KEBAJIKAN-KEBAJIKAN.
Ketiga himpunan kebajikan utama yang terdiri dari atas
kerendahan hati, kedermawanan, dan kemuliaan, serta
ketulusan dan kejujuran adalah perhiasan jiwa Nabi,
sebagaimana halnya empat himpunan kebajikan yang dibahas di atas.
Selain itu, karena merupakan contoh yang tertinggi
dari Manusia universal atau Manusia Sempurna ,
Nabi adalah cermin sempurna yang memantulkan kebajikan ,
yang , seperti telah disebutkan ,
pada tingkat tertinggi di miliki oleh Allah.
Tiga himpunan kebajikan ini bersesuaian dengan
fase penyempitan, perluasan, dan penyatuan,
yang dapat ditemukan secara universal dalam semua
tradisi mistik yang terpadu, termasuk dalam Kekristenan.
Di dalam jiwa orang yang berupaya mencapai Allah,
harus ada sesuatu yang menjadi layu dan mati.
Pada tahap berikutnya,
apa yang tersisa di dalam jiwa nya harus meluas
agar sesuai dengan cetakan Manusia Universal atau,
lebih khususnya bagi kaum Muslim,
Nabi dalam kenyataan batinnya.
Hanya setelah itulah,
kita dapat berbicara tentang kemungkinan penyatuan,
yang dalam Tasawuf
tidak berarti penyatuan makhluk dan Pencipta atau hamba dan Tuhan.
Seperti dinyatakan sebuah puisi Sufi,
"Bagaimana mungkin debu ini bisa menyatu dengan dunia kemurnian ?"
Penyatuan berarti kita menjadi sadar akan ketiadaan kita
di hadapan Allah,menjadi cermin terpoles sempurna
yang tidak menunjukkan apa-apa tentang dirinya sendiri,
kecuali mencerminkan apa yang diletakkan di hadapannya.
Dalam kasus manusia ,
totalitas Nama dan SifatTuhan lah
yang terpantul dalam cermin batin kita.
Ini bukan ego individu kita,
melainkan percikan Ilahi di dalam diri
yang menyatu dengan KeIlahian.
Sejak saat itu, seperti sudah dinyatakan,
Allah menjadi mata, yang dengannya kita melihat,
dan kita menjadi mata yang dengannya Allah melihat.
Sebenarnya, kita menyadari bahwa
Allah adalah cahaya yang dengannya kita melihat semua hal.
Itulah mengapa mustahil melihat Allah semata sebagai objek
dalam arti yang biasa walaupun
Dia adalah Objek Tertinggi dan sekaligus Subjek Tertinggi.
Menggunakan terminologi Sufi klasik,
dalam keadaan bersatu
sang hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan,
sementara percikan Ilahi di dalam akal imanen,
meraih kesatuan dengan Diri Ilahi,
yang darinyalah ia memancar secara langsung.
Selain itu,
penyatuan tidak berarti pemusnahan aspek positif diri
melainkan penyerapan ke dalam Realitas tertinggi.
Kita dapat berenang di samudera Ke-Ilahian,
untuk mengutip Meister Eckhart,
dalam keadaan menyatu tanpa saling berbaur.
#HSN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar