (anak mata) dengan alam lahut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar