MENGAPA PERLU BELAJAR TASAWUF/TAREKAT?
Salik mengadu kepada Matin dalam diskusi Sor Baujan (di bawah Pohon
Trembesi), sebab banyak kawan yang mempertanyakan dirinya mengikuti
tarekat.
Salik (S): Bro, bagaimana saya harus menjawab?
Matin (M): Jawab saja semampumu! Tak perlu bingung!
S: Saya masuk tarekat dianggap kampungan.
M: Hahaha. Memang kamu nggak merasa kampungan?
S: Jangan bercanda, bantu saya, Bro!
M: Saya serius. Kamu masih kampungan! Baru begitu saja sudah menyerah. Berarti pelajaran tasawufmu masih rendah!
S: Bantu saya, Bro. Saya dianggap melarikan diri dari tanggung jawab. Saya dianggap bidah, sesat dan anti pembangunan.
M: Hahaha...
S: Tasawuf dianggap sebagai kemunduran Islam.
M: Hahaha...
S: Tarekat dianggap sebagai penyebab kemiskinan dan kebodohan umat Islam.
M: Hahaha...
S: Jangan tertawa melulu! Jawab yang benar!
M: Orang yang mengatakan semacam itu berarti adalah orang bodoh, miskin
ilmu, buta sejarah dan orang kerdil dalam beragama. Mereka itu pasti
hanya belajar kulitnya agama, tapi belum merasakan kelezatan ibadah.
Berarti, mereka telah berani menganggap nenek moyang mereka juga sesat.
S: Alasannya apa? Memang sejarahnya bagaimana?
M: Kalau kamu tahu, tasawuf itu justru wujud pembangunan, bukan anti pembangunan.
S: Mengapa? Contohnya apa?
M: Orang yang belajar tasawuf dan mengikuti amalan tarekat adalah orang
yang sedang membangun jiwa dan raga. Tasawuf adalah ilmu yang
mengajarkan bagaimana membangun kesadaran jiwa, mendekat kepada Allah,
memahami makrifatullah, menguatkan iman dan membentuk ketakwaan. Tak
hanya dalam hubungan dengan Khaliq tetapi juga dengan makhluk. Bagaimana
mungkin dikatakan sesat?!
S: Terus??
M: Dalam
sejarahnya, para sufilah yang menguatkan khazanah ilmu dalam Islam,
kebudayaan, struktur sosial dan keagamaan. Sebagai contoh, Imam
Al-Ghazali, Ibn Arabi, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Syekh Ibnu
Athaillah dan sebagainya, mereka adalah ulama yang memiliki berbagai
macam disiplin ilmu. Kaum sufi itu jangan hanya dilihat yang berada di
masjid dan madrasah. Mereka menguasai ilmu kimia, matematika, biologi,
kedokteran dan sebagainya.Jadi, bagaimana dianggap sebagai anti
pembangunan?
S: Tapi, identik dengan kemiskinan?
M: Hahaha. Kamu sudah punya data belum, perbandingan antara sufi miskin dan miskin bukan sufi?
S: Hahaha. Belum.
M: Untuk jadi miskin atau kaya bukan karena kesufiannya. Jangan
terjebak dengan sebab dan alasan yang tidak jelas. Jangan terprovokasi
klaim masyarakat Barat atau orientalis.
S: Memang kenapa?
M: Karena, mereka justru takut pada kaum sufi. Mengapa? Dalam
sejarahnya, Salahuddin Al-Ayubi dan para pengikutnya adalah jamaah
tarekat Qadiriyah. Begitu juga ulama seperti Imam Hasan Basri, tokoh ini
sebenarnya sebagai simbol perlawanan kepada penguasa yang zalim.
Bahkan, pendirian Ottoman Empire (Turki Usmani), didirikan oleh jamaah
Tarekat Bektasyi. Masa Ertugrul (Bapak pendiri Dinasti Usmani) ajaran
tasawuf Syekh Ibnu Arabi menjadi dasar utama pendirian konsep bernegara.
Betapa kebangkitan tarekat menyemarakkan perlawanan terhadap penindasan
oleh rezim otoriter.
S: Ohhhh, begitu. Ada contoh lain?
M: Semua wali songo adalah pengamal tasawuf/tarekat. Ulama-ulama di
Nusantara seperti Ar-Ranini, Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri,
Abd Samad Al-Falambani, Dawud Al-Patani, Nawawi Al-Bantani, KH Hasyim
Asyari, semuanya adalah pengikut tarekat. Jadi, jangan berani-berani
menunjuk ulama dan nenek moyang kita sesat. Kamu mau mengikut siapa?
S: Ohhhh...begitu?! Lalu, mengapa Barat dan orientalis memprovokasi agar kita benci tasawuf?
M: Karena mereka takut. Tasawuf dan lembaga tarekat menentang
penjajahan. Sebagai contoh. Belanda mengusir dan membuah Syekh Yusuf
Al-Makasari ke Afrika Selatan, sebab beliau adalah tokoh tarekat. Bahaya
jika dibiarkan berada di Nusantara, karena jamaah dan muridnya ribuan
di masa itu. Bayangkan, Pangeran Diponegoro juga penganut tarekat,
makanya dia berani menentang Belanda, sebab yang ditakuti hanya Allah.
Konon, Diponegoro adalah penganut tarekat Sanusiah. Konon, beliau juga
pengamal Syatariyah. Bahkan, larangan Pemerintah Hindia Belanda bagi
umat Islam untuk naik haji di masa itu adalah karena ditakutkan sepulang
dari sana membentuk perlawanan di Nusantara. Di masa itu, para mursyid
dan guru-guru tarekat berada di Mekah dan sekitarnya. Dalam tarekat,
ucapan guru sufi dan mursyid adalah nasihat yang sangat dahsyat. Waktu
itu, ulama-ulama kita adalah penganut Qadiriyah, Naqsyabandiyah,
Qadiriyah wa naqasyabandiyah, Syatariyah, Sanusiah, Sadziliyah,
Tijaniyah dan sebagainya.
S: Ohhh...begitu?!
M: Coba
baca sejarah secara jujur. Simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda,
Portugis, Prancis, Italia dan Inggris sebenarnya adalah ulama-ulama
sufi. Perang Padri juga sebenarnya dipicu ulama Belanda karena ketakutan
dengan perlawanan kaum sufi.
S: Kamu masih ingat pemberontakan
kaum petani di Banten terhadap Belanda pada 1888? Pemimpinnya adalah
Syekh Abd al-Karim al-Bantani, beliau adalah tokoh utama tarekat
Qadiriyyah Naqsyabandiyyah di masa itu. Beliaulah yang mengobarkan jihad
fi sabilillah terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia, begitu juga
Pangeran Diponegoro. Perang Aceh pun dipimpin oleh ulama-ulama tarekat.
Jadi, mereka buta sejarah kalau menyebut bahwa kaum sufi membuat
kemiskinan, kebodohan, kezumudan dan kesesatan.
S: Oh
begitu?! Iya..iya...Yang sesat justru penjajah. Yang membuat bodoh dan
miskin penjajah. Yang bikin kacau dan mencuri khazanah nusantara
penjajah. Kita dibodohi mereka.
M: Oh begitu?! Hehehehe...Masih mau belajar tasawuf?
Semoga bermanfaat!
Salam
Halim Ambiya
Pendiri dan Admin Tasawuf Underground