Senin, 21 Desember 2015

MAKNA SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Menurut Imam al-Ghazali 
sabar adalah keteguhan yang dapat mendorong hidup beragama 
dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.

Sabar merupakan kecenderungan hati pada unsur kemalaikatan dalam diri 
dan mampu melawan dorongan-dorongan nafsu kebinatangan dan nafsu birahi.
Seperti malaikat yang tidak dikuasai oleh hawa nafsu. 
Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri 
keindahan hadirat ketuhanan dan 
dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya. 

Mereka bertasbih menyucikan Allah SWT sepanjang siang dan malam tiada henti.

Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. 
Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, 
bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan 
yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. 

Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, 
berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. 
Yang kedua, dari pasukan setan yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, 
setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. 
Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.

Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. 
Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, 
hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mcncapai tingkatan sabar. 

Sabar itu tidak akan pernah terwujud, 
kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. 
Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit 
yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, 
namun dicegah oleh dorongan¬-dorongan hawa nafsu. 

Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, 
tidak akan menelan obat pahit tersebut, 
sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, 
ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh.

Ditinjau dari kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:

1) Tingkatan tertinggi 
adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu 
hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. 
Hal ini dicapai dengan kesabaran yang continue dan mujâhadah yang terus¬-menerus.

2) Tingakatan pertengahan 
adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan peperangan. 
Dalam peperangan itu, kemenangan silih berganti. 
Adakalanya dia menang, tetapi pada saat yang lain dia kalah. 
Indikasinya dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, 
namun tidak dapat mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. 
Mungkin pada suatu waktu ia mampu mengalahkan dan 
menang namun pada waktu yang lain ia tiada berdaya dan akhirnya kalah.

3) Tingkatan terendah 
adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. 
Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini. 
Sehingga ia menjadi tawanannya hawa nafsu.

Sebagai manusia, 
kita memerlukan sifat dan sikap sabar dalam segala hal. 
Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, 
tidak lepas dari dua bentuk. 

Pertama, 
la sepakat dengan hawa nafsunya. 

Kedua,
bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya. 

Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, 
seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. 

Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. 
Bila seseorang tidak mampu menahan hawa nafsunya, 
la akan bersikap congkak, bersenang-senang dan selalu rnengikuti hawa nafsu. 
Sehingga la merupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. 

Karena itu, para shahabat berkata,
 "Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. 
Kami juga, diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar."

Menurut Imam al-Ghazalî bersabar terhadap kemewahan, 
artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa 
itu merupakan titipan baginya. 

Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan 
kepada-Nya. 
Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, 
dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat.

Sedangkan sabar, 
yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini 
terbagi menjadi empat macam:

1) Sabar dalam taat.
Nafsu sering bertentangan dengan ketaatan, 
seperti rasa malas dalam shalat, sifat kikir dalam zakat, dan rasa malas serta kikir 
secara bersamaan, dalam haji dan jihad. 
Bersabar dalam taat, 
merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit. 

Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal: 
pertama, 
mengawali ibadah dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran¬-kotoran riya', tipu daya setan dan tipu daya nafsu. 

Kedua, 
ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadah, diperlukan kesabaran. 
Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dan 

ketiga, 
setelah melaksanakan ibadah, la hendaknya bersabar 
untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, 
baik itu dengan. niatan riya' ataupun agar didengar orang lain (sum'ah). 
Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

2) Sabar terhadap maksiat.
Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, 
apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. 
Sebab, 
pasukan yang muncul untuk menghadapi 
dorongan-dorongan keagamaan di sini 
terdiri dari dua lapisan, yaitu 
pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan. 

Jika keduanya dianggap sepele, 
maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut 
hanyalah orang yang berlaku benar. 
Maksiat lisan misalnya, 
mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. 
Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

3) Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, 
namun dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. 
Bersabar terhadap hal tersebut, 
dilakukan dengan tanpa membalas sikap tersebut kadang-kadang wajib 
dan terkadang juga sunnah. 

Sebagian sahabat berkata, 
"Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, 
bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain." 

Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang yang dicintai, musnahnya harta benda, sakit, dan berbagai petaka lainnya. 
Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang paling tinggi.

Dapat pula dikatakan bahwa sabar 
adalah menahan diri atas tiga perkara: 

pertama sabar dalam mentaati Allah SWT; 
kedua, sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah; 
Ketiga, sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

Pertama, 
manusia diperintahkan untuk bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, 
karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa 
dan sukar dilakukan bagi badan manusia. 

Kadang-kadang ketaatan itu amat berat ditanggung oleh badan 
sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan 
ketika melaksanakannya. 
Dalam kesabdaran ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta benda atau modal, pikiran dan perasaan, seperti ketika melaksanakan zakat dan haji.

Allah SWT berfirman, 
“Hai orang-orang yang beriman, 
bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga 
(di perbatasan negeri kalian) dan 
bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” 
(QS Ali ‘Imraan:200)

Allah juga berfirman untuk menguatkan hati seorang Mukmin untuk bersabar 
dalam menjalankan perintah-Nya. 

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan 
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” 
(QS Thahaa:132). 

Allah juga berfirman, 
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu 
(hai Muhammad) 
dengan berangsur-angsur. 
Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” 
(Al-Insaan:23-24)

Kedua, bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan 
sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya,
 karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru 
kepada kejelekan, 
maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, 
seperti mengindari diri dari berdusta, menipu dalam bermuamalah, 
memakan harta dengan cara yang bathil, dengan riba dan yang lainnya. 

Kita juga diperintahkan untuk bersabar dan menghindari diri dari berbuat zina, 
minum khamr, mencuri dan perbuatan maksiat lainnya.

Ketiga, 
sabar terhadap taqdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia).
Karena sesungguhnya taqdir Allah ‘Azza wa Jalla terhadap manusia itu 
ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan bagi manusia.

Taqdir yang bersifat menyenangkan; 
maka kita memerlukan rasa syukur untuk menghadapinya, 
sebab syukur merupakan ketaatan. Allah SWT berfirman, 
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” 
(QS Al-Insaan: 24)

Allah SWT berfirman, 
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, 
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, 
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan 
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
 orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan 
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, 
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan 
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan 
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. 
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan 
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
(QS Al-Baqarah [2]: 177)

--Disarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali
--------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar