Kamis, 09 Juni 2016

CAHAYA DIATAS CAHAYA.

Assalaamu ‘alaykum wr wb, ......
Seringkali umat di luar muslim bertanya kepada saya 

tentang perlunya bershalawat, 
alasan mereka, 
kok kita umatnya yg malah mendoakan nabi-nya ?? 
Sehingga, bukan hanya mereka, 
bahkan kita yg telah sering bershalawat pun 
memahaminya masih dalam keterbatasan, 
sehingga belum maksimal..... 
terutama dalam rasa ke-berserah diri (islam)-an kita. 
Dan sungguh inilah celah-celah dimana keterbatasan kita 
dalam memahami islam itu sendiri. 
Sebenarnya, 
inti dari memahami perlunya bershalawat adalah 
setelah kita memahami makna syahadat terlebih dahulu....... 
Maka, 
izinkanlah saya berbagi. 
Semoga kita semakin didekatkan kepada kebenaran-NYA..... 
amiin yaa rabbal ‘aalamiiyn.

MUHAMMAD, 

NAMA & ISTILAH, SERTA MAKNA RASUL 
PADA DIRI KEMANUSIAAN 
DI DALAM SYAHADAT.

“Dan sesungguhnya 

Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 
dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu 
menjadi salah seorang yang memberi peringatan.” 
(QS 26:192-194)

Sayangnya, 

kemanusiaan lebih menyukai menjaga jarak 
antara dirinya dengan Tuhannya, 
yang dengan kehati-hatiannya 
cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya 
agar sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan 
dan saling menasehati dalam kesabaran. 
Hal tersebutlah yang semakin menjauhkan dirinya 
dari menyadari fitrah-nya 
yang juga merupakan menjadi tugas-tugasnya 
di kehidupan dunia ini. 

Jika Allah saja 
menaruh keyakinan (sebagai Al Mu’min) yang amat tinggi 
kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah 
bagi kesempurnaan dari seluruh penciptaan-Nya, yaitu 
semesta alam, 
sekalipun para malaikat sempat meragukan-Nya (QS 2:30), 
tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan kehati-hatiannya, 
menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah kepadanya. 
Padahal, 
kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. 
Namun, memang, 
dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, 
kemanusiaan hendaknya tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, 
sehingga tidak menjadikannya sombong dan takabur 
dengan tugas kerasulan tersebut. 

Akan tetapi, 
menyadari fitrah dan tugas-nya 
sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang utama.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, 

bumi dan gunung-gunung, 
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu 
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, 
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. 
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)

Sekedar mengingatkan, 

ulasan ini hanya mengenai kerasulan, 
dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. 
Jika sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, 
kita telah mengkaji 
beberapa sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, 
maka begitu pula dengan sifat kerasulan pada manusia 
sebagai suatu tugas dari Allah 
yang sangat perlu disadari dan dipercayai (diimani), 
sebagai salah satu syarat berkeimanan. 

Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan 
yang sebelumnya mempercayai hanya kepada rasul-rasul 
yang telah dikubur sejak lama. 
Dan dianggap telah tiada lagi rasul-rasul penerus, 
padahal setiap hari kita sering mendengar 
para penyampai kebaikan di sekitar kita 
yang selalu mengingatkan kebaikan, 
itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. 

Itu akibat kita hanya terpaku 
hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, 
dan tidak menggunakan kerasulan kita 
lebih maksimal lagi 
seperti mereka yang mendapatkan kemuliaan 
karena kesabaran dan kesungguhannya.

Mereka yang terkemuka 

dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, 
dengan kesabaran dan kesungguhannya 
sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. 
Bila dengan kenabian-nya mereka 
selain menyampaikan wahyu yang diterimanya, 
juga lebih terfokus 
memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. 
Hanya saja perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, 
maka seorang nabi sudah pasti seorang rasul, 
keduanya adalah karena kemanusiaan-nya 
yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya 
menerima fitrah yang sama, sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Sehingga jangan sampai terkecoh 

oleh jabatan rasul yang hanya diberikan 
kepada orang-orang yang dimuliakan-Nya saja. 
Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki, 
terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak 

dari seseorang laki-laki diantara kamu, 
tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. 
Dan adalah Allah Maha Mengetahui esgala sesuatu.” (QS 33:40)

Berakhirnya kenabian pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) 

bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan pada kemanusiaan 
di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan 
selalu akan terus berlangsung secara berkesinambungan 
sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk Allah. 
Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti setelah beliau wafat, 
melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku lurus, 
yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, 
yang saling mengingatkan atau saling nasehat-menasehati,
 kesemuanya dilakukan secara ikhlas 
tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. 
Maka adalah tak masuk akal bagi mereka 
yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau, 
bila demikian, 
maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri kemanusiaan 
sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.

Kerasulan, 

sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan 
yang bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji 
dari perwujudan Dia yang Maha Terpuji, 
yaitu setiap diri yang telah beriman 
dan mengkokohkan kembali keimanannya, 
sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal perbuatannya 
sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh Tuhannya. 
Inilah yang dimaksud dengan .... 
wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, 
sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan menjalankan amanat Allah tersebut.

Kata muhammad pada bunyi syahadat adalah 

tidak hanya tertuju 
kepada nama “Muhammad bin Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, 
melainkan merupakan 
salah satu sifat Allah sebagai Yang Maha Terpuji 
 yang dianugerahkan pula kepada diri-diri kemanusiaan. 
Memang benar,
 kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar ke-muhammad-an tersebut 
dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah 
(nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), 
kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.

“.... yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul 

yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....” 
(QS 61:6)

Gelar kenabian 

memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan. 
Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus 
yang mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya) umatnya 
yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).

Kemudian kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) 

di suatu negri 
yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). 
Ketiga orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, 
sekalipun tidak diceritakan lagi 
bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). 
Hanya kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut 
yang kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.
Bila telah memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan 

pada setiap diri kemanusiaan, maka 
makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab 
bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. 
Yaitu sebagai yang menyadari fitrah dan tugas 
yang diamanatkan kepada dirinya.

Sehingga makna yang dapat dipahami, 

sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar 
bagi diri-diri kemanusiaan 
sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. 
Kemanusiaan yang menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. 
Begitulah sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan 
yang telah ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 

sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. 
Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Kita tentu mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.


Dengan demikian, 

kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa 
di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.

Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan.


Tentulah syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian 

yang bermakna kiasan, 
kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, 
yang wujudnya seperti kita (kemanusiaan) 
yang kita tidak pernah melihatnya, 
telah lama tidak ada, 
dan hanya tertinggal kisahnya. 
Melainkan dapat meresapi makna sejati 
dari syahadat atau persaksian itu, 
yang adalah suatu ikrar pengikatan diri 
sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. 

Janji mengakui atau persaksian bahwa 
dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, 
sebagai rasulullaah atau utusan Allah 
yang saling menebarkan rahmat Tuhannya 
kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, 
seperti yang telah diteladankan nabi kita Muhammad SAW.

Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, 

maka bunyinya adalah, 
“aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, 
dan wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah 
utusan Allah”,
 maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensi 
dari fitrah dan tugas yang diembannya 
akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya. 
Dan bila makna ini telah meresap disadari, 
 melekat dalam setiap shalat diucapkan pada setiap tahiyatnya, 
insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri, 
dan kepada siapa diri ini bergantung.

Itulah makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan 

yang di dalam syahadat (persaksian)-nya 
diharapkan dapat membawa diri 
kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban, 
serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. 
Bila makna syahadat 
telah dapat diterima secara lapang (legowo) oleh dada, 
maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu 
 menyadari tugas kerasulan yang disandangnya 
sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, 
akan menjadi ruh dalam setiap gerak amal perbuatannya 
sebagai manusia yang terpuji perwujudan 
dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.

_/\_ ‪#‎insan_sifatullah‬
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar