Kamis, 31 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

KEBAJIKAN-KEBAJIKAN.

Ketiga himpunan kebajikan utama yang terdiri dari atas 
kerendahan hati, kedermawanan, dan kemuliaan, serta 
ketulusan dan kejujuran adalah perhiasan jiwa Nabi,
sebagaimana halnya empat himpunan  kebajikan yang dibahas di atas.

Selain itu, karena merupakan  contoh yang tertinggi 
dari Manusia universal atau Manusia Sempurna , 
Nabi adalah cermin sempurna yang memantulkan kebajikan ,
yang , seperti telah disebutkan , 
pada tingkat tertinggi di miliki oleh Allah.

Tiga himpunan kebajikan ini bersesuaian dengan 
fase penyempitan, perluasan, dan penyatuan,
yang dapat ditemukan secara universal dalam semua 
tradisi mistik  yang terpadu, termasuk dalam Kekristenan.

Di dalam jiwa orang yang berupaya mencapai Allah, 
harus ada sesuatu yang menjadi layu dan mati.
Pada tahap berikutnya, 
apa yang tersisa di dalam  jiwa nya harus meluas 
agar sesuai dengan cetakan Manusia Universal atau, 
lebih khususnya bagi kaum Muslim, 
Nabi dalam kenyataan batinnya.

Hanya setelah itulah, 
kita dapat berbicara tentang kemungkinan penyatuan,
yang dalam Tasawuf 
tidak berarti penyatuan makhluk dan Pencipta atau hamba dan Tuhan.

Seperti dinyatakan sebuah puisi  Sufi,

"Bagaimana mungkin debu ini bisa menyatu dengan dunia kemurnian ?"

Penyatuan berarti kita menjadi sadar akan ketiadaan kita 
di hadapan Allah,menjadi  cermin terpoles sempurna 
yang tidak menunjukkan apa-apa tentang dirinya sendiri,
kecuali mencerminkan apa yang diletakkan di hadapannya.

Dalam kasus manusia ,
totalitas Nama dan SifatTuhan lah 
yang terpantul dalam cermin batin kita.
Ini  bukan ego individu kita, 
melainkan percikan Ilahi di dalam diri 
yang menyatu dengan KeIlahian. 

Sejak saat itu,  seperti sudah dinyatakan,
Allah menjadi mata, yang dengannya kita melihat,
dan kita menjadi mata yang dengannya Allah melihat.
Sebenarnya, kita  menyadari bahwa  
Allah adalah cahaya yang dengannya kita  melihat  semua hal.
Itulah mengapa mustahil melihat Allah semata sebagai objek 
dalam arti yang biasa walaupun 
Dia adalah Objek Tertinggi dan sekaligus Subjek Tertinggi.

Menggunakan terminologi Sufi klasik,
dalam keadaan bersatu 
sang hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan,
sementara percikan Ilahi di dalam akal imanen,
meraih kesatuan dengan Diri Ilahi,
yang darinyalah ia memancar secara langsung.
Selain itu,
penyatuan tidak berarti pemusnahan aspek positif diri
melainkan penyerapan ke dalam Realitas  tertinggi.
Kita dapat berenang di samudera Ke-Ilahian, 
untuk mengutip Meister Eckhart,
dalam keadaan menyatu tanpa saling berbaur.

#HSN.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar