Kamis, 03 Maret 2016

Selepas Ekstase

Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata 
Darahku terdiri dari Allah. 
Seluruh bulu romaku 
Bakal masuk Surga. 
Dan bagai Rabi’ah : 
kutaktakut Neraka 
O,mata mereka berbinar. 
Syahwat mereka nanar 
Inilah susahnya hidup 
di tengah-tengah masyarakat keledai 
Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi 
Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa 
Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. 
Dan puas menari 
Dalam irama khusu’ Rumi 
Hu, hu,hu,… … … 

Aku stres, wahai kekasih. 
Kehilangan kata-kata 
Di samudra kalimat-Mu. 
Aku menjadi gila pada suatu hari 
Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista 
Ingin lari dari kungkungan para keledai. 
Ingin mencari mukjizat Nabi : 
mendaki Tursina-Mu 
berharap nemu tongkat gembala, 
lalu ngangon keledai dungu itu 
di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan 
… … assalamu’aika ! 
kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. 
Rabbi, anta maksudi 
mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … … 
merekamnya dipita-pita kaset. 
Memutarnya dikedai-kedai kopi 
atau diatas pentas puisi. 
Menenggelamkam diri 
dalam kebahagiaan semu 
di lautan yang tak mereka pahami 
sembari mengunyah dunia 
“Pinjami aku tongkatmu, Musa 
biar kubelah laut kebodohan 
yang jadi batas kebenaran 
melangkahi rumah nurani 
di kedalaman samudera hati.” 

Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !! 
Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri 
Mengumbar gairah duniawi sepanjang hari. 
Hu, hu, hu, … … 
Menari-nari Rumi. 
“Ngigau jadi Rabi’ah 
Tak takut Neraka, tak butuh Surga 
Mereka tegang dalam birahi. 
Kemaluannya menerobos hijab 
Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. 
Menggelinding 
Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan 
Mendengus sana sini. 
Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme 
Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya 
Tambah peduli pada kalimat ekstaseku 
Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi 
Yang kehilangan makna : 
Allah, Allah, Allah, … … 

Aku gila sekaligus takut. Rabbi ! 
Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : 
anta maksudi 
Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. 
Mereka ingin menyatu 
Keledai itu mengunyahku santai-santai 
bagai mengunyah dunia busuk ini 
“Pinjami aku wahai Musa

walau sebentar tongkat saktimu. 
Biar kungebut mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai 
yang tengah asyik bersenggama dengan dunia 
yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.” 

O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita 
Dibuat makalah : 
didiskusikan dengan sejumlah seponsor 
Dibumbui referensi busuk duniawi. 
Dijadikan nara sumber 
Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel berbintang 
Hu, hu, hu, … … 

Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut 
Sambil memangku para betina. 
Menjelma menjadi binatang 
Yang belajar bicara macam manusia. 
Membuat kesimpulan 
Tentang perlunya sejarah baru yang baku 
O, mereka makin lepas landas.
 Mengingkari banjir bandang 
Yag menyelamatkan Nuh. 
Mengingkari kulit mulus Yunus 
Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas 
Mengingkari azab. 
Mengingkari angin, petir dan bumi 
Yang berguncang. 
O, aku menyaksikan 
Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka 

Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar 
Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api 
Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. 
Mencaci-maki 
Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam 
Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik 
O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya 
Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. 
Mereka kini mengamuk Ke arahku, wahai Kekasih. 
Sekejap membuatku terpana 
Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabi-Nabi 

O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu.
 Ada wajah Zakariya Yang digergaji. 
Ada wajah Isa yang disalib 
Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: 
Langit 
Diserbu darah suci mereka. 
Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap. 
Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya 
Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan 
Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan 
Ditikam cinta dan airmata ketakutan. 

Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih 
Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan. 
Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. 
Malam-malam Engkau menarik
selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : 
“Bangunlah 
Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” 
Lantas aku 
menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku 
Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam 
Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau. 

O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah 
Di tas sajjadah bumi-Mu. 
Menikmati batin 
Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk 
(saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan 
selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan). 
(Syair Muhammad Zuhdi Saad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar