Selasa, 02 Agustus 2016

Kegalauan Sang Hujjatul islam al-Ghazali

Kegalauan Sang Hujjatul islam al-Ghazali
Dia sudah hafal Al-Qur'an sebelum memasuki masa puber, prestasi akademisnya sangat cemerlang, tak heran akhirnya dia menjadi guru besar dalam bidang ilmu agama di Baghdad, sepintas kita akan melihat bahwa dia akan menjadi seorang akademisi terkemuka, namun jalan hidupnya bergerak ke arah lain
Di tengah hidupnya yang mapan, jiwanya guncang, dia mengalami penyakit aneh, dia kehilangan tenaga dan stamina utk mengajar dokter terbaik di seluruh negeri dipanggil utk mengobati penyakitnya, namun semua angkat tangan, akhirnya dia sadar bahwa penyakitnya bukanlah penyakit fisik, namun penyakit psikis, ternyata penyakitnya bermula dari pertanyaan-pertanyaan sederhana: Apakah yg aku cari? apakah ini semua tujuan hidupku? posisi di universitas? harta berlimpah? apakah hanya ini? bagaimana kalau saya kehilangan semua dalam sekejap?

Al-Ghazali meyakini bahwa motivasi dia mengajar bukanlah tulus demi kemanusiaan dan sesama, semua hanya utk mendongkrak popularitasnya saja, perasaan kehilangan harta dan popularitas membuatnya stress berkepanjangan, semua pertanyaan itu mengendap dalam pikirannya tanpa ada jawaban, hal itu yg membuatnya jatuh sakit
Banyak cerita menarik seputar Imam Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Ghazali. Saking berterima kasihnya Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik. Cerita tentang adik kakak ini sering diperdengarkan di pesantren-pesantren.
Alkisah, suatu hari Ghazali menjadi Imam shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun membatalkan makmum kepada kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”
Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami tasawuf.
Maka ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah – yang tujuan akhirnya disebut makrifat.

Ternyata jalan sufi tidak dapat ditempuh kecuali dengan jalan ilmu dan amal, dengan menempuh tanjakan-tanjakan batin dan penyucian diri. Hal itu perlu untuk mempersiapkan batin, kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah. Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Maka segeralah aku mulai mempelajari ilmu dari beberapa kitab, antara lain, Qut’al Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, juga beberapa kitab karya Haris Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan lain-lain.
Ghazali melanjutkan tulisannya ”Penjelasan lebih jauh terdengar sendiri dari lisan mereka. Jelas pula bagiku, hal-hal yang khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan Dzauq (perasaan), pengalaman dan perkembangan batin sangat jauh memaknai sehat atau kenyang dengan mengalaminya sendiri. Mengalami ekstase (mabuk) lebih jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti “mabuk”. Padahal yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar keterangan tentang itu. Dokter yang sedang sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia tetap sehat, tetapi dia sedang tidak sehat. Mengetahui arti dan syarat zuhud tidak sama dengan bersifat “Zuhud”.

Banyak pujian dialamatkan kepadanya, orientalis beken seperti H.A.R. Gibb menyejajarkan Imam Ghazali dengan filsuf Nasrani ST Agustinus atau pembaharu Kristen Martin Luther. Gibb menulis dalam sebuah bukunya, nama yang terkait dengan pembaharuan pemahaman agama adalah Al-Ghazali, pembaharu agama yang sederajat dengan St. Agustinus dan Martin Luther dalam pendangan keagamaan dan kemampuan intelektual. Cerita tentang perjalanan spritualnya sungguh menawan hati dan sangat bernilai. Bagaimana ia menemukan dirinya sendiri dalam pemberontakannya melawan keruwetan para teolog yang berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim pada masanya.
Sementara menurut Samuel M. Zwemer, ilmuwan asal Jerman dan peneliti dunia sufi, ada empat tokoh yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu 

Nabi Muhammad SAW, 
Imam Bukhari RA yang berjasa dalam pengumpulan Hadits, 
Imam Asy’ari sebagai teolog terbesar dan penentang rasionalisme, dan 
Imam Al-Ghazali sebagai sufi dan pembaharu.
Dalam sufi juga ditekankan benar 
utk bertoleransi sesama manusia yg berbeda keyakinan, 
 sebab dalam kacamata sufi, 
manusia, 
siapapun mereka adalah ciptaan Allah. 
menghargai dan mengapresiasi ciptaan-Nya adalah suatu keniscayaan, 
bergaul dengan mereka yg berbeda sudah menjadi kebiasaan. 
 karena prinsip kaum sufi 
menjaga keseimbangan dan keluwesan pergaulan mereka, 
maka al-Ghazali menjuluki kaum sufi sebagai,
"Penguasa Segala Keadaan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar