DISIPLIN JALAN ITU: AMALAN KAUM SUFI.
Pertanyaan praktis pertama yang timbul
untuk para calon penempuh jalan ini serta mereka yang mencari
pengetahuan umum tentang Tasawuf dalam aspek operasinya adalah
"apa yang dilakukan para Sufi".
Dan jawaban sederhananya adalah mereka mengalami serangkaian
disiplin fisik, psikologis, dan spiritual serta melakukan praktek-praktek
tertentu yang memungkinkan untuk membuat kemajuan
di jalan menuju Taman Kebenaran.
Disiplin ini dimulai dengan praktik-praktik ritual Syari'ah ,
seperti shalat wajib harian puasa , haji, dan menaati perintah moral
umat islam, yang menunjukkan banyak kesamaan dengan ajaran moral
Yudaisme dan Kekristenan.
Berbeda degan apa yang ditulis banyak orang, sebagian besar kaum Sufi
adalah yang paling taat menunaikan seluruh ritus Syari'ah , dan jika
Sufi tertentu menulis sya'ir-sya'ir yang menunjukkan makna di balik ritual
dengan mengorbankan bentuk lahiriahnya,
tujuannya adalah untuk mengedepankan dimensi spiritual amalan agama ,
bukan untuk mencemoohnya, ,
Rumi yang bernyanyi :
""Wahai orang-orang yang telah pergi haji,
di manakah kalian,
dimanakah ?
Sang Terkasih ada disini, disini".
dan yang menyebut hati adalah Ka'bah (khusus di Mekah) ,
yang menurut kaum Muslim dibagun oleh Ibrahim dan dianggap
sebagai rumah Allah sejati, , melaksanakan ibadah haji.
Dan Ibn 'Arabi yanng menuliskan do'a teofanik,
tidak pernah melewatkan satu pun shalat wajib.
Sejumlah sagat kecil Sufi di setiap zaman,
yang berada dalam keadaan ketertarikan spiritual
yang begitu intens sehingga mungkin disebut
kemabukan spiritual, tidak melaksanakan ritual itu,
tetapi bahkan bagi mereka ada alasan Syar'i , bahwa
seorang yang mabuk tidak diwajibkan melakukan ritual suci.
Bagi sebagian Sufi ,
dasar dari disiplin dan amalannya adalah
ritual-ritual yang sudah ditetapkan di dalam Islam,
yang sama seperti kaum Musim lainnya,
sembari berupaya untuk sadar akan makna batin dari penunaiannya.
Kaum Sufi juga mencoba untuk mengikuti tindakan atau kebiasaan
(Sunnah) Nabi sejauh mungkin dan dikenal sebagai pengikut setia
Sunnah Nabi , dan ini termasuk tak hentinya membaca al-Qur'an ,
yang menjadi penanda periodik dalam hidup mereka, sebagaimana
kehidupan orang yang kepadanya kitab ini diwahyukan.
Tentu saja, itu adalah Nabi dan Al-Qur'an adalah firman Allah
yang diwahyukan melalui beliau sehingga sesuatu dari jiwanya
dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an sementara seorang Sufi ,
tidak peduli betapapun mulia kedudukan spiritualnya,
tidak bisa meraih kedekatan seperti dengan Teks Suci.
Namun demikian,
seringnya mengaji Al-Qur'an dalam meneladani Nabi
membawakan kedekatan kepada Allah dan
merupakan praktek Sufi yang penting.
Ibn 'Arabi pernh berkata bahwa
orang harus terus membaca ayat-ayat Al-Qur'an
sampai dia mencapai satu keadaan seolah-olah al-Qur'an
sedang diwahyukan kepada si pembacanya pada saat pembacaannnya.
Amalan khusus Tasawuf berlangsung di atas landasan kuat
tindakan-tindakan ini serta keadaan jiwa yang bersesuaian
dari orang yang melakukannya.
Saya menyebutkan dalam bab yang lalu tentang do'a
yang dalam islam disebut dzikr,
artinya seruan, pengingatan, dan penyebutan.
Amalan ini, merupakan pusat realitas kehidupan Sufi .
Allah telah mengungkapkan beberapa Nama-Nya di dalam Al-Qur'an
dan dengan demikian menguduskannya .
Dalam sebuah cara yang misterius, Dia hadir di dalam Nama-Nama-Nya.
Untuk mencapai Nama itu,
orang harus menyeru Nama (ism) tersebut
setelah menerima inisiasi dan di bawah bimbingan
seorang guru yang berkualitas.
Dia harus hadir
dengan seluruh wujudnya dalam do'a itu , hingga
si penyeru , seruannya, dan yang diserunya
(dzkir, dzkr, dan madzkir) menjadi satu,
melebur keterbatasan keberadaan individu.
Lebih lebih lagi,
manusia memiliki kegiatan mental,
suatu kegiatan yang biasanya menyebar ke berbagai arah.
Bagi kebanyakan laki-laki dan perempuan, khususnya di zaman ini,
tidak ada aktivitas mental yang lebih sulit daripada
berkonsentrasi dan bermeditasi.
Sebagaimana yang dikatakan Rumi,
kita perlu menggunakan berbagai bentuk meditasi,
yang membangun jiwa untuk tetap berada dalam dzikr
dan dapat berkonsentrasi pada Realitas yang Nama Sucinya
sedang diseru.
Menurut Tasawuf ,
menjadi orang suci itu mudah karena yang perlu kita lakukan
hanyalah selalu berdzikir mengucap Nama Tuhan dan
meletakkan Nama Tuhan di dalam hati kita.
Tetapi pada saat yang sama ,
itu sangat sulit karena kita tidak memiliki konsentrasi
untuk tetap berada di dalam Nama itu
dan bahkan tidak tahu di mana letak hati spiritual kita,
pusat dari wujud kita,
karena ia telah diselubungi oleh lapisan kulit yang keras,
sebagai akibat dari kejatuhan dan kealpaan kita
tentang identitas kita yang sebenarnya.
Setiap tarekat Sufi, karenanya mengajarkan metode meditasi tertentu
agar orang-orang yang menapaki jalan itu bisa berkonsentrasi
dan tetap berada didalam dzikr,
dengan fikiran dan fakultas imaginal mereka,
serta dengan lidah mereka.
Sementara bentuk-bentuk dzikr itu serupa di kebanyakan tarekat Sufi,
bentuk-bentuk meditasi berbeda antara satu dan lainnya,
sebagaimana litani (awrad, jamak dari wirid),
yang biasanya dibaca di antara shalat wajib dan dzikr.
Amalan dasar dzikr Sufi,
karenanya digabungkan dengan fikr atau meditasi
dan terutama dilakukan sendirian, baik dalam penarikan diri
secara spiritual (khalwat) ataupun dalam amalan sehari-hari
pada saat-saat tertentu yang dikhususkan untuk latihan penting ini.
Dzikr melibatkan pengulangan Nama Allah
atau kalimat-kalimat yang dikuduskan oleh wahyu,
sedangkan fikr adalah perenungan atas beberapa aspek Realitas Ilahi
dan/atau manifestasi-Nya.
Fikr, memungkinkan si penyeru untuk berkonsentrasi pada dzikr
dan mencegah pikiran melamun.
Dzikr juga dapat dilakukan dalam perkumpulan Sufi (jalwah)
biasanya dengan suara keras dan serentak,
tapi kadang-kadang dalam diam.
Perkumpulan ini disebut majelis (majlis),
Ini merupakan perkumpulan suci yang memperteguh kehidupan batin
seseorang dan membawakan rahmat atau barakah
bagi orang-orang cukup beruntung untuk berpartisipasi di dalamnya.
Majelis dipimpin oleh guru spiritual atau salah seorang wakilnya.
@HSN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar