KEJUJURAN SANG PEMIMPIN PARA WALI
Dalam suatu waktu,
ketika Syekh Abdul Qodir Jaelani masih anak-anak telah mempunyai ambisi
untuk memberikan ceramah kepada jamaah yang kerap diisi oleh ayahnya.
Sebagai anak muda yang mempelajari banyak ilmu
sekaligus dalam waktu yang pendek menjadikan andrenalinnya semakin kencang memompakan darah untuk mendapatkan momentum
kapan mendapatkan kesempatan untuk menceramahi jamaah tersebut.
Dia berfikir bahwa pasti dengan pemaparannya yang lebih ilmiah
dan diselipkannya hafalan Al Quran dan Hadist Nabi
akan dapat meraih perhatian dari mereka.
Belum ada kata keluar dari mulut sang anak tiba-tiba ayahnya
memintanya untuk maju dan memberikan ceramah di depan jamaah tersebut.
Momentum tersebut disambar oleh Abdul Qadir yang selama berhari-hari menyiapkan "presentasi" prestisius dan ambisius tersebut dengan dipenuhi oleh dalil-dalil yang lengkap dari awal ceramah sampai akhir ceramah tak satu kalimatpun
kecuali berdasarkan dalil- dalil yang valid.
Maka berkhutbahlah sang anak sesuai dengan persiapan sangat matang,
berkobar-kobar bak panglima perang...
Anehnya perhatian jamaah menit demi menit menurun.
Bosan menyelinap dalam benak jamaah
bahkan banyak yang berkata-kata satu sama lain tak memperhatikan isi ceramahnya sampai dia malu dan memutuskan untuk mengakhiri pidatonya lebih awal
agar suasana tetap kondusif.
Tibalah ayahnya berdiri dan berpidato:
“Para hadirin, tadi malam istriku,
menghidangkan ayam panggang yang sangat lezat,
tetapi tiba-tiba datang seekor kucing dan memakannya.”
Mendengar cerita yang belum selesei ini
para jamaah memekikkan teriakan dan menangis sejadi-jadinya...
Padahal ini barulah permulaan
dan belum akan diteruskan sudah menjadikan seluruh yang hadir histeris...
Rupanya dari kata kata yang keluar dengan penuh syahdu dan menusuk jiwa tersebut telah menyulut imaginasi yang mendengarnya dan
menafsirkan kata-kata yang sangat biasa ini dengan ibarat-ibarat lain yang lebih rumit.
Ada yang mengartikan beramal banyak namun amalnya habis karna suul khatimah,
ada juga yang menafsirkan kucing adalah syetan yang mencuri amal manusia.
Sehingga mereka menangis dengan bertolak dari persepsi yang berbeda-beda
dari kata-kata yang sangat sederhana.
Setengah bertahun ke belakang dari peristiwa yang menjadikan anaknya
tak habis fikir sepanjang waktunya tersebut,
Abdul Qodir remaja terpanggil untuk menimba ilmu di Bagdad
yang sekarang menjadi negri yang terkoyak.
Dia pun berpamitan dengan ibunya,
agar diberi izin menempuh perjalanan ke Bagdad dari negri asalnya Jaelani atau
Kaelani yang sekarang menjadi bagian dari negri Iran.
Izin ini diberikan dengan berat hati oleh ibundanya yang menafsirkan bahwa
inilah pertemuan terakhir kalinya karna beliau sudah sangat uzur.
Namun karna kebersihan hati ibunya maka dia tak menghalangi niat suci anaknya tersebut dan memberikan bekal 4o dinar atau sekitar 80 juta rupiah untuk kurs sekarang ini
yang dijahit di bawah ketiak bajunya.
Sebelum berpisah dia meminta anaknya berjanji
untuk tidak berdusta dalam segala keadaan.
"Saya berjanji untuk jujur dalam setiap keadaan wahai ibunda.." jawab sang anak yang disambut dengan derai air mata sang ibu karna sangat beratnya lecutan perpisahan seorang ibu yang ditinggal mati suaminya melihat anak kesayangannya yang baru remaja akan berpisah dari nya dan tak menutup kemungkinan
itulah saat terakhir dia bisa melihat anaknya.
Singkatnya, di kota Hamdan dekat Baghdad,
kafilah rombongan yang dia ikuti disergap oleh kelompok perampok kejam
yang terkenal sadis menguras habis perbekalan seluruh anggota kafilah
kecuali Abdul Qodir yang kelihatan kumal, gembel dan tak berduit, tak merangsang libido perampok tersebut untuk melakukan pemeriksaan mendetil seperti yang lain,
tiba-tiba ada anggota perampok yang iseng menanyai Abdul Qodir kecil:
"Hei...kamu punya apa..??". Tanya anggota perampok dengan nada tak serius.
"Aku punya 40 dinar di sakuku yang dijahit ibuku...".
Jawabnya jujur mengikuti petuah ibunya.
Sontak seluruh anggota perampok tertawa yang didengar oleh ketua gang dan memanggilnya untuk diinterogasi langsung oleh pucuk pimpinannya.
"Sudah kubilang aku punya 40 dinar yang dijahit oleh ibuku di bawah ketiakku..". Jawabnya tenang sambil menyobek jahitan ibunya
tepat di bawah ketiak Abdul Qodir remaja.
Uang 40 dinar atau setara 80 jutaan ini menggemerincing menumbuk satu
dengan yang lain namun ternyata sang pemimpin rampok hanya terpaku oleh kejujuran bocah kecil ini dan tak menghiraukan uang yang mengkilap tersebut.
"Kenapa engkau berterus terang mengatakan ini dalam keadaan yang sangat genting ini?". Tanya pemimpin perampok.
"Aku berjanji setia kepda ibuku untuk berlaku jujur dan
tidak dusta dalam keadaan apapun,
jika aku berbohong maka tak akan bermakna perjalananku menimba ilmu ini..."
Jawabnya dengan lugu.
Rupanya rangkaian kata-kata sederhana dari mulut Abdul Qodir remaja ini
telah menusuk menyelinap dalam hati sang pemimpin rampok
sehingga tak terasa air matanya mengalir membasahi pipinya.
Seorang kepala perampok yang tak kenal kasih sayang terhadap kafilah yang ditahannya bahkan membiarkan mereka mati di depan matanya itu hal yang lumrah dan menyenangkan, bertahun-tahun profesi tak kenal air mata tapi menguras air mata ini
dia lakoni, namun di tengah padang pasir Hamdan sebelah selatan Baghdad,
dia kini terpekur diatas pelana kudanya dengan berderai air mata.
Bukan oleh musuh yang lebih hebat, bukan oleh senjata yang lebih tajam,
bukan oleh pasukan keamanan yang membekuknya,
namun oleh kejujuran anak muda yang bernama Abdul Qodir
yang kelak dikenal menjadi Sultonul Auliya.
"Dalam keadaan segawat ini kamu masih tidak berani melanggar janji kepada ibumu,
tapi kami setiap hari melanggar janji terhadap Tuhan,
saksikanlah bahwa kami bertaubat di depanmu".
Ucap kepala perampok dengan bercucuran air mata
tak mencerminkan sama sekali wataknya beberapa menit yang lalu.
Itulah kebeningan hati Syekh Abdul Qodir Jaelani.
Bahkan dengan kata-kata sangat sederhana sanggup mengalahkan tajamnya pedang, menyelami dalamnya lautan dan menembus batin manusia paling durjana sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar