Jumat, 05 Agustus 2016

MENGENAL HIZB DIANTARA PARA PEMUKA TASAWWUF

Serial-2 : Tasawwuf
MENGENAL HIZB
DIANTARA PARA PEMUKA TASAWWUF
**********
“Seandainya hizib-ku ini dibaca di Baghdad, maka insya ALLAAH kota itu tak akan jatuh.” Demikian Imam Abul Hasan asy-Syadzili menegaskan hal itu mengenai keampuhan hizibnya yaitu Hizbul Bahr. Bagi kalangan tertentu, boleh jadi pernyataan beliau itu dianggap terlalu mengada-ada. Bagaimana mungkin sebuah bacaan doa dapat menghalau gelombang serangan tentara Tartar yang begitu tangguh..?
Kalau dilihat dengan kalkulasi lahiriah, sepertinya pernyataan Imam Asy-Syadzili memang terlalu mengada-ada. Namun perlu juga diketahui, bahwa urusan hizib bukanlah urusan lahiriah. Hizib adalah doa yang ketajamannya tak bisa dikalkulasi dengan akal, karena murni bersandar kepada kekuatan ALLAAH Jalla Jalaluh. Sebagai sebuah kumpulan doa yang didapatkan oleh seorang waliyuLLAAH dari ilham, maka sangat mungkin bila doa itu memiliki sisi-sisi keluarbiasaan sebagaimana yang biasa dilihat sebagai karamah dari para wali. Sebagaimana, kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar, maka turunnya pasukan para malaikat adalah karamah yang ALLAAH berikan kepada para sahabat yang sudah berada di luar kalkulasi akal dan lahiriah.
Hizbul Bahr, konon dikarang oleh Imam asy-Syadzili di Laut Merah. Saat itu, beliau sedang berlayar menaiki sebuah kapal. Di tengah Laut Merah, angin tiba-tiba berhenti. Kapal tak bisa bergerak selama beberapa hari. Namun, tak berapa lama kemudian, Imam Asy-Syadzili bermimpi melihat Rasulullah SAW datang dengan membawa berita gembira. Rasulullah SAW menuntun Asy-Syadzili membacakan sebuah doa. Syahdan, dengan tiba-tiba angin datang dan kapal bisa bergerak kembali.
Hizib yang dikarang oleh para tokoh sufi, memang tidak seperti penulisan karya-karya ilmiah. Hizib ditulis dengan pengalaman spiritual yang mendalam. Hanya melibatkan kekuatan hati dan kejernihan kualitas serta kuantitas ibadah, hampir tak melibatkan ketajaman pikiran sama sekali.
Dalâ’ilul-Khairât yang luar biasa mengakar dalam tradisi wiridan umat Islam hingga saat ini, ditulis oleh Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli sama sekali bukan karena tantangan ilmiah yang bergejolak di pikiran beliau saat itu, tapi murni karena getaran spiritual yang menguasai hatinya saat malam-malam munajatnya yang bening dengan Sang Khaliq.
Konon riwayat penulisan untaian Shalawat dalam kita tersebut, adalah saat Syekh Al-Jazuli hendak melaksanakan shalat. Datang ke sumur, tak ada timba yang bisa dibuatnya untuk mengambil air wudhu. Maka Syekh al-Jazuli pun kebingungan. Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang tidak ia kenal yang datang menghampirinya.
“Siapa kah engkau?” tanya gadis itu. Syekh Al-Jazuli memperkenalkan dirinya.
“Oh, ternyata Tuanlah yang dipuji oleh begitu banyak orang. Tapi, kenapa masih bingung untuk sekedar mendapatkan air sumur ini..?!”
Gadis kecil itupun meludah ke dalam sumur. Sungguh aneh, airnya lalu naik sampai ke permukaan. Syekh al-Jazuli dibuat terperangah. Beliau langsung berwudhu dari air itu, lalu bertanya, “Ananda, apa yang membuat engkau bisa mencapai derajat setinggi ini..?”
“Tidak ada, kecuali aku banyak bershalawat kepada Nabi SAW yang apabila beliau SAW sedang berjalan di darat, maka binatang-binatang liar pun menjadi begitu jinak, makanan pun menjadi bertambah banyak, dan air pun bisa mengalir dari sela-sela jari beliau SAW” Jawab gadis kecil yang lugu itu.
Berangkat dari pengalaman itu, Syekh al-Jazuli bersumpah untuk menulis sebuah kitab kumpulan shalawat. Dan, dari pengalaman spiritual itu pula muncul karya agungnya yaitu Dalâ’ilul-Khairât. Cukup banyak syekh-syekh sufi yang menyebarkan karya al-Jazuli ini kepada murid-murid mereka. Misalnya, Syekh Abdul Haqq di India, pada awal-awal abad 20, dikenal dengan julukan Syaikhud-Dalâ’il. Meski tidak sampai mendapat julukan semacam ini, sangat banyak syekh-syekh di seluruh penjuru dunia Islam yang menyebarkan ijazah Dalâ’il. Mulai dari Indonesia hingga Maroko.
Menurut Syekh Ismail Haqqi al-Barusawi, penulis tafsir Rûhul-Bayân dan tokoh tarekat Al-Khalwatiyah Turki, meyakini bahwa ada hizib yang memang bukan hasil karya dari penulisnya, tapi dituntun oleh Allah atau Rasulullah SAW. Dalam tafsirnya, Syekh Ismail Haqqi memberikan apresiasi yang tinggi terhadap hizib-hizib yang dibuat oleh Imam Abul Hasan asy-Syadzili. Beliau menyatakan, “Orang-orang sufi yang menetapkan wirid dari selain apa yang wârid dalam Sunah Rasulullah SAW, maka ia bersikap kurang sopan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali, jika wirid itu ia dapatkan dari pengajaran langsung Allah SWT, Allah memberitahukan kepada dia tentang keistimewaan kalimat-kalimat yang ia kumpulkan. Jika demikian, maka berarti ia mengikuti (Allah dan Rasul-Nya), bukan membuat sendiri. Misalnya, Hizbul-Bahr karya Imam asy-Syadzili. Imam asy-Syadzili telah menegaskan bahwa beliau tidak meletakkan satu huruf pun dalam hizib itu kecuali mendapatkan izin dari Allah dan Rasul-Nya.”
Tak jauh berbeda dengan Hizbul-Bahr, Hizbul-Faraj karya Syekh Ahmad Ar-Rifa’i, pendiri tarekat Rifa’iyah. Beliau menganjurkan untuk membacanya di waktu sahur atau akhir malam sebagai wirid untuk mencapai kemuliaan hidup, di dunia dan akhirat. “Akan turun dari Hadirat Tuhan jaminan terkabul untuk orang-orang yang ahli membacanya. Maka, dengan izin Allah, mereka tidak akan ditimpa kehinaan. Pada saat hizib ini dibaca, ruh Rasulullah SAW (bukan jasadnya) Insya ALLAAH akan hadir di sana,” tegas Syekh ar-Rifa’i.
Syekh ar-Rifa’i, sebagaimana diterangkan dalam Mi’râjul-Wushûl, konon sudah mendapatkan jaminan sampai sebelas kali dari Rasulullah SAW bahwa orang yang ahli membaca hizib tersebut tidak akan ditimpa kehinaan sampai kapanpun. Mengenai jaminan langsung dari Rasulullah SAW itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, Syekh ar-Rifa’i sendiri, dalam riwayat yang masyhur, memang pernah mencium tangan Rasulullah SAW secara langsung saat berziarah ke makam beliau. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang dan tidak diingkari oleh para ulama.
Di dunia tasawuf, memang sudah lumrah terjadi adanya pernyataan dari seorang syekh bahwa ia mendapatkan wirid itu dari ilham, dari malaikat, dari Rasulullah SAW, dari Nabi Khidir, dan semacamnya. Secara ilmiah, memang tidak bisa dibuktikan, apakah klaim itu benar atau tidak. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika yang menyatakan semacam itu adalah orang-orang saleh yang derajat kedekatannya dengan Allah sudah tidak diragukan lagi baik oleh kalangan ulama apalagi di masyarakat.
Dalam beberapa referensi diterangkan bahwa di antara para Sahabat Rasulullah SAW, ada yang sering mendengar salam dari para Malaikat, seperti Sahabat Imran bin Hushain RA. Juga, ada Sahabat yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW pasca wafatnya beliau. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Sayidina Utsman bin Affan RA, sebelum dibunuh oleh para pemberontak, beliau bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau membawakan air untuk Sayidina Utsman RA yang saat malam terakhirnya itu tidak menemukan air untuk sekadar bersahur. Jika hal itu bisa terjadi pada Sahabat, maka bukan tidak mungkin terjadi kepada orang-orang saleh setelah mereka.
Walhasil, garansi para wali terhadap hizib-hizib yang mereka buat, bukanlah garansi khurafat. Hal itu merupakan bagian dari karamah yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Akidah Islam mempercayai adanya keajaiban-keajaiban yang terlepas dari hukum alam, baik dalam bentuk mukjizat, karamah, ataupun ma'unah berdasarkan berbagai hadits yang shahih dan berbagai atsar yang ma'tsur di kalangan para sahabat RA.
WaLLAAHu a'lamu bish shawaab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar