Sang Sufi Sejati Telah Kembali
Oleh : KHM Luqman Hakim MA
Sufi sejati tak pernah pergi, tetapi terus kembali. Sufi sejati tak pernah mati. Tapi terus hidup dalam limpahan rizki anugerah Ilahi. Sang Maestro, Sang Dirijen, juga Sang Kiai, tiba-tiba masuk dalam sunyi, setelah ia keluar dari dirinya menuju Diri Yang Sejati, lalu kembali hidup penuh dengan kemerdekaan, kebebasan, keriangan, sembari sesekali menertawakan dunia, sembari menangisi para penghuninya, sembari membangunkan mereka yang tidur dalam lelap kealpaannya, sembari merobek-robek kain selimut kumal yang hendak menempel padanya, sembari berlari kencang dengan kendaraan fikirannya membawa ratusan juta ummat menuju kesalamatan dunia akhirat.
“Tolong….Tolooooong Gus…Jangan kencang-kencang anda menyetir kendaraan ummat ini…Kami-kami penumpang bisa celaka….Tikungannya sagat tajam, kelokannya penuh dengan jurang. Jalannya licin Guuuussss….!” Sebuah teriakan para penumpang bermunculan dimana-mana.
Tapi dijawab oleh Gus Dur,
“Jangan takut dan jangan kawatir. Mobil ini remnya pakem sekali….Mau tahu remnya? Remnya dibuat dan diproduksi oleh para Ulama Sufi…Ha..ha…ha…..”
“Tapi kami-kami ini kan tidak faham Guuusss…..!”
“Begitu saja kok repot! Ya ikuti saja yang sudah faham…!”
Di sudut ibu kota, tiba-tiba namanya muncul bagai badai yang mengancam, bagai gelombang tsunami yang hendak merobohkan bangunan-bangunan kokoh kekuasaan, bagai semut yang siap memasuki telinga gajah-gajah rimba keangkuhan, bagai rayap yang hendak menggerogoti
pohon-pohon rindang penuh dedemitan.
Maka setiap kali sosok ini dikejar, hendak dimatikan, tiba-tiba ia sudah ada dibelakang telinga para pemburunya, lalu berbisik, dengan bisikan yang membuat bulu kudhuk berdiri….“Aku ada disini. Bukan aku musuhmu, bukan aku ancamanmu…bukan aku yang hendak mencelakakanmu…! Musuhmu adalah dirimu sendiri. Musuhmu adalah rasa bersalahmu sendiri. Musuhmu adalah dosa-dosamu sendiri. Musuhmu adalah kecemasan dan ketakutan mu sendiri…..!”
Sosok itu lalu menghilang sembari tertawa-tertawa, diikuti jutaan tawa yang menggelegar, tawa yang menyengat telinga para pemburunya. Dan tinggal suara yang semakin menjauh…
“Ingatlah, suatu ketika aku justru akan menyelamatkan kalian!
Kata-kataku akan engkau benarkan! Marahku adalah kasih sayang! Tertawaku adalah hikmah yang hilang…ha..ha..ha…”
Maka ketika negeri ini dihuni oleh orang-orang gila, orang yang waras malah dianggap paling gila. Ketika negeri ini dihuni oleh orang-orang yang buta, maka orang yang melek hati dianggap paling buta. Ketika negeri ini di huni oleh orang-orang dari rimba belantara, maka keadilan dianggap paling menakutkan. Ketika negeri ini dikuasai oleh raksasa-raksasa, maka para ksatria dianggap sebagai musuh Negara. Ketika negeri ini dihuni oleh kebodohan demi kebodohan, maka orang yang cerdas dianggap paling bodoh.
Ketika ummat ini sudah dininabobok oleh janji para pendusta, disilimuti oleh uang hina dari tangan-tangan yang hina, dijajah kembali oleh
pemahaman agama yang picik dan dangkal, maka orang yang jujur, orang yang tidak mau dengan dunia, orang yang cerdas akal sehatnya, orang yang faham akan agamanya, malah dianggap sebagai orang yang sesat dan gila.
Lalu segerombolan manusia datang tanpa rasa kasih sayang, tanpa cinta, tanpa kehormatan, tanpa membawa sopan santun yang mulia, tanpa melihat
darimana mereka bermula, tiba-tiba bergelombang terus mencaci, bergemuruh terus menjual simbol-simbol agamawi, terus meneriakkan nama Tuhan dan ayat-ayat suci, dan rupanya semuanya sedang menjual diri, membuat industri Ketuhanan untuk dipasarkan di mall-mall duniawi.
Tapi keprihatinan Gus ini, peringatan dari Gus ini, terus dilawan oleh cacian dan rekayasa mereka yang terobek kemunafikannya, terkoyak oleh ketololannya, terbelenggu oleh hawa nafsunya, terjebak dalam keangkuhannya, tertutup oleh kulit-kulit sejatinya, terguncang oleh egonya, terjebur dalam lautan kecongkakannya, kecuali hanya sedikit yang sadar akan kearifan Gus Dur.
“Biarkan saja, sampah-sampah cacian yang menumpuk itu, biar semakin banyak sampah-sampah kotoran itu. Nanti akan jadi pupuk bagi kebesaran pohon sejarah dan kemuliaan kita…ha..ha..ha… Begitu saja kok repot...!”.
Memang, di negeri orang-orang yang sudah gila penghuninya, haruslah dipimpin oleh orang yang paling gila. Karena yang paling gila itu adalah yang paling waras.
Tiba-tiba Gus Dur melesat ke alam lain. Alam yang kini di huni bersama para Kekasih Allah Ta’ala. Sebelumnya Gus begitu rindu berziarah, dari makam ke makam para wali, sampai kritik pun menjelang, menghantamnya, kenapa soal bangsa dan ummat ini harus diselesaikan lewat kuburan? Kenapa rumitnya Negara harus ditinjau dari ilmu kuburan? Apakah bangsa kita ini masih semundur orang-orang animis di pedalaman Afrika?
Tapi sungguh tak bergeming. Orang-orang yang menghantam Gus Dur dari luar kuburan, rupanya memang tidak punya etika dan adab terhadap
leluhurnya, tidak punya sopan santun pada para pendahulunya, bahkan tidak menghormati Kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah lupa siapa yang membangun peradaban bangsa ini. Siapa yang meletakkan fondasi kebangsaan ini. Siapa yang membesarkan sejarah ini?
Lalu kongres kuburan dimulai. Segalanya terasa nyeleneh, nyentrik, dan kadang mengelikan. Tetapi memang harus demikian menyelesaikan. Nasehat para wali, bahkan kritik dan saran dari mereka sungguh arif. Selayaknya dahulu kala, ketika Nabi Muhammad saw, dikritik oleh Nabi Musa as, pendahulunya, agar minta dispensasi jumlah sholat yang hendak diwajibkan bagi ummat akhir zaman. Toh, lima waktu akhirnya bagi kita, sama juga dengan 50 waktu jika satu sholat pahalanya sepuluh kali lipat.
“Orang tidak pernah faham antropologi politik, begitu mudah melupakan peran kuburan dalam politik kita. Padahal kita adalah keluarga besar, untuk apa kita punya bangsa kalau harus menggunakan kekerasan.
Bukankah semua itu adalah keluarga besar kita?” Suara dalam kubur menggema sampai ke cakrawala nusantara. Menyesaikan masalah tanpa
kekerasan. Kearifan menjadi makna sejarah, walau harus ditempuh dengan kesabaran panjang.
Karena itu, jika cakrawala kuburan membuat Gus Dur harus menggerakkan tiga agama besar di dunia, agama Samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam bertemu
dalam satu majlis perdamaian antar agama, bukan sesuatu yang asing. Memang seharusnya demikian jika kita mengaku sebaik-baik ummat, meneladani perdamaian dan penghargaan terhadap sesama penganut agama.
“Akh..Gus Dur itu kan anthek Zionis, makanya getol sekali ke Israel…!”. Begitu suara dari sudut sejarah yang pengap berteriak.
Zionisme lalu ditempelkan mereka pada Gus Dur. Dan Gus Dur hanya berguman sambil tersenyum manis dibibir hatinya, “Oh Tuhan, tunjukkanlah kaumku…Sungguh mereka tidak mengetahui….”, seperti juga doa Sang Nabi saw, saat dihina dan dilempar kotoran.
Gus Dur membiarkan cacian para pencaci, sebab jika ikut-ikutan menanggapi cacian mereka, apa jadinya keteladanan, keyakinan, kemuliaan dan
keagungan yang diperjuangkan? Di hatinya, hanya ada Allah, gemuruh Allah, gelora dan simponi Allah, hanya ada konser Dzikrullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar