Jumat, 03 Juni 2016

KELIHATANNYA NIKMAT, TAPI…

Dari Kedai Sufi #@KHMLuqman@sufidamai#sufinews.com
KELIHATANNYA NIKMAT, TAPI…
Berkali-kalu Dulkamdj baca Istighfar, dan kelihatan kacau balau dalamk desah Istighfarnya itu. Tak biasanya ia seperti itu. Malah jika Pardi yang mengalami bias wajar-wajar saja, karena Pardi suka bikin ulah. Tapi Dulkamdi malah lebih gila disbanding Pardi jika sudah kacau.
“Dul…Dul…kamu kenapa sih?”
“Aduh Di…aduhhh…..”
“Kamu ini stress apa terkena guna-guna”
“Dua-duanya…”
“Nggak ada yang lain lagi?”
“Banyak, pokoknya jadi rumit sekali Di…aduhhhh…”
“Kenapa sih?”
“Aku ketakutan Di…”
“Takut apa?”
“Takut apa yang saya lakukan dan terima seama ini hanyalah bencana belaka….”
“Maksudmu kamu dapat uang hasil korupsi bencana…!”
“Bukan gundulmuuuu…!”
“Lalu?”
“Masak kamu nggak perna ngerasa juga. Bagaimana Allah menurunkan nikmat dan Istidroj. Tahu kan maksudku?”
“Ya..ya…ya…”
“Jadi kamu merasa semuanya ini Istidroj?”
“Begitulah…Jadi kelihatannya nikmat tapi dalamnya bencana…”
“Dasar kamu ini sering mencurigai Allah Dul. Kasta Kang Soleh dulu kita sudah harus epakat degan diri sendiri, tidak boleh su’udzon pada Allah dan pada orang lain, lhah kamu malah bangun kecurigaan baru….”
Suara gemlothak di di dapiur Cak San, mulai menghangatkan suasana para pengopi p[agi itui. Kang Soleh tidak tampak batang hidungnya.
Dulkamdi hanya mengingat ayat Allah, “Kami bakal memberi istidroj pada mereka sekiranya mereka itu tidak mengetahui….” Ayat ini membuat galau Pardi, jangan-jangan ibadah pun bias memunculkan istidroj. Yaitu fenomena nikmat tetapi mengandung bencana.
Dulkamdi semakin tertekan oleh imajinasinya sendiri, dengan asumsinya yang menyimpang sampai akhirnya membuat ia memandang sesuatu tampak buruk, padahal baik, dan memandang yang baik tampak buruk. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Siapa yang tidak dianugerahi Cahaya, maka dia tidak mendapatkan Cahaya sama sekali.” (An-Nuur, 40).

Tiba-tiba dating seorang tua berwajah bukit dengan keriput khasnya. Ia istirahat di kedai itu sambil meletakkan pikulan kayu di bahunya. Lalu memandang Dulkamdi dan Pardi dengan pandangan tajam, tapi tidak ada amarah sama sekali, sembari berkata, “Saudaraku… sudah selazimnya anda segera berlari menuju Allah Ta'ala dalam setiap kondisi, sekaligius mewaspadai hawa nafsu anda dalam segala hal, dan berpaling dari sikap menunggu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan tujuan nafsu. "Jika tidak beradab, pastilah Allah menyingkirkan dirimu dan apa yang engkau kehendaki….Maksudnya Allah menepiskan dirimu dari pintuNya, karena dirimu lebih berpijak pada hasratmu sendiri, sampai dirimu memandang seakan-akan dirimu sangat dekat dengan Allah, padahal sangat jauh dari Allah. Hal-hal seperti ini merupakan pangkal dari segala Istidroj. Na'udzubillah mindzaalik. Karena itu Al-Junaid mengisayaratkan, "Yang paling lembut dalam memperdayai para wali-wali Allah adalah adanya karomah-karomah dan ma'unah-ma'unah…"
Cobaan dan bencana ini dalam suatu stadium dimana anda sendiri menginginkannya. Pertama, Anda merasa bergembira dengan cobaan itu, lalu memutuskan hubungan dengan Allah Ta'ala. Hal demikian semakin memperjelas betapa jauhnya diri anda dari keistemewaan yang sesungguhnya.
Kedua, sangat sibuk dengan ubudiyah tetapi, ia mengandalkan ibadah itu sebagai prestasi dirinya. Padahal ubudiyah semestinya sebagai pantulan dari pandangan terhadap anugerah dan syukur.
Ketiga terpedaya oleh perbuatan lahiriyah (formalisme) dan jauh dari substansi batin yang sesungguhnya. Nomor tiga ini sungguh merupakan kondisi dimana seorang hamba terlempar dari Allah.
Jangan sampai kita terpedaya oleh formalisme bahkan termasuk syurga sekalipun. Imam Ahmad bin Hambal ra, pernah mengatakan kepada para muridnya, "Takutlah kamu pada cemeti keadilan. Ringankanlah dirimu dalam kelembutan anugerah. Dan jangan merasa aman dari ujianNya, walaupun Dia memasukkan dirimu ke dalam syurga. Di syurga telah terjadi apa yang terjadi pada Bapakmu Adam as. Dan banyak kaum terputus di sana, lalu dikatakan pada mereka, "Makanlah dan minumlah kalian dengan puas, karena amalmu di hari-hari yang berlalu…" Kemudian mereka hanya makan dan minum itu saja. Lantas cobaan mana yang lebih dahsyat dibanding di syurga tadi? Kerugian mana yang lebih besar dari itu semua?”
Pardi dan Dulkamdi langsung langsung mencium tangan orang tua itu begitu lama sambil sesenggukan. Entah berapa lama ia menghamburkan diri ke pangkal orang tua itu. Daqn alangkah terkejutnya, ketika ia dongakkan kepalanya, bukan lagi orang taua tadi. Tapi Kang Soleh sembari senyum-senyum simpul.
“Apa…! Mbah tua tadi?...Sudah pergi. Wong kamu…kok…”
Aneh dan sinthing kalau dipikir…

M Luqman Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar