Akulah Angin Engkaulah Api
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih-sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara sebentar saja!
Itulah dendang Maulana Jalaluddin Rumi.
Impiannya bahwa cahaya cinta akan bersinar dari Konya ke Samarkand dan Bukhara “sebentar saja” lebih dari sekadar tercapai,
dimana syair-syair Rumi diperkenalkan
lewat terjemahan orientalis Jerman dan Inggris sejak awal abad ke-19
Bila Kematian itu manusia
Yang dapat kupeluk erat-erat!
Aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih dan tak berwarna;
Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna hanya itu! (D 1326)
Jika kita berdiri di tengah-tengah nisan-nisan kuno ini,
rasanya kita seperti mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Rumi
untuk menghibur temannya selama akhir masa sakitnya,
pada musim gugur 1273.
Aku telah begitu banyak berdoa
Hingga aku telah berubah
Menjadi doa itu sendiri
Setiap orang yang melihat diriku
memohon doa dariku (D 903)
Betapa seringnya Maulana Rumi berdiri ditempat ini
ketika shalat Jum’at!
Shalat adalah pusat kehidupannya,
bukan shalat yang ditunaikan hanya dengan bibir dan kaki tangan,
melainkan
shalat yang memiliki arti penyatuan diri dengan Ilahi Tercinta.
Bait ini merupakan potret diri yang paling sejati dari seorang sufi besar.
Hati itu seperti butir biji, dan kita seperti kincir.
Katakan, apakah kincir itu tahu
Mengapa ia berputar?
Tubuh ini ibarat batu, air adalah pikiran
Batu itu berkata: “Oh, air itu mengerti!”
Air berkata: “Tidak, tolong tanyakan pada kincir
Ia telah mengirimkan air ke lembah-tanyakanlah apa sebabnya!’
Kincir berkata: “Hai pemakan roti!-Haruskah ini berhenti
Maka katakanlah, apa yang dilakukan oleh pembuat roti?...” (D 181)
Di Meram kita dapat melihat sebuah sungai kecil,
di tepi sungai itulah Maulana sering bertamasya
bersama-sama murid-muridnya,
suara kincir air dan gemuruhnya air sungai sering mengilhaminya
untuk berputar-putar atau membawakan syair-syair
yang menunjukkan bahwa suara kincir dan gemuruhnya sungai
menjadi lambang kehidupan;
Lihatlah, aku telah banyak mencoba,
Dan mencari dimana-mana
Tetapi tak pernah kutemukan seorang sahabat
Seperti dirimu.
Aku telah mencoba setiap pancuran,
Setiap butir anggur,
Tetapi tak pernah
Merasakan kenikmatam minuman anggur
Semanis dirimu....
Ada orang-orang yang masih menjalankan tradisi,
yang tidak hanya membaca Matsnawi,
memainkan seruling dan senang menulis kaligrafi untuk mengenang Maulana,
tetapi mereka yang sudah “masak”-yang dengan kata lain,
mempunyai jiwa yang matang
sehingga mereka benar-benar menjadi murid-murid sejati Maulana,
sebagai perwujudan Cinta Ilahi yang dipancarkan dalam hidupnya
dan dalam karya-karyanya.
Dan pengunjung akan menyebut Rumi
seperti yang pernah dilakukan penyair ini kepada kekasihnya
Sumber:
Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar