Dari Kedai Sufi #@KHMLuqman@sufidamai#sufinews.com
KELIHATANNYA NIKMAT, TAPI…
Berkali-kalu Dulkamdj baca Istighfar, dan kelihatan kacau balau dalamk
desah Istighfarnya itu. Tak biasanya ia seperti itu. Malah jika Pardi
yang mengalami bias wajar-wajar saja, karena Pardi suka bikin ulah. Tapi
Dulkamdi malah lebih gila disbanding Pardi jika sudah kacau.
“Dul…Dul…kamu kenapa sih?”
“Aduh Di…aduhhh…..”
“Kamu ini stress apa terkena guna-guna”
“Dua-duanya…”
“Nggak ada yang lain lagi?”
“Banyak, pokoknya jadi rumit sekali Di…aduhhhh…”
“Kenapa sih?”
“Aku ketakutan Di…”
“Takut apa?”
“Takut apa yang saya lakukan dan terima seama ini hanyalah bencana belaka….”
“Maksudmu kamu dapat uang hasil korupsi bencana…!”
“Bukan gundulmuuuu…!”
“Lalu?”
“Masak kamu nggak perna ngerasa juga. Bagaimana Allah menurunkan nikmat dan Istidroj. Tahu kan maksudku?”
“Ya..ya…ya…”
“Jadi kamu merasa semuanya ini Istidroj?”
“Begitulah…Jadi kelihatannya nikmat tapi dalamnya bencana…”
“Dasar kamu ini sering mencurigai Allah Dul. Kasta Kang Soleh dulu kita
sudah harus epakat degan diri sendiri, tidak boleh su’udzon pada Allah
dan pada orang lain, lhah kamu malah bangun kecurigaan baru….”
Suara
gemlothak di di dapiur Cak San, mulai menghangatkan suasana para
pengopi p[agi itui. Kang Soleh tidak tampak batang hidungnya.
Dulkamdi hanya mengingat ayat Allah, “Kami bakal memberi istidroj pada
mereka sekiranya mereka itu tidak mengetahui….” Ayat ini membuat galau
Pardi, jangan-jangan ibadah pun bias memunculkan istidroj. Yaitu
fenomena nikmat tetapi mengandung bencana.
Dulkamdi semakin tertekan
oleh imajinasinya sendiri, dengan asumsinya yang menyimpang sampai
akhirnya membuat ia memandang sesuatu tampak buruk, padahal baik, dan
memandang yang baik tampak buruk. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
"Siapa yang tidak dianugerahi Cahaya, maka dia tidak mendapatkan Cahaya
sama sekali.” (An-Nuur, 40).
Tiba-tiba dating seorang tua
berwajah bukit dengan keriput khasnya. Ia istirahat di kedai itu sambil
meletakkan pikulan kayu di bahunya. Lalu memandang Dulkamdi dan Pardi
dengan pandangan tajam, tapi tidak ada amarah sama sekali, sembari
berkata, “Saudaraku… sudah selazimnya anda segera berlari menuju Allah
Ta'ala dalam setiap kondisi, sekaligius mewaspadai hawa nafsu anda dalam
segala hal, dan berpaling dari sikap menunggu terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan tujuan nafsu. "Jika tidak beradab, pastilah Allah
menyingkirkan dirimu dan apa yang engkau kehendaki….Maksudnya Allah
menepiskan dirimu dari pintuNya, karena dirimu lebih berpijak pada
hasratmu sendiri, sampai dirimu memandang seakan-akan dirimu sangat
dekat dengan Allah, padahal sangat jauh dari Allah. Hal-hal seperti ini
merupakan pangkal dari segala Istidroj. Na'udzubillah mindzaalik. Karena
itu Al-Junaid mengisayaratkan, "Yang paling lembut dalam memperdayai
para wali-wali Allah adalah adanya karomah-karomah dan ma'unah-ma'unah…"
Cobaan dan bencana ini dalam suatu stadium dimana anda sendiri
menginginkannya. Pertama, Anda merasa bergembira dengan cobaan itu, lalu
memutuskan hubungan dengan Allah Ta'ala. Hal demikian semakin
memperjelas betapa jauhnya diri anda dari keistemewaan yang
sesungguhnya.
Kedua, sangat sibuk dengan ubudiyah tetapi, ia
mengandalkan ibadah itu sebagai prestasi dirinya. Padahal ubudiyah
semestinya sebagai pantulan dari pandangan terhadap anugerah dan syukur.
Ketiga terpedaya oleh perbuatan lahiriyah (formalisme) dan jauh dari
substansi batin yang sesungguhnya. Nomor tiga ini sungguh merupakan
kondisi dimana seorang hamba terlempar dari Allah.
Jangan sampai
kita terpedaya oleh formalisme bahkan termasuk syurga sekalipun. Imam
Ahmad bin Hambal ra, pernah mengatakan kepada para muridnya, "Takutlah
kamu pada cemeti keadilan. Ringankanlah dirimu dalam kelembutan
anugerah. Dan jangan merasa aman dari ujianNya, walaupun Dia memasukkan
dirimu ke dalam syurga. Di syurga telah terjadi apa yang terjadi pada
Bapakmu Adam as. Dan banyak kaum terputus di sana, lalu dikatakan pada
mereka, "Makanlah dan minumlah kalian dengan puas, karena amalmu di
hari-hari yang berlalu…" Kemudian mereka hanya makan dan minum itu saja.
Lantas cobaan mana yang lebih dahsyat dibanding di syurga tadi?
Kerugian mana yang lebih besar dari itu semua?”
Pardi dan Dulkamdi
langsung langsung mencium tangan orang tua itu begitu lama sambil
sesenggukan. Entah berapa lama ia menghamburkan diri ke pangkal orang
tua itu. Daqn alangkah terkejutnya, ketika ia dongakkan kepalanya, bukan
lagi orang taua tadi. Tapi Kang Soleh sembari senyum-senyum simpul.
“Apa…! Mbah tua tadi?...Sudah pergi. Wong kamu…kok…”
Aneh dan sinthing kalau dipikir…
M Luqman Hakim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar