Senin, 28 Desember 2015

Ayat-Ayat Dzikir

Ayat-Ayat Dzikir
Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby
“Maka dzikirlah kepadaKu, maka Aku Dzikir kepadamu.”

Maknanya, 
dzikirlah kepadaKu 
dengan menjawab patuh, dengan taat, dengan kehendak, 
maka 
Aku ingat kepadamu dengan limpahan anugerah, 
limpahan melalui penempuhan jalan kepadaKu 
dan limpahan Nurul Yaqin.

“Yaitu orang yang berdzikir kepada Allah 
dengan berdiri dan duduk dan tidur dan 
bertafakur dalam penciptaan langit dan bumi. 
Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan semua ini batil. 
Maha Suci Engkau, maka lindungi kami dari siksa neraka.”

“Yaitu orang yang berdzikir kepada Allah” 
dalam segala kondisi, dengan berbagai situasi.

“Dengan berdiri” di dalam maqom Ruh dan Musyahadah.
“Dan duduk “ dalam posisi qalbu melalui Mukasyafah.
“Dan tidur” yakni ketika pada posisi pergolakan mereka di posisi nafsu, 
                           melalui Mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu.”
“Dan bertafakur” dengan lubuk jiwa yang dalam yang murni 
                           dan bersih dari kotoran imajinasi.
“Dalam penciptaan langit dan bumi.” 
                          Yakni dalam penciptaan alam Ruh dan alam fisik, lantas bermunajat, 
                          ketika bermusyahadah:

“Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan semua ini batil.” 
Maksudnya batil aadalah sesuatu selain DiriMu, 
karena selain DiriMu adalah batil, 
bahkan Engkau jadikan semua itu sebagai ekspressi dari Asma’ dan SifatMu.

“Maha Suci Engkau, “ 
Sungguh Maha Suci Engkau, jika ditemukan Selain DiriMu, 
bahwa segala sesuatu mana pun pastilah Engkau Menyertainya.
“Maka lindungi kami dari siksa neraka.” 
Dari neraka hijab atas semesta ini dari Af’al-af’alMu, dan 
hijab Af’al dari SifatMu, 
dari Hijab Sifat dari DzatMu, 
dengan perlindungan paripurna yang mencukupi.


“Hai orang-orang yang beriman,
 berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya, 
dan bersabihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang.”

“Hai orang-orang yang beriman, 
berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya,“ 
dengan Lisan di Maqom Nafu, 
dengan Hadir di Maqom Qalbu, 
dengan Munajat di Maqom Sirr, dan 
dengan Musyahadah di Maqom Ruh, 
serta Wushul di Maqom KHafa’, dan 
Fana’ di Maqom Dzat.

“Dan bersabihlah kepadaNya” melalui upaya memasuki Tajrid dari Af’al, Sifat dan Dzat.

“Di waktu pagi “ ketika waktu terbitnya fajar cahaya qalbu.
“Dan petang.” Ketika datangnya kegelapan nafsu, dan 
malam sirnanya matahari Ruh melalui fana’ dalam Dzat. 
Yakni dari waktu fajar cahaya hati hingga fana’ dalam keabadianNya selamanya.

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram 
dengan berdzikir kepada Allah. 
Ingatlah dengan mengingat Allah qalbu jadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)

“Yaitu orang-orang yang beriman” yakni mereka yang hatinya kembali mengenalNya.

“Dan hati mereka tenteram dengan berdzikir kepada Allah. 
Ingatlah dengan mengingat Allah qalbu jadi tenteram.”.”

Dengan dzikir nafsu melalui Lisan, dan 
Tafakkur dalam nikmat-nikmatNya, atau 
Dzikir Qalbu melalui renungan di alam Malakut, 
memandang Sifat-sifat Maha Indah dan Maha AgungNya .

Dalam kualifikasi dzikir ada:
• Dzikir Nafsu dengan Lisan dan merenungkan nikmatNya.
• Dzikir Qalbu dengan melihat Sifat-sifatNya.
• Dzikir Sirr dengan Munajat.
• Dzikir Ruh dengan Musyahadah.
• Dzikir Sunyi Jiwa (Khafa’) dengan rindu asyik ma’syuk.
• Dzikrullah dengan fana’ di dalamNya.

Nafsu senantiasa mengalami nuansa sempit 
manakala muncul karakternya dan ucapannya, hingga mempengaruhi hati. 
Bila berdzikir kepada Allah, nafsu jadi tenang dan sirnalah keraguan (waswas) sebagaimana sabda Nabi saw: 
“Sesungguhnya syetan meletakkan belalainya pada qalbu manusia, 
dan manakala manusia berdzikir, maka ia menyingkir, hingga qalbu jadi tenang.”

Begitu juga Dzikir qalbu di alam Malakut dan memandang alam Jabarut. 
Semua dzikir tidak terjadi kecuali setelah terbangunnya rasa tenteram. 
Sedangkan amal; saleh di sana sebagai “pembersihan” dan “periasan jiwa”.
“Niscaya Dzikir Allah itu lebih besar” (Al-Ankabut)
[pagebreak]

Yaitu Dzikr Dzat dalam Maqom Fana’ Murni dan 
Rahmat Allah swt di Maqom Tamkin 
(kemandirian ruhani bersamaNya) di Maqom Baqo’ 
adalah lebih besar dari seluruh dzikir yang ada.

“Dan apabila sholat sudah ditunaikan maka menebarlah di bumi dan
 raihlah anugerah Allah, dan 
berdzikirlah sebanyak-banyaknya agar kalian meraih kebahagian.” 
(Al-Jum’ah: 10)

“Dan apabila sholat sudah ditunaikan maka menebarlah di bumi “ 
suatu perintah untuk bertebar dalam urai di bumi 
dan meraih anugerah Allah usai sholat. 
Semua itu sebagai isyarat untuk kembali 
pada penguraian setelah hamba fana’ dalam maqom Al-Jam’u 
(maqom berpadu dengan Allah) dalam sholat hakikat.

Sebab berhenti saja di maqom al-Jam’u 
merupakan Hijab Allah dari makhluk, 
hijab Dzat dari Sifat.

Maka “berurai” adalah wujud berbalik dalam Sifat pada saat kondisi Al-Baqo’ 
setelah Fana’ dengan Wujud Hakiki 
dan berjalan bersama Allah dalam kemakhlukan, 
serta meraih fadhal Allah, yakni 
meraih bagian-bagian Tajallinya Asma’ dan Sifat, 
dan kembali ke Maqom bumi nafsu, 
dan menyelaraskan Nafsu manusia dengan Allah swt.

“Dan berdzikirlah sebanyak-banyaknya.” 
Yakni hadirkanlah Kesatuan Tunggal Esensial 
dalam nuansa “Banyak”nya Sifat-sifat. 
Bahwa 
ia tidak terhijab oleh “keragaman banyak” dari KemahatunggalanNya, 
jauh dari sesat setelah meraih hidayah, 
dan senantiasa terus menerus disiplin dalam Istiqomah 
di dalam penyelarasan dan 
[pemenuhan Hak-hak Allah dan Hak Makluk secara bersamaan; 
menjaga “Padu” dan “Urai” secara bersamaan pula.

“Agar kalian meraih kebahagian” dengan kemenangan agung, yaitu 
hikmah posisi “perpaduan”.

“Dan siapakah yang lebih dzolim 
dibanding orang yang menghalang-halangi mengingat Nama Allah 
di masjid-masjid Allah, dan berusaha merobohkannya?” (Al-Baqoroh: 114)

Siapakah yang lebih dzolim dan lebih hancur 
dibanding orang yang merusak kebenaran Allah swt, 
yang menghalangi masjid-masjidNya yaitu tempat sujud kepada Allah, 
yang tak lain adalah qalbu-qalbu beriman, 
yang di dalamnya mengenal Allah swt. 
Hingga qalbu sujud dengan kefanaan Dzat.

Sebab 
dalam qalbu itu disebut NamaNya dalam dzikirnya berupa Ismul A’dzom 
(Nama Agung), karena Ismul A’dzom itu tidak akan tampak kecuali dalam qalbu, 
yaitu Tajallinya Dzat dalam semua Sifat, atau AsmaNya yang khusus 
yang masing-masing ada secara Paripurna berselaras 
dengan kesiapan dalam qalbu hambaNya.

Lantas yang paling dzolim 
juga berupaya merobohkan masjid-masjid qalbu yang berdzikir itu 
dengan cara mengotorinya, 
mengalahkannya mencampurinya dengan berbagai imajinasi, 
dengan campuran fitnah yang merusak di dalamnya, 
yang menyeret nafsu dan syetan, keraguan dan gangguannya.

Di dunia mereka ini hina dina, 
karena batilnya agama dan akidahnya, 
disamping upayanya merusak kebenaran agama Allah swt, 
sedangkan di akhirat mereka meraih siksa besar, 
yaitu terhijab dari Allah swt, karena keyakinannya.

“Di rumah-rumah, 
Allah mengizinkan NamaNya diluhurkan dan disebut. 
Di dalamnya ia bertabih bagiNya pagi dan petang.”

“Lelaki-lelaki yang tidak dilalaikan 
oleh perdagangan dan jual beli, dari dzikir kepada Allah…” 
(An-Nuur 36)

“Di rumah-rumah,” qalbu beriman, 
Allah memberi hidayah kepada yang dikehendaki dalam berbagai tahapan,.

“ Allah mengizinkan NamaNya diluhurkan” ditinggikan bangunan-bangunannya , 
diluhurkan derajat-derajatnya.

“Dan disebut,” dalam dzikir, Asma dengan lisannya, 
mujahadah dan berakhlaq dengan berbagai akhlaq di maqom nafsu; 
dan hadirnya hati, muroqobah, berkarakter dengan sifat luhur di maqom qalbu..
Disamping munajat, dialog dan perwujudan hakikat di maqom Sirr (Rahasia Qalbu), serta Musyahadah di dalam cahaya di Maqom Ruh, 
tenggelam, terliput, dan fana’ di Maqom Dzat.

“ Di dalamnya ia bertabih bagiNya pagi dan petang.” 
Melalui Tanzih, Tauhid, Tajrid dan Tafrid, baik di pagi Tajalli dan petangnya tirai.

“Lelaki-lelaki” yaitu mereka yang tergolong sebagai individu yang bergegas cepat 
menuju Allah, menepiskan segala hal selain Allah, 
menyendiri bersama Allah, dan bangkit bersama Allah swt.

“Yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli, “ 
dengan tidak menukar zuhudnya dengan dunia hina, 
juga tidak menjual dirinya dengan hartanya, “dari dzikir kepada Allah…” 

(Tulisan ini, merupakan bagian dari Penafsirasn Syeikh Muhyiddin Ibnu ‘Araby seputar ayat-ayat tentang Dzikrullah, dan masih banyak ayat tentang dzikir yang belum kami kutip. Editor sekadar mengutip dari Tafsir Sufi beliau”Tafsirul Qur’anil ‘Adzim,” Darul Fikr, Beirut.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar