Kamis, 03 Maret 2016

Pengertian Rabithah

Suhbat Syaikh Muhammad Hisham Kabbani
September 7, 2004

A'udzu billahi min asy-Syaitani 'r-Rajim
Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahim
Dastur Ya Sayyidi Madad


Setiap kali kita memulai sebuah suhbat, asosiasi, kita harus memohon dukungan. 
Dan selalu, Mawlana Syaikh Nazim, semoga Allah merahmati beliau, 
sebagaimana kita adalah pengikut Mawlana Syaikh Nazim, 
murid-murid Naqsybandi, 
kita harus mengikuti tata tertib yang sama. 
Jadi, 
kita tidak bisa mengubah tata tertib yang ada dan berkata, 
"Tidak. 
Apakah ini bisa diterima atau tidak??" 
Kita hanya mengikuti. 
Mereka lebih tahu. 
Karena mereka sudah mengambil dari kita sebuah janji, bay'at. 
Kami (Mawlana Syekh) menerima bay'at kita 
dalam Thariqah Naqsybandi 
jadi artinya mereka memasukkan kita dalam tali mereka, 
dalam rabithah mereka.

Rabithah seperti sebuah rantai kunci. 
Kita adalah satu buah kunci di rantai ini. 
Atau seperti manik-manik -kita adalah 
sebutir manik-manik dari untaian manik-manik tersebut. 
Jika terdapat 1.000 atau 200 bagian-bagian kecil, 
kita adalah satu bagian dari itu. 
Jadi, 
kita terhubung bersama-sama. 
Sehingga kita harus mengikuti apa yang telah diajarkan kepada kita, 
atau bila tidak kita tidak melakukan tata tertib dalam thariqah. 

Jadi apapun yang sang Syaikh lakukan, 
kita selalu memfokuskan apa yang sedang beliau lakukan. 
Kita mengamati dan memfokuskan, 
dan kita berada dalam muraqabah terus menerus, 
untuk mempelajari setiap bagian—
apa yang harus kita katakan, 
apa yang harus kita baca, 
apa yang harus kita… 
perhatikan apa yang sedang beliau lakukan dan 
belajarlah dari beliau dan pahami, dan 
itulah makna sebuah [bentuk] tata tertib dalam thariqah yaitu 
dengan mengamati, memfokuskan, dengan muraqabah.

Ketika sang Syaikh berkata "Dastur Ya Sayyidi Madad," 
saat beliau memulai suhbatnya
—jika kalian mendengarkan beliau—
setiap suhbat, 
setiap asosiasi, 
sang Syaikh duduk. 
Itu artinya asosiasi saat beliau duduk, dan 
disana ada 100 atau 200 atau 300, 
kesemuanya duduk dihadapan beliau dan 
siap menerima tangan beliau dan 
mereka sudah di bay'at dalam thariqah, 
jadi asosiasi ini adalah rabithah, 
yang menghubungkan satu dengan lainnya.

Kita mengatakan 
rabitat-aal al-Kabbani, 
rabitat aal al-Ghalayyini, 
rabitat aal al-Kuftaro, 
rabitat aal al-Maliki, 
rabitat aal al-Madani, 
rabitat al… 
Itu artinya 
rabithah adalah tali yang menghubungkan semua keluarga ini. 

Sebagai contoh kita mempunyai rabitat aalul-Kabbani di Lebanon
—mungkin ratusan orang dari keluarga yang sama. 
Jadi rabithah berarti… kelompok, 
semuanya sama-sama terhubung dalam satu jalan, 
sehingga mereka datang dan bertemu disebuah tempat. 
Jadi, 
inilah makna rabithah. 
Artinya kalian menerima berada dibawa panji kelompok itu.

Kini apa yang kalian lakukan dalam kelompok itu 
adalah hal yang berbeda. 

Tapi rabithah adalah 
kalau seluruh komunitas berada dalam keluarga yang sama, hubungan yang sama. 
Jadi kita adalah rabitat-al-Haqqani. 
Artinya, 
kita adalah Rabitat-aalu 'l-Haqqani, atau asy-Syaikhu 'l-Haqqani—
kita ada dalam koneksi beliau, 
dalam tali beliau, 
menghubungkan kita semua bersama-sama. 

Seperti, apa nama keluargamu? 
Subki. Aalu's-Subki. Rabitat aalu 's-Subki—itu artinya 
semua Subki yang mempunyai nama keluarga sama—
mereka membuat sebuah asosiasi dan mereka lalu berkata, 
"Baiklah, kita akan bertemu bersama-sama. 
Dan inilah pemimpin kita dalam pertemuan itu." 

Jadi, inilah makna rabithah, 
untuk menghubungkan semua yang tersebar 
dilebih dari satu tempat disini dan disana—tidak, 
dia mengumpulkan mereka bersama. 

Sang Syaikh, 
murid-muridnya terpencar diseluruh dunia, 
jadi saat dia meletakkan mereka dalam rabithah, artinya 
dia meletakkan mereka dalam rantainya, dalam talinya. 
Jadi, 
mereka semua terhubung dengannya. 
Itulah rabithah. 
Tali yang menghubungkan mereka. 
Ini benar-benar berbeda dengan muraqabah.

Sebagaimana ada sebuah rabithah secara fisik melalui hubungan darah, 
ada sebuah rabithah spiritual melalui hubungan spiritual. 

Hubungan darah adalah dari silatur rahim—para sepupu dan kerabat. 
Mereka mempunyai sebuah rabithah antara mereka 
yang menghubungkan mereka semua. 

Spiritual artinya mereka yang berada dibawah Syaikh yang sama, 
yang menghubungkan mereka melalui bentuk spiritual mereka—ruh dan… 
yang diberikan kepadanya pada Hari Perjanjian, dan 
diberikan kepadanya pada Laylatu 'l-Isra' wa 'l-Mi'raj oleh Nabi (saw)—
berikan kepadanya, membagi ummah. 
Itu berada dibawah kendalinya, dibawah kekuatannya. 
Itulah rabithah dia.

Itulah kenapa dalam Khatmu 'l-Khwajagan, 
saat kita melakukan Dzikrullah, khatm, 
kita meraihnya setelah Syahada dan Astaghfirullah, 
lalu apa yang kita katakan?

 "Rabitatu 'sh-Sharif" Sesudah surat Fatiha kita mengatakan "Rabitatu 'sh-Sharifah," artinya, 
hubungkan qalbu kalian dan ingatlah kalau kalian dalam tali, 
dalam rantai sang Syaikh. 
Kalian adalah kawanan yang sama, seperti seorang gembala dengan dombanya. 

Mereka melihat, mereka tahu bahwa mereka milik Syaikh itu. 
Artinya kalian milik kepada Syaikh tertentu. 
Jadi perhatikan, 
jaga hubungan spiritual lingkungan anak-anak itu bersama sang Syaikh, dan 
persaudaraan antar para pengikut. 
Jadi, 
sang Syaikh adalah bapak, 
para pengikut adalah saudara atau saudari kalian. 
Ini berarti, 
peliharalah dalam pikiran, dan yakinlah, 
ketika sang Syaikh berkata "rabithah", 
itu artinya kalian adalah bagian dari asosiasi itu, 

Artinya perbaruilah bay'at kalian 
dalam qalbu kalian kepada Syaikh kalian, 
seperti jika dikatakan, 
"Wahai Syaikhku, aku masih berada dalam rantaimu.
Tolong, jangan keluarkan aku. Aku masih disini." 
Itulah rabithah.

Itulah koneksi kalian. 
Kalian tahu kepada siapa kalian terhubung. 
Kalian terhubung ke al-Haqqani, atau terhubung ke thariqah lain. 
Tidak. 
Kami terhubung ke al-Haqqani, 
yang terhubung kepada ad-Daghestani - Mawlana Syaikh 'Abdullah (q). 
Terhubung ke Syaikh Sharafuddin Daghestani. 
Terhubung ke Abu Muhammad al-Madani, 
terhubung ke Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husseini, 
seluruh jalan ke Nabi (saw). 
Jadi inilah koneksi kita, inilah rabithah kita.
 Inilah rantai yang dengannya kita sampai disana. 
Ini tidak ada hubungannya dengan muraqabah. 

Muraqabah adalah topik bahasan yang benar-benar berbeda.

Allah berfirman dalam Kitab Suci Al Qur'an, 
"Inna-Allaha yudafi'u 'ani 'ladhiina aamanu." 
Allah akan membela siapa-siapa yang percaya dan yang beriman. 
Orang-orang ini tidak perlu membela diri mereka sendiri. 
Allah akan membela mereka. 
Allah akan mendukung mereka. 

Yaa ayyuhal ladziina aamanu,
 in jaakum faasiqun bi naba-in fa tabayyanu an tushiibuu qaumam 
bi-jahaalatin fa tushbihuu 'alaa maa fa'altum naadimiin. 

"Hai orang-orang yang beriman, 
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, 
maka periksalah dengan teliti, 
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum 
tanpa mengetahui keadaannya 
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." 
[Al Hujuraat 49:6] 

Wahai orang-orang beriman, 
jika seorang fasik (orang yang bejat) datang kepada kalian membawa kabar 
(sesuatu—bi naba; sebagai permisalan, katakan,
 "Tidak, 
saya datang melakukan ini, dan membenahi ini, untuk memperbaiki keyakinanmu. 
Aku sudah dikirim oleh sang Syaikh, atau oleh ini, atau oleh itu.") 

Pastikan, 
cek sebenar-benarnya apakah dia benar atau tidak. 
An tushiibuu qaumam bi-jahaalatin —
karena jika kalian percaya begitu saja tanpa mengeceknya, 
lalu kalian terperosok dalam penjelasan an tushiibuu qaumam bi-jahaalatin —
artinya kalian menentang seseorang yang berkata kebenaran, 
tapi karena keteledoranmu tanpa mengeceknya terlebih dulu, 
kalian menyerang dia atau menyerang orang lain 
yang mempunyai hubungan dengannya, dan 
berusaha melakukan yang mereka bisa demi kebaikan Islam, dan 
berusaha yang terbaik demi thariqah, dan 
berusaha melakukan yang terbaik demi Syaikh mereka. 

Kalian menyerang cara berpikir tingkat rendah, atau 
sebuah plot yang sudah ditekankan kepada kalian 
agar kalian terjerembab dalam jebakan setan. 
Lebih baik melakukan pengecekan, dan lalu berbicara. 
Ini baik bagi orang-orang yang ingin benar-benar mempercayai 
untuk melakukan pengecekan apa yang orang lain berikan kepadanya 
apakah informasi itu benar atau salah 
sebelum menyerang dan menciptakan sebuah kebingungan dan fitnah. 
Dan Nabi (saw) bersabda,
 "Al-fitnatu na'imatun la'an-Allahu man ayqadaha – 
Fitnah, Kebingungan adalah tidur, 
Allah mengutuk seseorang yang membesarkannya." 

Karena ini sebuah fitnah atas sesuatu yang tidak ada. 
Dan Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
Inna Allaha yudaafi'u 'anil ladziina aamanuu 
inna Allaha laa yuhibbu kulla khawwaanin kafuur.
"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. 
Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat 
lagi mengingkari nikmat." [Al Hajj 22:38]

"Allah membela orang-orang yang berada dijalan yang benar." 
Kita berharap bahwa kita berada dijalan yang benar, 
dan Allah akan membela kita.

Ini benar-benar ditolak oleh Allah dalam Kitab Suci Al Qur'an, 
dengan bersabda 
"Jangan meragukan seorang pun, karena kau pada akhirnya akan menyesal."

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Yaa ayyuhal ladziina aamanu,
 in jaakum faasiqun bi naba-in fa tabayyanu an tushiibuu qaumam 
bi-jahaalatin fa tushbihuu 'alaa maa fa'altum naadimiin.
"Hai orang-orang yang beriman, 
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, 
maka periksalah dengan teliti, 
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum 
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal 
atas perbuatanmu itu." [Al Hujuraat 49:6]

Kalian akan penuh dengan sesal 
atas apa yang telah kalian serang tanpa sebuah alasan. 
Dan selalu dalam karakteristik seorang Syaikh, 
artinya dia tidak akan mengklaim bahwa dirinya adalah seorang Syaikh. 
Kalian tidak bisa mengukuhkan itu. 
Jika kalian mengikuti seorang Syaikh, 
kalian tidak bisa mengukuhkan kalau dirimu adalah seorang Syaikh. 
Ini adab yang buruk, tabiat buruk, tidak ada dalam tata tertib. 

Kalian mengukuhkan kalian adalah murid, 
dan murid-murid terendah, 
supaya Allah akan memberikan kalian lebih. 

Seorang wakil sang Syaikh, 
tidak bisa mengukuhkan diri kalau dia adalah seorang Syaikh. 
Dia tidak dapat mengukuhkan sesuatu, 
dia tidak bisa berkata, 
"Aku fana' dalam Hadirat Allah," atau "Aku begini dan begitu. 
Akulah yang murni. Aku tulus. 
Dan sisanya adalah pengemis, sisanya adalah setan, sisanya adalah hewan." 

Kalian tidak bisa berkata begitu. 

Jika kalian benar-benar wakil dari sang Syaikh, dan 
kalian mendapat otoritas, 
kalian harus merendah –dibawah setiap orang, 
agar setiap orang bahagia. 
Kalian tidak bisa menjelek-jelekkan! 

Dimana hal itu ada dalam ajaran-ajaran Sang Nabi (saw)!

Al-ghiba, an-namiimah, al-buhtaan tidak diterima dalam Islam! 

Bagaimana bisa kalian melemparkan ghiba 
tentang saudara-saudara kalian baik laki-laki maupun perempuan? 

Kalian selalu duduk dalam majelis dan menjelekkan-jelekkan kabar itu 
tidak bisa diterima. 
Didepan muka mereka kalian membuat diri kalian 
seakan-akan orang yang penuh kasih sayang. 
Ketika mereka tidak ada, kalian saling menjelekkan. 

Islam macam apa, 
Syari'ah macam apa, 
thariqah macam apa yang seperti itu?

Aku tidak pernah mendengar Mawlana Syaikh Nazim 
membicarakan orang dibelakang sepanjang hidupku. 
Menjelek-jelekkannya, atau berusaha berkata, 
"Saya memperbaiki keyakinan dia." 
Atau "Aku mengoreksi" ini atau itu atau "Apa yang dia katakan salah." 
Tidak pernah! 
Beliau begitu sederhana, begitu lembut, begitu murah hati, 
dan berusaha untuk menarik qalbu orang banyak, 
sebagaimana yang Nabi (saw) sabdakan, 
Idkhaalu 's-suruuri ila qalbi 'l-'abd mina 'l-iman - 
"Untuk membawa kebahagiaan ke hati seorang hamba adalah dari iman." 

Jadi beliau berusaha untuk membawa kebahagiaan, 
bukan membawa amarah, 
tidak membawa kebingungan, 
tidak membawa kehancuran, 
tidak membawa penindasan, 
tidak membawa tekanan, 
tidak membawa kebohongan, 
tidak membawa buhtaan, 
tidak membuat fitnah antar orang. 
Tidak, 
tidak pernah tata tertib dalam thariqah mengijinkan itu semua.

Jika kalian melakukan semua hal itu 
untuk memperebutkan sebuah jabatan, 
atau demi ketenaran, itu hal yang berbeda. 

Jika kalian ingin dikenal oleh masyarakat, 
jika kalian pikir bahwa kalian tidak dikenal, 
itu adalah sebuah kesalahan. 
Itu adalah sebuah penyakit dalam diri kalian. 
Allah akan mengenali kalian! 
Kalian tidak perlu dikenali oleh orang banyak. 

Jadi ketika kalian menemukan sebuah jabatan yang kosong, 
dan kalian menerjang dan duduk diatasnya agar dikenali, 
dengan menyerang saudara atau saudari kalian sendiri 
atau orang-orang terdekat kalian, 
sebagai cara untuk memperoleh ketenaran – untuk apa? 
Untuk publikasi di dunya? 
Atau untuk akhira? 

Jika ini untuk akhira, ini bukanlah tata tertib akhira, 
jenis pekerjaan seperti itu. J
ika ini untuk dunya, 
kemudian kita memahami bahwa ini untuk dunya. 
Jadi, 
kita harus waspada terhadap fitnah, 
bahwa kita akan diseret oleh Setan. 
Bahkan jika kalian adalah seorang wali!!!

Bahkan para wali! Kadang kala Setan berusaha untuk menyerat mereka. 
Dan sebagai contoh adalah Sayyidina Adam (as). 
Beliau adalah seorang nabi! 
Para nabi—tidak ada persamaan antara para nabi dengan para wali! 

Seorang wali bahkan tidak sebanding dengan setetes samudera seorang nabi! 
Apa yang kalian pikirkan tentang Nabi Terakhir (saw)? 
Jadi Sayyidina Adam (as) diseret oleh setan untuk memakan buah dari pohon, 
dan beliau seorang nabi. 
Apakah kalian pikir bahwa seorang wali akan diseret, 
jika Allah berkehendak agar dia diseret? 
Jadi, 
kalian harus sangat berhati-hati. 
Ada 124.000 orang wali. 
Bukan hanya satu wali. 
Bukan 2 orang wali. 
Bukan 3. 
Ada tingkatan-tingkatan berbeda! 
Ada tingkatan terendah hingga tingkatan tertinggi. 
Dan Alhamdulillah, 
kita percaya bahwa Syaikh kita, 
Sultan al-Awliya, Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani adalah tingkat tertinggi. 
Tetapi ada sebanyak 124.000 orang dibelakang beliau. 
Apakah kalian pikir kalau di tingkatan terendah tidak akan terjadi kesalahan? 
Tentu saja mereka melakukan kesalahan! 
Sahabat, diantara mereka pun terjadi masalah.

 Mu'awiya dan Sayyidina 'Ali, 
apakah mereka tidak memiliki masalah? 
Mereka saling bertikai dan keduanya merupakan Sahabat! 
Mereka datang dan berkelahi. 
Sayyidat A'isya (r) bersama Mu'awiya melawan Sayyidina 'Ali (ra)—
dan A'isya (r) merupakan istri Sang Nabi (saw). 

Tapi kita tidak menyentuh subyek itu, 
karena mereka adalah Sahaba dan (masalah) itu diantara mereka. 
Kita menghindarinya. 
Jadi jangan berusaha untuk menciptakan… 
Kalian harus belajar menaati tata tertib dalam thariqah. 
Dan tata tertib tersebut untuk memelihara 
garis persaudaraan dan persaudarian 
dalam rabithah yang sama, 
pada rantai yang sama – artinya dalam kelompok yang sama, 
bukan untuk menciptakan fitna dalam kelompok 
dan memisahkan kelompok menjadi ratusan bagian yang berbeda-beda.

Ada 2 buah macam hubungan dalam tata tertib thariqah, 
bahkan diantara para wali. 

Jika kalian ingin mengatakan "para wali" bagi murid-murid Mawlana Syaikh
—ada para wali diantara mereka. 
Ada 2 macam hubungan. 
Ada sebuah hubungan spiritual antar mereka 
—karena mereka melakukan hubungan spiritual- 
dan ada juga hubungan spiritual dan hubungan darah. 
Mungkin saja ada hubungan saudara diantara para wali. 
Dan mungkin ada, 
diantara saudara ini berbeda dari kedua sisi yaitu secara fisik dan spiritual, 
mungkin saja mereka mempunyai sudut pandang berbeda terhadap sesuatu. 
Kalian tidak bisa, 
seperti seorang saudara laki-laki –kalian berada dalam rabithah yang sama- 
jika kalian berada dinaungan seorang wali berbeda, 
kemudian ada yang ingin kalian sampaikan,
 kalian tentunya menyokong guru kalian. 
Ini sebuah kelompok berbeda dari para wali. 
Tapi jika kalian berada dinaungan wali yang sama, 
kalian tidak bisa, 
atau kalian akan terpuruk dalam kesalahan. 
Dan jangan berpikir,
 "Oh! Bagaimana mungkin mereka berbeda?" 
Mereka memang berbeda.

Dan sebagai contoh kalau mereka bisa berbeda 
meskipun secara fisik dan spiritual terhubung ke Syaikh yang sama, 
mereka dapat mempunyai cara berbeda dalam mendekati sesuatu. 
Tujuan mereka adalah satu yaitu Mawlana Syaikh Nazim, 
atau Sang Nabi (saw), atau Allah, 
tapi mereka mengambil jalan yang berbeda. 
Satu pergi ke arah kanan, yang lain ke kiri, 
tetapi pada akhirnya mereka bertemu di sebuah titik tertentu. 
Tapi setiap orang pergi dengan arah berbeda. 
Dan jangan berpikir, 
"Oh! Bagaimana ini terjadi?" 
Benar. 
Dalam Kitab Suci Al Qur'an dicantumkan. 
Dalam Surah Yusuf (as), putra dari Ya'qub (as) – mereka adalah 12 nabi. 
Mereka adalah para nabi karena Allah (swt) menjadikan mereka sebagai nabi. 
Mereka cemburu terhadap Yusuf (as), 
dan apakah yang mereka lakukan? 
Mereka ingin membunuh beliau, sejak pertama kali! 
Mereka ingin membunuh Yusuf (as)! 
Karena kecemburuan dan kebencian mereka, 
mereka mencapai sebuah tingkat 
dimana mereka tidak sanggup menahannya lebih lama lagi, 
karena Yusuf begitu dekat dengan sang ayah, 
melakukan segalanya untuk mempromosikan ayahnya, 
mengajari ajaran-ajaran dari ayahnya, Sayyidina Ya'qub (as).
 Beliau merupakan orang yang bijak, 
paling dekat dengan ayahnya
 – mereka berusaha untuk membunuh Yusuf (as). 

Namun apa yang terjadi? 
Allah tidak menghendaki itu terjadi. 
Dia ingin agar hal itu menjadi sebuah ujian bagi Yusuf (as), 
dan sebuah ujian atas mereka, sehingga Dia mengubahnya,
 Dia menghentikan mereka 
dengan berkatanya salah seorang dari mereka, 
"Jangan. 
Kita tidak boleh membunuhnya. 
Kita akan letakkan dia dalam sumur 
dan ditinggalkan agar mati."

Allah memanggil mereka Aali-Ya'qub.
 Aali-Ya'qub berarti rabitatu Ya'qub, 
itu artinya bahwa mereka berada dalam rantai Sayyidina Ya'qub (as), 
dalam tali, kelompok atau asosiasi Sayyidina Ya'qub (as). 
Artinya, itulah hubungan, rabithah. 
Tapi penghinaan terhadap rabithah itu, 
setiap orang melakukan sesuatu untuk menentangnya. 
Sehingga mereka pergi berdasarkan pemikiran mereka, 
dan apa yang datang ke pikiran mereka? 
"O mari kita membunuh Yusuf?" 
Mengapa
 "O, untuk menyingkirkan dia. 
Kemudian kita akan lebih dekat dengan ayah kita, 
dan dia akan semakin mencintai kita."

Itulah kecemburuan; iri. 

Dalam thariqah, 
kalian tidak boleh berlaku seperti itu. 
Dan ini terjadi kepada para nabi! 
Allah memberikan mereka kenabian! 
Bukan hanya kepada 10 orang dari mereka. 
Kita katakan sebelumnya ada 12 orang. 
Allah memberikan mereka kenabian. 
Mereka bukan wali! 
Bahkan mereka ada di tingkat tertinggi! 
Jadi, 
kalian berkata kalau tidak ada semacam konflik? 
Benar! 
Disana tidak ada hal seperti itu. 
Tapi yang Yusuf (as) alami sebagai apa?

Dia bersabda:

رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِن تَأْوِيلِ الأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَنتَ وَلِيِّي فِي الدُّنُيَا وَالآخِرَةِ تَوَفَّنِي
مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

Wa ufawwidu amrii il-Allah. 
Rabbi qad aataitanii minal mulki wa 'allamtanii min ta'wiilil-ahaadiits – 
"Ya Tuhanku, 
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan
 dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi." 
[Yusuf 12:101]

"Ya Allah, Kau memberikan aku kerajaan (mulk), 
Kau memberikan aku kekuatan! 
Kau menganugerahi kepadaku untuk dikenal disini dan akhirat, dan 
Kau mengajariku dari ilmu menafsirkan (ta'wil) mimpi dan pengetahuan." 

Mereka iri kepada beliau. 
Mengapa mereka tidak seperti Yusuf (as)?
 "Singkirkan dia!"
 Bagaimana cara menyingkirkannya? 
Plotkan sesuatu yang tidak benar tentangnya 
agar nantinya dia akan dilempar keluar. 
Kemudian kita tidak melihat dia lagi. 
(Memberi isyarat gerakan menghapus dengan tangan). 
Buatlah sebuah laporan salah tentang dia.
 Informasi salah, menghina dia dengan segala macam cara, 
dan mereka tetap nabi dan melakukan hal seperti itu. 
Jadi, 
seorang wali mungkin saja melakukan hal itu!

Dan mereka melakukan itu 
dan mereka tahu kalau yang mereka lakukan adalah salah, 
tapi mereka bersikeras melakukannya, 
karena mereka diseret seperti Sayyidina Adam (as) yang diseret oleh setan. 
Mereka diseret melakukannya, 
tapi Allah menyelamatkan Yusuf (as) dan Yusuf (as) dekat dengan mereka. 
Beliau tadinya akan bermain dengan mereka. 
Artinya bahwa beliau sangat dekat dengan mereka. 
Beliau tidak dapat menghancurkan hubungan itu. 
Beliau biasa bekerja dengan mereka dalam semua pekerjaan, diluar. 
Dan para wali dapat saling bekerja sama, dalam semua hal, secara lahir. 
Meski pun secara fisik mereka terhubung atau terhubung secara spiritual, 
mereka bekerja secara lahir, 
tapi ketika tidak ada jalan lain bagi kecemburuan tersebut 
kecuali dengan membenci dan membunuh, pada masa itu, 
hal itulah yang menyelebungi orang-orang, 
dan dia tidak bisa mencari jalan keluar dari masalah tersebut. 
Dan kemudian dia menghancurkan sesuatu. 
Tapi, Allah (swt) sangat penyayang.
 Bagaimana hal itu berakhir? 
Karena mereka adalah nabi. 
Mereka datang dan berlutut kepada Sayyidina Yusuf (as) 
dan berkata, "Ya Yusuf, kami menyadari kesalahan kami. 
Kaulah yang benar. Ampunilah kami." 
Jadi Allah masih, kepada para wali-Nya,
 Dia memberikan sejenis…kita katakan "hifz" dalam bahasa Arab, perlindungan. 
Bukan 'isma—'isma diperuntukkan bagi para nabi. 
Kesucian. Perlindungan bagi para wali. 
Jika mereka melakukan hal yang salah, 
karena selama hidup mereka melakukan perbuatan-perbuatan baik, 
Allah memberikan pengecualian, mengampuni mereka. 

Jadi, Sayyidina Yusuf (as) dan saudara-saudara beliau adalah nabi, 
jadi Allah (swt) membawa dan memperlihatkan kepada mereka 
kalau mereka melakukan sebuah kesalahan.

Dan Yusuf (as), 
ketika ayah beliau menangis karena masalah itu, 
mata beliau…beliau menjadi buta. 
Sehingga kebingungan apapun 
terhadap sebuah kelompok yang secara spiritual terhubung 
antar satu dengan lainnya dibawah panji seorang Syaikh, 
Sang syaikh akan menangis 
ketika dia melihat sebuah fitnah yang tidak penting ada disana. 
Dia akan menangis dan matanya akan menjadi buta. 
Itu artinya dia tidak ingin melihat hal itu. 
Dia tidak ingin melihat fitnah itu. 
Mereka akan diputuskan hubungan. 
Sampai mereka meminta kedamaian kembali, dan pengampunan. 
Kemudian dia akan mengampuni mereka. 
Dan apa yang terjadi? Sayyidina Yusuf (as) mengirim pakaiannya kepada sang ayah, berpesan kepada saudara-saudaranya:

قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Qaala la tatsriiba 'alaikumu yawma yaghfiru Allahu lakum 
wa huwa arhamur-raahimiin

Dia (Yusuf) berkata:
 "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, 
mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), 
dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." [Yusuf 12:92]

فَلَمَّا أَن جَاء الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا
Fa lamma an jaa al-basyiiru alqaahu 'alaa wajhihii fartadda bashiira
"Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, 
maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, 
lalu kembalilah dia dapat melihat." [Yusuf 12:96]

Ya'qub (as) dapat melihat lagi. 
Artinya dia memperbaiki hubungan itu. 
Beliau mengampuni saudara-saudara Yusuf (as) 
atas kesalahan mereka terhadap Yusuf (as).

Sehingga Syaikh akan tidak bahagia karena situasi itu. 
Dan mereka –mereka yang mempunyai otorisasi 
berada disekitar sang Syaikh dalam area-area negara dimana fitnah muncul, 
mereka juga tidak akan bahagia. 
Tapi, 
dengan kelembutan mereka, 
dan dengan kesejukan mereka, 
dan dengan qalbu mereka yang terbuka, 
mereka mengampuni. 
Jadi mengapa harus mengalami situasi seperti itu 
ketika mereka dapat menghindarinya?
 Ini tidak diterima dalam Islam, dan dalam Syari'ah.

Dan aku akan membawa, 
dari cerita-cerita dan contoh-contoh GrandSyaikh, 
aku akan membawa ini. 
Beliau pernah berkata, satu waktu Sang Nabi (saw) berkata,
 "Sahaba itu tidak akan masuk ke Surga." 
Seorang Sahabat! 
Sang Nabi (saw) mengajari kita. 
Tentu saja, para Sahaba akan memasuki Surga. 
Tapi Sang Nabi (saw) ingin membersihkan dia 
dan memberikan perhatian kepadanya 
atas tingkah lakunya yang buruk. 
Berarti, 
"Jauhkan tingkah laku buruk ini." 
Karena Sang Nabi (saw) datang untuk mengajari kita 
Syari'ah dan tata tertib. 
Jadi, 
beliau ingin mengajari kita mana yang salah, 
sehingga beliau berkata kepada Sahaba itu,
 "Kau tidak akan masuk ke dalam Surga 
jika kau tetap melakukan perbuatan buruk itu."

Mengapa? 
Karena biasanya dia, 
ketika sedang duduk bersama orang-orang lain, 
jika seseorang melintas di jalan –
pada zaman itu terdapat gang-gang yang sangat sempit, jalan-jalan kecil– 
sebagaimana orang akan melintas maka dia akan menyapa mereka: 
"Oh! Hallo! 
Kau sangat baik, kau merindukan aku! 
Mau kemana! 
Apa yang kau lakukan! 
Aku sayang kamu! 
Mampirlah ke rumahku! 
Kau yang terbaik! 
Kau seperti ini! 
Kau seperti itu! 
Kau orang yang dermawan! 
Kau yang paling cantik! 
Kau yang paling pintar! 
Kau yang paling tampan! 
Kau yang paling berilmu!" 
Orang lain menjadi sangat senang.

Dan kemudian ketika seseorang berlalu, 
dia akan berkata kepada orang-orangnya, 
"Dia orang yang buruk. Dia bukan siapa-siapa. Dia sampah. Dia dungu. 
Kita harus melemparnya." 
Dan dia akan mulai menjelek-jelekkan 
dan melemparkannya dengan buhtaan dan ghiba dan namiima.

Jadi, ada orang-orang saat ini dihadapanmu, 
"Oh! Kaulah yang terbaik! Aku cinta kau! Aku tidak melihatmu! Dimana kamu!" 
Memeluk, menciummu dan kemudian ketika kau pergi, 
"Oh! Itu keyakinan yang salah! 
Aku mengoreksi keyakinan mereka.
 Mereka melakukan hal yang salah. 
Mereka membuat fitnah. 
Mereka mengambil kau sebagai barang dagangan.
 Mereka tidak mengklarifikasi semuanya." 
Itu tidak dapat diterima.

Selalu, 
GrandSyaikh dan Mawlana Syaikh Nazim 
melarang berbicara sesuatu yang buruk dibelakang, 
dan didepan mereka sesuatu yang bagus. 
Itu haram.

Jika kalian mempunyai sebuah masalah 
dengan orang-orang ini yang berlalu dijalan atau gang, 
kalian dapat berbicara langsung kepada mereka. 
Mencek apa yang salah. 
Jika seseorang, 
murid-murid Mawlana Syaikh atau wakil-wakilnya—
kalian mempunyai sebuah masalah, 
bicaralah langsung, 
bertatapan muka, 
pecahkan masalah. 
Jangan berkelahi. Itu tidak penting.

Aku akan lompat ke sebuah subyek berbeda. 

Subyek lainnya adalah 
kalau aku memberikan lebih banyak contoh 
dari apa yang sudah aku berikan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, 
contoh-contoh muraqabah. 
Aku akan memberikan sebuah dari tulisan GrandSyaikh. 
Dan tidak seorang pun berkata 
"Tidak" pada hal itu. 
Suatu kali, Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani (q) 
berkata kepada para muridnya 
– ini artinya mereka yang berada dalam rabithah beliau, 
ditali atau rantai beliau- itulah rabithah.

 Itu artinya semua orang yang menerima bay'at beliau. 
Ketika kita berkata rabithah, 
kita terhubung dengan Syaikh kita, 
mengingat kalau kita memperbaharui hubungan kita dengannya, 
kalau dia menghubungkan kita kepada Sang Nabi (saw), 
menghubungkan kita dengan Hadirat Illahiah. 
Jadi, 
dia berkata kepada para murid, 
"Hari ini…" 
Dan mereka yang mempunyai perwakilan otoritas, 
murid perwakilan tinggi, dan murid normal. 
Beliau berkata, 
"Hari ini, 
aku ingin setiap orang dari kalian pergi 
dan menyembelih seekor ayam jantan, seekor ayam, 
di sebuah tempat dimana tidak seorang pun dapat melihat kalian."

Jadi mereka bergegas,
 dan dalam satu jam satu per satu dari mereka pergi. 
Mereka menyembunyikan diri, 
dibelakang pegunungan, 
dibelakang bukit, 
dibelakang pasar, 
dibelakang rumah, 
dibalik semak-semak, 
dibalik pepohonan, 
dihutan, 
dilaut 
– setiap tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya, 
di Baghdad. 

Mereka berusaha melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan. 
Ada yang datang satu jam kemudian, menyembelih ayam jantan. 
Yang satu datang setelah 2 jam kemudian. 
Yang lain datang setelah 3 jam. 
Satu pada jam itu, satu pada jam ini. 
Dan tinggal seorang lagi yang belum terlihat. 
Dia tidak datang. 
Dan Maghrib pun datang dan mereka tidak bisa menemukannya. 
Dan lalu hari berikutnya datang, dengan ayam jantan berada ditangannya, 
menghadap Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani. 
Ayam jantan itu masih hidup. 
Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani berkata, 
"Seluruh temanmu sudah datang, 
dan mereka sudah menyembelih ayam jantan masing-masing. 
Mengapa kau terlambat? 
Aku memintamu untuk menyembunyikan diri 
di sebuah tempat 
dimana tidak seorang pun bisa melihat 
kau menyembelih, 
dan kembali kepadaku. 
Apa yang terjadi?"

Dia menjawab, 
"Wahai guruku, 
kau memintaku untuk menyembelih 
dimana tidak seorang pun dapat melihatku." 
Dan tidak seorang pun bisa menyangkal cerita GrandSyaikh ini.

Dia berkata, 
"Aku…seluruh murid, 
seperti sebuah rabithah,
 seperti sebuah kelompok dari sebuah rantai atau seutas tali, 
pergi bersama. 
Dan kemudian mereka berpisah atas kemauan mereka sendiri. 
Dan lalu mereka datang bersama. 
Itulah rabithah, mereka pergi bersama dan datang bersama. 
Mereka di kelompok beliau, kelompok Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani. 
Tapi setiap orang pergi dengan jalan berbeda, 
dia mencapai jalannya menuju ke Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani. 
Karena mereka berada dalam kelompok yang sama, 
tapi setiap orang melihat Syaikh mereka dengan cara berbeda. 
Mereka secara konstan melakukan muraqabah kepada Syaikh. 
Mereka secara konstan melihat
 –apa yang beliau lakukan mereka akan melakukan. 
Jadi, 
hal itu memberikan inspirasi yang sangat tinggi kepada murid, 
dan beliau merupakan seseorang yang mempunyai otoritas. 
Dia berkata,
 "Wahai Syaikhku, 
aku sedang mencari, memfokuskan, meditasi, berpikir." 
Bagaimana mereka katakan dalam muraqabah, 
berpikir hal itu adalah kufr? 
Atau "Muraqabah, meditasi, adalah kufr
—kalian tidak dapat melakukannya kecuali kepada Allah!"

Rabithah, kalian dapat melakukannya kepada Syaikh. 
Rabithah adalah sebuah rantai!
 Seutas tali. 
Kalian semua berada disana. 
Tentu saja.
 Itu tidak ada hubungannya dengan muraqabah. 
Tapi muraqabah adalah 
kalau kalian harus melihat bagaimana tata tertib Sang Syaikh. 
Bagaimana Syaikh melakukannya, kalian ikuti. 
Itu artinya, 
kalian selalu berada dalam hadirat beliau. 
Jadi, apa yang beliau katakan? 

Dan inilah jawabannya. 

Dia berkata,
 "Wahai Syaikhku! 
Aku sedang memfokuskan diri dan bermeditasi, 
aku pergi ke bukit untuk menyembelih ayam jantan 
dimana tidak seorang pun dapat melihatku. 
Aku melihat kau disana. 
Aku pergi ke pantai dimana tidak seorang pun dapat melihatku, 
aku melihat kau disana. 
Aku pergi ke hutan, dan dengan meditasiku, 
aku melihat kau disana dengan qalbuku, 
atau dengan memfokuskan pikiran dan qalbuku. 
Kau selalu hadir!
 Kemanapun aku pergi, 
aku tidak menemukan sebuah ruangan kosong 
dimana kau tidak ada bersamaku 
dan aku berada dalam hadiratmu. 
Jadi, 
kehadiranmu selalu bersamaku, 
dan darimu aku sanggup,
 melalui kehadiranmu, 
untuk mencapai Hadirat Nabi (saw), 
dan mencapai Hadirat Allah (swt). 
Sehingga tidak ada tempat kosong 
dalam jagad raya ini, dunia ini, 
yang bisa aku raih, 
yang kosong dari dirimu, 
kosong dari Nabi (saw), 
kosong dari`Allah (swt). 
Kemanapun aku memalingkan mukaku, 
aku melihatmu. 
Kemanapun aku mengarahkan wajahku, 
aku merasa Hadirat Nabi (saw), 
kemanapun aku mengarahkan wajahku, 
aku merasa Kehadirat Allah (swt). 

Jadi bagaimana bisa aku menyembelih ayam jantan ini? 

Aku secara berkesinambungan melakukan muraqabah, 
dan kau ada disana, dimana-mana. 
Sehingga aku tidak menemukan sebuah ruang kosong pun. 
Aku tidak menemukan sebuah tempat 
dimana kau tidak ada disana, 
atau dimana Nabi (saw) tidak ada, 
atau dimana Allah (swt) tidak ada.

Inilah cerita GrandSyaikh tentang Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani, 
bersama murid-murid beliau, 
untuk menyembelih seekor ayam jantan disuatu tempat 
dimana tidak seorang pun yang ada. 
Dan mendengar jawaban sang murid, 
beliau berkata, 
"Kaulah Khalifahku. 
Hanya kau yang mengerti maksud dari muraqabah dan rabithah, 
semoga Allah mendukungmu. 
Aku mengutusmu sebagai seseorang yang telah diberi otoritas, 
untuk memberikan pengajaran diseluruh dunia."

Cerita ketiga dari GrandSyaikh untuk hari ini adalah
 ketika beliau berkata suatu waktu, 
seorang murid dari Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani (q) meninggal. 

Dan inilah cerita GrandSyaikh, 
Sultanul Awliya, Sayyidi Syaikh Abdullah al-Fa'iz ad-Daghestani, 
dan Sayyidina Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani.
 Ini cerita mereka. 
Ini bukan ceritaku, atau cerita orang lain.
 Inilah cerita GrandSyaikh. 

Beliau berkata, 
"Suatu kali, seorang murid Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani meninggal."
 Sayyidina Azra'il datang, mengambil ruhnya dan pergi. 
Mereka menguburkannya. 
Dan 2 malaikat yang mengajukan pertanyaan datang Munkar dan Nakir. 

Para wali dapat melihat. 
Keduanya tidaklah mudah. 
Mereka kuat. 
Allah mengaruniai mereka kekuatan. 
Ketika Sayyidina Muhammad (saw) berbicara dalam Perang Badar, 
beliau berbicara kepada orang-orang kafir ketika mereka meninggal, 
dan mengubur mereka, 
apakah kau melihat apa yang Allah janjikan kepada kamu sebagai Haqq? 
Itu artinya,
 "Apakah kau melihat kalau kau akan merugi dan pergi ke Jahannam?"

Sahaba berkata, 
"Ya Rasulallah, apakah mereka mendengarmu? 
Kau dapat melihat dan mendengar mereka?
Sayyidina Muhammad (saw) menjawab, 
"Benar. 
Mereka dapat mendengar dan mereka dapat melihat. 
Mereka sedang melihat dan mendengarku."

Para wali adalah pewaris Nabi (saw). 
Jika Nabi (saw) memberikan mereka sesuatu, 
mereka akan mengembannya. 
Sayyidina 'Abdul Qadir Jilani merupakan salah seorang Sultan Awliya. 

Jadi Munkar dan Nakir datang,
 2 malaikat penanya setelah makhluk meninggal, 
dan ingin bertanya beberapa pertanyaan kepada lelaki itu.

Setiap pertanyaan
 yang mereka tanyakan, 
dia menjawab, 
" 'Abdul Qadir Jilani."
Mereka bertanya, 
"Siapakah Pencipta-mu?"
" 'Abdul Qadir Jilani."
"Apakah agamamu?"
" 'Abdul Qadir Jilani."
"Apakah Kitab Suci mu?"
" 'Abdul Qadir Jilani."

Untuk semua pertanyaan, dia menjawab, " 'Abdul Qadir Jilani."

Itu artinya, 
"Aku melebur dalam 'Abdul Qadir Jilani. 
Jangan tanyakan padaku. 
Tanyailah dia. 
Aku selama di dunya selalu berada di hadiratnya, 
dan di akhira, dalam hadiratnya." 

Berarti kehadiran itu…
Tingkat pertama adalah cinta (mahabbat), 
cinta kepada sang Syaikh, 
cinta kepada Nabi (saw), 
cinta kepada Allah (swt). 
Kemudian ada hadirat (hudur), 
hadirat Nabi (saw), hadirat Syaikh, 
kemudian itu akan mengantarkan kita 
ke penyatuan/melebur (fana) dalam Allah, 
dalam Nabi (saw), 
dan hadirat sang Syaikh. 
Jadi, 
pada hadirat itu, 
muraqabah itu, 
meditasi itu, 
dia tidak melihat kecuali 'Abdul Qadir Jilani. 
Jadi, 
bagaimana bisa kalian katakan 
bahwa muraqabah itu kufr? 
Atau kalau muraqabah syirk? 
"Kau tidak bisa melakukan." 

Muraqabah
—murid itu masih berada di tingkat pertama Hudur (kehadiran). 
Dia melihat segala sesuatu yang datang dari Syaikhnya. 
Inilah tata tertib dalam thariqah, yaitu kepatuhan. 

"Patuhi Allah, 
patuhi Nabi (saw), dan 
patuhi mereka yang mempunyai otoritas melampauimu." 
Dia akan membawa kalian ke Nabi (saw). 
Jadi, 
ketika dia masih berada ditingkat itu, 
setelah mahabbatullah, mahabbatul-Habib, mahabbatul-masyaikh, 
dia mencapai tingkat berikutnya yaitu kehadiran sang Syaikh. 
Dimanapun dia memalingkan wajahnya, dia melihat sang Syaikh. 
Jadi, 
dia sedang melihat Syaikhnya. 
Sehingga kini sang Syaikh harus menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir. 
Beliau muncul disana untuk Munkar dan Nakir. 
Beliau menjawab atas namanya. 
Beliau berkata, 
"Jika kalian menggiling dia, jika kalian menggiling tubuhnya, 
dan menjadikannya berkeping-keping, dan menggosok darahnya, 
setiap tetes darahnya dan setiap sel dari tubuhnya akan berkata, 
"'Abdul Qadir Jilani." 
Inilah cerita GrandSyaikh. 
Ini berarti bahwa muraqabah memenuhinya secara keseluruhan, 
tapi dia masih belum bisa pergi ke tingkat kedua, yaitu 
muraqabatu' r-Rasul (saw). 
Jadi dia berada di transisi. 
Dan dia meninggal dunia. 
Sehingga jika dia sanggup mencapai muraqabatu 'r-Rasul, 
dia bisa mencapai muraqabatullah, 
yang menjadi tujuan—muraqabah bersama Hadirat Illahiah. 
Tetapi awalnya harus melalui sang Syaikh. 

Sebuah kendaraan, 
seperti Mawlana menjelaskan dalam salah satu pelajaran beliau baru-baru ini, 
muraqabah harus bersama sang Syaikh dalam sang Syaikh, 
dan memandang sang Syaikh,
 dan beliau memberikan contoh seorang supir mobil berpengalaman, 
dimana kalian mempunyai supir sejati 
dan seorang murid yang belajar mengemudi. 
Supir mempunyai sebuah roda kemudi dan gas dan rem dan akselerasi. 
Si murid mempunyai hal yang sama.
 Sehingga si murid pun mengemudi, 
dan sang guru memperhatikan, mengarahkannya. 
Dan jika si murid melakukan sebuah kesalahan, 
dia melihat ke gurunya yang memperbaiki kesalahannya. 
Jadi dia secara terus menerus muraqabah, 
meditasi terus menerus bersama sang Syaikh 
dan dia mengemudi, 
bersama sang supir dan dia mengemudi, 
bersama guru dan dia mengemudi. 
Sehingga jika dia melakukan kesalahan, 
sang Syaikh akan segera menariknya.

Jadi murid itu sepenuhnya berada di hadirat 'Abdul Qadir Jilani
—tidak ada pertanyaan untuknya. 
Dia tidak bisa menjawab, apa yang bisa dia katakan? 
Dia sudah diambil sebelumnya, 
diinginkan—tidak diinginkan oleh jinn, 
tapi didandani dengan haqiqat kehadiran. 
Tidak ada jalan keluar sekarang, 
sampai dia pergi ke hadirat Nabi (saw) dan Hadirat Allah, 
tapi masa kematiannya sebelum dia mencapai hal itu. 
Dia mencapainya nanti, dalam kubur.

Rabithah selalu ditujukan kepada sang Syaikh, 
muraqabah selalu kepada sang Syaikh. 

Rabithah adalah selalu kepada sang Syaikh 
karena kalian berada di rantai beliau. 
Dan kemudian 
beliau akan mengambil dan meletakkan kalian 
dalam rantai Nabi (saw), 
atau tali Nabi (saw), 
dan Nabi (saw) meletakkan kalian dalam tali Allah 
sebagaimana beliau berkata,

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Wa'tashimuu bi hablillaahi jami'aw wa laa tafarraquu, –
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, 
dan janganlah kamu bercerai berai, …" [Ali 'Imran 3:103]

Kalian akan mencapai tujuan akhir. 
Muraqabah adalah cinta kepada Allah, 
cinta kepada Nabi (saw). 
Itulah caranya, apa yang harus kalian lakukan. 
Rabithah adalah untuk mengikat diri kalian 
kepada sang Syaikh, ke Nabi (saw), ke Allah 
dengan mengambil bay'at itu. 

Seperti menunjuk seorang 'amir (pemimpin). 
Jika kalian bertiga, Nabi (saw) berkata, 
"Tunjukkan seorang 'amir diantara kamu."
 Artinya, 
jalinlah hubungan dengan 'amir itu, dan 
dengarkan apa yang dia katakan. 
Selesai. 
Kita mengambil tangannya, 
kita melakukan bay'at, 
kita berada dalam kelompoknya. 
Itulah rabithah.

Tetapi muraqabah adalah 
bagaimana kalian akan mengikuti 
sebuah metoda pasti dalam kehidupan kalian 
agar mendisplinkan diri kalian sendiri 
dan belajar karakteristik 
dan tingkah laku yang baik 
dan karakteristik sang Syaikh. 

Melalui muraqabah
—Sahaba biasa memandang kepada Nabi (saw) 
dan berusaha mengikuti langkah-langkah beliau. 
Dan Allah berfirman

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
In kuntum tuhibbuunallaaha fat tabi'uunii yuhbibkumullaahu 
wa yaghfir lakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim

"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, 
ikutilah aku, 
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." 
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali 'Imran 3:31] 

Jadi muraqabah adalah cinta. 

Kalian sungguh mencintai Allah, 
mengikuti langkah-langkahku menuju Muhammad (saw), 
Allah akan mencintai kalian. 

Jadi 
muraqabah adalah untuk mengikuti langkah-langkah Nabi (saw), 
yang berarti juga langkah-langkah para pewaris Nabi (saw). 
Jadi 
ketika kalian melihat, 
itu pertama-tama kalian membutuhkan untuk mencintai, 
mahabbatullah, 
cinta kepada Nabi (saw), 
cinta kepada sang Syaikh. 
Lalu 
itu akan membawa kalian ke tingkat yang lebih tinggi: 
Hadirat sang Syaikh,
 Hadirat Sang Nabi (saw), 
Hadirat Allah. 
Kemudian 
itu akan membawa kalian 
ke sebuah tingkat yang lebih tinggi lagi: 
Fana' dalam sang Syaikh, 
Fana' dalam Sang Nabi (saw), 
Fana' dalam Allah (swt). 
Itulah tiga buah tingkatan, 
yang pergi bersama-sama, 
dari tingkat pertama kedua hingga ketiga. 

Dan mereka paralel 
ke 'Ilmu 'l-yaqiin, 'Aynu 'l-Yaqiin, Haqqu 'l-Yaqiin. 

Mahabba memberikan kalian 'ilm, 
Hudur memberikan kalian 'Aynu 'l-Yaqiin, dan 
penyatuan/melebur (Fana') memberikan kalian Haqqu 'l-Yaqiin. 

Dengan Mahabba, kalian dapat mendengar.
 'Ilmu 'l-yaqiin, pengetahuan datang kepadamu dengan mendengar. 
Hudur berarti kalian dalam hadirat sang Syaikh, 
artinya kalian dalam muraqabah, kalian mencari—penglihatan. 
Dan karenanya 
itu memberikan kalian 'Aynu 'l-Yaqiin, haqiqat melihat. 
Tingkat kedua dalam sisi paralel. 
Tingkat ketiga penyatuan/melebur adalah 
paralel oleh Haqqu 'l-Yaqiin, 
haqiqat melihat, sekarang. 
Kalian mempunyai pengetahuan, 
kalian mempunyai penglihatan, 
lalu 
itu akan memberikan kalian kebenaran, 
kebenaran sejati.

Jadi 
inilah jalan/cara muraqabah. 
Muraqabah membimbing kalian melalui perjalanan Gnostisisme kalian sendiri. 
Kalian tidak bisa berkata, 
"Tidak, tidak ada muraqabah. Atau muraqabah itu kufr." 
Kemudian 
kalian berubah pikiran untuk berkata, 
"Muraqabah diperbolehkan oleh sang Syaikh 
tapi tidak diperbolehkan untuk ini atau itu." 

Setiap hari kalian berloncatan seperti kaum ulama saat ini. 
Suatu hari mereka memberikan sebuah fatwa kalau topik ini tidak apa-apa, 
dan hari berikutnya mereka mengubah fatwa tersebut 
karena mereka melihat sistem pemerintahan berkata, 
"Jangan, ubah itu sekarang!" 

Bagi para politisi fatwa kalian tidak baik sehingga kalian mengubahnya. 
Kalian mengubah fatwa kalian 
sehingga kalian dapat memegang jabatan kalian. 
Jadi, 
kaum ulama mulai mengubah fatwa mereka. 
Ini seperti seekor bunglon. 
Satu hari mengubah satu fatwa, 
hari berikutnya mengubahnya ke fatwa berbeda.

Dalam thariqah 
kalian tidak bisa melakukan hal itu. 
Thariqah adalah jujur. 
Yang kalian katakan kebenaran!

وَقُلْ جَاء الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Wa qul jaa al-Haqq, 
wa zahaqal baathilu, 
innal baathila kaana zahuuqa.

"Dan katakanlah:
 "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". 
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." 
[Al Israa' 17:81] 

Kalian tidak bisa membela kesalahan 
dan membuat sebuah fatwa untuk kesalahan. 
Jadi kembalilah ke suara hati kalian. 
Kembalilah ke hatimu. 
Kalian tidak—jika kalian benar-benar berkata bahwa
 kami adalah pengikut Mawlana Syaikh, dan wakil Mawlana Syaikh, 
kita harus kembali ke kepribadian asli kita, 
jangan bermain-main seperti sebuah kincir angin, 
seperti angin yang berhembus begitu pula denga kincir angin, 
atau seperti sebuah perahu di lautan, 
berlayar kemana pun angin membawanya
—seperti dikatakan dalam puisi, 
"angin mengerakkan perahu sesuai kehendaknya."

Tajri riyahu bimaa laa tashtahi sufunu.

Jangan biarkan angin membawa kalian 
dari satu tempat ke tempat lain 
agar memberikan maaf atas sebuah kesalahan 
atau sebuah kesalahan penafsiran tentang yang terjadi. 

Kalian harus menjadi pengikut yang setia. 
Jika ini benar, kalian memelihara kebenaran. 
Jika ini tidak benar, kalian memelihara kebenaran. 
Dan kalian tahu yang terbaik, 
sebagaimana murid-murid Mawlana Syaikh, 
semua dari kita tahu yang terbaik 
kalau 
muraqabah adalah 
ajaran yang sangat penting dalam Islam 
dan pengobatan Kenabian. 

Semoga Allah mengampuni kita.

Wa min Allahi 't-Tawfiq bi hurmati 'l-Fatiha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar