Senin, 14 Desember 2015

MEREGUK SARI TASAWUF.

BUAH DARI 
TINDAKAN DAN KETERLEPASAN.
KETULUSAN DALAM PERBUATAN DAN KEKESATRIAAN.

Semua tindakan berbuah satu jenis tindakan atau lainnya,
entah kita sadar akan buah itu atau tidak.
Bagi setiap aksi ada reaksi, 
dan prinsip ini bukan hanya hukum fisika klasik semata,
melainkan juga berlaku secara moral dan kosmik .
Inilah yang oleh tradisi yang berasal dari India disebut hukum karma.

Perbuatan baik kita melahirkan buah positif meskipun tidak langsung,
dan perbuatan buruk kita memiliki konsekuensi negatif 
yang merupakan diri kita sendiri, cepat atau lambat.
Moralis besar penyair Persia yang hidup pada abad ketiga , 
yang menjadi judul dalam satu puisi paling terkenal 
dari Ralph Waldo Emerson , yaitu Sa'di, berkata :

"Lakukan lah perbuatan baik 
  lalu hanyutkan lah ke sungai Tigris,
  Karena Allah akan memberi balasan kepadamu
  di padang gurun".

Akan tetapi, 
manusia spiritual yang mengincar Taman itu,
melakukan perbuatan baik bukan untuk mencari balasannya,
melainkan karena kebaikan itu sendiri, 
lalu menyerahkan yang selebihnya ke Taman Allah.

Untuk dapat memiliki sikap ruhani yang benar 
terhadap amal perbuatan, 
orang harus melepaskan diri dari buah perbuatannya.
Sikap keterlepasan ini merupakan kebaikan utama yang diperlukan
sebelum  seseorang melangkah maju  di jalan itu.

Dia harus berbuat demi Kebenaran 
dan dalam keterlepasan total dari harapan akan buah dari amalannya.

Hal ini tentunya jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Ada cerita terkenal di Mastnawi dari Rumi 
yang melambangkan sikap ruhani yang benar 
terhadap tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan objektif.

Dimulai dengan syair ;

"Belajarlah dari 'Ali tentang ketulusan beramal,
  Ketahuilah bahwa Singa Allah itu tak terkotori noda".

Dalam sebuah pertempuran 'Ali berhadapan dengan musuh yang kuat
dan setelah berjuang sengit mampu menjatuhkan musuhnya ke tanah,
lalu duduk di dadanya dengan pedang terhunus.
Pada saat itu pejuang musuh itu meludah ke wajah 'Ali .
Menanggapi  ini, 'Ali segera menjauh dan menahan dirinya 
dari melayangkan sabetan dengan pedangnya .
Pejuang musuh, yang adalah seorang pemuja berhala, 
tidak pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya.
Ia menjadi gelisah dan bertanya kepada 'Ali ,
mengapa ia tidak membunuhnya .
Jawaban 'Ali, yang dalam syai'r-sya'ir Mastnawi 
merupakan salah satu adikarya puisi Sufi, adalah bahwa 
"Ali berjuang pertama-tama demi menegakkan kebenaran, 
tetapi setelah tentara musuh meludahiwajahnya , 
'Ali menjadi marah,
dan ia tidak akan pernah bereaksi atas dasar kemarahan 
dan pasti tidak akan turun ke medan peperangan 
atau membunuh seseorang untuk alasan pribadi atau diri sendiri.

Dalam kata-kata Rumi, 
'Ali menjawab ;

"Berkatalah ia, 
 Aku mengayun pedang demi kebenaran,
 Aku adalah hamba kebenaran bukan pelayan ragawi
 Aku adalah singa Kebenaran , bukan singa nafsu,
 Perbuatanku menjadi saksi bagi  agamaku".

'Ali disebut sebagai pendiri kekesatriaan spiritual 
(futuwwah dalam Arab dan jawanmardi dalam bahasa Persia), 
dan kisah ini memberikan kesaksian tentang apa yang merupakan 
inti dari kekesatriaan itu, yaitu ikhlas dalam tindakan objektif 
yang dipersembahkan demi tujuan yang luhur.

Kekesatriaan menggabungkan amal perbuatan 
dengan sikap tak mementingkan diri sendiri , 
tindakan tanpa motif duniawi atau dinodai oleh cacat seperti 
marah, keserakahan, nafsu untuk berkuasa, atau haus akan dendam.

Bukan kebetulan bahwa dalam Islam 
tarekat kekesatriaan terintegrasi ke dalam beberapa mazhab Tasawuf
dan bahwa di dalam tradisi Sufi orang-orang yang bercita-cita 
untuk berjalan menuju Taman Kebenaran 
diharapkan memiliki sikap-sikap kesatria.

Ada banyak pembicaraan  tentang jihad dewasa ini, 
baik di Barat dan di kalangan ekstremis Muslim tertentu, 
yang kebanyakan dari mereka tidak menyadari tradisi  mereka sendiri.

Kata jihad bukan berarti perang, tetapi berjuang di jalan Allah.

Kemudian ada pula, sesuai dengan ucapan terkenal dari Nabi,
jihad batin atau jihad yang lebih besar , 
yang merupakan peperangan tanpa henti para pengikut jalan spiritual
untuk meluruskan ketidaksempurnaan jiwa mereka dan 
membuatnya layak untuk menghuni Taman itu.
Inilah bentuk tertinggi tindakan batin.
Ada pula jihad yang lebih kecil , 
yang dapat mencakup perang untuk membela 
diri, keluarga, bangsa, dan agama sendiri.
Namun, 
dari sudut pandang spiritual bahkan jihad semacam ini 
harus bersifat tak mementingkan diri sendiri, objektif, 
dan bukan disebabkan oleh kemarahan atau kebencian.

Kenyataan bahwa kisah tentang 'Ali ini berlangsung di medan perang,
seperti halnya kisah klasik Hindu Bhavagad Gita, 
menunjukkan bahwa tindakan yang tak mementingkan diri sendiri
dan objektif harus menjangkau bahkan sampai bentuk tindakan manusia
yang paling keras dan mengenaskan , yaitu perang.

Keterlepasan pada buah dari tindakan kita juga ditemukan 
dalam doktrin Cina wu-wei , yaitu , untuk bertindak tanpa bertindak.
Tindakan kita sehari-hari melibatkan jiwa kita ke dalam 
rantai aksi dan reaksi atau rantai karma,
seperti akan dikatakan oleh orang Hindu .
Tetapi, 
itu disebabkan kelekatan kita pada hasil dari tindakan kita
dan hilangnya semangat kontemplatif, 
yang menyusutkan jiwa menjadi sebuah substansi 
yang mengidentifikasi dirinya sendiri dengan tindakan, 
bukannya dengan wujud ; 
dengan preferensi pada tindakan, 
bukannya kontemplasi .

Namun, 
bertindak tanpa tindakan juga menuntut agar orang mati sebelum mati,
seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi yang terkenal,
"Matilah sebelum engkau mati".
Ini berarti melepaskan kehendak kita dari nafsu 
dan dorongan ke arah tindakan ekternal dan menyerah kepada Allah .

Orang bijak bertindak tanpa tindakan,
tak ubahnya lampu yang menerangi sekelilingnya 
hanya dengan sekadar ada.

Orang yang bijak berkontemplasi dan hidup dalam dimensi batin
dan dengan kekuatan batin itu memiliki sympatheia dengan realitas batin
wujud-wujudnya yang lain dan kemudian menindakinya 
dalam pengertian terdalam tanpa tindakan ekternal.
Orang bijak menunjukkan di dalam realitasnya , 
keutamaan wujud di atas segala aksiden eksternal 
dan keutamaan kontemplasi atas tindakan.
Orang bijak melakukan tindakan , 
dan tindakannya sepi dari pamrih, objektif, 
serta berdasarkan ketulusan, kebaikan, kasih sayang, dan kesejatian.

#HSN.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar