“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu jelas nyata.
Sedangkan bagian
nafsu di dalam ta’at,
itu tersembunyi dan tidak nyata.
Mengobati yang
tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Al-Hikam (Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary).
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan tindak
maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian.
Namun ketika nafsu menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan,
amaliah, sangat tersembunyi.
perselingkuhan nafsu dibalik taat
dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba ia merasa lebih tinggi
dibanding orang lain, lebih suci, kemudian muncul rekayasa untuk
manipulasi, dengan tujuan tertentu atau imbalan tertentu, yang
menyebabkan riya’.
Mari kita bertanya pada diri sendiri dibalik
nafsu yang tersembunyi ini. Apakah ketika kita beribadah, melakukan
aktivitas kebajikan dan amaliyah lainnya, agar kita disebut berperan?
Agar disebut lebih dibanding yang lain? Mendapat pujian dan kehormatan
orang lain? Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang memiliki
matahatilah yang mengenal karakter itu.
Karena itu nafsu sering
bersembunyi dibalik bendera agama, dibalik aktivitas ibadah dan gerakan
massa keagamaan, bahkan nafsu merangsek ornamen penampilan orang-orang
saleh, agar disebut saleh.
Disnilah Ibnu Athaillah juga
mengingatkan berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu masuk padamu, ketika
orang lain tidak memandangmu.”
Kenapa demikian? Karena riya’ itu
bertumpu pada pandangan makhluk. Ketika anda bersembunyi atau makhluk
lain tidak mengenal anda, lalu anda diam-diam merasa ikhlas, karena
makhluk lain tidak melihatmu, itu pun disebut riya’. Sebab unsur makhluk
masih tersisa di hatimu.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ra, menegaskan,
“Beramal demi pandangan manusia itu adalah syirik. Sedangkan tidak
melakukan amaliah karena agar dipandang manusia, adalah riya’.
Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik. Ikhlas, adalah Allah jika
anda diampuni (lalu meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika
seseorang berlaku riya’, dalam kondisi khalwat, secara diam-diam pula ia
ingin disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah saya sudah suluk,
saya sudah baiat, saya sudah khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas
saya lebih baik dibanding anda…”. Bisikan lembut ini adalah bentuk
ketakaburan dan riya’.
Inilah mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Upayamu untuk meraih kemuliaan agar makhluk mengetahui keistemewaanmu,
menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali tidak benar.”
Karena,
menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala anda benar dalam ubudiyah pada
Tuhanmu, pasti anda tidak senang jika yang lainNya tahu amalmu.
Sebagian Sufi mengatakan, “Tak seorang pun benar pada Allah Swt, sama
sekali, kecuali jika ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang
lain.”
Ahmad bin Abul Hawary ra, mengatakan, “Siapa pun bila
senang kebaikannya dipandang orang lain atau disebut-sebut, ia
benar-benar musyrik dalam ibadahnya. Karena orang yang berbakti pada
cinta, tidak senang bila baktinya dipandang oleh selain yang dijabdi.”
Sahl bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang senang pamer amalnya pada
orang lain ia telah riya’. Dan siapa yang ingin dikenal kondisi
ruhaninya oleh orang lain, ia adalah pendusta.”
Ibrahim bin Adham nengatakan, “Tidak benar bagi Allah orang yang senang dengan keterkenalan (popularitas).”
Dan menghapus riya’ dan membersihkannya, sudah seharusnya dilakukan
dengan memandang kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar