Minggu, 06 Maret 2016

Ekspresi Puitis

Akulah Angin Engkaulah Api 


Simpanlah kata-kata Persiamu,
Aku akan berucap dalam bahasa Arab:
“Jiwa kita dihibur oleh anggur.”

Dikisahkan Syams sama sekali tidak menyukai puisi-puisi itu dan mengungkapkan ketidaksukaannya ini kepada sahabatnya dalam suatu ini kepada sahabatnya dalam mimpi yang aneh dimana Syams mengguncang-guncangkan Mutannabi yang tua itu bagaikan boneka usang. Namun, masih saja orang mendapati kiasan-kiasan dan kutipan-kutipan yang berasal dari Mutannabi dalam syair-syair Maulana dan juga dalam Fihi ma Fihi, seperti dalam syair penutup dari sebuah ghazal

Sahabatku yang seorang tabib mengisi cangkir
Tinggalkan
Fa’iliun mufta’ilun dan fa’ilatun dan fa’i

Dia mengisi suatu baris dengan kata-kata bahasa Arab yang menarik perhatian untuk matra, fa’ilatun mufta’ilun “ini telah membunuhku”, atau dia berkata dengan akhiran (ending) bahasa Arab 

Separuh dari ghazal belum lagi terucap dari mulutku
Tapi sayang,aku telah kehilangan kepala
Dan kaki! (D 2378)

Di tempat lain dia mengeluh

Tanpa kehadiranmu,
Sama (tarian berputar) itu haram...
Tak satu ghazal pun terucap tanpa kehadiranmu,
Namun, dalam kesukaan mendengar namamu (disebut)
Lima, enam ghazal tercipta. (D 1760)

Orang sering kali tergoda untuk bertepuk tangan dan menafsirkan kembali irama musiknya, dan irama musiknya inilah yang melahirkan syair ini atau itu.

Musim semi telah datang, musim semi telah datang,
Musim semi yang penuh dengan bunga-bunga
Telah datang.
Kawanku telah datang, kawanku telah datang,
Kawanku yang memikul beban telah datang ...

Munculnya puisi dari gerakan tarian ini juga menjelaskan kecenderungan Maulana pada pengulangan dan anafora-anafora yang panjang

Mari, mari kasih, mari kasih,
Masuk, masuklah ke dalam karyaku,
Ke dalam karyaku!
Kau, kaulah taman mawarku, taman mawarku;
Katakan, katakanlah rahasiaku, rahasiaku.

Dalam nada yang lebih kuat, tampak pada puisi

Kudengar omong kosong yang diucapkan oleh musuh,
Dalam hatiku. (D 1623)

Dalam beberapa hal tertentu, kita mengetahui bagaimana suatu kesan sensasional dapat melahirkan baris pertama dalam puisi, seperti ketika seseorang mengobrol dalam pertemuan sama’ telah membuat Rumi merasa terganggu

Dil ku? Dil ku?
Di mana hati? Dimana hati? 

Kisah tentang seorang penjaja barang yang melewati rumah Maulana dengan membawa kulit serigala untuk dijual. Teriakannya dalam bahasa Turki: “tilku, tilku” (serigala-serigala!), segera memberikan ilham kepada Maulana untuk menulis sebuah puisi yang dimulai dengan kata-kata diatas

Pada suatu hari seorang kurdi kehilangan keledainya
atau kalau mungkin dia bertanya:
Apa yang kaumakan?Biarkan aku menciumnya!

Dalam banyak puisi, baris pertama bersifat provokatif. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pendengarnya. Penyair dapat mengacu pada kisah yang lucu:

Cukup, cukup! Kau cuma kuda seorang penjaja air,
Bila telah didapatkannya seorang pembeli,
Maka diambilnya lonceng kecil
Yang terkalung di leher (kuda) itu. (D 25)

Tampaknya kecenderungan untuk menyuruh orang diam ketika inspirasi datang, atau ketika merasa sudah cukup banyak berbicara, merupakan bagian dari suatu inspirasi

Apakah ini Sinar Ilahiah?
Apakah ini datang dari dekat Tuhan? (D 2279)

Puisi-puisi terdahulu tak pernah menyebut nama Syamsi Tabriz secara langsung tetapi mengiaskannya secara halus dengan Matahari atau permainan dengan istilah-istilah astronomi

Aku baca kisah cinta itu siang dan malam
Kini, aku akan menjadi sebuah kisah dalam cintaku
Kepadamu (D 1499)

Kadang-kadang Maulana merenungi arti puisi. Mengapa dia sendiri merasa terdorong untuk mengutarakan semua syair ini?

Setiap utas rambutku telah berubah
Menjadi syair dan ghazal
Berkat cintamu. (D2329) 

Tentu saja dia menyadari sumber inspirasi:

Beri aku ciuman untuk setiap puisi!

Kadang-kadang dia bercanda dengan yang dicintai yang telah memintanya membawakan sebuah puisi

Aku katakan “empat syair”, tetapi ia mengatakan,
“Tidak, sesuatu yang lebih baik!”
Baik-tetapi sebelumnya beri aku anggur yang keras! (D 2080)

Dalam puisi lain dia mengatakan

Kalau aku tidak melantunkan sebuah ghazal,
Dia robek mulutku!

Kadang-kadang dia mengeluh bahwa walaupun dia tidak ingin menyanyi,

Bulan pribadi itu wajahnya,
Syair dan ghazal itu aromanya-
Aroma itu bagian dia yang tak kenal melihat (D 468)

Salah satu perbandingan terbagus adalah perbandingan puisi dengan aroma baju Yusuf

Entah kau itu Arab atau Yunani atau Turki-
Pelajarilah lidah tanpa lidah! (D 1183)

Rumi memahami bahwa bahasa menyembunyikan sebanyak yang diungkapkan

Seruku: “Ke mana perginya hati yang mabuk?”
Kata rajanya raja: “Diamlah, ia menuju kami!”

Dan ketika penyair mencari dalam hatinya, dia diperingatkan agar diam:

Tanpa katamu, jiwa tak bertelinga,
Tanpa telinga, jiwa tak berlidah...(D 697)

Berkali-kali Maulana mengatakan:

Kuberpikir tentang sajak,
Tapi sang tercintaku bilang:
“Jangan memikirkan apa-apa,
Pikirkan saja wajahku!”

Dalam Matsnawi dia mengakui:

Kala kucari damai,
Dialah penolong sejati
Kala kupergi berperang,
Belati, itulah dia;
Kala ku pergi ke pertemuan,
Dialah anggur dan manisan.
Kala aku ketaman,
Keharuman itulah dia.
Kala aku ke pertambangan,
Dialah batu deliama disana.
Kala aku menyelam ke lautan,
Dialah mutiara.
Kala aku ke gurun,
Dialah taman disana.
Kala aku ke langit,
Dialah bintang terang...
Kala kutulis surat
Ke sahabat-sahabat tercintaku,
Kertas dan tempat tinta,
Tinta, pena, itulah dia.
Kala kutulis syair
Dan kucari syair
Dan kucari kata bersajak
Yang membentangkan sajak-sajak
Dalam pikiranku, itulah dia! (D 2251)

Persatuan penuh dengan sang tercinta mistis, yang menjadi dasar dari sedemikian banyak syair, terungkapkan dalam sebuah ghazal yang memesonakan

Kuh kun az kullaha...
Ciptakan gunung tengkorak,
Ciptakan lautan dan darah kita... (D 1304)

Ada baris-baris seperti diatas yang menakutkan dengan efek literasi yang keras sekali

Demi macan tutul (palang) keagunganmu,
Demi buaya (nihang) kecemburuanmu,
Demi landak kecil (khadang)
Pandangan sekilasmu, (D 772)

Dia sering menggunakan perkataan jenaka dan bersumpah

Di tapak tangan kami ada anggur (bada)
Dan kepala kami ada angin (bad), (D 7723)

Dia mengeluh (atau berbangga, barangkali?) 

Hai, tuan, burung macam apa kamu?
Namamu? Untuk apa kamu?
Kau tak terbang, kau tak merumput,
Kau burung kecil!
Kau bagaikan burung unta. Ketika diperintah,
“Ayo terbang!” kau akan bilang,
“Aku unta Arab!-kapan
Unta pernah terbang?”
Kala tiba waktunya untuk membawa muatan,
Kau bilang, “Tidak, aku ini burung!
Kapan burung membawa muatan? Tolong,
Jangan lagi ucapkan kata-kata menyebalkan ini!” (D 2622)

Sindiran tentang seseorang yang tidak dapat percaya

Untuk apa takut pada sengatan kalajengking,
Duhai bulan,
Sebab aku tenggelam dalam madu, seperti lebah? (D 1015)

Juga, bisa dijumpai kiasan-kiasan tersembunyi mengenai tradisi atau folklore (hikayat)

Karena kusebut-sebut untanya pada baris pertama,
Dan akhirnya unta itu panjang. (D 1828)

Dia akan berkelakar bahwa syairnya bertele-tele jadinya:

Kalau bicaraku tak pantas bagi bibirmu,
Ambillah batu besar, lalu remukkan mulutku!
Bila bayi mengoceh, bukankah ibu yang baik
Meletakkan jarum dibibirnya
Sebagai pengajaran baginya? (D 2083)

Kelihatannya daya ungkapan itu kadang-kadang nyaris menakutkan penyair itu sendiri. Dia bahkan takut, jangan-jangan dia melukai perasaan sang sahabat

Tinggalkan ghazal-
Tetaplah pada azal (pra keabadian). (D 2115)

Dia memperingatkan dirinya sendiri di akhir sebuah ghazal


Sumber:
Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar