Kamis, 03 Maret 2016

TAWASUL

Tawasul...

... Ketika sebagian kalangan mengartikan ‘mati’ 
dalam arti batas perpisahan antara dua alam, 
alam kehidupan (alam hayat) dan alam kematian (alam maut), 
yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, 
maka sejak saat itu berarti kedua alam tersebut 
dianggap tidak ada hubungan lagi. 

Berarti pula makhluk yang ada di dua alam tersebut 
tidak bisa saling memberikan kemanfaatan, 
tidak bisa saling berucap salam 
sehingga ucapan sholawat dan salam kepada baginda Nabi s.a.w dianggap sia-sia.
Mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya dianggap batal dan tidak sampai.

Tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, 
maka barangkali seperti itulah pemahaman orang-orang yang ingkar 
akan hari kebangkitan ketika mereka melahirkan isi hati kepada Tuhannya. 
Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya:

وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ

“Dan mereka berkata: 
“Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, 
kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. 
Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. 
(QS. as-Sajadah: 32/10)

Ayat di atas menyatakan, 
orang yang tidak percaya setelah mati ada kehidupan baru 
berarti mengingkari perjumpaan dengan Tuhannya. 

Sebagian dari gambaran ‘kehidupan baru’ tersebut 
dinyatakan Allah Ta’ala dalam sebuah ayat: 
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; 
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki(169)

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya 
kepada mereka, dan mereka bergirang hati 
terhadap orang-orang yang masih tinggal(hidup) di belakang 
yang belum menyusul mereka”. 
(QS. Ali Imran/169-170) 

Orang yang mati di dunia, di alam barzah ternyata ada yang hidup. 
Mereka mendapat rizki dan bahkan bergirang hati 
terhadap orang yang masih belum mati. 

Yang dimaksud bergirang hati itu adalah saling memberi kegembiraan. 
Orang hidup dapat memberi kegembiraan kepada orang mati, 
demikian pula sebaliknya. (lihat tafsir Fahrur Rozi).

Sebagian teman se-agama mengira, 
setelah orang mati tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… 
selesai dan bahkan orang mati itu tidak dapat dido’akan 
kecuali oleh anaknya sendiri. 
Sedangkan orang lain, 
sejak saat itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk saudaranya yang mati, 
sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. 

Orang tersebut memahami dari Hadits Nabi s.a.w yang artinya: 
“Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal,
 yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau
 anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. 

Barangkali 
karena mengartikan hadits ini dengan tujuan yang berlebihan, 
bahkan untuk melampiaskan kebencian kepada orang lain, 
maka mereka terjebak kepada pemahaman yang salah fatal.

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah s.a.w menyatakan 
“terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” 
(In qotho’a Naf’’uhu). 

Seandainya Nabi s.a.w mengatakan terputus kemanfaatannya, 
maka benar, 
orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, 
sehingga apapun yang dikerjakan orang hidup tidak sampai kepada orang mati. 

Rasul s.a.w tidak mengatakan demikian, 
tetapi mengatakan “terputus amalnya”. 
Artinya, sejak itu orang mati itu tidak dapat beribadah lagi. 
Mereka tidak dapat mencari pahala 
sebagaimana saat masih hidup di dunia.
(dipetik dari pengajian minggu ke 2 
yang disampaikan oleh Hadrotusy Syekh Romo KH Ahmad Asrory al Ishaqy r.a)

Jika teman-teman itu mau mencermati 
makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, 
sesungguhnya maksud hadits itu sebagai berikut; 

Dengan hadits itu justru Nabi s.a.w menganjurkan 
supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, 
karena sejak saat itu temannya itu 
sudah tidak dapat mencari pahala untuk dirinya sendiri, 
kecuali dari tiga hal tersebut, itu pun jika mereka memiliki ketiganya. 
Apabila tidak, 
maka hanya do’a-do’a dari temannya itulah 
yang sangat mereka butuhkan. 
Di alam kubur itu keadaan mereka seperti orang di penjara 
menunggu kiriman dari keluarganya. 
Seperti pasien yang mondok di rumah sakit 
merindukan temannya menjenguk.

Allah s.w.t memerintahkan agar seseorang mendo’akan orang lain dengan firman-Nya:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan mendo`alah untuk mereka. 
Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. 
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS. at-Taubah: 9/103)

Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, 
baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yaitu 
berupa ketenangan di dalam batin orang yang dido’akan itu. 
Bahkan sudah dimaklumi, 
termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, 
khotib wajib memohon ampunan bagi saudaranya seiman, 
baik yang hidup maupun yang mati.
 Ini menunjukkan bahwa mendo’akan orang beriman 
yang sudah meninggal dunia itu merupakan perintah agama.

Bahkan di dalam firman-Nya Allah menyatakan bahwa 
pahala orang mati dapat berkurang dan bertambah. 
Berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain, 
bertambah karena perbuatan baiknya diikuti orang lain 
serta dari do’a yang dipanjatkan orang lain kepadanya. 
Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang 
sampai hari kiamat datang. 

Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. 
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. 
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, 
maka sungguh ia telah beruntung. 
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. 
(QS. Ali Imran: 3/185)

Hakekat tawasul atau interaksi ruhaniah adalah 
tercapainya sembung rasa 
antara ‘manusia personal’ dengan ‘manusia karakter’ 
yang dikondisikan dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah s.w.t. 

Yang dimaksud ‘manusia personal’ adalah manusia lahir 
sedangkan 
yang dimaksud ‘manusia karakter’ adalah manusia batin. 

“Manusia personal” diciptakan dari debu,
 berbentuk jasad kasar yang terdiri dari tulang dibungkus daging, 
masa hidupnya terbatas, yakni sebatas usianya di dunia. 
Ketika ajal kematiannya tiba, 
sedikitpun tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan. 
Setelah matinya, kembali menjadi tanah. 

Adapun “manusia karakter”, ia akan hidup untuk selama-lamanya. 
Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh 
kemudian dimasukkan di dalam janin di dalam rahim seorang ibu 
lalu dilahirkan di dunia.

 ‘Manusia karakter’ dibentuk oleh lingkungannya 
menjadi orang mulia atau hina. 
Sejak hidupnya di alam ruh, ia akan hidup selama-lamanya.

Semasa hidupnya di dunia, 
manusia harus merubah karakternya menjadi lebih baik. 
Dengan ilmu dan amal, 
mereka harus membentuk karakter itu menjadi mulia. 

Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin 
sebagaimana yang telah digambarkan Allah s.w.t dengan firman-Nya; 

“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, 
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang 
yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, 
yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada’ dan para Sholihin. 
Dan mereka itulah teman yang baik “. (QS. 4; Ayat 69)

Setelah matinya, 
manusia batin itu akan dihidupkan lagi, 
sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. 
Manakala 
ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, 
maka sejak di alam barzah 
akan hidup merdeka di kebun-kebun surga 
dan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan 
di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia 
untuk selama-lamanya. 
Kalau ia mati sebagai orang kafir, 
maka kehidupannya akan tertahan di penjara 
untuk selama-lamanya.

Jadi yang dimaksud “Interaksi Ruhaniah” adalah 
pertemuan yang dilakukan 
oleh “manusia personal” dengan “manusia karakter”, 
pertemuan itu dirasakan secara ruhaniah. 

Atau dengan istilah hubungan timbal-balik atau interkoneksi 
antara dua orang yang berbeda dimensi, 
antara al-Mu’minun yang masih hidup 
dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin yang sudah mati, 
pertemuan tersebut diaplikasikan 
dalam pelaksanaan ibadah dan mujahadah di jalan Allah. 

Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilakukan, 
karena ruh orang hidup memang berpotensi 
bertemu secara ruhaniah dengan ruh orang lain, 
baik orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) 
maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). 

Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan 
memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, 
maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya 
dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. 
Sesungguhnya pada yang demikian itu 
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. 
(QS.az-Zumar: 39/42)

Ketika jasmani manusia dan aktifitasnya sedang lemah karena sedang tidur, 
maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat. 

Ruh orang tidur itu naik memasuki dimensi di atasnya, 
dengan izin Allah s.w.t kemudian menembus pembatas (hijab). 

Ruh itu menembus dua samudera yang dibatasi barzah 
sebagaimana yang digambarkan Allah dalam firman-Nya: 
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu
 – antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. 
(QS: 55; 19-20).

Ruh orang tidur itu kemudian bertemu dengan ruh orang mati. 
Selanjutnya terjadilah kejadian sesuai kehendak Allah s.w.t. 
Kejadian tersebut kemudian direkam oleh akal, 
ketika orang tersebut bangun dari tidurnya,
 peristiwa ghaib itu terbaca lagi dalam alam sadar. 

Kejadian itulah yang disebut mimpi, 
hanya saja oleh karena peristiwa ghaib ini dialami dalam keadaan tidur, 
maka untuk memahaminya membutuhkan penta’wilan atau pemaknaan 
dari para ahlinya. 

Adapun seorang hamba yang ruhaninya telah hidup pada derajat tertentu 
(manusia karakter), 
ketika pengembaraan ruhaniah yang mereka lakukan 
telah melewati batas-batas yang telah ditentukan, 
dengan izin Allah s.w.t mereka dibukakan hijab-hijab 
yang menutupi rongga dadanya, 
sehingga matahatinya dapat merasakan secara langsung 
kejadian tersebut. 

Manakala pengkondisian tersebut 
dilakukan sebagai ibadah dan mujahadah di jalan Allah 
dengan melaksanakan tawasul kepada guru-guru ruhaniah 
yang sudah wafat, 
kemudian terjadi arus dzikir timbal balik 
antara orang yang tawasul dan yang ditawasuli, 
maka itulah yang dimaksud 
‘Hakekat Tawasul atau ‘Interaksi Ruhaniah’.

Allahu A’lam bi ash-Shawab ....
...
Salam santun dari saya semoga bermanfaat
aminn
Diposkan oleh Ahmad Yahya II di 02.41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar