Ungkapan Cinta terhadap Bahasa Portugis, dalam Kemajemukan Dialeknya
Bahasa Portugis,
yang dituturkan oleh lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia, sering
digambarkan sebagai “ayah” atau “ibu” dari Lusofonia (kawasan dunia
yang berbahasa Portugis). Pada tanggal 21 Februari kita memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional,
yang ditetapkan UNESCO tahun 1999. Untuk menghormati bahasa Portugis
dengan segala keragaman linguistik dan budayanya, dalam artikel ini kami
mengajak Anda menyelami refleksi dari beberapa penulis blog berbahasa
Portugis, yang terpicu saat mereka membaca novel pertama yang didedikasikan untuk bahasa Portugis [Pt], Milagrário Pessoal – karya terbaru sastrawan Angola José Eduardo Agualusa [Pt].
Meninggal pada bulan Juni 2010 [Pt], José Saramago – satu-satunya peraih hadiah Nobel Sastra yang berbahasa Portugis – mengatakan bahwa “tidak ada yang namanya bahasa Portugis, yang ada hanyalah bahasa-bahasa yang tergolong bahasa Portugis ” [Pt]. Sastrawan Agualusa, dalam sebuah wawancara [Pt] dengan blog Porta-Livros, menyatakan:
Novel tersebut – atau “essay tentang bahasa Portugis yang disamarkan dalam bentuk novel”, seperti dikatakan wartawan Pedro Mexia dalam sebuah kritik yang berjudul Politik Bahasa [Pt] – menceritakan sebuah kisah cinta sekaligus menggali proses pembentukan bahasa Portugis. Agualusa, juga dalam wawancara di atas, mengaku “menyesali kata-kata tertentu yang begitu indah namun telah menghilang dan tidak pernah lagi digunakan” dan berbagi tentang kebutuhan dan “kewajiban untuk menghindari kematian kata-kata tersebut”.
Rui Azeredo, dari blog Porta-Livros, menjelaskan [Pt] bahwa “kisah [cinta] dalam novel tersebut hanya dalih pengarang yang ingin memberikan penghargaan kepada bahasa Portugis” :
Dalam sebuah resensi [Pt] Milagrário Pessoal, Bruno Vieira Amaral, dari blog Circo da Lama, meyakini bahwa “kata-kata memiliki kekuatan, kata-kata adalah kekuatan”. Amaral menampilkan beberapa kutipan dari Milagrário Pessoal – potongan-potongan yang romantis, namun juga begitu tepat mewakili negara-negara yang disebutkan di dalamnya – di mana bahasa Portugis menjadi kendaraan bagi kegiatan politik yang memberontak, subversif, dan nasionalis:
José Leitão, dalam blog Inclusão e Cidadania, mendukung pandangan ini [Pt]:
Refleksi para pembaca Milagrário Pessoal di berbagai blog kadang-kala menyimpang ke topik Perubahan Ejaan [Pt] bahasa Portugis, yang berusaha menyeragamkan ejaan yang berbeda-beda di negara-negara yang berbahasa Portugis. Dalam wawancaranya dengan blog Porta-Livros, Agualusa menyatakan:
Pedro Teixeira Neves, dari PNETLiteratura, mengutip [Pt] beberapa bagian dari buku tersebut dan menanyakan:
Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Teixeira Neves mengatakan bahwa “bahasa merupakan sebuah harta” [Pt] dan menutup dengan:
Judul artikel ini diambil [Pt] dari blog Mértola, di mana Carlos Viegas menulis bahwa Milagrário Pessoal merupakan:
Bahasa Portugis merupakan bahasa resmi di delapan negara – Angola,
Brasil, Tanjung Verde, Guinea-Bissau, Mozambik, Portugal, São Tomé dan
Príncipe, dan Timor Leste – di empat benua – Afrika, Amerika, Asia dan
Eropa. Dengan demikian, bahasa tersebut mencakup kawasan yang luas (7.2% daratan bumi
[Pt]), serta meliputi keberagaman kehidupan yang luar biasa dan
tercermin dari kemajemukan dialeknya. Bahasa Portugis juga merupakan bahasa kelima yang paling banyak dituturkan di Internet [En], menurut Internet World Stats, dengan sekitar 82,5 juta pengguna Internet. Meninggal pada bulan Juni 2010 [Pt], José Saramago – satu-satunya peraih hadiah Nobel Sastra yang berbahasa Portugis – mengatakan bahwa “tidak ada yang namanya bahasa Portugis, yang ada hanyalah bahasa-bahasa yang tergolong bahasa Portugis ” [Pt]. Sastrawan Agualusa, dalam sebuah wawancara [Pt] dengan blog Porta-Livros, menyatakan:
Novel tersebut – atau “essay tentang bahasa Portugis yang disamarkan dalam bentuk novel”, seperti dikatakan wartawan Pedro Mexia dalam sebuah kritik yang berjudul Politik Bahasa [Pt] – menceritakan sebuah kisah cinta sekaligus menggali proses pembentukan bahasa Portugis. Agualusa, juga dalam wawancara di atas, mengaku “menyesali kata-kata tertentu yang begitu indah namun telah menghilang dan tidak pernah lagi digunakan” dan berbagi tentang kebutuhan dan “kewajiban untuk menghindari kematian kata-kata tersebut”.
Rui Azeredo, dari blog Porta-Livros, menjelaskan [Pt] bahwa “kisah [cinta] dalam novel tersebut hanya dalih pengarang yang ingin memberikan penghargaan kepada bahasa Portugis” :
Dalam sebuah resensi [Pt] Milagrário Pessoal, Bruno Vieira Amaral, dari blog Circo da Lama, meyakini bahwa “kata-kata memiliki kekuatan, kata-kata adalah kekuatan”. Amaral menampilkan beberapa kutipan dari Milagrário Pessoal – potongan-potongan yang romantis, namun juga begitu tepat mewakili negara-negara yang disebutkan di dalamnya – di mana bahasa Portugis menjadi kendaraan bagi kegiatan politik yang memberontak, subversif, dan nasionalis:
José Leitão, dalam blog Inclusão e Cidadania, mendukung pandangan ini [Pt]:
Refleksi para pembaca Milagrário Pessoal di berbagai blog kadang-kala menyimpang ke topik Perubahan Ejaan [Pt] bahasa Portugis, yang berusaha menyeragamkan ejaan yang berbeda-beda di negara-negara yang berbahasa Portugis. Dalam wawancaranya dengan blog Porta-Livros, Agualusa menyatakan:
Pedro Teixeira Neves, dari PNETLiteratura, mengutip [Pt] beberapa bagian dari buku tersebut dan menanyakan:
Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Teixeira Neves mengatakan bahwa “bahasa merupakan sebuah harta” [Pt] dan menutup dengan:
Paula Góes menyumbangkan ilustrasi untuk artikel ini. Semua foto diambil dari Museum bahasa Portugis di São Paulo, Brasil.
Foto bareng Felipe
Hassin, satu dari sedikit warga Brasil yang fasih berbahasa Inggris.
(iskandarjet)
Sebenarnya judul di atas hanya ungkapan frustasi seorang asing yang
tinggal di negara terbesar Amerika Latin ini.
Selain di bandara, sulit menemukan petunjuk arah atau billboard
berbahasa Inggris. Kemampuan masyarakatnya dalam berbicara bahasa
Inggris sangat-sangat minim. Saat saya menginap di hotel berbintang di
Sao Paulo, hanya bagian resepsionis yang bisa diajak bicara. Staf hotel
lainnya benar-benar buta bahasa Inggris. Selebihnya berbicara bahasa
Portugis, bahasa resmi dan percakapan sehari-hari warga Brasil.
Bahkan saat mau sarapan pagi, pelayan hotel Melia Jardim Europa yang
bertugas di ruang makan bahkan tidak tahu arti kata ‘eight’ saat saya
menyebutkan nomor kamar. Jadi jangankan bicara, mengerti apa yang kita
ucapkan pun tidak.
Terus terang, saya benar-benar tidak mempersiapkan kondisi ini. Saya
jadi ingat waktu pertama kali ke luar negeri, tepatnya ke Tokyo, dua
tahun lalu. Kondisi masyarakat Jepang sama dengan Indonesia dan Brasil
yang minim penutur bahasa Inggris. Tapi waktu itu, saya mempersiapkan
diri dengan sedikit modal dasar bahasa Jepang dan membawa buku saku
untuk pelajar pemula bahasa Jepang.
Maka setiap kali bertemu dengan penduduk lokal yang bisa berbahasa
Inggris, saya seakan mendapatkan berkah yang luar biasa.
Saya beruntung karena saat pertama kali mendarat di bandara Galeao Rio
de Janeiro, langsung mendapatkan supir taksi yang bisa berbahasa
Inggris. Dan lebih beruntung lagi karena si Felipe pernah tinggal di
Indonesia beberapa bulan lamanya.
Felipe bagi saya warga Brasil yang langka. Semua supir taksi tidak ada
yang bicara bahasa Inggris. Tapi mereka semangat berbicara dengan
penumpangnya dengan bahasa Portugis, apalagi kalau sudah ngomongin bola.
Gak peduli penumpangnya orang asing, supir-supir taksi itu nyerocos
terus, sehingga saya terpaksa angguk-angguk kepala.
Bahkan saat berbelanja pun, tidak ada penjual atau pramuniaga yang
mengerti apa yang kita tanyakan. Mereka juga tidak melengkapi diri
dengan kalkulator seperti saya temukan di banyak ‘street market’ di kota
Hong Kong sampai Singapura. Walhasil, proses transaksi jadi sangat
susah dan sering menimbulkan kesalahpahaman, khususnya saat mau nego
harga.
Tanya kenapa?
Saat hendak pulang dari Sao Paulo ke Rio, saya kembali bertemu dengan
warga setempat lainnya yang kebetulan namanya juga Felipe. Tepatnya
Felipe Hassin, 26 tahun. Mumpung bertemu dengan orang Brasil yang bisa
berbahasa Inggris, saya langsung menghabiskan waktu sepanjang perjalanan
enam jam Sao Paulo-Rio dengan ngobrol banyak hal ke Felipe.
Termasuk menanyakan kenapa tidak banyak penduduk Brasil yang berbicara
bahasa Inggris?
“Mereka tidak bisa bicara bahasa Inggris karena tidak menganggap bahasa
Inggris itu penting,” kata Felipe. Padahal, Brasil, khususnya kota Rio
dan Sao Paulo, merupakan tempat kunjungan wisata yang banyak didatangi
turis asing.
Dia sendiri lancar berbahasa Inggris karena membutuhkannya untuk
melanjutkan pendidikan di London. “Sekarang saya tinggal dan bekerja di
London, tempat saya bertemu dengan dia,” katanya sambil menoleh ke arah
pacarnya, Ida Wilkstrom.
Tapi, lanjut Felipe, warga Brasil generasi sekarang pada umumnya sudah
dibekali dengan bahasa Inggris di sekolah. Harusnya mereka sudah lebih
menguasai bahasa percakapan lintas-bangsa itu dibandingkan generasi yang
lebih tua.
Saat saya tanya, apakah ada keengganan dari masyarakat untuk belajar
bahasa Inggris, dia bilang faktor gengsi karena Inggris dan Portugis
sama-sama bahasa Eropa mungkin ada. Tapi menurutnya, masyarakat Brasil
tidak bisa berbahasa Inggris lebih karena tidak adanya rasa membutuhkan.
Kalau sudah berada di negara seperti ini, bahasa Inggris benar-benar
tidak berarti sama sekali. Ada benarnya kata orang, bahasa yang paling
mendunia adalah bahasa tarzan, bukan bahasa Inggris.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640
Foto bareng Felipe
Hassin, satu dari sedikit warga Brasil yang fasih berbahasa Inggris.
(iskandarjet)
Sebenarnya judul di atas hanya ungkapan frustasi seorang asing yang
tinggal di negara terbesar Amerika Latin ini.
Selain di bandara, sulit menemukan petunjuk arah atau billboard
berbahasa Inggris. Kemampuan masyarakatnya dalam berbicara bahasa
Inggris sangat-sangat minim. Saat saya menginap di hotel berbintang di
Sao Paulo, hanya bagian resepsionis yang bisa diajak bicara. Staf hotel
lainnya benar-benar buta bahasa Inggris. Selebihnya berbicara bahasa
Portugis, bahasa resmi dan percakapan sehari-hari warga Brasil.
Bahkan saat mau sarapan pagi, pelayan hotel Melia Jardim Europa yang
bertugas di ruang makan bahkan tidak tahu arti kata ‘eight’ saat saya
menyebutkan nomor kamar. Jadi jangankan bicara, mengerti apa yang kita
ucapkan pun tidak.
Terus terang, saya benar-benar tidak mempersiapkan kondisi ini. Saya
jadi ingat waktu pertama kali ke luar negeri, tepatnya ke Tokyo, dua
tahun lalu. Kondisi masyarakat Jepang sama dengan Indonesia dan Brasil
yang minim penutur bahasa Inggris. Tapi waktu itu, saya mempersiapkan
diri dengan sedikit modal dasar bahasa Jepang dan membawa buku saku
untuk pelajar pemula bahasa Jepang.
Maka setiap kali bertemu dengan penduduk lokal yang bisa berbahasa
Inggris, saya seakan mendapatkan berkah yang luar biasa.
Saya beruntung karena saat pertama kali mendarat di bandara Galeao Rio
de Janeiro, langsung mendapatkan supir taksi yang bisa berbahasa
Inggris. Dan lebih beruntung lagi karena si Felipe pernah tinggal di
Indonesia beberapa bulan lamanya.
Felipe bagi saya warga Brasil yang langka. Semua supir taksi tidak ada
yang bicara bahasa Inggris. Tapi mereka semangat berbicara dengan
penumpangnya dengan bahasa Portugis, apalagi kalau sudah ngomongin bola.
Gak peduli penumpangnya orang asing, supir-supir taksi itu nyerocos
terus, sehingga saya terpaksa angguk-angguk kepala.
Bahkan saat berbelanja pun, tidak ada penjual atau pramuniaga yang
mengerti apa yang kita tanyakan. Mereka juga tidak melengkapi diri
dengan kalkulator seperti saya temukan di banyak ‘street market’ di kota
Hong Kong sampai Singapura. Walhasil, proses transaksi jadi sangat
susah dan sering menimbulkan kesalahpahaman, khususnya saat mau nego
harga.
Tanya kenapa?
Saat hendak pulang dari Sao Paulo ke Rio, saya kembali bertemu dengan
warga setempat lainnya yang kebetulan namanya juga Felipe. Tepatnya
Felipe Hassin, 26 tahun. Mumpung bertemu dengan orang Brasil yang bisa
berbahasa Inggris, saya langsung menghabiskan waktu sepanjang perjalanan
enam jam Sao Paulo-Rio dengan ngobrol banyak hal ke Felipe.
Termasuk menanyakan kenapa tidak banyak penduduk Brasil yang berbicara
bahasa Inggris?
“Mereka tidak bisa bicara bahasa Inggris karena tidak menganggap bahasa
Inggris itu penting,” kata Felipe. Padahal, Brasil, khususnya kota Rio
dan Sao Paulo, merupakan tempat kunjungan wisata yang banyak didatangi
turis asing.
Dia sendiri lancar berbahasa Inggris karena membutuhkannya untuk
melanjutkan pendidikan di London. “Sekarang saya tinggal dan bekerja di
London, tempat saya bertemu dengan dia,” katanya sambil menoleh ke arah
pacarnya, Ida Wilkstrom.
Tapi, lanjut Felipe, warga Brasil generasi sekarang pada umumnya sudah
dibekali dengan bahasa Inggris di sekolah. Harusnya mereka sudah lebih
menguasai bahasa percakapan lintas-bangsa itu dibandingkan generasi yang
lebih tua.
Saat saya tanya, apakah ada keengganan dari masyarakat untuk belajar
bahasa Inggris, dia bilang faktor gengsi karena Inggris dan Portugis
sama-sama bahasa Eropa mungkin ada. Tapi menurutnya, masyarakat Brasil
tidak bisa berbahasa Inggris lebih karena tidak adanya rasa membutuhkan.
Kalau sudah berada di negara seperti ini, bahasa Inggris benar-benar
tidak berarti sama sekali. Ada benarnya kata orang, bahasa yang paling
mendunia adalah bahasa tarzan, bukan bahasa Inggris.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640
sangat menarik
BalasHapus