Selasa, 25 Oktober 2016

Merajut toleransi melalui tradisi Sufi

Merajut toleransi melalui tradisi Sufi.

PEMAHAMAN kita pada Islam 
umumnya lebih pada aspek fikih, sangat legalistic dan formalistic. 
Yang terjadi in-group feeling dan out-group feeling: 
ini kelompok saya, itu bukan kelompok saya.” 

Pernyataan ini disampaikan M. Dawam Rahardjo, 
saat diwawancarai Ulil Abshar-Abdalla perihal Ahmadiyah. 
Apa yang disampaikannya, bisa saja benar dan juga bisa saja tidak tepat. 
Secara umum, 
barangkali benar adanya kecenderungan nuansa legalistic dan formalistic 
yang meliputi doktrin fikih, karena fikih cenderung hitam-putih dan tertutup 
dalam merespon persoalan yang berkembang: 
salah-benar, sah-batal, halal-haram dan seterusnya. 

Bagi Harun Nasution, 
jika hanya fikih saja yang menjadi orientasi keberagamaan umat Islam, 
maka Islam akan diasumsikan sebagai agama yang sempit. 
(Teologi Islam; 1986, h. x).

Benarkah fikih oriented menyebabkan pemahaman yang hitam-putih dan cenderung eksklusif? 

Hal ini bisa saja terjadi, 
lantaran pengajaran fikih yang cenderung doktriner. 
Oleh guru-guru fikih, ia diajarkan sebagai “yang benar”. 
Yang diajarkan juga “itu itu saja”, tanpa menyuguhkan nuansa perbandingan. 
(Tentu saja tidak semua pesantren enggan mengajarkan perbandingan fikih. 
Namun yang tidak enggan itu jumlahnya juga terbatas). 
Misalnya, 
hanya fikih Shafi‘i yang terus-menerus didaur dan mendominasi pebincangan 
di ruang-ruang pengajian santri. 
Dengan mengenal satu sisi pemikiran fikih, 
maka – pinjam bahasa Harun Nasution – akan memberi gambaran yang “pincang” 
(Teologi Islam; 1986, h. xi), yang akan memunculkan pemahaman tertutup. 
Tak heran, karenanya, 
Martin van Bruinessen menyatakan,
 fikih menjadi mata ajar primadona di pesantren. 
Semua pesantren, 
tentu saja mengajarkan bahasa Arab (alat), 
dan sekurang-kurangnya dasar-dasar ilmu tauhid dan akhlak. 
Namun inti pendidikan pesantren 
sebenarnya terdiri dari karya-karya fikih. (Kitab Kuning: 1995, h. 112).

Jika mengacu pada rambu-rambu toleransi tokoh fikih klasik 
semisal Imam al-Shafi’i (w. 204 H), 
seharusnya hitam-putih cara pandang fikih 
tidak lantas memunculkan keberagamaan yang eksklusif. 
Seperti dikutib Ibrahim Hosen, beliau menyatakan, 
ra’yuna shawab yahtamil al-khatha’ wa ra’y ghairina khatha’ yahtamil al-shawab/
pendapat kami yang kami yakini benar, 
mengandung kemungkinan salah; dan 
pendapat pihak lain yang kami anggap salah, 
mengandung kemungkinan benar.
 (Apakah Judi Itu?; 1987, 8).
 Rambu-rambu ini akan membuka pintu penghargaan lebar-lebar 
pada setiap perbedaan, jika dipegangi dengan teguh. 
Dan ini yang tidak banyak dilakukan?

Menambah Dosis Tasawuf

Martin van Bruinessen menyatakan, 
jika kita meninjau sejarah Islam Indonesia, 
penekanan fikih tidak sekuat belakangan ini. 
Pada mulanya, 
Islam Indonesia sangat berorientasi pada tasawuf 
dan hanya secara bertahap berangsur 
menjadi lebih berorientasi kepada Shari‘ah. 

Perubahan orientasi ini, antara lain, 
sebagai akibat proses pembaruan dan 
“pemurnian yang sudah mulai pada abad ke-17 
dan masih terus berlangsung hingga kini” 
(maksudnya saat penelitian dilakukan sebelum 1995). 

Martin lantas menyebut Padri,
al-Isryad, Muhammadiyah dan Persis, 
sebagai gelombang pembaruan yang menonjol dalam proses ini. 
Ditambah munculnya Tarekat Naqshabandiyah pada akhir abad ke-19 
yang lebih berorientasi pada Shari‘ah daripada tarekat sebelumnya. 
Dalam amatan Martin, 
setiap gelombang pembaruan 
senantiasa membawa perhatian lebih besar terhadap fikih 
dan terhadap sistem pemikiran yang melatarbelakanginya, ushul fiqh. 
(Kitab Kuning: 1995, h. 112). 

Hal sama diakui Harun Nasution, 
yang menyatakan bahwa ajaran yang menonjol justru fikih, 
yang pada gilirannya memberikan gambaran yang “pincang” tentang Islam. 
Padahal selain aspek fikih, 
Islam memiliki aspek teologi, filsafat, mistik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. 
(Teologi Islam: 1986, h. xi).

Aspek lain, dalam hal ini tasawuf, 
barangkali perlu ditambah porsi dan dosisnya dalam pengajaran di pesantren. 
Kenapa tasawuf? 
Menurut Kautsar Azhari Noer, 
“isi lebih toleran ketimbang kulit”. 
Baginya, tasawuf adalah pengajaran isi atau inti agama 
yang tidak tersekat kaku oleh ruang hitam-putih atau halal-haram. 
Ajaran yang tanpa sekat inilah yang diyakini 
akan menjadi tali perajut bagi toleransi dan perdamaian dunia. 

Pada 2007, The WAHID Institute bahkan pernah melakukan penelitian 
yang berkesimpulan bahwa “tasawuf adalah tenda besar kedamaian”.
 (Ragam Ekspresi Islam Nusantara: 2008, h. 78-80).

Pertanyaannya, 
tasawuf seperti apa yang akan menghantarkan pada toleransi dan perdamaian sesungguhnya? 
Secara umum, 
ajaran dan tipe tasawuf apapun 
akan mengajarkan pada penghargaan pada makhluk Allah Swt, 
entah apa latar belakang agama, status sosial, suku dan sebagainya. 
Secara khusus, 
biasanya ajaran tasawuf dengan dosis tinggi 
(yang tidak lagi akhlaqi, melainkan falsafi) 
yang lebih menggiring pada toleransi dan perdamaian. 

Menurut Kautsar, 
tasawuf yang toleran kebanyakan bersentuhan 
(atau memiliki geneologi) dengan wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi. 

(Ragam Ekspresi Islam Nusantara: 2008, h. 8i).
 Asghar Ali Enginer menuturkan, 
sufi yang menganut paham wahdah al-wujud dapat bergaul leluasa 
dengan semua orang tanpa melihat latar belakangnya,
 karena konsep ini dinilai “universal”. 
(Islam dan Teologi Pembebasan: 2000, h. 296).

Dikisahkan Asghar, suatu kali Nizamuddin Awliya’, 
berjalan sepanjang sungai Jamuna dengan muridnya, Amir Khusrau. 
Dia melihat beberapa wanita Hindu sedang mandi dan menyembah matahari. 
Dia berujar; 
“Har qaum re dine wa qibla gahe”/bagi tiap-tiap umat, 
ada agama dan cara beribadahnya masing-masing. 
(Islam dan Teologi Pembebasan: 2000, h. 296).

 Ini contoh teladan toleransi dan penghargaan 
yang mengagumkan dari orang-orang yang berbeda, 
yang sebenarnya telah diajarkan oleh semua spiritualitas agama apapun. 

Dalam konteks Islam, 
adalah tasawuf yang paling layak dikedepankan 
sebagai wujud nyata toleransi dan perdamaian yang adiluhung. 
Bahkan dalam taraf tertentu, 
toleransi yang ditunjukkan kaum sufi terkadang sampai batas “toleransi gila”.

Untuk konteks ulama Indonesia, misalnya, 
penghargaan yang tinggi pada perbedaan 
diantaranya disampaikan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani.
 Ia menuliskan:
 janganlah kalian memandang seseorang 
dengan pandangan merendahkan dan menghinakan, 
meskipun ia seorang musyrik, 
kareka khawatir akan berdampak padamu. 

Bisa saja, ma’rifah-mu (pada Allah) terampas, 
padahal ia bisa memberikannya. (al-Futuhat al-Madaniyyah: T.Th., h. 21-22). 
Apalagi kepada non-muslim yang masih setia dan tidak menduakan Tuhan, 
kepada musyrik (orang yang menduakan Tuhan) saja, 
kaum muslim terlarang (la) menatapnya dengan pandangan menghinakan.

Pandangan terbuka Syeikh Nawawi al-Bantani itu dimungkinkan terjadi 
karena karya ini merupakan percikan pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi. 
Ia mengakui, 
intisari karyanya dikutip dua kitab: al-Niqayah karya al-Suyuthi dan al-Futuhat al-Makkiyyah 
karya Muhy al-Din bin ‘Arabi. (al-Futuhat al-Madaniyyah: T.Th., h. 2). 
Ini menunjukkan, 
secara geneologi pemikiran, 
Syeikh Nawawi cukup akrab dan tidak alergi dengan Ibn ‘Arabi dan karyanya, 
kendati beliau dinilai kontroversial oleh berbagai kalangan 
lantaran dianggap mengusung doktrin wahdah al-wujud. 

Ajaran-ajaran seperti inilah 
yang seharusnya mulai disemaikan pelan-pelan di pesantren, 
tentunya dengan menggunakan bahasa ulama-ulama pesantren sendiri 
seperti Syeikh Nawawi, sehingga tidak terjebak oleh label yang diusung.
Diakui, dalam tradisi pesantren, 
rujukan ajaran tasawuf mereka biasanya berkutat pada tasawuf sunni 
(istilah yang juga perlu diuji secara akademik), yakni al-Junayd dan Imam al-Ghazali
 – dikenal sebagai penggagas fikih-sufistik – 
dan cenderung menafikan tasawuf berdosis tinggi semisal Ibn ‘Arabi, Rumi, al-Jili, dll. 

Dalam beberapa kasus, 
Imam al-Ghazali sendiri melakukan pengafiran terhadap beberapa tokoh fisafat, 
karena pemikirannya dinilai melanggar batas keimanan. 

Dari 20 persoalan filsafat yang dikritik olehnya,
 tiga hal yang menyebabkan kekafiran; kekadiman alam, 
Tuhan tidak mengetahui yang partikular dan tiada kebangkitan jasmani di akhirat. 

Diantara yang mendapat predikat kafir adalah al-Farabi dan Ibn Sina. 
(Tahafut al-Falasifah: 1966, h. 86-87). 
Melihat situasi ini, 
mengapa tidak pesantren mulai beranjak 
dari tasawuf al-Ghazali menuju tasawuf lain 
yang selama ini dinilai bid‘ah dan marjinal 
(tanpa harus meninggalkan hal-hal positif tasawuf al-Ghazali tentunya)? 

Yang penting dirumuskan adalah formulasi transformasinya, 
sehingga ajaran-ajaran berdosis tinggi itu bisa renyah/ringan disampaikan 
dan tidak menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat umumnya.

Meningkatkan Intentitas Perjumpaan.

Secara dasariah,
cara pandang fikih dan tasawuf memang berbeda. 
Yang bertama bersifat eksoterik lebih cenderung hitam-putih dan 
yang kedua bersifat esoterik lebih cenderung warna-warni. 

Dalam memaknai terma “kafir” saja misalnya, keduanya berbeda. 

Dalam kaca mata fikih, 
kafir adalah siapapun yang berada di luar garis Islam atau muslim 
yang mengingkari doktrin Islam yang ma ‘ulim min al-din bi al-dharurah 
(hal-hal yang diketahui secara pasti). 
Sedangkan kafir dalam kaca mata tasawuf adalah 
orang yang hatinya jauh dari dan karenanya tidak mengenal Alla>h Swt; 
pun tidak memahami sifat-sifat-Nya. 

Kondisi ini bisa saja menimpa golongan yang non-muslim 
dan bahkan golongan muslim sekalipun. 
Kafir juga bisa dimaknai lain oleh orang yang punya latar belakang berbeda. 

Bagi Asghar Ali misalnya, 
membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran. 
Karenanya, 
perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral dari keyakinan Islam. 
(Islam dan Teologi Pembebasan: 2000, h. 99-100). 
Asghar Ali meyakini, 
orang yang berupaya menancapkan dominasinya 
dan menindas golongan masyarakat lemah adalah kafir, 
apapun aliran agamanya. 

Permulaan kekafiran menjadi awal dari dominasi bumi oleh si kuat terhadap si lemah, 
sehingga yang kuat akan mengubah bumi ini menjadi neraka. 
(Islam dan Teologi Pembebasan: 2000, h. 163).

Uraian di atas menunjukkan, 
nyatanya banyak pemaknaan yang bisa kita pahami tentang kafir, 
baik yang sempit maupun yang luas. 
Namun dalam kenyataannya,
 tetap saja kita seringkali “deg-deg”an 
– bisa jadi karena keimanan kita yang rapuh – 
jika bertemu dengan siapapun yang berbeda keyakinan dengan kita 
– dan dengan “orang kafir” dari kalangan sendiri kita ketakutan. 

Untuk itu, 
selain penanaman ajaran tasawuf berdosis tinggi itu, 
intensitas perjumpaan dengan mereka yang berbeda 
juga harus terus ditingkatkan. 
Banyak perubahan pola pikir dan tingkah laku terjadi 
semata karena faktor perjumpaan.

Muh}ammad ‘Ali al-Shabuni menyatakan, 
seorang muslim dibenarkan berinteraksi dengan orang-orang musyrik, 
karena Rasulullah Saw sendiri pernah minum dengan bejana orang-orang musyrik 
dan bersalaman dengan mereka. (Rawai’ al-Bayan: 1980, I/582). 
Jika dengan yang musyrik saja beliau bisa bergaul dengan indahnya, 
tentu saja lebih indah lagi pergaulan beliau dengan golongan yang beragama, 
apapun agamanya. 
Dengan tetangga-tetangganya yang non-muslim, 
beliau juga terbiasa bergaul secara damai. 
Beliau peduli pada mereka termasuk dalam hal pemberian makanan. 

Dikisahkan, 
ketika ‘Aisyah memasak gulai kambing, 
ia tidak memberikan bagiannya pada tetangganya karena alasan Yahudi. 
 Saw lantas menegurnya. Kendati Yahudi, kata Rasul, 
ia memiliki hak sebagai tetangga dan hak itu harus dipenuhi. 
(Rasulullah dan Tetangga Non-
www.daraltauhid.com, Selasa, 29 April 2008).

Perjumpaan-perjumpaan seperti inilah yang penting ditingkatkan, 
termasuk oleh kalangan pesantren, 
untuk mengikis praduga-praduga negatif 
yang berpotensi terjadi karena perbedaan. 

Dengan modal ajaran Islam yang uviversal (rahmah li al-‘alamin), 
umat Islam umumnya dan para santri khususnya, 
sesungguhnya punya potensi besar untuk membangun 
– yang oleh Said Aqil Siroj disebut
 – ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan lintas iman). 
(Tasawuf sebagai Kritik Sosial: 2006, 63). 
Inilah cikal perdamaian dunia. 
Karena itu, “
Jangan gunakan fikih untuk memandang orang lain yang berbeda.” Wa Allah a’lam.[]

*)Makalah disampaikan pada Halqah Nasional Kiai dan Tokoh Muda 
di Pesantren bertema Penguatan Kurikulum 
dan Perangkat Pengajaran Pesantren Berbasis Islam Damai, 
diselenggarakan the WAHID Institute bekerja sama dengan Search for Common Ground, 
Kamis-Ahad, 12-15 Desember 2013, di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta.
**)Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar