KEPASRAHAN DAN KETUNDUKAN
UNTUK MELAKUKAN KEHENDAK ALLAH.
Langkah pertama di jalan menuju Taman Kebenaran
terdiri dari keterlepasan dari dunia
dan penyerahan diri kepada Allah ,
yang berarti mengikatkan diri kepada-Nya.
Yang kita maksud dengan dunia di sini
bukan berarti dan tanda-tanda Allah yang mengelilingi kita
bahkan di tempat kita berdiam di atas bumi ini,
tetapi dunia sebagai selubung
yang menutupi kebenaran dan menceraiberaikan jiwa kita.
Akar jiwa kemanusiaan kita tertanam dalam-dalam di tanah dunia.
Tindakan pertama yang harus diambil adalah mencabut akar-akar ini
dari apa yang bersifat sementara dan fana
lalu menenggelamkannya ke dalam Realitas Ilahi.
Pada awalnya , Realitas Ilahi ini tampak tak nyata
karena jiwa kita terekternalisasi dan terserak-serak,
bergantung hanya pada indra lahiriah untuk kesadarannya
tentang apa yang nyata dan apa yang dibuat-buat.
Terjaga dari tidur yang melenakan ini,
yang merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengikuti jalan itu,
membawakan penyadaran bahwa dunia yang biasanya kita ambil
sebagai satu-satunya kenyataan ini tak lain adalah mimpi.
Nabi pernah berkata
"Manusia itu tertidur dan ketika meninggal dia terjaga".
Disiplin ruhani dalam Tasawuf
bermula dengan apa yang disebut "mati sebelum mati"
dan diikuti oleh keterjagaan.
Melalui ritus inisiasi ke dalam sebuah tarekat Sufi ,
sang murid diharapkan mematikan dirinya yang lama ,
untuk dilahirkan kembali.
Tranformasi inilah yang disebut mati sebelum mati ,
dan itu juga ditemukan dalam dimensi esoterik dari tradisi lainnya,
termasuk agama-agama misteri Yunani.
Pencerabutan jiwa dari dunia ini memerlukan tindak kepasrahan
dan hidup dalam cara tertentu agar menjadi murni.
Itu berarti secara batiniah mengenakan dari sekarang kain putih
yang membungkus seorang Muslim ketika mereka dikuburkan.
Kebaikan yang berhubungan dengan kepasrahan ini ,
dikombinasikan dengan kemurnian
sering dikaitkan dalam Tasawuf dengan taqwa,
atau rasa takut penuh penghormatan kepada Allah
yang dikombinasikan dengan
kemurnian tindakan dan keterjagaan pikiran.
Taqwa ,
ini adalah salah satu istilah yang paling sering digunakan
dalam al-Qur'an dan sulit diterjemahkan
ke dalam satu istilah dalam bahasa Inggris.
Untuk mengikuti jalan Tasawuf orang harus memiliki taqwa,
dan para penghuni Taman semuanya memiliki kebajikan ini
selain kesempurnaan yang telah mereka dapatkan
melalui cinta dan pengetahuan tentang Allah.
Berbicara secara spiritual,
tidak ada yang lebih berbahaya bagi jiwa ,
selain dari tenggelam di samudera Cinta Ilahi
dan menjadi tercerahkan oleh Cahaya Ilahi tanpa taqwa.
Menjalani taqwa pertama-tama sulit justru karena ia memerlukan
keterlepasan dari dunia dan kendali hawa nafsu kita,
yang tak ubahnya seekor naga di dalam diri.
Taqwa seperti tombak St Michael , yang mampu membunuh naga
sebelum naga itu membakar kita dengan apinya - api neraka.
Sejarah Tasawuf ,
terutama masa-masa awalnya, menjadi saksi
bagi banyak orang Suci yang mencapai makrifat tertinggi
namun tetap menekankan perlunya taqwa
dan ketakutan penuh hormat akan Allah .
Keterlepasan dari dunia harus disertai oleh cinta kepada Allah
melalui penyerahan diri kepada-Nya.
Dapat dikatakan bahwa semua makhluk tunduk (taslim) kepada Allah
melalui cara mengada di dalam batas-batas tabiat mereka
seperti yang telah ditentukan oleh Allah.
Tetapi kita berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya
karena memiliki kehendak bebas .
Oleh karena itu ,
kita bebas apakah kita akan menundukkan kehendak kita kepada Allah
atau memberontak melawan Kehendak Langit .
Allah telah memberikan kebebasan berkehendak ini
persis karena dalam kemanusiaan
Dia menciptakan makhluk yang layak
untuk menjadi teman bicara-Nya ,
yang mencerminkan semua Nama dan Sifat Allah,
makhluk yang Dia cintai dan
yang dapat serta harus mencintai Allah.
Seperti disebutkan sebelumnya ,
pada tataran manusia
cinta tidak dapat didasarkan pada paksaan
jika ingin menjadi cinta sejati.
Sang Pencinta menghargai cinta dan kebebasan justru karena cinta ini
adalah cinta yang diberikan dalam kebebasan
dan didasarkan pada kehendak bebas.
Singkatnya,
dengan mendasarkan diri kita
pada kesadaran kita dan pengalaman langsung ,
kita mendapatkan kepastian tentang memiliki kehendak bebas.
Akan tetapi, harus diingat bahwa
kita memiliki kehendak bebas yang relatif ,
dan bahwa kita tidak dapat memiliki kebebasan mutlak
hanya dengan mentransendensi modus eksistensi relatif
dan menjadi terbenam di lautan Ilahi dan Realitas mutlak
yang tiada terbatas.
Untuk mendapatkan kebebasan mutlak itu,
kita harus melatih kebebasan-relatif kita
untuk melepas kebebasan ini dan memasrahkan kehendak kita
kepada Allah, sehingga menjadi melekat kepada-Nya.
Tindakan ini, yang melengkapi keterlepasan dari dunia harus dimulai
dengan penyerahan diri , islam, yang dalam bahasa Arab berarti
menyerah dan juga mendapatkan damai.
Penyerahan diri ini juga harus digambarkan
dengan keyakinan pada Allah (tawakkul).
Dalam kehidupan manusia kita sering menundukkan kehendak kita
kepada kehendak seseorang yang kita cintai,
namun bahkan jenis penyerahan seperti ini terkadang menjadi sulit.
Betapa jauh lebih sulit lagi untuk menyerahkan kehendak kita
kepada Allah, yang sebagian besar dari kita
masih belum pernah mengalaminya.
Namun demikian,
karena Allah berada di tengah -tengah kita,
dengan iman kepada-Nya
orang-orang yang berada di tengah-tengah kita,
dengan iman kepada -Nya
orang-orang yang bercita-cita untuk mencapai-Nya
menundukkan kehendak mereka kepada-Nya
seperti yang kita lihat dalam kasus Bayazid Bathami
yang dibahas di atas.
Sufi besar ini tidak menghendaki ini atau itu
melainkan satu-satunya kehendaknya adalah tidak berkehendak
sehingga dia tidak akan menginginkan apa pun yang terlepas
dari apa yang Allah kehendaki baginya.
Dia juga mengatakan bahwa raja dunia ini adalah
orang yang tidak bisa memilih
karena Allah telah memilihkan untuk kita.
Do'a Bapa ,
yang diucapkan oleh Kristus sendiri, mengatakan
"Jadilah Kehendak-Mu di bumi."
Bagi kaum Muslim pelaksanaan Kehendak Allah di bumi
dimulai dengan menjalankan syari'ah atau hukum Tuhan,
yang dianggap Islam sebagai perwujudan konkret dari
Kehendak Ilahi bagi pengikutnya.
Akan tetapi, kita tidak hanya bebas
mengikuti atau tidak mengikuti perintah syari'ah
ajaran syari'ah pun masih banyak meninggalkan wilayah dan arena
kehidupan kita kepada pertimbangan dan kehendak bebas kita sendiri,
Itulah mengapa tidak mudah untuk menjadi yakin
bahwa yang kita lakukan adalah
Kehendak Allah dalam begitu banyak kegiatan kita.
Sepanjang sejarah , ada tokoh-tokoh dalam Islam, Kekristenan dan
agama-agama lain yang menimbulkan kerusakan pada masyarakat
dan melakukan jenis ketidak adilan yang terburuk dan perbuatan bengis
dengan mengklaim melakukan Kehendak Allah di dunia ini,
karena mendapatkan takwa itu sendiri
merupakan tindakan pertama yang Allah ingin kita lakukan.
Meyerahkan kehendak diri kepada-Nya
mensyaratkan dimilikinya kehendak bebas untuk menyerah.
Tetapi bagaimana kita bisa menundukkan kehendak bebas kita
kepada Allah , jika kehendak kita masih menjadi budak bagi nafsu kita
dan tunduk pada dunia ?
Tidak mungkin akan ada taslim dan tawakkul yang sesungguhnya
tanpa taqwa.
Penyerahan diri total kehendak diri kepada Allah
merupakan stasiun spiritual yang tinggi melampaui ranah aksi
karena ia melibatkan keterikatan seluruh diri kita kepada-Nya.
dan pengurbanan nafsu ego kita di hadapan mezbah yang Esa.
Itu memerlukan bentuk jihad yang paling sulit di dalam jiwa kita.
Ayat Al-Qur'an yang dikutip pada awal bab ini berbicara kepada Nabi
tentang hal ini ;
"Bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar ,
tetapi Allah-lah yang melempar " (Q.S Al-Anfal (8) ;17).
Kedudukan Spiritual
"Bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar" (wa ma ramayta idz ramayta)
dianggap oleh kaum Sufi sebagai kedudukan spiritual yang sangat mulia.
Bagi laki-laki dan perempuan beriman yang biasa ,
hanya ada satu tindakan yang dapat diyakininya
sebagai tindakan yang dilakukan karena Kehendak Allah,
dan itu adalah mati.
Laki-laki dan perempuan yang saleh
juga mencoba untuk melakukan Kehendak-Nya
di dalam hidup mereka dengan melakukan tindakan yang benar ,
seperti amal yang saleh , menurut ajaran agama mereka.
Mereka yang bercita-cita mencapai Taman itu
juga melakukan amal perbuatan yang baik, namun selain itu,
mereka berusaha mencapai kelekatan dengan Allah
sehingga segala yang mereka lakukan
mencerminkan Realitas Ilahi di dalam dan di luar mereka,
bukan lantaran dorongan dan khayalan jiwa mereka yang bernafsu.
Singkatnya,
keterlepasan dan keterikatan pada tataran tindakan
melibatkan berbagai fakultas jiwa dalam cara tak terhingga
dan mempersiapkan jiwa untuk cinta dan pengetahuan tentang Allah.
Itulah sebabnya disebutkan pada awal bab ini bahwa
jalan menuju taman itu dibentuk (ma'rifah) dengan tindakan yang benar.
Siklus takut (makhafah) , cinta (mahabbah), dan pengetahuan (ma'rifah)
tentang Allah,dalam Tasawuf , harus dialami oleh semua jiwa
yang berjalan yang berjalan menuju tujuan kesempurnaan.
Sejarah Tasawuf sendiri juga dicirikan
oleh ketiga dimensi spiritualitas ini secara berurutan ,
dari kezuhudan para Sufi Mesopotamia awal
hingga berkembangnya cinta terutama di Mazhab Khurasan dan
ajaran makrifat dari tokoh-tokoh seperti Junayd dan Mazhab Baghdad
serta khususnya yang berkaitan dengan Mazhab Ibn 'Arabi.
Tetapi dalam sejarah Tasawuf ,
perkembangan yang belakangan memuat perkembangan sebelumnya,
dan perkembangan dalam Tasawuf ini secara keseluruhan
tidak boleh dianggap sebagai kemajuan dalam pengertian lazim
atas istilah itu sehingga orang menempatkan satu tokoh suci Sufi
di atas yang sebelumnya.
Adapun jiwa ,
tahap-tahap ini menandai perjalanannya menuju tujuan akhirnya,
dan jiwa senantiasa mengandung di dalam dirinya efek-efek spiritual
dari tahap perjalanannya sebelumnya.
#SHN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar