Minggu, 13 Desember 2015

IBNU 'ARABI.

IBN ARABI DAN KESUFIAN.

Karena pembelaannya yang luruh terhadap tradisi kesufian dan terhadap kaum sufi, 
Ibn Arabi banyak mengenal tokoh-tokoh sufi di negeri-negeri Islam di bagian Barat. 
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, 
Ibn Arabi mengenal hampir seluruh tokoh sufi di sana. 
Hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah 
seorang perantau sufi yang menjelajahi hampir ke seluruh daerah di sana. 
Ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. 
Sehingga wajar apabila Ibn Arabi mengenal tokoh sufi 
yang nyaris tak dikenal oleh sebagai seorang sufi 
karena kemampuan sufi tersebut untuk menyelubung diri dari mata orang kebanyakan.

Dalam pertemuannya dengan tokoh-tokoh sufi, 
Ibn Arabi banyak memberikan banyak hal. 
Sebaliknya, 
ia juga mendapatkan banyak hal yang semakin menegaskan pengalaman kesufiannya. 
Yaitu, pengalaman-pengalaman keshalehan keagamaan 
yang meneguhkan keberadaan Islam sebagai agama 
yang memberikan keselamatan manusia dan penebar kasih sayang. 

Kesemuanya dibungkusnya dalam bingkai saling menasehati 
demi mendapatkan ridha Allah Swt. 
Seperti yang ia ceritakan kepada Syaikh al-Mahdawi
—sebagaimana akan disebut dalam bagian selanjutnya.

Asas saling menasehati ini mendapatkan perhatian yang khusus dari Ibn Arabi. 
Karena asas inilah yang menyebabkan Islam hadir sebagai agama kebenaran. 
Namun, 
asas ini ia terapkan dengan cara-cara yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. 
Terkadang ia lakukan dengan perilaku saja. 
Terkadang pula ia lakukan dengan penjelasan-penjelasan 
yang langsung masuk ke dalam lubuk hati orang yang ditujunya secara menyejukkan.

Hal itu seperti yang ia lakukan di Marakish atas seorang sufi 
yang dirundung kedukaan karena diturunkan derajat kesufiannya sebab kelalaiannya. 
Ini terjadi sesaat sebelum Ibn Arabi mendapatkan ilham kesufian 
agar menjumpai Syaikh Abu Abdillah al-Hashshar. 

Cerita ini ia sebutkan ketika ia bertutur tentang pertemuannya 
dengan sang Syaikh tersebut—seperti yang akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

Pertemuan demi pertemuan kesufian yang dialami oleh Ibn Arabi 
atas tokoh-tokoh sufi di negeri Islam bagian Barat, 
telah membuktikan kekukuhan dirinya dalam menjalani laku tasawuf. 
Juga sebagai pembela tasawuf yang gigih. 

Bahkan, sejak ia masih belia sampai kemudian meninggal dan 
disemayamkan di kaki gunung Qasiun, Damaskus, pada tahun 638 H., 
seluruh hidupnya diluruhkan kepada tasawuf. 

Apapun yang ia lakukan adalah untuk meneguhkan kesufian. 
Apapun yang ia ucapkan selalu berada dalam bingkai kesufian.


Keluruhan hidup untuk menapaki laku kesufian 
pada akhirnya membuat Ibn Arabi dan tasawuf 
menjadi sesuatu yang seolah-olah tak bisa dipisahkan. 

Menyebut Ibn Arabi, 
pada saat yang sama akan menggiring ingatan kepada kesufian. 
Seolah-olah Ibn Arabi adalah tasawuf itu sendiri. 
Seolah-olah tak ada jati-diri dari Ibn Arabi yang lain selain tasawuf.

Hal itu merupakan anugerah dari Allah Swt. kepadanya 
melalui ingatan dari orang-orang yang bertemu dengannya. 
Juga melalui ingatan orang-orang yang mengenalnya.
 Baik melalui tulisan-tulisan Ibn Arabi dan pandangan-pandangan kesufiannya.
 Ataupun melalui bibir orang-orang yang bercerita tentangnya.

Sifat tasawuf yang melekat kuat pada sosok Ibn Arabi juga membuktikan 
kedudukan dirinya dimata para sufi pada masanya ataupun generasi-generasi setelahnya. Hal ini membuktikan bahwa ia sangat diakui keluruhannya pada tasawuf dan keberhasilannya menapaki keshalehan dalam tradisi itu. 

Apalagi jika ditambah dengan kenyataan bahwa dalam wacana kesufian 
ia dijuluki sebagai “Muhyiddîn” dan “asy-Syaikh al-Akbar”.

Tak ada yang sempat mencatat kapan dua istilah yang disematkan kepada Ibn Arabi itu pertama kalinya diucapkan untuk menjulukinya. 
Sebagaimana, tak ada yang sempat mengingat siapakan orang pertama kali 
yang mengucapkannya. 
Dua istilah itu muncul begitu saja 
dari orang-orang yang mengenalnya dengan baik 
dan mengetahui kekukuhan kakinya dalam tradisi kesufian.

Hal ini, terutama, bisa ditemukan dalam tulisan murid-muridnya. 
Misalnya adalah Syaikh Shadruddin al-Qanawi, 
murid Ibn Arabi yang sering disebut sebagai murid terkasihnya. 

Dalam sebuah kitab “Kitâb al-Fukûk fî Asrâr Mustanadât Hikam al-Fushûsh” 
yang ia tulis untuk memberikan penjelasan atas kitab gurunya, 
Ibn Arabi yang berjudul “Fushûsh al-Hikam”, 
ia banyak menyebut dua istilah secara bertebaran.

Juga dalam kitab-kitabnya yang lain, seperti “Syarh asy-Syajarah an-Nu’mâniyyah”. 
Hal ini menunjukkan bahwa dua julukan tersebut merupakan kenyataan 
yang tak bisa dipungkiri dalam tradisi kesufian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar