Selasa, 01 Maret 2016

Ziarah Makam Maulana Jalaluddin Rumi

Ziarah Makam Maulana Jalaluddin Rumi

Di tengah-tengah tanah Anatolia, 
hari ini bernama Konya, secara resmi ia telah dikubur. 
Tapi sebenarnya, 
kuburannya bisa ditemui di setiap hati manusia.

Rumi menyiarkan toleransi, akses ke pengetahuan melalui cinta. 
Hubungan mistisnya dalam Islam menghasilkan karya besar (masterpiece) 
yang melampaui batas negara Turki (tempat Rumi tinggal dan meninggal) 
menandai budaya dan ketaatan Islam. 
Karya-karyanya 
dari Divan-i Syams-i Tabriz, Mastnawi hingga Fihi ma Fihi 
memiliki relevansi dengan nilai-nilai universal, 
hingga zaman modern.

Pintu masuk ke makam Rumi
Di provinsi Konya, 
salah satu kota tua di Turki dimana kerajaan Seljuk (abad 11-12 M) berkuasa 
sebelum era Ottoman. 
Hari-hari beranjak ramai oleh para peziarah yang datang dan pergi 
di pusaran magnet terbesar di tanah Anatolia, yaitu 
makam dan museum Jalaluddin Rumi (30 September 1207-17 Desember 1273). 
Semakin hari hanya mampu terkesima menyaksikan para peziarah 
yang datang dari lintas negara dan bangsa, 
yang bisa berjumlah hingga ribuan setiap harinya.

“Karena di Konya ada Mevlana, kehidupan lebih religius dan damai. 
Kami sangat menghormatinya,” ujar salah satu dosen 
ketika suatu waktu menjelaskan sekilas tipologi kehidupan di Turki.

Nama Rumi memang tidak populer di Turki. 
Sebutan Mevlana (baca: Maulana),
 yang bermakna agung dan mulia (efendimiz), 
lebih sangat membumi dan masyarakat Turki dipastikan mengenalnya. 
Nama Mevlana diberikan oleh Shams-i-Tabrīzī, 
salah satu guru spiritual Rumi yang sangat mempengaruhinya, 
dan kemudian dipakai secara resmi oleh para pengikutnya, 
khususnya setelah Sultan Walad, anak sulung Rumi, 
meresmikan Mawlawwiy (Mevlevi Order).


Pendidikan menjadi Darwis
Pengaruh tokoh besar bernama asli Muhammad Jalaluddin yang lahir di Balkh 
(sekarang Afghanistan) ini sudah mendunia. 
Ajaran universalisme Rumi yang menyapih 
sekat dan batas-batas agama, suku bangsa dan ideologi 
telah menasbihkan dirinya menjadi milik semua bangsa, 
seperti dalam potongan puisinya:

 “I do not distinguish between the relative and the stranger”.

Tahun 2002 dengan nada intrik Majalah Time 
sempat menanyakan penyair sukses dewasa ini 
dari aspek penjualan buku/karyanya.
 “Books of poetry, after all, rarely sell,” 
tulisannya,
 “…. a Muslim mystic born in Central Asia almost eight centuries ago, 
he is no longer available for comment”. 

Time lalu menyebut Rumi sebagai “the most popular poet in America.”

Tahun 2007, 
genap 800 tahun peringatan meninggalnya Rumi, 
UNESCO mendeklarasikan sebagai tahun Rumi (The Year of Rumi), 
setelah dua tahun sebelumnya lembaga PBB itu meresmikan sema 
sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity. 
Dan Sheb-i Arus (wedding night), peringatan hari wafatnya Rumi, 
setiap 17 Desember selalu dihidmati dengan acara internasional hingga sekarang.

Itulah Rumi, 
sosok yang akan terus hidup sepanjang masa 
di tengah-tengah para pencari jati diri di depan Sang Pencipta, 
cinta kasih dan kemanusiaan. 
Jalan yang ditempuhnya dalam lorong sufisme
—kearifan dan kedamaian yang diagungkannya—
telah menebar ke semua penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Ya, Rumi telah menjadi api yang tak henti berpijar.

Kompleks makam Jalaluddin Rumi di Konya
Apa yang dikatakan Fariduddin Attar kepada Bahauddin Walad 
(ayah Rumi yang dikenal sebagai sultan al-ulama) 
ketika berjumpa di Nishapur dalam perjalanan pulang haji 
yang melintasi rute Baghdad, Damaskus, Malatya, Erzincan
—yang memilih meninggalkan tanah kelahirannya di Balkh 
karena tengah diserang bangsa Mongol—
dan akhirnya tiba di Anatolia (sekarang Konya) bahwa 
“umarım yakın bir gelecekte oğlunuz alem halkının gönlüne ateş verecek ve onları yakacaktır” atau dalam terjemahan Prof. Reynold A. Nicholson, 
penekun Rumi ahli bahasa Persia dan Professor Arab di Cambridge University: 
“… very soon you will see that this child will set fire onto the heart of the lovers 
in this world” telah terbukti kebenarannya.

Saat berjumpa Attar, 
Rumi masih seorang bocah berumur sekitar 7 tahun. 
Tapi Attar—seorang ulama sufi besar Persia dan sekaligus penyair yang berpengaruh 
dalam kesusastraan Persia termasuk pada diri Rumi
—paham tentang seorang bocah yang kala itu menjadi tamu 
bersama keluarga besarnya. 
Attar lalu memberi hadiah buku Asrar namah-i (Kitab Rahsia Ketuhanan)
 kepada Rumi kecil.

Pijaran cinta dan kasih universal Rumi pun menyatu dengan Konya, 
tanah yang menyimpan kebesaran dan keagungannya. 
Makam dan museum yang terletak di ujung Jalan Maulana (Mevlana Cd.), 
lurus dari Alaaddin Tepesi, 
sebuah bukit bekas benteng kerajaan Seljuk, 
berada di tengah keramaian kota Konya. 
Dari bukit Alaaddin ini, 
Kubah Hijau (green dome) yang menaungi makam Rumi dan Ayahnya 
tampak jelas terlihat.

Di kawasan museum 
yang terhampar di tanah seluas sekitar 18.000 m², 
terluas kedua setelah Topkapı Sarayı di Istanbul, 
dengan halaman kebun mawar (gül bahçesi), 
kita langsung diperdengarkan alunan nay, 
alat musik yang biasa mengiringi tarian sema (whirling dervish). 
Musik khas Persia itu akan menemani kita 
seperti sedang mengunjungi sebuah taman yang syahdu, 
taman cinta ajaran Rumi.


Makam Para Mevlevi, murid-murid Rumi
Dengan harus memakai plastik untuk membungkus sepatu yang tersedia, 
pengunjung lalu memasuki area makam yang berbentuk masjid—tanpa kamera. 
Sebelum sampai ke makam Rumi dan Ayahnya, 
kita akan menyaksikan murid-murid Rumi 
dengan nama dan tahun yang terpahat di nisan mereka. 
Tepat di tengah-tengah makam, 
sedikit menjorok ke pojok ruang, 
dua makam besar yang diselimuti karpet berwarna keemasan 
dengan nisan dibalut sorban seperti biasa dipakai para darwis 
ketika menari sema (sikke) tampak mencolok. 
Di makam ini para pengunjung menyemut,
 bedoa sambil berdiri. 
Di dalam kawasan makam, 
ada ruangan untuk tempat mengaji (yang awal kali menjadi tempat sema). 
Masih di ruangan makam, bergeser sedikit, 
kita akan menyaksikan naskah asli Masnawi versi tulisan tangan.

Selesai dari makam, 
giliran bersiap menjenguk koleksi-koleksi Rumi di museum, 
mulai dari pakaian Rumi, alat musik, 
hingga peralatan rumah dan beberapa koleksi sisa masa Usmani. 
Lalu beranjak ke sebuah gedung yang tampak mungil, yaitu 
Mevlevihane, 
sebuah simulasi proses pendidikan menjadi Mevlevi. 

Tingkatan pendidikan menjadi Mevlevi ada dua macam: 

pertama Asitanes, yaitu 
harus melewati pendidikan selama 1001 hari 
dengan berbagai latihan disiplin-diri menuju seyru seluk/suluk 
(spiritual journey) 
seperti duduk tanpa boleh bersuara di Matbah-i Sherif (dapur) 
menyaksikan kehidupan yang berlangsung dan semacamnya; 

kedua disebut Zaviyes, yaitu 
pendidikan menjadi Mevlevi yang lebih mudah, 
tanpa syarat seperti poin pertama. 

Sejak zaman Usmani sekitar abad 17 Zaviyes 
sudah menyebar di berbagai daerah 
dengan jumlah sekitar 140 Mevlevihanes 
di semua penjuru pelosok Usmani.



Selesai sudah menapaktilasi Rumi. 
Tapi jangan lupa, di pintu keluar sebelah kanan, 
kita disambut sajian ramah tamah dari pemerintah Karatay, 
yaitu teh gratis. 
Teh yang telah menjadi minuman wajib keseharian masyarakat Turki 
plus ramah tamah para pengunjung dan masyarakat setempat 
akan mengantarkan kehangatan bagi kita semua: 
bertemunya anak manusia dari semua bangsa!

Bernando J. Sujibto
Mahasiswa di Konya, Turki.

- See more at: http://jogjareview.net/jelajah/di-anatolia-aku-bertamu-ke-makam-jalaluddin-rumi/#sthash.r1Rql2h6.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar