Kamis, 03 Maret 2016

Nasehat Mawlana Jalaluddin Rumi

Seorang Syeikh Sufi seringkali menasihati murid-murid beliau 
menggunakan bahasa perumpamaan, 
kadang juga beliau mengungkapkan nasihat berupa puisi. 
Nah, Sufi kekasih Allah yang kita sajikan nasihatnya kali ini,
Maulana Rumi menyajikan nasihatnya dalam rupa puisi 
yang penuh perumpaan, 
yang bila kita renungkan 
isinya sebuah rahasia kehidupan yang penuh hikmah.

Lihatlah buncis dalam periuk,
betapa ia meloncat-loncat ketika dipanaskan api.
Sewaktu direbus, selalu ia timbul ke permukaan,
seraya merintih tiada henti.
Sambil mengeluh, “Mengapa kau letakkan
api di bawahku? Engkau telah membeliku,
mengapa kini engkau malah menyiksaku?”
Sang istri memukulnya dengan penyendok, [1]

“Nah, sekarang,” katanya, 
“sungguh-sungguh matanglah engkau, 
dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.

Tidaklah aku merebusmu karena membencimu;
sebaliknya, inilah yang akan membuatmu lezat dan harum.
Dan menjadi nutrisi dan bercampur dengan jiwa
yang hidup: kesengsaraanmu ini bukanlah penghinaan.
Ketika masih hijau dan segar, engkau hirup air di kebun:
air yang engkau serap itu demi api ini.

Rahmat-Nya terlebih dahulu daripada murka-Nya, [2]
tujuannya agar dengan Rahmat-Nya engkau
menderita kesengsaraan.

Rahmat-Nya telah mendahului murka-Nya, agar
yang-diperdagangkan ini, yakni wujud, 
dapat muncul.

Karena, tanpa kesenangan, daging dan kulit 
tidak akan tumbuh; dan 
jika mereka itu tidak tumbuh,
apakah yang akan ditelan oleh cinta Sang Wali.

Jika, karena urutan itu, 
datanglah tindakan kemurkaan,
tujuannya agar engkau dapat menyerahkan
yang-diperdagangkan itu.

Setelah itu, kembali Kasih Allah akan datang, 
sehingga berlalulah tindakan kemurkaan; 
seraya berkata,
“Kini, karena engkau telah dimurnikan, 
engkau dapat mentas dari sungai pembersihan.”

Sang istri berkata, 
“Wahai buncis, engkau telah tumbuh
sepanjang musim semi, 
kini Kesakitan adalah tamumu,
jamulah dengan baik.

Sedemikian rupa, sehingga ketika pulang, 
diaberterimakasih, dan 
menceritakan kemurahanmu 
di hadapan Sang Raja.

Sehingga yang sudi mengunjungimu 
bukanlah sekedar suatu kebaikan, 
melainkan Sang Penganugerah Kebaikan sendiri; 
sampai semua kebaikan iri kepadamu.

Aku bagaikan Ibrahim, dan engkau adalah putraku:
baringkan kepalamu di bawah pisauku, 
karena dalam mimpiku kulihat aku menyembelihmu. [3]

Baringkan kepalamu di bawah kemurkaanku, 
dengan hati teguh tak bergeming, 
sehingga dapat kusembelih lehermu, 
bagaikan Ismail.

Akan kupotong kepalamu, 
tetapi kepala ini adalah 
kepala yang tidak bisa dipotong 
dan tidak bisa mati; [4]

Sungguhpun demikian, 
berserah-dirinya engkau adalah tujuan sebenarnya: 
Wahai sang Muslim, 
engkau harus berjuang untuk menyerahkan dirimu.

Karena itu, wahai buncis, 
tabahlah engkau ketika direbus dalam penderitaan, 
sehingga tidak lagi tersisa padamu wujudmu,
tidak pula dirimu.

Semula engkau tertawa di taman bumi, 
padahal sebenarnya engkau adalah 
mawar di taman jiwa;
mawar yang indah dalam pandangan bashirah. [5]

Jika telah bercerai engkau dari taman tanah dan air,
engkau menjadi makanan bagi mulut 
dan telah masuk ke dalam yang hidup.

Menjadi nutrisi dan kekuatan dan pikiran. 
Dahulu engkau mangsa: 
sekarang jadilah seekor singa di hutan. [6]

Awalnya engkau tumbuh dari sifat-sifat-Nya: 
kembalilah dengan ringan dan gesit 
kepada sifat-sifat-Nya.

Dirimu datang dari awan dan matahari dan langit; 
lalu engkau terpencar dalam sifat-sifat 
dan naik menembus lelangit.

Dirimu datang dalam bentuk hujan dan panas:
engkau akan menuju sifat-sifat Ilahiah.

Dirimu semula bagian dari matahari dan awan dan
bintang-bintang:
lalu engkau menjadi jiwa 
dan amal dan ucapan dan pikiran.”

Tingkatan hewaniyah bangkit dari matinya tataran nabatiyah:
karena itu ucapan: 
“sembelihlah aku, 
wahai Wali yang Terpercaya,” benar adanya.

Karena kemenangan menunggu setelah kematian,
ucapan
 “sesungguhnya pada penyembelihanku terdapat kehidupan” 
itu benar.

Shalehnya amal dan ucapan dan ketulusan 
menjadi makanan bagi malaikat, 
dengan sarana inilah dia naik ke langit.

Demikian pula ketika makanan ditelan Insan, 
ia naik dari tataran tak-mampu-bergerak 
menjadi wadah jiwa.

“Karavan jiwa tak hentinya datang dari langit, 
singgah sebentar disini dan kembali lagi.

Berangkatlah dengan manis dan riang berlandaskan
pilihanmu sendiri, tanpa kepahitan dan kebencian
seorang pencuri. [7]

Kata-kataku pahit, agar kepahitanmu dicuci bersih.
Bekunya anggur dicairkan dengan air dingin, 
sehingga ia tidak lagi dingin dan keras.

Saat qalb-mu telah penuh darah berwarna anggur,
dari pahitnya pensucian diri, 
barulah engkau terhindar dari kepahitan.”

Sang buncis menjawab, 
“Jika memang begitu adanya, 
dengan senang hati aku direbus, 
tolonglah aku agar bersikap benar.

Yang mentah dan belum dimasak itu mestilah keras
dan tawar.

Dalam perebusan ini, 
engkaulah perancangnya, 
aduklah dengan lembut.

Jika aku ini bagaikan seekor gajah, 
maka jinakkan aku dan beri aku kekang, 
agar berhenti aku dari mengangankan negeri dan taman gajah;
Sehingga aku dapat menyerahkan diri kepada perebusan ini, 
dengan tujuan agar kutemukan jalan kepada pelukan Sang Kekasih;
Karena manusia, 
jika dibiarkan bebas, 
lalu dia akan bersikap lancang, 
melawan dan penuh angan-angan.”


Catatan:
[1] “Istri” adalah Mursyid; 
“Buncis” adalah murid; 
sedangkan “Api” adalah disiplin diri dalam pertaubatan.

[2] “Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” (HR Muslim).

[3] QS [37]: 102.

[4] Yang disembelih disini adalah jiwa (nafs) dari manusia; 
yang notabene baru akan mati ketika Hari Kiamat.

Karena itu, 
alih-alih dari memusnahkan, 
kematian demi kematian jiwa akan menaikkan jiwa 
dari tataran rendah ke tataran di atasnya 
sampai ke ketinggian sejatinya. 
Hal ini merupakan salah satu tema sentral 
pembahasan para Guru Sufi sepanjang zaman.

[5] Jiwa mereka yang beriman sejati 
tampak indah dalam pandangan bashirah.

[6] “Singa” memburu keberhasilan ruhaniyah.

[7] “… datang dengan senang hati.” (QS [41]: 11).
 “Pencuri,” karena mengaku bahwa dirinya adalah miliknya sendiri.


(Rumi: Matsnavi III No 4159 - 4202, 
terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson, 
terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Herman Soetomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar