Kamis, 03 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF.

KESATUAN WUJUD..

Ilmu Sufi tentang Realitas Ilahi tidak dapat dipahami sepenuhnya
tanpa membahas doktrin terkenal tentang "kesatuan transenden"
atau "kesatuan wujud" (wahdatu al-wujud) , yang telah begitu sering 
disalahpahami oleh orang Barat dan juga oleh sebagian kaum Muslim 
modernis dan eksoterik sebagai panteisme.

Untuk memahami doktrin ini, 
yang oleh  banyak orang disebut puncak dari Tasawuf, 
kita perlu mengarahkan perhatian pertama-tama
pada hierarki universal realitas.

Yang paling awal diantara Realitas Tertinggi , 
yang Di Luar - Wujud dan yang oleh sebagian disebut Non-Wujud , 
yaitu kenyataan yang mentransendensi Wujud 
bukan sebagai sebuah kategori positif.

Ia dapat dilambangkan dengan kegelapan atau cahaya gelap 
yang terletak di atas dan bukannya di bawah cahaya dan 
polarisasinya oleh sebuah prisma menjadi berbagai warna.
Ini merupakan aspek Ke Ilahian yang berada di atas dan 
sekaligus di dalam aspek kreatif Allah dan 
tidak berpartisipasi dalam tindakan penciptaan.

Secara metafisikal , ia terkait dengan Hampa atau 
sunyata dalam Buddhisme dan dengan Tao Tertinggi , 
yang tak dapat dinamai menurut doktrin-doktrin Timur Jauh.

Penjelmaan Pertama Di Luar-Wujud adalah Wujud , prinsip ontologis,
yang adalah Allah dalam aspek-Nya sebagai Persona dan Pencipta, 
realitas yang kita sebut sebagai Engkau dan Tuhan kami.
Kemudian ada Logos in divinis , yang berbeda dari Logos yang diciptakan.
Logos in divinis ini merupakan asal-usul dari eksistensi universal 
sekaligus dari fungsi kenabian.
Kekristenan menyatakan bahwa dengan Firmanlah (yakni, Logos),
segala sesuatu dibuat dan bahwa Kristus adalah Logos.

Sebuah doktrin serupa dapat ditemukan dalam Tasawuf , 
dimana Nabi diidentifikasikan , dalam kenyataan batinnya
sebagai Hakikat Muhammad (al-haqiqat al-muhammadiyyah),
dengan Firman atau Logos.

Sejauh menyangkut tingkat wujud, kita dapat berbicara tentang 
Di Luar - Wujud , dan Eksistensi Universal, 
yang meliputi dan memberi kenyataan kepada keberadaan segala sesuatu.
Melalui  tindakan pengadaan ini , atau apa yang disebut Al_Qur'an 
sebagai perintah "Jadilah" (kun) maka segala sesuatu di alam semesta 
menjadi ada.
Keserbaragaman muncul , tapi di dalam batin 
masih membekaskan ketunggalan.

Kebenaran tentang ketunggalan Wujud bisa sepenuhnya diketahui
hanya dengan mengalaminya secara spiritual.
Ketika tirai ego dilenyapkan di dalam diri manusia, Percikan Ilahi
di dalam batin melihat dan mengetahui Ilahi yang ada di mana-mana
di balik selubung keserbaragaman.

Allah menjadi mata yang dengannya manusia melihat, dan 
manusia menjadi mata yang dengannya Allah melihat dunia.
Allah adalah cahaya yang dengannya kita melihat segala sesuatu.
Itulah mengapa kita tidak dapat melihat-Nya dalam pengertian biasa.

Sebagaimana Mahmud Syabistari , penyair Sufi Persia abad keempat belas,
mengatakan melalui syair terkenalnya dalam Gulshan - i-Raz 
(Misteri Taman Mawar Ilahi).

"Engkau bagaikan mata dan Dia cahaya matanya ,
  Siapakah yang akan mampu melihat 
  Dengan mata yang dengannya mata melihat".

Kebenaran ini juga mungkin dicerap 
melalui partisipasi intelektual
dengan persiapan metafisikal yang layak.

Itulah sebabnya mengapa terdapat banyak karya tentang doktrin Sufi
dan gnosis teoritis seperti dari Syams al-Din Fanari dan 
Ibn Turkah Ishfahani, yang akan kita tinjau nanti, serta tulisan-tulisan
dari para filosof dan teosof , seperti Shadr al-Din Syirazi yang membahas 
secara panjang lebar doktrin kesatuan wujud , yang sebenarnya 
dapat ditafsirkan dalam beberapa cara.

Makna wahdat al-wujud , jika bukan ekspresi aktualnya, 
dapat ditemukan dalam sumber-sumber mulai dari beberapa 
ayat Al-Qur'an , seperti 
"Kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah"
  Q.S. Al-Baqarah (2): 115
hingga beberapa hadist Nabi , seperti "Aku adalah Ahmad tanpa m"
(artinya Ahad atau Yang satu, 
 mengacu pada kesatuan batin Nabi dengan Sumber semua wujud).
Itu juga menjadi tema banyak puisi , yang sebagian di antaranya 
merupakan adikarya teragung dalam puisi Sufi.

Adapun pemaparannya secara utuh , harus dicari 
dalam karya-karya metafisika Sufi.
Singkatnya, 
Untuk memahami bahkan makna teoritis kesatuan Wujud 
pada setiap tingkat diperlukan intuisi intelektual serta
persiapan intelektual, selain dari rahmat Ilahi,
sementara hanya orang suci yang telah mencapai akhir jalan Sufi
dan tenggelam di dalam Samudera Ke Ilahian yang bisa tahu maknanya
secara sepenuhnya dan dalam pengertiannya yang tertinggi.

#SHN.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar