Pembuktian Fitrah Manusia adalah Tawhid oleh Sufisme
Para ulama’ sufi banyak berbicara tentang Tawhid,
dan ia merupakan landasan awal bagi sang sufi sebelum bertolak kepada semua
praktek peribadatannya secara dzahir dan bathin. Ibn ‘Arabi misalkan, sebelum
mengungkap sesuatu yang tersembunyi dari peribadatan dalam Islam ia
mengungkapkan dalam al-Safar pertama dari kitab Futuhat al-Makiyyah
tentang masalah ke-Tuhanan dimana disitu seorang hamba wajib mengenal Tuhannya
yang satu.
Menurut Ibn ‘Arabi, Tawhid adalah Fitrah
yang di ciptakan oleh Allah sebagai naluri dasar bagi manusia, semenjak hari
dimana ia masih dalam keadaan non-wujud dan bersaksi “ya kami bersaksi, bahwa
Engkau (Allah) Tuhanku.”[1] Sehingga ketika hidup, sang manusia sudah
memiliki kecenderungan untuk ber-Tawhid.
Lalu yang menjadi pernyataan, apakah benar
bahwa Tawhid adalah fitrah yang sudah ditanamkan didalam diri
manusia?! Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dibuktikan dalam kisah yang
pernah diutarakan oleh Maulana Jalal al-Din al-Rumi dalam kitab Fiihi Ma
Fiihi yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh A.J. Arbery menjadi The
Discourse of Rumi dalam bab ‘Abir al-Ma’shuq, al-Rumi berkisah tatkala ia pergi
ke Antolia yang merupakan daerah kekuasaan Romawi, ia berbicara didalam sebuah
perkumpulan, dimana ada diantara mereka yang mu’min dan yang kafir. Tiba-tiba
dipertengahan pembicaraan beberapa diantara yang kafir menangis, lalu
menanyakan sesuatu kepada al-Rumi: “apa yang mereka ketahui dan mereka kenal?
Sesungguhnya engkau adalah satu diantara seribu Muslim yang memahami perkataan
ini.” Dari pernyataan ini lalu al-Rumi bertanya didalam hatinya: “apa yang
mereka ketahui hingga, mereka menangis?”.
Lalu al-Rumi berkata: “Tidak
perlu bagi mereka mengerti inti dari perkataan ini. Akar permasalahannya adalah
kalimat itu sendiri, dan mereka memahaminya, yang paling penting bahwa setiap
manusia menetapkan ke-esaan Allah, bahwa ia adalah pencipta dan pemberi rezeki,
dan ialah yang mengatur segala hal, dan kepadanyalah segala sesuatu akan
kembali, dan ialah yang menghukum dan mema’afkan. Dan ketika seseorang
mendengar kalimat ini, yaitu yang berbicara tentang kebenarannya dan mengingat
atasnya, maka ia akan merasakan kebingungan dan kerinduannya, karena dari
kalimat ini telah datang harum sang kekasih dan kedambaan atasnya."
al-Rumi: "Walaupun jalannya berbeda, tapi
tujuannya tetap satu. Tidakkah kau melihat banyaknya jalan menuju Ka’bah? – dan
menurut sebagaian mereka ada jalan dari Roma… (dan banyak lainnya). Dan
demikianlah jika kau tunjukkan jalan maka akan kau dapatkan perbedaan yang
banyak tak terhingga. Akan tetapi ketika kau melihat dari pada maksudnya, maka
kau akan mendapatkan disemua perbedaan itu sependapat dan satu. Semua hati
manusia ingin menuju pada Ka’bah. Semua hati telah terikat, rindu dan cinta
atas Ka’bah dan tidak ada perbedaan didalamnya. Dan keterkaitan ini tidak bisa
disebut Kafir atau Mu’min…" [2]
Dalam kisah ini al-Rumi sebenarnya ingin
membuktikan bahwa Tawhid (al-iqrar bi wihdaniyah Allah) telah ada
dalam diri orang Kafir. Disini al-Rumi ingin menyebutkan bahwa
orang-orang kafir pada dasarnya mengakui dan meyakini ke-Esa-an Allah. Dalam
hal inilah tidak ada pembeda antara orang mu’min dan kafir, karena kedua-duanya
meyakini bahwa Tuhan itu satu. Hanya saja yang membedakan adalah mereka
menutupi kebenaran yang ada, sehingga mereka menjadi “kafir” dalam hal ini
berarti yang menutupi.
Pembuktian Fitrah Manusia adalah Tawhid oleh Sufisme - (Dzulfikar/Islam Cendekia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar