Senin, 04 Juli 2016

Pembuktian Fitrah Manusia adalah Tawhid oleh Sufisme

Pembuktian Fitrah Manusia adalah Tawhid oleh Sufisme

Para ulama’ sufi banyak berbicara tentang Tawhid, dan ia merupakan landasan awal bagi sang sufi sebelum bertolak kepada semua praktek peribadatannya secara dzahir dan bathin. Ibn ‘Arabi misalkan, sebelum mengungkap sesuatu yang tersembunyi dari peribadatan dalam Islam ia mengungkapkan dalam al-Safar pertama dari kitab Futuhat al-Makiyyah tentang masalah ke-Tuhanan dimana disitu seorang hamba wajib mengenal Tuhannya yang satu.

Menurut Ibn ‘Arabi, Tawhid adalah Fitrah yang di ciptakan oleh Allah sebagai naluri dasar bagi manusia, semenjak hari dimana ia masih dalam keadaan non-wujud dan bersaksi “ya kami bersaksi, bahwa Engkau (Allah) Tuhanku.”[1] Sehingga ketika hidup, sang manusia sudah memiliki kecenderungan untuk ber-Tawhid.

Lalu yang menjadi pernyataan, apakah benar bahwa Tawhid adalah fitrah yang sudah ditanamkan didalam diri manusia?! Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dibuktikan dalam kisah yang pernah diutarakan oleh Maulana Jalal al-Din al-Rumi dalam kitab Fiihi Ma Fiihi yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh A.J. Arbery menjadi The Discourse of Rumi dalam bab ‘Abir al-Ma’shuq, al-Rumi berkisah tatkala ia pergi ke Antolia yang merupakan daerah kekuasaan Romawi, ia berbicara didalam sebuah perkumpulan, dimana ada diantara mereka yang mu’min dan yang kafir. Tiba-tiba dipertengahan pembicaraan beberapa diantara yang kafir menangis, lalu menanyakan sesuatu kepada al-Rumi: “apa yang mereka ketahui dan mereka kenal? Sesungguhnya engkau adalah satu diantara seribu Muslim yang memahami perkataan ini.” Dari pernyataan ini lalu al-Rumi bertanya didalam hatinya: “apa yang mereka ketahui hingga, mereka menangis?”.

Lalu al-Rumi berkata:  “Tidak perlu bagi mereka mengerti inti dari perkataan ini. Akar permasalahannya adalah kalimat itu sendiri, dan mereka memahaminya, yang paling penting bahwa setiap manusia menetapkan ke-esaan Allah, bahwa ia adalah pencipta dan pemberi rezeki, dan ialah yang mengatur segala hal, dan kepadanyalah segala sesuatu akan kembali, dan ialah yang menghukum dan mema’afkan. Dan ketika seseorang mendengar kalimat ini, yaitu yang berbicara tentang kebenarannya dan mengingat atasnya, maka ia akan merasakan kebingungan dan kerinduannya, karena dari kalimat ini telah datang harum sang kekasih dan kedambaan atasnya."
al-Rumi: "Walaupun jalannya berbeda, tapi tujuannya tetap satu. Tidakkah kau melihat banyaknya jalan menuju Ka’bah? – dan menurut sebagaian mereka ada jalan dari Roma… (dan banyak lainnya). Dan demikianlah jika kau tunjukkan jalan maka akan kau dapatkan perbedaan yang banyak tak terhingga. Akan tetapi ketika kau melihat dari pada maksudnya, maka kau akan mendapatkan disemua perbedaan itu sependapat dan satu. Semua hati manusia ingin menuju pada Ka’bah. Semua hati telah terikat, rindu dan cinta atas Ka’bah dan tidak ada perbedaan didalamnya. Dan keterkaitan ini tidak bisa disebut Kafir atau Mu’min…" [2]

Dalam kisah ini al-Rumi sebenarnya ingin membuktikan bahwa Tawhid (al-iqrar bi wihdaniyah Allah) telah ada dalam diri orang Kafir. Disini al-Rumi ingin menyebutkan bahwa orang-orang kafir pada dasarnya mengakui dan meyakini ke-Esa-an Allah. Dalam hal inilah tidak ada pembeda antara orang mu’min dan kafir, karena kedua-duanya meyakini bahwa Tuhan itu satu. Hanya saja yang membedakan adalah mereka menutupi kebenaran yang ada, sehingga mereka menjadi “kafir” dalam hal ini berarti yang menutupi.

Pembuktian Fitrah Manusia adalah Tawhid oleh Sufisme - (Dzulfikar/Islam Cendekia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar