Selasa, 05 Juli 2016

Ungkapan Cinta terhadap Bahasa Portugis, dalam Kemajemukan Dialeknya

Ungkapan Cinta terhadap Bahasa Portugis, dalam Kemajemukan Dialeknya 

 

Bahasa Portugis, yang dituturkan oleh lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia, sering digambarkan sebagai “ayah” atau “ibu” dari Lusofonia (kawasan dunia yang berbahasa Portugis). Pada tanggal 21 Februari kita memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, yang ditetapkan UNESCO tahun 1999. Untuk menghormati bahasa Portugis dengan segala keragaman linguistik dan budayanya, dalam artikel ini kami mengajak Anda menyelami refleksi dari beberapa penulis blog berbahasa Portugis, yang terpicu saat mereka membaca novel pertama yang didedikasikan untuk bahasa Portugis [Pt], Milagrário Pessoal – karya terbaru sastrawan Angola José Eduardo Agualusa [Pt].
Judul artikel ini diambil [Pt] dari blog Mértola, di mana Carlos Viegas menulis bahwa Milagrário Pessoal merupakan:
sebuah ungkatan cinta terhadap bahasa Portugis, dalam kemajemukan dialeknya (…) sebuah perjalanan melintasi sejarah bahasa kita, melewati tempat-tempat lokal dan budaya-budaya yang menjadi sumber khazanah bahasa Portugis yang melimpah.
Foto: Lu Freitas di Flickr. CC BY-NC-SA 2.0
Foto: Manu Magalhães. CC BY-NC-SA 2.0
Bahasa Portugis merupakan bahasa resmi di delapan negara – Angola, Brasil, Tanjung Verde, Guinea-Bissau, Mozambik, Portugal, São Tomé dan Príncipe, dan Timor Leste – di empat benua – Afrika, Amerika, Asia dan Eropa. Dengan demikian, bahasa tersebut mencakup kawasan yang luas (7.2% daratan bumi [Pt]), serta meliputi keberagaman kehidupan yang luar biasa dan tercermin dari kemajemukan dialeknya. Bahasa Portugis juga merupakan bahasa kelima yang paling banyak dituturkan di Internet [En], menurut Internet World Stats, dengan sekitar 82,5 juta pengguna Internet.
Meninggal pada bulan Juni 2010 [Pt], José Saramago – satu-satunya peraih hadiah Nobel Sastra yang berbahasa Portugis – mengatakan bahwa “tidak ada yang namanya bahasa Portugis, yang ada hanyalah bahasa-bahasa yang tergolong bahasa Portugis ” [Pt]. Sastrawan Agualusa, dalam sebuah wawancara [Pt] dengan blog Porta-Livros, menyatakan:
Bahasa Portugis merupakan sebuah gabungan dari semua orang yang berbahasa Portugis dan inilah yang membuat bahasa Portugis begitu menarik, begitu anggun, lentur, dan kenyal.
Novel tersebut – atau “essay tentang bahasa Portugis yang disamarkan dalam bentuk novel”, seperti dikatakan wartawan Pedro Mexia dalam sebuah kritik yang berjudul Politik Bahasa [Pt] – menceritakan sebuah kisah cinta sekaligus menggali proses pembentukan bahasa Portugis. Agualusa, juga dalam wawancara di atas, mengaku “menyesali kata-kata tertentu yang begitu indah namun telah menghilang dan tidak pernah lagi digunakan” dan berbagi tentang kebutuhan dan “kewajiban untuk menghindari kematian kata-kata tersebut”.
Puisi oleh Fernando Pessoa: Siapa yang tidak dapat memahami makna sebuah kata, tidak akan mampu menyelami jiwa. Foto: Lu Freitas di Flickr. CC BY-NC-SA 2.0
Puisi oleh Fernando Pessoa: Siapa yang tidak dapat memahami makna sebuah kata, tidak akan mampu menyelami jiwa. Foto: Lu Freitas di Flickr. CC BY-NC-SA 2.0
Rui Azeredo, dari blog Porta-Livros, menjelaskan [Pt] bahwa “kisah [cinta] dalam novel tersebut hanya dalih pengarang yang ingin memberikan penghargaan kepada bahasa Portugis” :
melalui sebuah pencarian, oleh tokoh-tokoh utama [novel tersebut], akan bagaimana proses istilah-istilah baru memasuki kosa-kata bahasa Portugis. Dan terjalin dengan baik dalam kisah tersebut (…) kita menemukan prosesnya, seperti di sebuah kelas yang tidak kita perhatikan namun di mana kita belajar banyak hal. Dari Portugal ke Angola, via Brazil dan negara-negara lain, mata kita berlari mengikuti berbagai permainan kata (baru dan lama, kadang-kadang tergantung pada letak geografis) yang dilontarkan Agualusa dengan mulus.
Dalam sebuah resensi [Pt] Milagrário Pessoal, Bruno Vieira Amaral, dari blog Circo da Lama, meyakini bahwa  “kata-kata memiliki kekuatan, kata-kata adalah kekuatan”. Amaral menampilkan beberapa kutipan dari Milagrário Pessoal – potongan-potongan yang romantis, namun juga begitu tepat mewakili negara-negara yang disebutkan di dalamnya – di mana bahasa Portugis menjadi kendaraan bagi kegiatan politik yang memberontak, subversif, dan nasionalis:
Kata-kata juga merupakan kekuasaan, politik dalam arti yang paling luas. Kata-kata bisa bermakna pemberontakan, seperti dalam kasus warga Timor Leste yang membacakan soneta-soneta karangan Camões. Kata-kata bisa bermakna pengukuhan nasionalisme, seperti dalam kasus kelompok elit Brasil yang mulai menggunakan nama panggilan yang berasal dari bahasa Tupi. Kata-kata bisa bermakna subversi, seperti bangsa terjajah yang berusaha menjajah bahasa si penjajah untuk bisa mendominasi mereka.
José Leitão, dalam blog Inclusão e Cidadania, mendukung pandangan ini [Pt]:
Novel tersebut berisi petunjuk-petunjuk berharga bagi sebuah kebijakan bahasa, yang pantas mendapat perhatian para ilmuwan sosial, ahli bahasa, dan mereka yang bertanggung-jawab merumuskan kebijakan yang terkait dengan bahasa Portugis.
Puisi oleh Manuel Bandeira: Aku tidak meraih kehidupan lewat koran ataupun buku/Tetapi lewat mulut orang-orang dan bahasa salah-kaprah mereka/Bahasa yang baku bagi mereka/Karena mereka senang berbicara bahasa Portugis Brasil/Sementara/Yang kami lakukan/Adalah meniru/Tata bahasa Portugis. Foto oleh Capitu di Flickr. CC BY-NC-SA 2.0.
Puisi oleh Manuel Bandeira: Aku tidak meraih kehidupan lewat koran ataupun buku/Tetapi lewat mulut orang-orang dan bahasa salah-kaprah mereka/Bahasa yang baku bagi mereka/Karena mereka senang berbicara bahasa Portugis Brasil/Sementara/Yang kami lakukan/Adalah meniru/Tata bahasa Portugis. Foto oleh Capitu di Flickr. CC BY-NC-SA 2.0.
Refleksi para pembaca Milagrário Pessoal di berbagai blog kadang-kala menyimpang ke topik Perubahan Ejaan [Pt] bahasa Portugis, yang berusaha menyeragamkan ejaan yang berbeda-beda di negara-negara yang berbahasa Portugis. Dalam wawancaranya dengan blog Porta-Livros, Agualusa menyatakan:
Belum pernah sebelumnya begitu banyak pergerakan orang dan gagasan di antara negara-negara berbahasa Portugis. (…) Dan ini berarti bahasa tersebut semakin seragam.
Pedro Teixeira Neves, dari PNETLiteratura, mengutip [Pt] beberapa bagian dari buku tersebut dan menanyakan:
“Moisés da Conceição menulis bahwa bahasa Portugis, yang kental akan nuansa Afrika akibat persentuhan yang lama dengan bangsa Arab yang banyak mempengaruhi bahasa tersebut, perlu beradaptasi lebih jauh ke budaya Afrika hitam, menyesuaikan diri dengan letak geografis tempat-tempat yang dihuni banyak penuturnya. Takdir kita adalah untuk saling menelan…” Singkatnya, ini merupakan tema pokok yang mendasari sisi fiksi dari novel ini. Apakah ini kritik terselubung terhadap perubahan ejaan? Mengapa tida mengartikannya demikian?…
Tanpa menjawab pertanyaan tersebut, Teixeira Neves mengatakan bahwa “bahasa merupakan sebuah harta” [Pt] dan menutup dengan:
Sebuah harta yang tidak disimpan dalam peti terkunci dari orang-orang yang menggunakannya (yaitu, yang menggunakan bahasa Portugis), namun harta dengan keberagaman geografis dan pertumbuhan berkelanjutan yang semakin kaya dan berkembang. Singkatnya: bahasa tersebut memiliki banyak identitas, dan kenyataan ini selalu berarti pertumbuhan, tidak pernah penyusutan. Sebuah bahasa bersifat lentur, sebuah sosok yang hidup dari waktu dan masa. Bahasa merupakan perjalanan yang terus berlangsung melalui lautan yang tidak pernah dikunjungi ataupun dicapai sebelumnya.
Puisi oleh Antonio Risério: “bahan mentah kami adalah kata. Kata sebagai sebuah suara, sebuah rasa, sebuah kegiatan, sebagai kata kunci, sebagai indikator budaya, pengikat budaya, sebagai sejarah, sebagai obyek, sebagai identitas yang berubah dan dapat diubah.
Paula Góes menyumbangkan ilustrasi untuk artikel ini. Semua foto diambil dari Museum bahasa Portugis di São Paulo, Brasil.
Foto mini  Sara Moreira
Ditulis olehSara Moreira
Foto mini  Eleanor Staniforth
Diterjemahkan (en) olehEleanor Staniforth
Diterjemahkan olehsetyo
Foto bareng Felipe Hassin, satu dari sedikit warga Brasil yang fasih berbahasa Inggris. (iskandarjet) Sebenarnya judul di atas hanya ungkapan frustasi seorang asing yang tinggal di negara terbesar Amerika Latin ini. Selain di bandara, sulit menemukan petunjuk arah atau billboard berbahasa Inggris. Kemampuan masyarakatnya dalam berbicara bahasa Inggris sangat-sangat minim. Saat saya menginap di hotel berbintang di Sao Paulo, hanya bagian resepsionis yang bisa diajak bicara. Staf hotel lainnya benar-benar buta bahasa Inggris. Selebihnya berbicara bahasa Portugis, bahasa resmi dan percakapan sehari-hari warga Brasil. Bahkan saat mau sarapan pagi, pelayan hotel Melia Jardim Europa yang bertugas di ruang makan bahkan tidak tahu arti kata ‘eight’ saat saya menyebutkan nomor kamar. Jadi jangankan bicara, mengerti apa yang kita ucapkan pun tidak. Terus terang, saya benar-benar tidak mempersiapkan kondisi ini. Saya jadi ingat waktu pertama kali ke luar negeri, tepatnya ke Tokyo, dua tahun lalu. Kondisi masyarakat Jepang sama dengan Indonesia dan Brasil yang minim penutur bahasa Inggris. Tapi waktu itu, saya mempersiapkan diri dengan sedikit modal dasar bahasa Jepang dan membawa buku saku untuk pelajar pemula bahasa Jepang. Maka setiap kali bertemu dengan penduduk lokal yang bisa berbahasa Inggris, saya seakan mendapatkan berkah yang luar biasa. Saya beruntung karena saat pertama kali mendarat di bandara Galeao Rio de Janeiro, langsung mendapatkan supir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Dan lebih beruntung lagi karena si Felipe pernah tinggal di Indonesia beberapa bulan lamanya. Felipe bagi saya warga Brasil yang langka. Semua supir taksi tidak ada yang bicara bahasa Inggris. Tapi mereka semangat berbicara dengan penumpangnya dengan bahasa Portugis, apalagi kalau sudah ngomongin bola. Gak peduli penumpangnya orang asing, supir-supir taksi itu nyerocos terus, sehingga saya terpaksa angguk-angguk kepala. Bahkan saat berbelanja pun, tidak ada penjual atau pramuniaga yang mengerti apa yang kita tanyakan. Mereka juga tidak melengkapi diri dengan kalkulator seperti saya temukan di banyak ‘street market’ di kota Hong Kong sampai Singapura. Walhasil, proses transaksi jadi sangat susah dan sering menimbulkan kesalahpahaman, khususnya saat mau nego harga. Tanya kenapa? Saat hendak pulang dari Sao Paulo ke Rio, saya kembali bertemu dengan warga setempat lainnya yang kebetulan namanya juga Felipe. Tepatnya Felipe Hassin, 26 tahun. Mumpung bertemu dengan orang Brasil yang bisa berbahasa Inggris, saya langsung menghabiskan waktu sepanjang perjalanan enam jam Sao Paulo-Rio dengan ngobrol banyak hal ke Felipe. Termasuk menanyakan kenapa tidak banyak penduduk Brasil yang berbicara bahasa Inggris? “Mereka tidak bisa bicara bahasa Inggris karena tidak menganggap bahasa Inggris itu penting,” kata Felipe. Padahal, Brasil, khususnya kota Rio dan Sao Paulo, merupakan tempat kunjungan wisata yang banyak didatangi turis asing. Dia sendiri lancar berbahasa Inggris karena membutuhkannya untuk melanjutkan pendidikan di London. “Sekarang saya tinggal dan bekerja di London, tempat saya bertemu dengan dia,” katanya sambil menoleh ke arah pacarnya, Ida Wilkstrom. Tapi, lanjut Felipe, warga Brasil generasi sekarang pada umumnya sudah dibekali dengan bahasa Inggris di sekolah. Harusnya mereka sudah lebih menguasai bahasa percakapan lintas-bangsa itu dibandingkan generasi yang lebih tua. Saat saya tanya, apakah ada keengganan dari masyarakat untuk belajar bahasa Inggris, dia bilang faktor gengsi karena Inggris dan Portugis sama-sama bahasa Eropa mungkin ada. Tapi menurutnya, masyarakat Brasil tidak bisa berbahasa Inggris lebih karena tidak adanya rasa membutuhkan. Kalau sudah berada di negara seperti ini, bahasa Inggris benar-benar tidak berarti sama sekali. Ada benarnya kata orang, bahasa yang paling mendunia adalah bahasa tarzan, bukan bahasa Inggris.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640
Foto bareng Felipe Hassin, satu dari sedikit warga Brasil yang fasih berbahasa Inggris. (iskandarjet) Sebenarnya judul di atas hanya ungkapan frustasi seorang asing yang tinggal di negara terbesar Amerika Latin ini. Selain di bandara, sulit menemukan petunjuk arah atau billboard berbahasa Inggris. Kemampuan masyarakatnya dalam berbicara bahasa Inggris sangat-sangat minim. Saat saya menginap di hotel berbintang di Sao Paulo, hanya bagian resepsionis yang bisa diajak bicara. Staf hotel lainnya benar-benar buta bahasa Inggris. Selebihnya berbicara bahasa Portugis, bahasa resmi dan percakapan sehari-hari warga Brasil. Bahkan saat mau sarapan pagi, pelayan hotel Melia Jardim Europa yang bertugas di ruang makan bahkan tidak tahu arti kata ‘eight’ saat saya menyebutkan nomor kamar. Jadi jangankan bicara, mengerti apa yang kita ucapkan pun tidak. Terus terang, saya benar-benar tidak mempersiapkan kondisi ini. Saya jadi ingat waktu pertama kali ke luar negeri, tepatnya ke Tokyo, dua tahun lalu. Kondisi masyarakat Jepang sama dengan Indonesia dan Brasil yang minim penutur bahasa Inggris. Tapi waktu itu, saya mempersiapkan diri dengan sedikit modal dasar bahasa Jepang dan membawa buku saku untuk pelajar pemula bahasa Jepang. Maka setiap kali bertemu dengan penduduk lokal yang bisa berbahasa Inggris, saya seakan mendapatkan berkah yang luar biasa. Saya beruntung karena saat pertama kali mendarat di bandara Galeao Rio de Janeiro, langsung mendapatkan supir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Dan lebih beruntung lagi karena si Felipe pernah tinggal di Indonesia beberapa bulan lamanya. Felipe bagi saya warga Brasil yang langka. Semua supir taksi tidak ada yang bicara bahasa Inggris. Tapi mereka semangat berbicara dengan penumpangnya dengan bahasa Portugis, apalagi kalau sudah ngomongin bola. Gak peduli penumpangnya orang asing, supir-supir taksi itu nyerocos terus, sehingga saya terpaksa angguk-angguk kepala. Bahkan saat berbelanja pun, tidak ada penjual atau pramuniaga yang mengerti apa yang kita tanyakan. Mereka juga tidak melengkapi diri dengan kalkulator seperti saya temukan di banyak ‘street market’ di kota Hong Kong sampai Singapura. Walhasil, proses transaksi jadi sangat susah dan sering menimbulkan kesalahpahaman, khususnya saat mau nego harga. Tanya kenapa? Saat hendak pulang dari Sao Paulo ke Rio, saya kembali bertemu dengan warga setempat lainnya yang kebetulan namanya juga Felipe. Tepatnya Felipe Hassin, 26 tahun. Mumpung bertemu dengan orang Brasil yang bisa berbahasa Inggris, saya langsung menghabiskan waktu sepanjang perjalanan enam jam Sao Paulo-Rio dengan ngobrol banyak hal ke Felipe. Termasuk menanyakan kenapa tidak banyak penduduk Brasil yang berbicara bahasa Inggris? “Mereka tidak bisa bicara bahasa Inggris karena tidak menganggap bahasa Inggris itu penting,” kata Felipe. Padahal, Brasil, khususnya kota Rio dan Sao Paulo, merupakan tempat kunjungan wisata yang banyak didatangi turis asing. Dia sendiri lancar berbahasa Inggris karena membutuhkannya untuk melanjutkan pendidikan di London. “Sekarang saya tinggal dan bekerja di London, tempat saya bertemu dengan dia,” katanya sambil menoleh ke arah pacarnya, Ida Wilkstrom. Tapi, lanjut Felipe, warga Brasil generasi sekarang pada umumnya sudah dibekali dengan bahasa Inggris di sekolah. Harusnya mereka sudah lebih menguasai bahasa percakapan lintas-bangsa itu dibandingkan generasi yang lebih tua. Saat saya tanya, apakah ada keengganan dari masyarakat untuk belajar bahasa Inggris, dia bilang faktor gengsi karena Inggris dan Portugis sama-sama bahasa Eropa mungkin ada. Tapi menurutnya, masyarakat Brasil tidak bisa berbahasa Inggris lebih karena tidak adanya rasa membutuhkan. Kalau sudah berada di negara seperti ini, bahasa Inggris benar-benar tidak berarti sama sekali. Ada benarnya kata orang, bahasa yang paling mendunia adalah bahasa tarzan, bukan bahasa Inggris.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iskandarjet/ke-brasil-jangan-cari-warga-yang-mengerti-bahasa-inggris_54f6b82aa333112c5e8b4640

1 komentar: