"Cinta tak dapat ditemukan
dalam belajar dan ilmu pengetahuan
Buku-buku dan lembaran-lembaran halaman.
Apa pun yang orang bicarakan itu
Bukanlah jalan para pecinta
Apa pun
yang engkau katakan atau dengar
adalah kulitnya
Intisari cinta adalah
misteri yang tak dapat dibukakan".
(Maulana Jalaluddin Rumi)
Cinta Untuk Tuhan
Maulana Rumi dikenal karena kedalaman ilmu yang dimilikinya
serta kemampuan dalam mengungkapkan perasaannya
dalam bentuk puisi yang sangat indah
dan memiliki makna mistis yang sangat dalam.
Ia memilih puisi sebagai salah satu medium
untuk mengajarkan cinta sejati (Tuhan).
Lirik-lirik puisinya banyak mengedepankan
perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan.
Maka itu,
tak mengherankan jika ia mengungguli banyak penyair sufi,
baik sebelum maupun sesudahnya.
Karya-karya puisi ar-Rumi juga mengandung filsafat
dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya.
Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud).
Bagi Maulana Rumi,
Tuhan adalah wujud yang meliputi.
Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan
terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa
segala seuatu itu adalah Allah atau Allah adalah segala sesuatu.
Kesatuan hamba dengan Tuhan,
dalam tasawuf Rumi,
dipatrikan oleh rasa cinta yang murni.
Pengetahuan mengenai ajaran tasawuf
tidak ia pelajari sejak usia dini.
Masa kecilnya justru lebih banyak dipergunakan Jalaluddin Rumi
untuk menimba ilmu agama,
terutama terkait dengan hukum Islam.
Pendidikan pertama Rumi diperolehnya dari ayahnya sendiri,
Bahauddin Walad Muhammad bin Husin,
yang merupakan seorang tokoh dan ahli agama Islam
penganut Mazhab Hanafi.
Selain itu,
ia juga belajar pada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi,
seorang tokoh dan sahabat ayahnya.
Atas saran gurunya ini,
ia kemudian menimba ilmu pengetahuan di negeri Syam (Suriah).
Dengan pengetahuan agama yang luas,
Rumi dipercaya untuk menggantikan Burhanuddin
sebagai guru di Konya setelah sang guru wafat.
Di samping sebagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih).
Perubahan besar dalam hidup Rumi terjadi pada tahun 652 H.
Di usianya yang menginjak 48 tahun,
ia mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi
setelah bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana,
Syamsuddin at-Tabrizi.
Ia sangat terpengaruh oleh ajaran sufi itu
sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru
dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi.
Rumi telah menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz.
Kesedihannya berpisah dan kerinduannya
untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu
telah ikut berperan mengembangkan emosinya
sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi.
Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu,
Rumi menulis syair-syair yang himpunannya kemudian dikenal
dengan nama Divan Syams Tabriz.
Ia juga membukukan wejangan-wejangan gurunya itu
yang dikenal dengan nama Diwan Syams Tabriz.
Buku ini juga memuat inti ajaran tasawuf Rumi.
Di samping termuat dalam Diwan Syams Tabriz,
inti ajaran tasawuf Rumi juga banyak dimuat
dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-Masnawi.
Buku ini terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait syair.
Karyanya ini berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya.
Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli
dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab.
Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Pertama kali,
buku ini diterjemahkan ke bahasa Jerman pada tahun 1849.
Namun, yang diterjemahkan hanya sepertiga bagian
dari keseluruhan isi Al-Masnawi.
Hasil terjemahan dalam bahasa Jerman ini diterbitkan di Kota Leipzig
dan mengalami cetak ulang pada tahun 1913.
Sementara itu,
terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Sir James Redhouse pertama kali
diterbitkan pada tahun 1881.
Kemudian, sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dari Al-Masnawi
diterjemahkan lagi oleh Whinfield ke dalam bahasa Inggris.
Terjemahan puisi pilihan yang terbit di London tahun 1887 ini
mendapat perhatian besar dari masyarakat
sehingga tahun itu juga dicetak ulang.
Volume kedua diterjemahkan oleh Wilson dan diterbitkan di London
tahun 1910.
Baru pada tahun 1925 hingga 1950,
proses penerjemahan buku Al-Masnawi
dilakukan secara menyeluruh oleh Reynold Alleyne Nicholson.
Selain menerjemahkan buku ini,
Nicholson juga menambahkan uraian serta komentarnya
untuk melengkapi terjemahannya.
Langkah Nicholson yang menerjemahkan karya Rumi ini
diikuti oleh salah seorang muridnya, AJ Arberry,
yang menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan
di London pada 1961.
Teori Kefanaan
Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdad al-wujud,
Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan.
Pendapatnya tentang kefanaan tergambar dari ungkapannya,
''Apakah arti ilmu tauhid?
Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa.
Seandainya kau ingin cemerlang sebagai siang hari,
bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan
luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud,
seperti luluhnya tembaga dalam adonannya.
Dengan begitu,
kau bisa mengendalikan genggamanmu atas 'Aku' dan 'Kita',
di mana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.''
Sementara itu,
suasana pada saat sedang fana
digambarkan oleh Rumi sebagai berikut.
''Nuh berkata kepada bangsanya,
Aku bukanlah aku.
Aku bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri.
Apabila ke-aku-an lenyap dari identitas insan,
tinggallah Tuhan
yang bicara, mendengar, dan memahami.
Apabila Aku bukanlah aku,
adalah aku tiupan napas Tuhan.
Adalah dosa melihat kesatuan aku dengan-Nya.''
Dalam pandangannya,
setiap peristiwa kefanaan selalu diikuti oleh baqa, yaitu
tetapnya kesadaran sufi kepada Tuhan.
Pada saat sedang baqa,
kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba.
Kata Rumi,
''Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi.
Bagaimana si awam meyakininya.
Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah titik.
Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.''
Tarian Berputar Sang Sufi
Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi,
Jalaluddin Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah.
Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya,
Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad.
Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah
sebuah tarekat sufi yang terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah.
Di Barat,
tarekat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes
(para darwis yang berputar-putar).
Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini
melakukan tarian berputar-putar
yang diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka
untuk mencapai ekstase.
Menurut sebuah riwayat,
tarian yang dilakukan oleh Rumi dilakukan tanpa kesengajaan.
Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya.
Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan,
laksana kehidupan tanpa sinar matahari.
Hingga pada suatu hari,
seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin
membuat Rumi menari-nari berputar-putar
sambil melantunkan syair-syair puitis
akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya.
Dari sinilah,
Jalaluddin Rumi menjalin persahabatan dengan Shalahuddin
untuk menggantikan kedudukan sang guru.
Bersama Shalahuddin yang memukul gendang,
Rumi pun menari dan menari
untuk mengungkapkan penghambaan dirinya
dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273,
Rumi tak pernah berhenti menari
karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah.
Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi
berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.
Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai.
Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan,
Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali
berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan.
Bahkan,
banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia
melakukan hal yang sama
sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru
dalam menemukan Tuhan.
Suatu hari,
Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad,
bahwa Kota Konya akan menjadi semarak.
''Akan tiba saatnya,
ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak di jantung kota.
Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.''
Kini,
perkataan Rumi itu terbukti.
Setelah sekian lama terlelap oleh sejarah,
Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi.
''Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri
sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,''
tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian.
Lebih dari tujuh abad,
Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya,
terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes,
para darwis yang menari.
Setiap tahun, pada 2-17 Desember,
jutaan peziarah menyemut menuju Konya.
Dari delapan penjuru angin,
mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi,
727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar
di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham?
''Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,''
kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson.
''Ia bukan nabi,
tetapi ia mampu menulis kitab suci,''
seru Jami, penyair Persia Klasik,
tentang karya Rumi, Al-Masnawi.
Bahkan, cucu Rumi,
Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani,
kagum dengan kakeknya tersebut.
Ia berkata sebagai berikut.
''Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan.
Saya mencintainya dan saya mengaguminya,
saya memilih jalannya, dan
saya memalingkan muka ke jalannya.
Setiap orang mempunyai kekasih,
dialah kekasih saya,
kekasih yang abadi.
Dia adalah orang yang saya cintai,
dia begitu indah.
Oh, dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah
para pecinta yang tidak pernah sekarat.
Dia adalah dia dan
dia dan mereka adalah dia.
Ini adalah sebuah rahasia,
jika kalian mempunyai cinta,
kalian akan memahaminya.''
Itulah Jalaluddin Rumi,
sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya.
Sumber:
Republika Newsroom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar