Filosofi Dzikrullah
Imam Al Ghazali
Allah swt. berfirman: “... dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya
agar kamu beruntung.”
(Q.s. Al-Anfal: 45).
Dan firman-Nya pula kepada Nabi-Nya saw.:
“Sebutlah nama Tuhanmu,
dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”
(Q.s. Al-Muzzammil: 8).
Rasulullah saw bersabda,
“Berdzikir kepada Allah pada waktu pagi dan sore hari lebih utama
daripada berperang di jalan Allah dan
memberikan harta kepada orang lain, dengan hati penuh derma.”
(AlHadits).
Sabda beliau pula :
“Maukah kalian aku beritahukan tentang amal terbaik dan
lebih semerbak (harum) bagi Tuhanmu,
lebih meninggikan martabatmu dan
lebih baik daripada kalian memberikan binatang dan emas, serta
lebih utama daripada kalian bertemu musuh kalian,
lalu kalian hantam lehernya dan mereka juga memukul leher kalian?”
Para sahabat bertanya,
“Apakah itu ya Rasulullah?”
Beliau menjawab,
“Dzikir kepada Allah.” (Al-Hadits).
Dalam hadits lain beliau bersbda :
“Beruntunglah orang-orang yang menyendiri,
beruntunglah orang-orang yang menyendiri!”
Sahabat bertanya, “Siapa mereka ya Rasulullah?”
Beliau menjawab,
“Yaitu orang-orang yang terlena dalam berdzikir kepada Allah,
lantaran dzikir,
dosa mereka diampuni oleh-Nya,
sehingga kelak pada hari Kiamat
mereka datang dalam keadaan telah diringankan.” (Al-Hadits).
Ketahuilah,
orang-orang ahli bashirah telah dibukakan hatinya,
bahwa dzikir merupakan amal perbuatan yang paling utama.
Sebagaimana amal-amal yang lain,
dzikir pun mempunyai tiga lapisan kulit.
Sebagian yang lain saling berdekatan dengan lubuk hati.
Sebab, di balik ketiga lapisan, ada lubuk hati tersebut.
Lapisan tersebut memiliki keutamaan,
sebab berfungsi sebagai metode menuju dzikir.
Lapisan teratas adalah dzikir lisan.
Lapisan kedua adalah dzikir hati, karena.
Ia harus selaras dengan dzikir,
sehingga hati selalu hadir bersama dzikir.
Jika tidak,
Ia akan ditransmisi ke dalam wahana pikiran.
Lapisan ketiga adalah bahwa
dzikir harus bisa menempati dan menguasai hati,
sehingga tidak melirik pada yang lainnya.
Seperti pada lapisan kedua,
dimana hati berfungsi secara proporsional dalam dzikir.
Lapisan keempat ialah isi (lubuk hati), yaitu
Apa Yang (Obyek) didzikirkan (Allah)
betul-betul mengakar dan bersemi dalam hati.
Pada tahap ini seorang yang berdzikir,
telah sirna dan tersembunyi dari dzikir itu sendiri.
Inilah yang dimaksud tujuan dari lubuk hati.
Yaitu, orang yang berdzikir tidak berpaling pada dzikir dan hatinya.
Tetapi, tenggelam pada universalitas Allah yang diingatnya.
Apabila tiba-tiba berpaling pada dzikir, berarti la telah disibukkan kembali oleh hijab.
Wahana ketenggelaman ini, disebut oleh para arifin sebagai wahana fana’.
Yaitu, la sendiri telah fana’ dari dirinya,
sampai tidak menyadari gerak-gerik raganya,
ataupun kondisi yang keluar dari raga,
ataupun berbagai penghalang batin dalam dzikir.
Bahkan telah gaib dari seluruh dirinya,
dan dirinya juga gaib dari semua raga dan gerak batinnya,
menuju kepada Tuhannya,
kemudian berjalan terus, sekali lagi.
Apabila di tengah-tengah fana’nya muncul intuisi yang membisikkan dirinya,
bahwa la telah benar-benar fana’ total,
maka intuisi tersebut hanyalah kekacauan dan kotoran.
Padahal,
wahana kesempurnaan adalah kefana’an dari diri sendiri,
juga fana’ dari fana’,
sampai pada pangkal kefana’an.
Kondisi tersebut sering disangka kalangan fuqaha’ verbal
sebagai kondisi kehampaan non-rasional.
Padahal, bukan demikian.
Wahana fanaul fana’ adalah
- disandarkan pada nuansa kepada Sang Kekasih-
seperti nuansa Anda ketika jatuh cinta kepada kekasih Anda,
apakah karena faktor kedudukan, harta atau memang suatu pesona.
Hal yang sama ketika Anda sedang marah,
maka Anda pasti tenggelam dalam memikirkan musuh.
Begitupun Anda akan tenggelam dan asyik masyuk memikirkan sang kekasih,
sampai tiada lagi wahana yang tersisa dalam hati.
Jika ada orang bicara, Anda tidak paham.
Jika ada orang lewat di kanan-kiri Anda,
Anda pun tidak melihat, padahal kedua mata Anda terbuka.
Orang lain bicara, Anda tidak mendengar,
padahal telinga Anda tidak tuli.
Anda, ketika tenggelam dalam kefana’an lupa akan segalanya,
bahkan lupa akan tenggelam itu sendiri.
Mengapa situasi tersebut dikatakan fana’?
Walaupun antara diri dan bayangannya masih tetap ada?
Karena diri dan bayang-bayang serta seluruh dimensi inderawi bukanlah hakikat wujud.
Wujud hakiki ada pada alam amr dan alam malakut.
Sedangkan ruh itu berasal dari alam amr, sebagaimana firman-Nya :
“Katakanlah, ‘Ruh itu adalah amr Tuhanku’.”
(Q.s. Al-Isra’: 85).
Sementara qalbu fisik tergolong alam makhluk.
Sedangkan konteks qalbu atau hati dalam buku ini adalah
lathifah yang berfungsi sebagai pengingat, yang mengetahui,
yang menjadi tempat bersemainya cahaya Ilahi.
Bukannya qalbu fisik.
Namun tidak berarti mengisyaratkan,
Ruh itu qadim dan qalbu itu hadits.
Keduanya, tetap bersifat baru (hadits).
Yang kami maksud dengan makhluk adalah
sesuatu yang padanya terjadi persekutuan dan takdir,
yaitu jasad dan sifat-sifatnya.
Sedangkan yang kami maksud dengan alam amr,
adalah sesuatu yang tidak dilintasi oleh takdir.
Alam fisik jasmani, sesungguhnya tidak memiliki wujud yang esensial.
Namun, sebagai dimensi bayangan belaka.
Bayangan manusia bukanlah hakikat manusia itu sendiri.
Seseorang tidak memiliki hakikat wujud.
Tetapi,
hanya memiliki bayangan hakikat.
Semuanya ciptaan Allah swt.
Allah swt. berfirman:
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa
(dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 15).
Sujudnya alam amr bersifat patuh/taat kepada Allah,
sedang sujudnya bayang-bayang bersifat terpaksa.
Di bawahnya ada rahasia-rahasia yang dalam,
yang permulaannya menggerakkan mata rantai kegilaan yang dahsyat,
apalagi akhirnya.
Karenanya, Anda perlu mencermati,
dan dengan begitu, Anda baru paham apa yang disebut fana’ itu.
Maka,
Anda harus meninggalkan ucapan yang berbau fitnah dan dusta,
terhadap obyek ilmu yang Anda tidak mumpuni.
Allah swt. berfirman :
“Bahkan yang sebenarnya,
mereka mendustakan apa yang mereka befum mengetahuinya dengan sempurna...„“
(Q.s. Yunus: 39).
Dan firman-Nya :
“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya,
maka mereka akan berkata,
‘Ini adalah dusta yang lama’.”
(Q.s. Al-Ahqaaf. 11).
Jika fana’ sudah dipahami sedemikian rupa,
maka itulah awal menempuh jalan ruhani (thariqah).
Yakni, pergi menuju kepada Allah swt,
sedangkan petunjuk datang kemudian.
Petunjuk dimaksud adalah petunjuk Allah swt,
seperti kata Ibrahim Al-Khalil as, dalam firmanNya :
“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku,
dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
(Q.s. Ash-Shaaffaat: 99).
Amar pertama adalah pergi kepada Allah,
kemudian pergi “di dalam” Allah,
dan itulah fana’ serta tenggelam dalam kefana’an.
Tetapi
ketenggelaman itu,
pertama-tama seperti kilat yang cepat.
Namun bila kilatan itu permanen,
menjadi kebiasaan yang meresap dalam j iwa,
maka hamba naik pada alam yang lebih tinggi,
dan melihat wuj ud hakiki yang murni,
la mendapat cap ukiran malakut.
Pada dirinya tampak kesucian alam lahut.
Proyeksi pertama yang muncul pada alam tersebut adalah:
Inti-inti malaikat, arwah para Nabi dan wall, dalam bentuk yang sangat indah,
yang dengan perantaraannya, mengalir sebagian kebenaran hakiki.
Ini pada tahap permulaan,
sampai kemudian naik ke derajat yang lepas dari segala metafora.
Cukup dengan kejelasan Allah swt.
Yang Maha Haq, dalam segalanya.
Apabila ia dikembalikan pada alam metafor yang semata bayang-bayang,
la memandang ke makhluk dengan pandangan penuh kasihan,
karena mereka terhalang untuk memandang keindahan Ilahi Yang Maha Suci.
Dan la pun merasa heran,
mengapa mereka menerima begitu saja,
dengan bayang-bayang,
mereka memihak pada rekayasa alam tipudaya dan khayalan.
Maka,
ketika la bersama mereka,
la tampak hadir,
tetapi hatinya gaib,
sembari merasa heran dengan kehadiran mereka.
Sementara mereka juga heran akan kegaibannya.
Itulah buah dari dzikir lubuk hati.
Awalnya adalah dzikir lisan,
kemudian dzikir hati dengan diatur,
lantas menjadi watak hati itu sendiri.
Pada tahap berikutnya lebur dalam wahana yang diingat
bahkan dzikirnya pun telah terberangus.
Inilah rahasia sabda Rasul ullah saw,
“Barangsiapa cinta untuk dinaikkan ke derajat taman surga
maka perbanyaklah dzikir kepada Allah swt.”
Dan merupakan rahasia dari sabdanya pula,
“Dzikir hati melebihi tujuhpuluh kali lipat
daripada dzikir yang bisa didengarkan secara hafalan.”
Suatu dzikir yang dirasakan oleh hati Anda dan didengar dalar hafalan,
maka perasaan mereka akan menyamai perasaan Anda.
Dan di dalam hal ini ada rahasia
sampai ketika dzikir Anda tidak teringat dari perasaan Anda,
karena kepergian Anda kepadaYang diingat (Alla swt.) secara total.
Sehingga dzikir Anda pun musnah dari perasaan hafalan Anda.
Sepanjang hati merasakan nikmatnya dzikir dan
berpaling pada bentuk dzikir itu sendiri,
maka hati telah terhalang dari Allah sw
Apabila hati tidak ragu-ragu,
jauh dari syirik samar
(syirk khafy sehingga la menjadi hamba yang tenggelam dalam kemahaesaan Al Haq,
maka la disebut hamba yang bertauhid.
Begitu pula tentang ma’rifat.
Siapa yang mencari ma’rifat, derr ma’rifat,
la seperti dzikir yang mengingat dzikirnya.
Sedangkan orang yang memperoleh ma’rifat,
justru seperti orang yang tidak mendapatkannya,
tetapi yang didapati adalah Yang dima’rifati (Allah swt).
Dia telah menempatkan diri dalam wahana dari hakikat wisha
dan berada pada nuansa qudus.
Jika Anda bertanya,
“Mengapa mukasyafah tersebut ditentukan : dalam tahap fana’?”
Perlu Anda ketahui, untuk menjelaskannya perlu kisah yan panjang.
Jika Anda merenungkannya,
Anda tidak bisa membatasi dil pada alam inderawi,
tumpuan nafsu dan syahwat, yang menggiring pada jagad empirik
yang penuh dengan dusta dan tipudaya.
Oleh sebab itu, Allah swt. menj elaskannya dengan alam kematian
Karena kompetensi alam empirik inderawi dan khayalan yang menghadapkan hati
pada alam terbawah, dianggap batal.
Jika Anda berpaling dari realita inderawi ketika tidur,
Anda bis melihat sesuatu yang gaib menurut kadar kesiapan,
penerimaan dan cita-cita anda.
Anda menjumpainya lewat metaphor yang perlu di terjemahkan lagi.
Saya tidak berprasangka,
bahwa Anda tidak akan mendapati mimpi yang benar,
yang bisa memprediksi masa depan.
Namun,
khayalan sering tidak menenangkan tidur
walaupun anggota badan telah tenang.
Itulah yang menjadi sebab lemahnya penglihatan hati,
yang tidak pernah sunyi dari gambaran-gambaran buram.
Fana’ merupakaii konotasi dari wahana tenangnya anggota fisik,
yang tidak lagi bergerak.
Kemudian di dalam ketenangan itu muncul imajinasi yang tidak bercampur-baur.
Apabila imajinasi itu tetap dominan,
maka tidak akan dipengaruhi,
kecuali oleh desakan wahana yang tampak dari alam suci,
sehingga para Nabi, malaikat, dan ruhruh qudus,
tergambar dalam proyeksi imajinasi hati.
Inilah persoalan yang mengingatkan Anda,
agar Anda berhasrat menjadi ahli rasa (ahli dzauq).
Jika Anda tidak mampu demikian,
seyogyanya Anda menjadi pakar ilmu bidang batin.
Jika kepakaran ini tidak bisa Anda raih,
Anda cukup beriman saja.
Allah swt. berfirman :
“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Q.s. Al-Mujadilah: 11).
Dan sekali-kali jangan sampai
Anda tergolong orang-orang yang mengingkari fenomena fana’ ini,
yang karenanya Anda disiksa,
ketika kebenaran dibuka saat sakaratul maut,
di mana nasib Anda sangat ditentukan.
Allah swt. telah berfirman:
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini,
maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu,
maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.s. Qaaf 22).
Iman, ilmu dan rasa, adalah tiga derajat yang membentang.
Orang yang impoten, misalnya, terproyeksi benar
adanya birahi bersetubuh pada lain jenis,
dengan gambaran bahwa hal itu diterima dari orang yang menduga balik
terhadap orang tersebut dan tidak dicampur-bauri oleh kebohongan.
Gambaran ini seperti iman.
Apabila terproyeksi, bahwa adanya birahi tersebut diketahui lewat bukti-bukti,
disebut sebagai ilmu.
Referensinya adalah qiyas,
ketika memandang keinginannya pada makanan misalnya,
maka dianalogikan pula nafsu makan tersebut dengan birahi seksual.
Semuanya tetap jauh dari penemuan hakikat birahi
dengan adanya birahi itu sendiri pada dirinya.
Begitu juga orang awam yang sehat yang melihat orang sakit,
dan ia percaya (iman) begitu saja.
Sementara si dokter melihatnya dengan bukti-bukti.
Penglihatan dokter ini disertai ilmu.
Siapa pun yang tidak pernah sakit,
la pasti tidak pernah mengenal rasa sakit.
Demikian juga tentang fana’ dalam tauhid;
rasa adalah musyahadah,
ilmu adalah qiyas, dan
iman adalah perspektif secara berbaik sangka (husnudzan)
tanpa disertai keraguan.
Maka,
berusahalah agar Anda bisa bermusyahadah,
sebab tidak ada kabar yang lebih gamblang
daripada menyaksikan dengan nyata.
Apabila Anda bertanya,
“Betapa besar persoalan dzikir,
lalu lebih utama mana antara dzikir dan membaca Al-Qur’an?”
Perlu diketahui,
bahwa membaca Al-Qur’an lebih utama bagi makhluk secara menyeluruh,
kecuali bagi orang yang pergi menuju kepada Allah swt.
Membaca Al-Qur’an akan menjadi amal paling utama
bagi mereka yang pergi menuju Allah swt. dalam totalitas perilaku awalnya,
dan sebagian perilaku akhirnya.
Sebab,
Al-Qur’an mengandung bagian-bagian pengetahuan,
tingkah laku ruhani dan petunjuk jalan.
Sepanjang hamba senantiasa butuh pada pembersihan akhlak dan pengetahuan,
Al-Qur’an lebih utama.
Tetapi,
apabila membaca Al-Qur’an tidak disertai perilaku batin seperti itu,
sedang dzikir lebih dominan dalam hatinya,
sehingga dzikir mendorongnya pada wahana ketenggelaman ruhani,
maka dzikirlah yang lebih utama.
Karena membaca Al-Qur’an,
menarik intuisinya dan mengarahkan pada hamparan taman surga.
Sementara,
murid yang pergi menuju Allah swt. tidak layak menoleh pada surga dan taman-tamannya. Tetapi, cita-citanya hanya satu,
dzikirnya hanya satu tujuan,
sampai la mendapatkan derajat fana’ dan ketenggelaman.
Karena itu, Allah swt. berfirman :
“Dan sungguh, dzikir kepada Allah itu lebih besar.”
(Q.s. Al-’Ankabut: 45).
Orang yang sampai pada derajat kefana’an,
tetapi tidak abadi dan tidak tetap,
maka sebaiknya la introspeksi diri,
sebab,
kadang-kadang membaca Al-Qur’an lebih bermanfaat terhadap dirinya.
Kondisi demikian memang langka, seperti nuansa al-Kibritul Ahmar.
Bisa dibicarakan secara teoritis, tetapi tidak bisa didapatkan.
Maka,
mutlak membaca Al-Qur’an akan lebih utama.
Sebab, amal tersebut menjadi lebih utama dalam segala kondisi,
kecuali ketika sedang disibukkan bicara.
Karena inti dari Al-Qur’an adalah mengenal Dzat Yang Berfirman melalui Al-Qur’an, mengetahui keindahan dan tenggelam karena-Nya.
Al-Qur’an menuntun kepada-Nya, dan memberi petunjuk ke wahana-Nya.
Siapa yang mengutamakan tujuan pasti tidak akan menoleh pada jalan.
Bila Anda masih bertanya,
“Dzikir mana yang lebih utama?”
Ketahuilah - sebagaimana kami sebut -
yang paling utama adalah supremasi Allah dalam hati sebagai obyek, yang didzikirkan.
Yaitu, Satu, tidak lebih, sampai terseleksi mana yang utama.
Itu semua, merupakan kenyataan jamak dan penunggalan (tauhid).
Sementara keragaman dan kuantita, muncul sebelumnya.
Kondisi tersebut terjadi sepanjang Anda ada pada tahap dzikir lisan dan hati,
yang kemudian terbagi pula dalam dzikir utama dan tidak utama.
Keutamaannya, terletak pada kriteria sifat-sifat berdzikir yang dilakukan.
Sifat-sifat Allah swt. dan Asma-Nya, dalam Hak Allah swt. terbagi menjadi dua kategori :
Pertama,
hal-hal yang memang benar dalam hak hamba,
dan diorientasikan pada hak Allah swt, seperti sifat dan Asma :
As-Shabbur, As-Syakuur, Ar-Rahim dan Al-Muntaqim.
Kedua,
suatu sifat dan Asma yang hanya benar dalam hak-Nya.
Apabila digunakan selain Diri-Nya, penggunaan itu hanya bersifat metafor.
Dzikir paling utama adalah ucapan :
“Tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Hidup lagi Maha Mengurus makhluk.”
Sebab,
dalam dzikir tersebut ada Nama Allah Yang Agung, sebagaimana sabda Rasul saw,
‘Asma Allah YangAgung itu ada dalam ayat Kursi dan awal surat Ali Imran.”
Dua Asma tersebut tidak bersamaan, kecuali pada ayat tersebut.
Pasti ada rahasia yang dalam dan tersembunyi dari pemahaman Anda.
Sekadar pemahaman sederhana, bisa dirumuskan, bahwa ucapan :
Laa ilaaha Illallah, mensyiarkan tauhid,
memberi arti Wahdaniyah (sifat Ketunggalan) dalam Dzat dan Ketuhanan,
bersifat hakiki dalam Hak Allah swt, tanpa ditakwil.
Namun, pada hak selain Diri-Nya, bersifat metafor dan harus ditakwilkan.
Begitu pula Al-Hayy,
pengertiannya adalah Dzat yang hidup dengan Dzat-Nya,
dan mengetahui Dzat-Nya.
Sedangkan mayat adalah dzat yang tidak memiliki akses informasi dari substansinya.
Al-Hayy merupakan predikat hakiki bagi Allah swt. tanpa harus ditakwilkan.
Al-Qayyum memberikan pengertian bahwa Dia Maha Tegak dengan Dzat-Nya,
dan segala yang ada tegak karena sifat tegak-Nya.
Predikat ini pun bersifat hakiki bagi Allah swt. tanpa ditakwilkan,
sebab selain-Nya tidak ada yang memiliki predikat tersebut.
Selain Asma tersebut,
dari sejumlah Asma Allah yang memiliki indikasi pada Perbuatan (Af’aal) Allah swt,
seperti Ar-Rahiim, AlMuqsith, Al Adl dan lain sebagainya.
Asma tersebut tidak menunjukkan arti sifat-sifat langsung.
Karena sumber-sumber Af’al adalah sifat-sifat.
Sifat sebagai predikat asli, kemudian diikuti oleh Af’al.
Selain sifat-sifat yang mengindikasikan pada sifat Qudrat, Ilmu, Iradat, Kalam, Sama’ dan Bashar - yang sebagian diduga bahwa ketetapan sifat tersebut bagi Allah swt.
sebagai pengertian dari perspektif lahiriahnya,
padahal jauh berbeda,
sebab pemahaman lahiriah merupakan persoalan yang dikaitkan
dengan sifat-sifat manusia.
Sedangkan Kalam, Qudrat, Ilmu, Sama’ dan Bashar-Nya,
merniliki esensi-esensi yang ketetapannya mustahil bagi manusia.
Maka, nama-nama tersebut dikecualikan dari segala bentuk penakwilan.
Hal tersebut mengingatkan pada hal-hal yang terkandung dalam pemahaman Anda
dari spesifikasi kalimat-kalimat ini,
sebagai sesuatu yang besar.
Ucapan Anda berikut ini, lebih mendekati :
“Subhaanallaah wal Hamdulillaah wa laailaaha Illah wallahu Akbar. “
(Maha Suci Allah dan. segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan selain Allah,
dan Allah Maha Besar).
Sebab,
Subhaanallaah sebagai konotasi penyucian yang secara hakiki memang Hak-Nya.
Kesucian hakiki tidak dapat diproyeksikan, kecuali hanya bagi Allah swt.
Ucapan : Alhamdulillah memberi pengertian sandaran nikmat seluruhnya
hanya kepada Allah swt.
Pengertian tersebut bersifat hakiki.
Sebab, Dia-lahYang Tunggal dalamAf’al, ketunggalan esensial tanpa takwil. Allah swt. Yang berhak menerima pujian semata.
Sebab, bagi-Nya tidak ada sebutan dalam pekerjaan-Nya.
Sebagaimana pula,
tidak adanya sekutu bagi pena bersama penulis untuk memiliki hak pujian
sisi kebajikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar