Pendidikan Sufi Anak-anak Kita
Berbagai pertanyaan muncul dari kalangan orang tua, yang berhasrat agar jiwa anak-anaknya tumbuh dalam pantulan Cahaya Allah Hasrat yang sungguh wajar dan mulia, karena anak-anak kita adalah diri kita di masa depan, harapan-harapan kesalehan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai generasi yang “Qurrotu A’yun” (menyejukkan matahati)
Kemudian generasi itu disebut sebagai anak-anak saleh. Sebuah figur kesalehan bukan pada ornament pakaian, bukan pula pada disiplin mereka belajar, juga bukan pada kepandaiannya membaca Qur’an, kepiawaiannya menghafal doa-doa. Namun justru tertumpu pada naluri-naluri jiwa yang tumbuh dengan penuh kebajikan, kepekaan terhadap nuansa Ilahiyah, dan kesadarannya terhadap akhlaq ibadah.
Mari kita tengok sejenak anak-anak kita yang tersebar di sekolah-sekolah, mulai SD sampai SMA, mulai Madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah, berapa persen dari mereka yang masih mendoakan kedua orang tuanya setiap habis sholat?
Coba bayangkan, ketika pagi hari saat matahari mulai memancarkan cahayanya di bumi, berjuta-juta anak sedang bersiap menuju sekolah, tinggal berapa persen diantara mereka yang pamit pada kedua orang tuanya sembari mencium telapak tangannya dengan rasa hormat dan patuh?
Lebih menyakitkan lagi, tinggal berapa dari sekian juta anak-anak kita yang masih mencintai pelajaran agamanya dan bahkan memprioritaskan pelajaran agama dibanding pelajaran lainnya?
Sementara sampah gaya hidup modern, televisi, game, facebook, sms di HP, sudah merampok hati anak-anak kita. Lalu berjuta-juta anak-anak kita seperti robot, terseret oleh teknologi komunikasi dan permainan yang membuat kreativitas psikhologisnya terganggu?
Alangkah nestapanya jika bertahun-tahun situasi itu berlalu tanpa koreksi yang fundamental atas dunia pendidikan kita.
Pendidikan di sekolah, pendidikan di tengah keluarga, pendidikan di masjid-masjid, pasang surut tanpa ada jedah refleksi untuk merenungkan kembali, “Mau dibawa kemana 20 tahun lagi anak-anak kita nanti?”.
Tujuh tahun silam ketika 3000 guru agama se Kabupaten Banyuwangi dikumpulkan oleh Bupatinya, di Stadion kota itu, saya bertanya kepada mereka, “Apakah bapak-bapak dan ibu guru, ada yang mendoakan murid-muridnya setiap habis sholat?”. Mereka terdiam hening. Ya, para guru agama saja, sedang lalai mendoakan para muridnya setiap mereka berdoa.
Pantaslah jika para siswa kita, kehilangan “Bapak Spiritual” di sekolah, sedangkan di rumah, ayah bundanya sibuk bekerja. Siapa yang bertanggung-jawab kelak di akhirat nanti?
Doa Sang Sufi
Coba kita ambil pelajaran dari doa sang Sufi. “Oh Tuhan, jadikan anak cucuku sampai akhir zaman nanti, anak-anak yang soleh dan solihah, hidupnya manfaat dunia akhirat, diberi tetap iman, terang hati dan selamat dunia akhirat.” Doa pendek yang dahsyat, yang menggetarkan jiwa kita semua.
Generasi soleh dan solihat, generasi yang manfaat dunia akhirat, adalah konsep agung yang mesti kita terjemahkan dalam dunia pendidikan kita. Dan semua harus kita mulai dari lingkungan paling dekat kita: keluarga, sekolah, tempat-tempat dan wilayah kreativitas mereka.
Para Sufi mengenalkan Allah kepada anak-anaknya sejak dalam kandungan. Memperdengarkan suara-suara dzikrullah, sementara detak jantung ibundanya yang mengandung terus mendetakkan Allah Allah Allah. “Awwaluddiin Ma’rifatullah”. Mengenal Allah itu awal agama, dasar agama, mengenalkan Tauhid, disertai perilaku kebajikan yang luhur.
Ketika anak lahir ke dunia, suara adzan dan iqomah sudah dibunyikan di kedua telinganya. Sejak itulah, para Sufi mengajari bicara sang bayi, dengan bunyi-bunyian Ismu Dzat, agar kata yang pertama kali bisa diucapkan oleh sang bayi adalah kata Allah.
Sang bayi berkembang menjadi anak dengan segenap pertumbuhan. Dengan segala kepasrahannya kepada Allah, kedua orang tuanya mendidik anak itu, tanpa memaksakan harus menjadi Ulama atau Kiai.
Namun, rasa cinta kepada Allah dan RasulNya, adalah atmosfir yang terus diliputkan dalam setiap pertumbuhan usianya. Ia tumbuh ibarat sebuah pohon “Syajarah Toyyibah”. Apa pun, mulai dari akar, ranting, batah tubuh pohon itu, daun, bunga dan buahnya senantiasa menjulang ke wilayah Samawat (Langit-langit Kebajikan dunia akhirat).
Pendidikan sholat, pembentukan karakter, membangun jiwa besar dalam dirinya, baru kemudian hal-hal yang berkaitan dengan pertumbuhan otak rasionalnya. Orang tua mencintai dan menyayangi anak, bukan karena rasa sayang ansich, sebagaimana umumnya orang tua mencintai anak. Namun, cinta kepada anak karena cintanya kepada Allah swt. Bukan mencintai anak untuk mencintai Allah. Namun mencintai Allah, dan pantulan cinta kepadaNya itu bertabur ke anak-anak mereka hingga ke akhirat.
Sejak kanak-kanak – oleh karenanya – mereka terus diingatkan untuk mendawamkan Ismu Dzat dalam hatinya. Dengan berbagai cara, orang tua mengingatkan mereka itu. Kelak ketika mereka tumbuh di masa depan, dengan lingkungan beragam seperti apa pun, kepekaan kepada Allah akan terus berjalan, sekaligus mengontrol jiwanya.
Namun, tugas berat bagi kedua orang tua, bukan saja menyiapkan mental ruhani mereka, kecerdasan jiwa mereka, bahkan pada satu sisi hadirnya anak-anak bisa menjadi cobaan bagi iman mereka. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian.”
Ujian harta selalu muncul ketika, manusia mulai mencintai harta itu. Lalu ia menjadi budaknya. Begitu juga ujian anak muncul ketika seseorang mencintai anak itu, dan merebut hatinya dari cintanya kepada Allah swt. Kecemburuan Allah menimbulkan cobaan, yang tak lain hanya untuk mengngingatkan “Kisah Cinta Ilahiyah”nya, jangan sampai ternoda.
Disinilah Cinta pada Allah menimbulkan tanggung-jawab terhadap keberlangsungan regenerasi manusia, agar generasi berikutnya juga mencintai Allah, karenanya, cinta kepada anak biar sebagai pantulan atau akibat cahaya cinta anda kepada Allah Azza wa-Jalla.
Sebuah cinta penuh penyelamatan, karena memang pendaran cahayanya bermuatan daya keluhuran dariNya, dan semua itu memang harus kita pinta dalam doa-doa dan munajat kita. Sebab tanpa Tarikan Tangan ‘InayahNya, dan ketersingkapan HidayahNya, segalanya hanya sia-sia
belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar