IDUL FITRI
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Hampir semua
orang merasa gembira tatkala shalat hampir selesai, tatkala waktu
berbuka puasa tiba, tatkala menjelang hari Raya Idul Fitri, berarti
manusia senang berpisah dari Allah SWT, karena kembali kepada tabiat
asalnya bukan kembali kepada fitrah manusia yang suci itu, yakni enggan
melakukan mujahadah, malas memenuhi hak-hak Allah. Padahal shalat dan
puasa adalah perisai yang kokoh guna menghadang pasukan yang bengis dari
nafs dan syaithon, dan keberpalingan dari dunia. Orang yang berpaling
dari dunia ini akan berpaling kepada Allah SWT. Ironisnya begitu bulan
Ramadhon berakhir mereka malah bersuka cita, dan mengatakan sebagai
‘hari kemenangan’, kemenangan dari apa? Tak satu hari pun manusia awam
mampu menaklukkan nafsnya, ia tak peduli dengan sifat hakiki jiwa
rendahnya, malah bersahabat dengannya, lalu bagaimana ia dapat melakukan
shalat dan puasa yang benar? Syaithon saja mengganggu manusia dengan
sembunyi-sembunyi, sedangkan manusia malah mengganggu manusia yang lain
dengan terang-terangan, dibulan Ramadhon yang suci itu, mereka
bersenang-senang, bernyanyi, berjingkrak-jingkrak, tanda mengikuti jiwa
rendahnya yang seharusnya ia perangi. Allah SWT berfirman : ‘Dirikanlah
shalat untuk berdzikir kepada-Ku,’ dan didalam hadits qudsi
Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘Puasa adalah
untuk-Ku.’ Shalat manusia awam pastilah mengingat dunia bukan mengingat
Allah SWT, dan puasanya untuk dirinya bukan untuk Allah SWT, jadi
sangatlah jauh dari kesempurnaan. Semua sahabat Rasulullah,saw.,
meneteskan air mata dan merasa bersedih berpisah dengan bulan yang penuh
berkah ini. Karena mereka harus berpisah dari kesempatan emas (golden
opportunity) untuk pencapaian pensucian diri, meskipun dengan ibadah
yang sedikit dan kualitas yang jauh dari kesempurnaan, Allah SWT akan
melipat gandakan amal-amalnya, mempercepat pendakian untuk berdekat
kepada-Nya. waktu yang demikian berharganya itu berlalu, mereka merasa
bagai kehilangan pedang dan kuda saat berperang. Para pejalan sejati
akan merasakan hal sama tatkala berpisah dengan bulan Ramadhon, tak
kuasa mendekapnya, menjadikan apa-apa yang dilihat, didengarnya menjadi
air mata kesedihan. Mereka berdoa : 'Yaa Allah berikan aku umur untuk
dapat memasuki semerbak harumnya bulan Ramadhon tahun depan, terimalah
puasaku, sucikan dan ampunilah dosa-dosaku.'
Keterangan diatas
membuktikan bahwa semua manusia terhalangi (terhijab) dari kebenaran
ruhani, kecuali para Aulia Allah dan sahabat-sahabat-Nya yang terpilih.
Ada dua macam hijab pada diri manusia, yang pertama adalah sebagai
‘penutup’ yang tidak mungkin bisa dicampakkan, karena sudah menyatu
dengan dzatnya, sehingga dalam pandangannya kebenaran dan kepalsuan sama
saja baginya. Sebagaimana firman Allah SWT : ‘Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka. (QS 083 : 14).’ Kemudian Allah SWT menjelaskan makna hal ini
:‘Sesungguhnya orang-orang yang ingkar itu, sama saja bagi mereka, kamu
beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan
beriman.' (QS 002 : 6) Kemudian Dia menerangkan sebabnya : 'Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang Amat berat. (QS 002 : 7) Pendeknya,
tidak mungkin membuat cermin dari besi, meskipun digosok ribuan kali dan
oleh ribuan orang. Sedangkan yang kedua, adalah hijab sebagai
‘pengabur’ yang segera bisa dicampakkan. Ia terhalang dari kebenaran
oleh sifat-sifatnya bukan karena dzatnya, sehingga tabiat dan hatinya
terus mencari kebenaran dan menjauhkan diri dari kepalsuan. Karena
perubahan sifat adalah mungkin sedangkan perubahan dzat adalah tidak
mungkin. Sebagaimana cermin yang berkarat bisa menjadi bening dengan
digosok terus menerus. Imam Junayd,ra., berkata bahwa : ‘Hijab penutup
termasuk kelompok yang tetap, sedangkan hijab pengabur termasuk yang
bisa berubah.’ Sebagaimana watak besi adalah kegelapan dan watak cermin
adalah kecermelangan, karena dzat itu langgeng dan sifat itu sementara.
Oleh sebab itu, menggosok atau penghapusan (mahw) karat pada cermin
hati merupakan kewajiban manusia agar kembali kepada fitrahnya, yakni
tempat bersemayamnya Tuhan penguasa semesta alam. Sehingga terasakan
hakikat Idul Fitri, dan tidak hanya dibicarakan saja. Karena bicara itu
penuh kepalsuan, sedangkan merasakan hakikat itu sebuah kebenaran, dan
orang-orang yang masuk kedalam hakikat akan 'diam'. Penghapusan atau
peniadaan atau pe-nafy-an terhadap sifat-sifat yang tercela (hijab
pengabur), dan pengkukuhan (itsbat) terhadap kualitas-kualitas terpuji,
atau peniadaan pilihan sendiri dan pengkukuhan pilihan Tuhan, atau
peniadaan yang lain dan pengkukuhan hanya Allah saja, merupakan
pekerjaan wajib bagi para pejalan. Laa Ilaaha adalah pe-nafy-an
sedangkan Illallaah adalah peng-itsbat-an. Mereka meyakini bahwa
berdzikir dengan menyebut kalimat thoyibah ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dengan
cara-cara tertentu dan jumlah tertentu pula merupakan cara yang jitu
dan tercepat guna menghancurkan hijab pengabur. Kaifiat dzikir yang
shahih itu, hanya bisa diperoleh dari seorang Mursyid, seorang guru
tarekat, seorang syaikh dengan cara bai'at yang hukumnya sunat
nabawiyah. Maka bila dikerjakan secara sungguh-sungguh, kepalsuan akan
lenyap dan terjelaskan kebenaran-kebenaran. Ia akan merasa sedih tatkala
berpisah dengan bulan Ramadhon, dan merasa gembira tatkala memasukinya.
Sehingga kemenangannya bukan di dunia fana ini, karena dunia ini adalah
tempat medan juang mujahadahnya, tempat menginjak-nginjak hawfa nafsu,
melainkan kemenangan di akhirat nantinya, insya Allah. Jadi dihari Idul
Fitri ini yang ingin bergembira ya bergembiralah sebagai syiar agama
bukan sebagai kemenangan. Karena manusia tetap harus melakukan
peperangan melawan nafs-nya sampai ajal menjemputnya, agar ia
dikelompokkan kedalam orang-orang yang melakukan jihad akbar, dan bila
ia gugur didalam peperangannya, Allah SWT berkenan memasukkannya kedalam
kelompok syuhada.
Mohon maaf lahir batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar