Sabtu, 30 April 2016

PANDANGAN SUFI

PANDANGAN SUFI

Kejauhan itu 
lupa hati.

Kedekatan itu 
ingat hati.

Kejauhan itu 
hijab (tertutup).

Kedekatan itu 
kasyaf (terbuka).

Hijab itu gelap, 

Kasyaf itu Nur.

Gelap itu jahil, 

Nur itu Ma'rifat.

Rasulullah SAW bersabda: 
"Firman Allah Ta'ala, 
aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, 
Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, 
apabila ia mengingatKu dalam dirinya, 
Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan
 apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, 
Aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik." 
(Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari).

"Guru Sufi berkata: 
"Hatimu sekarang bersama Tuhanmu 
dan Tuhanmu bersama engkau, 
tidak jauh dari engkau, 
Ia mendekatkan engkau kepadaNya, 
dan mengenalkan engkau denganNya.".

Makrifat.

Seharusnya perjalanan makrifat seseorang itu 
tdk mengantarkan seseorang 
untuk menjadi diri yg mengaku "Allah", 
tetapi untuk menjadikan seseorang itu 
untuk tdk menjadikan sesuatu, tdk sebutan, nama 
apa lagi pengakuan.

Karena bila makrifat-mu itu benar, 
maka kau akan menyadari bahwa 
hakikatnya dirimu itu adalah segala sesuatu, 
yg luas tak terbatas, 
tdk bisa dilukiskan oleh nama dan sebutan juga huruf. 

Jika hny menjadikan dirimu "Allah" 
maka kau tdk sempurna dlm mengenal dirimu, 
padahal kunci dr mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri. 

Manusia adalah Ruh-ny Alam, 
seharusnya sebagai ruh-nya hrs mengenal alam raya ini.
Kau adalah alam raya itu sendiri, 
yg di dalam alam raya ini isinya luas tak terbatas, 
blla kau menyebutkan siapa dirmu, 
maka sesungguhnya kau membatasi dirimu sendiri 
dgn sebutan-sebutan itu,
 krn sesungguhnya kau adalah sesuatu yg tdk tersebutkan.

Sempurnakan makrifat-mu 
dgn menjadi segala sesuatu dn berada dlm segala sesuatu, 
tanpa menyebut dan mengakuinya, 
hny rasakan dan ciptakan.

Saefi Hirzul Yamani

Saefi Hirzul Yamani.

atau biasa juga di kenal dengan Saefi Hizbul Yamani merupakan Rajanya Hizib yang di populerkan oleh Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani, Berbeda dengan Hizib-hizib yang lainnya Saefi Hirzul Yamani ini Silsilah keilmuannya bersambung kepada Rosululloh Saw, Dengan Hirzul Yamani inilah Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani mendapatkan ratusan Karomah, di zaman Rosululloh Saw Saefi Hirzul Yamani di populerkan oleh Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah Ra. dengan nama Ainus Saefi ( Mata Saefi / pedang ).
Syeikh Al-Imam Al-’Allamah As Sayyid Muhammad bin Khotiruddin di dalam kitabnya Jawahir Al-Khomsu berkata Ketahuilah bahwa sesungguhnya ” Saefi ” merupakan Ayat dari Ayat2nya Alloh Ta’ala di dalam Saefi mengandung banyak sekali ke Ajaiban yang tidak terhitung dan keanehan yang tidak dapat di ingkari, banyak para Aulia yang mendapatkan berbagai macam Karomah dari Wasilah Do’a Ini ( Saefi Hirzul Yamani ).
Fadhilah Saefi Hirzul Yamani tidak terhitung jumlahnya...
Dalam kitab Kanzil Ma’ani diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qodir pada waktu pertama kali beliau menerima pangkat kewaliannya, beliau diliputi dengan sifat Jalaliyah Alloh, yakni sifat Keperkasaan-Kesaktian. Oleh karena itu namanya menjadi sangat sakti. Kesaktiannya telah terbukti bagi orang yang menyebut nama Syekh Abdul Qodir dengan bersikap secara tidak sopan, menyebut nama beliau dengan tidak punya wudhu, akan putus lehernya.
Pada waktu berjumpa dengan Rosululloh Saw, Rosul berpesan: “Wahai Abdul Qodir, sikap perilakumu itu jangan kau lakukan lagi, banyak yang menyebut nama Alloh dan namaku, mereka tidak bersifat sopan”. 
Setelah menerima amanat beliau, saat itu juga sikap perbuatan itu beliau tinggalkan.
Banyak ulama Baghdad yang menghadap Syekh Abdul Qodir, mereka mengharapkan agar beliau melepaskan sikap perbuatan itu, mengingat banyak yang menjadi korban, dan merasa iba terhadap mereka. Syekh Abdul Qodir berkata :”Sesungguhnya hal ini bukanlah keinginan ku, aku menerima sabda dari Alloh yang isinya: “Kamu telah mengagungkan nama-Ku, maka Ku agungkan namamu ”.
Para alim ulama mengemukakan yang menjadi sebab nama Syekh Abdul Qodir itu sangat sakti karena beliau selalu membaca Saefi Hirzul Yamani karangan Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah.
=Fadhilah Saefi Hirzul Yamani di antaranya=
Pengamal Saefi Hirzul Yamani yang selalu istiqomah bacaan nya, di pagi dan sore, niscaya Allah mengasihi dia dengan kasih yang khusus, dosa tidak akan menempel terhadapnya. Allah akan memberinya pengampunan untuk semua dosa-dosanya yang dilakukan sebelumnya.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan sebanyak 41 kali, Allah akan memberinya bakat karismatik seperti orang-orang suci, menjadi lentera bagi mereka di setiap tempat apapun, dengan Izin-Nya.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan 3 kali setiap pagi, sampai total empat puluh pagi, ia akan mendapatkan karisma orang-orang suci, dan ia akan menjadi sosok yang indah dan dihormati di antara sesama makhluk-Nya.
JikaPengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan sebanyak 41 kali, di setiap empat puluh pagi berturut-turut. di sampaikan pada tingkat kesucian.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani ingin melihat salah satu orang suci yang sangat dicintai Allah, atau ingin melihat keadaan anggota keluarganya atau salah satu sanak keluarganya, bacalah Saefi Hirzul Yamani 41 kali, maka dia akan melihatnya, dengan izin Allah.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan diniatkan untuk dirinya sendiri dan orang tuanya 41 kali, mereka tidak akan mengalami kesulitan di dunia ini maupun kesulitan di akhirat.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan itu satu kali, Allah akan menyelamatkan dia dari kematian mendadak (kecelakaan, kebakaran).
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani melafalkan Saefi Hirzul Yamani 41 kali untuk menemui nabi Khidir as, nabi Khidr as akan datang kepadanya.
Jika Pengamal Saefi Hirzul Yamani tekun dalam pembacaan, ia tidak akan meninggalkan dunia kecuali tetap dalam keimanan dan khusnul Khotimah. Allah akan mengampuni segala dosanya dengan nikmat anugerah-Nya, dengan pengampunan sejati.
Jin dan Khodam Ilmu tinggi apapun terkecuali Saefi, pusaka beryoni tinggi akan luntur bila berhadapan dengan Pengamal Saefi Hirzul Yamani, oleh karena itu tidak dapat digunakan mengambil pusaka, karena Khodam penunggu dan pusaka tersebut akan menghindarinya begitu sangat menghargainya, terkecuali dipanggil...
Menjaga, menarik dan menghancurkan Jin jahat tingkat tinggi
Mata setajam sembilu dan punya wibawa sangat tinggi
Pengamal Saefi Hirzul Yamani selalu dalam perlindungan Allah, dalam pertempuran melawan musuhnya tubuhnya kebal terhindar dari jenis senjata tajam dan senjata api, bahkan tidak mengenai tubuhnya...
Mencegah dan menghancurkan santet, Menghancurkan usaha pemilik pesugihan, gendam, hipnotis, dan Pengamal Saefi Hirzul Yamani terlindungi oleh khodam para malaikat..
Pengamal Saefi Hirzul Yamaniyang telah mencapai tahap puncak, bila sekali bentak musuh disekitar muntah darah dari 9 lubang dan Masih banyak lagi fadhilah lainnya yang tidak terhitung lagi jumlahnya…

SABAR DAN SYUKUR SEBAGAI JALAN TAWAKAL

SABAR DAN SYUKUR SEBAGAI JALAN TAWAKAL

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: 
“Wahai anakku, 
hendaklah engkau mempelajari ilmu dan bersikap ikhlas 
sehingga engkau bersih dari perangkap dan tali kemunafikan.

Carilah ilmu karena Allah Azza wa Jalla, 
bukan karena makhluk atau karena dunia. 
Dan, 
ciri pencari ilmu karena Allah adalah, 
engkau merasa takut kepada Allah k
etika datang perintah dan larangan-Nya.
 Engkau merasa takut dan hina di hadapan-Nya. 
Lalu, 
bersikap rendah hati terhadap makhluk 
tanpa membutuhkannya. 
Tidak berambisi terhadap apa yang mereka miliki.
Dan, 
bersahabatlah di jalan Allah, 
dan bermusuhanlah di jalan Allah. 
Sebab,
 persahabatan bukan di jalan Allah adalah permusuhan. 
Keteguhan selain di jalan Allah adalah kehancuran. 
Serta, 
pemberian bukan di jalan-Nya akan terhalang. 

Rasulullah SAW bersabda, 
“Iman itu terdiri dari 2 bagian; 
satu bagian sabar dan satu bagian syukur.”

Jika engkau tidak bersabar atas siksaan dan tidak mensyukuri nikmat, 
berarti engkau bukan termasuk orang yang beriman. 
Di antara hakikat Islam adalah mau berserah diri kepada Allah.

Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, 
niscaya Dia akan menyediakan baginya jalan keluar 
dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka,” 
(QS 65; 2-3)

Karena itu, berdoalah!
“Ya Allah, 
hidupkanlah hati kami dengan tawakal kepada-Mu, 
dengan ketaatan kepada-Mu, 
dengan mengingat-Mu, 
dengan menyesuaikan diri kepada-Mu 
dan dengan kekuatan tauhid kepada-Mu.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani

Perjalanan Spiritual Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi.

UNESCO, sebuah badan PBB untuk pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan menetapkan tahun 2007 menetapkan sebagai "Tahun Rumi", bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahiran Jalaluddin Rumi, seorang tokoh sufi dan penyair terkenal bukan hanya di dunia Islam. (http : //www. Eramuslim.com, Kamis, 01/03/2007).

Rupanya, UNESCO mengapresiasi Rumi begitu besarnya. Karena arah pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ke depan sangat mendambakan sebuah peradapan yang beradab dan manusiawi. Peradaban yang tidak hanya mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan ansich hanya bertumpu pada nalar atau logika dan empirisme, tetapi lebih pada pada penguatan peradaban berbasis spiritualitas. Tanpa dilandasi nilai-nilai dan cita-cita ruhani yang mantap, kebudayaan suatu bangsa akan mudah rapuh, dan akibatnya suatu bangsa akan mudah diombang-ambing oleh bangsa lain yang lebih kuat.

Fritjof Capra (1991:20) mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan tindakan sebagai hasil dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas membiarkan makna agama mengalir ke dalam kehidupan sehari-hari, tulisan pemikiran, dan segala aktivitas apapun. Jadi dalam membangun peradaban nilai-nilai ruhani harus selalu mengaliri dalam setiap derap langkah dan karya serta pikir suatu masyarakat bangsa kalau ingin bangsanya menjadi kuat dan bermartabat.

Pemikiran Jalaludin Rumi bersifat Iluminasionisme, yaitu sebagai suatu isme yang memandang bahwa hanya hati dan kalbu serta pensucian jiwa adalah satu-satunya sumber dan media bagi manusia untuk menggapai pengetahuan, makrifat, dan ilmu hakiki terhadap objek-objek dan realitas-realitas eksternal. (Ghulam Muhsin Ibrahimi; 438).

Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya. (Jalaluddin Hamayi:494).

Rumi merupakan tokoh sastra dan spiritual yang dikenang sepanjang masa melalui buah karyanya. Meski dunia telah mengalami perkembangan dan perubahan, era yang silih berganti, pemikiran rumi tetap aktual dan dan rindukan di segala jaman, karena tema-tema tulisannya banyak berhubungan dengan masalah-masalah universal, cinta, keadilan, kemanusiaan dan perdamaian Rumi banyak menulis puisi-puisinya ketika masih tinggal di Persia. Buah pikir Rumi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di sekitar ia menetap, tetapi dibaca banyak orang se antero jagad sampai ke Iran, Afghanistan, Tajikistan dan diterjemahkan sampai ke negara Turki, Azerbaijan, AS dan Asia Tenggara. Rumi pertama kali mengenal sufisme dari Syamsuddin dari Tabriz, seorang Muslim yang sengaja hidup miskin dan mengembara ke mana-mana. Ia sangat mencintai gurunya itu. Rasa kehilangan yang dalam saat Syamsuddin wafat, dituangkan Rumi dalam musik dan lirik-lirik puisinya yang bertajuk "Divani Syamsi Tabrizi." Puisi-puisi Rumi menunjukkan rasa cintanya pada Allah dan tokoh ini telah memberi pengaruh besar pada sastra, pemikiran dan ekspresi keindahan di dunia Islam. Selama berabad-abad, karya-karya Jalaluddin Rumi memberikan pengaruh yang signifikan pada karya sastra berbahasa Persia, Urdu dan Turki, Maka tidak heran bila bangsa-bangsa tersebut menjadi bangsa yang memiliki peradapan yang cukup membanggakan. Rumi telah menanamkan kecintaan pada Allah, Nabi Muhammad saw, sikap toleransi dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Dunia yang dibangunnya menjadi jantung, dunia di mana matahari, bulan dan bintang beredar sesuai hukum, perintah, harmoni dan kedamaian. Disinilah letak kelebihan Rumi dibandingkan dengan pemikir-pemikir yang lain. Rumi dianggap sebagai monumen pemikiran dan seorang tokoh jenius yang luar biasa. (http : //www. Eramuslim, Kamis, 01/03/2007).

Figur Rumi oleh Unesco dijadikan model pengembangan peradaban dunia pada masa mendatang.

SEJARAH SOSIAL JALALUDDIN RUMI

Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil Al Haqqani (1998) menuturkan, Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Attar terkagum-kagum saat melihat seorang bocah berusia delapan tahun yang tengah berjalan di belakang sang ayah. Tiba-tiba, dari mulut Attar terucap sebuah kalimat, ‘’Tengah datang ke sini sebuah lautan (sang ayah) yang di belakanganya diikuti sebuah samudra (si bocah).’‘

Sang penyair besar itu pun meramalkan kelak si bocah akan menjadi tokoh spiritual yang besar. Sang penyair besar itu pun lalu menghadiahkan sebuah kitab yang ditulisnya bertajuk Asrarnama kepada anak kecil itu. Berbilang tahun, ramalan Attar itu akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan. Ketika menginjak usia dewasa, bocah cilik itu benar-benar menjadi salah satu tokoh spiritual dan penyair sufi terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Sang penyair sufi legendaris asal Persia itu bernama Jalaluddin Ar Rumi. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset. Nama lengkapnya adalah Syekh Mawlana Muhammad bin Muhammad bin Husain al Khatabi Al Bakri yang kemudian dikenal dengan nama Jalaluddin Ar Rumi (Asrifin,tt:223).

Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H, atau tanggal 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ayahnya masih keturunan dari Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi adalah seorang cendekia yang sholeh, mistikus yang berpandangan ke depan, dan merupakan seorang guru yang terkenal di Balkh. (http://www.shalimow.com)

Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Pada tahun 1219, ketika Jalaluddin Rumi berusia 12 tahun, ayahnya, Bahauddin Walad, secara tiba-tiba bersama keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan menuju barat. Alasan yang dinyatakan orang (secara positif tetapi tanpa bukti) mengenai kepindahan ini, sebagai akibat dari inspirasi Ilahi maupun intrik manusiawi, tentu saja fiktif. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Bahauddin, seperti ribuan orang lainnya, melarikan diri sebelum datangnya gerombolan Mongol yang sangat mengerikan, yang tengah membumi hanguskan Khurasan dan sudah mendekati kota asalnya. Berita tentang penjarahan ini sampai di tempat-tempat yang asing dalam perjalanan mereka menuju Baghdad atau tempat lain di Baghdad ke Mekkah, saat mereka menuju ke Damaskus dan akhirnya menetap di Rum (Turki). (http: mistikrumi. blogspot.com)

Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh tanpa alasan yang jelas. Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khwarizmi ketika itu, Muhammad Khwarizmi-syah, menentang keberadaan Tariqat Kubrawiyah yang dipimpin oleh Bahauddin Walad. Pendapat lain yang tidak sedap ialah karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara Mongol yang ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi. Tetapi pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan Jengis Khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan bagan-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Bahauddin Walad mula-mula membawa keluarga menuju Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh tahun. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi yang tengah dilanda krisis internal, sekonyong-konyong diserbu oleh Jengis Khan sebagai pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang Mongol yang dikirim ke Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu keluarga Rumi telah meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama keluarga Rumi melakukan perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju Damaskus. Pada akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal terakhir yang menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di Konya, Anatolia. Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini termasuk wilayah kemaharajaan Rumawi Timur atau Byzantium. Pada akhir abad ke-11 M Konya direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di Anatolia hingga abad ke-13 M. Keterangan lain menyebutkan, mobilitas ini buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Saljuk Alauddin Kaykobad. Rumah mereka yang pertama adalah Zarandah, kira-kira 40 mil sebelah tenggara Konya, dan di situ Jalaluddin Rumi menikah. Pada tahun 1226 lahirlah anaknya yang tertua, Sultan Walad. Kemudian Bahauddin beserta keluarganya pindah ke Konya yang merupakan ibokota kerajaan Bani Saljuk Barat. Dikisahkan bahwa dia telah menjadi seorang teolog yang terkenal, seorang guru dan khatib besar yang dimulikan oleh para muridnya dan sangat dihormati oleh pihak kerajaan karena bertindak sebagai penuntun spiritualnya. Sekitar waktu inilah Burhanuddin Muhaqqiq at Tirmizi seorang petani murid Burhanuddin ketika masih tingal di Balkh tiba di Konya. Di bawah pengaruhnya dikatakan bahwa, Jalaluddin yang sekarang berusia 25 tahun menjadi sangat bergairah kepada disiplin dan ajaran-ajaran para Sufi (orang-orang lelaki atau perempuan yang berusaha menyatukan diri mereka dengan Tuhan). Selama 10 tahun berikutnya ia mencurahkan diri untuk meniru Pir-nya dan mengalami seluruh maqam kehidupan Tasawuf, sehingga karena Burhanuddin wafat pada tahun 1420, maka dia memangku jabatan Syeikh, sehingga dengan demikian mulailah, sekalipun tidak di rencanakan terlebih dahulu langkah untuk menciptakan persaudaraan antar murid.

Pribadi Rumi memang sangat menarik dan jumlah muridnya terus bertambah. Jalaluddin pun menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf selama 8 tahun. Tahun 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri. Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, mencegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan! Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’.

Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi.

Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Dan selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Ketika usianya menginjak 48 tahun, Rumi mulai memilih hidup sebagai seorang sufi. Rumi benar-benar mulai berubah. Ia sangat menghormati guru tasawufnya itu. Perlahan-lahan, Rumi mulai meninggalkan tugasnya sebagai seorang guru. Selain memilih hidup sebagai sufi, ia pun mulai menggubah puisi. Sebagai kenangan atas jasa sang guru yang mengenalkannya dengan kehidupan sufistik, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz. (Republika On Line Rabu, 18 Maret 2009)

Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama sahabatnya Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. Tarian ini disebut “SAMA”. Sampai meninggalnya, Rumi tak pernah berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (http://id.shvoong.com)

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau. Dunia berduka ketika Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. Pada tahun 2007, UNESCO memperingati 800 tahun kelahiran Rumi. Tepat pada 30 September 2007, sekolah sekolah di Iran membunyikan bel untuk menghormati sang ulama dan penyair sufi besar itu. (Republika.co.id).

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI

Untuk menyelami pikiran cerdas seorang maka tidak bisa tidak harus membaca karyanya dan juga terjemahan dan ulasan tentang karya-karyanya, akan tetapi untuk yang terakhir ini rasanya sulit, sebab menghitung karya-karya komentar terhadap karya Jalaluddin Rumi hingga akhir hanyatnya suatu hal yang rumit (Annemarie Schimmel:2001:5).

Karya utama Jalaluddin Rumi, yang secara umum dianggap sebagai salah satu buku luar biasa di dunia, adalah Matsnawi-i-Ma'anawi (Couplets of Inner Meaning). Selain itu, ada sejumlah karya yang dibukukan seperti Percakapan informalnya (Fihi ma Fihi), surat-surat (Maktubat), Diwan dan hagiografi Manaqib al-Arifin. (http://sudhew.wordpress.com.menyelami-karya-jalaluddin-rumi/28/12/2010)

Abdul Hadi WM menyebutkan, sebagai penyair atau sastrawan Rumi melahirkan karya yang tidak sedikit. A. J. Arberry sebelum menulis bukunya Classical Persian Literature (1958) telah meneliti karya-karya Rumi dalam banyak naskah di berbagai tempat. Dia mendapatkan bahwa Rumi telah menulis tidak kurang dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal (sajak-sajak cinta mistikal), ruba’i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima teratur AABA yang sangat populer dalam sastra Persia) dan matsnawi, karangan bersajak seperti prosa berirama dalam sastra Melayu. Kecuali dia juga menulis karangan prosa termasuk rasa`il (wacana ilmiah) dan khitabah (khotbah).

Karangan puisi dan prosa dikumpukan beberapa bunga rampai seperti berikut:

1. Divan-Syamsi-i-Tabriz.
Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlaq dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diraihnya di jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari 36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.

2. Matsnawi-i-Ma`nawi.
Artinya karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi enam jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila Divan-i-Syamsi Tabriz diilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz, Matsnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid dan sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar Rumi bersedia memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk karya sastra seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sana’i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-`Attar.

3. Ruba`iyat.
Walaupun tidak terkenal seperti Divan dan Matsnawi, namun sajak-sajak dalam antologi ini tidak kurang indah dan agungnya dari sajak Rumi yang lain. Bunga rampai ini terdiri dari 3.318 bait puisi. Melalui kitabnya ini Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang agung bukan saja dalam sejarah sastra Persia, namun juga dalam sejarah sastra dunia.

4. Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam).
Kumpulan percakapan Rumi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Buku ini membicarakan terutama sekali persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya. Ia sekaligus merupakan bukti bahwa seorang sufi seperti Rumi juga giat membicarakan persoalan sosial dan keagamaan yang hangat pada zamannya.

5. Makatib.
Kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya Syalahuddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.

6. Majalis-i-Sab`ah.
Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan majlis-majlis keagamaan. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang zaman, yang telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk mencari kebenaran-kebenaran terdalam dari ajaran agama, kekuatan dari kebenaran tersebut sebagai pendorong dan pembimbing umat manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng. Pencarian yang panjang itu telah membawa sang sufi ke dalam penjelajahan dan pengembaraan ruhani yang berliku-liku dan penuh rintangan, namun buahnya adalah pengalaman dan kebahagiaan ruhaniah yang lezat dan tidak ternilai harganya. Semua itu memperkuat keyakinan sang sufi bahwa, seperti dikatakan al-Qur’an (50:6), “Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri” dan “Dia selalu bersamamu (“wa huwa ma`akum ayna-ma kuntum QS 57:4) ). Lagi, “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah” (QS 2:115). (www.facebook.com/not.php?note_id).

Rumi juga pernah berujar, semua realitas ini merupakan bagian dari realitas yang lain, Apapun yang ada di dunia ini berasal dari sana. (Jaluddin Rumi Terj. A.J. Arberry:2002:83).

Kandungan ayat suci tersebut, menurut Rumi tidak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan pantheistik, sebab yang dimaksud sebagai wajah Allah ialah ‘wajah rohani’ atau ‘rupa batin’ Tuhan yang hanya dapat disaksikan dalam pikiran dan perenungan yang dalam, yaitu sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (al-rahman dan al-rahim), yang terdapat kalimah Basmallah dan ayat kedua Surat al-Fatihah. Para sufi menyebut sifat-sifat ilahiyah ini baik sebagai mahabbah maupun `isyq. Keduanya sama-sama berarti cinta, namun `isyq adalah cinta yang berlipat ganda dan sangat kuat hingga menimbulkan dorongan kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti kecintaannya yang mendalam. Inilah tema penting dan pokok karya para pengarang sufi dalam bahasa apa pun dia menulis, Arab, Persia, Turki, Urdu, Shindi atau pun Melayu.

Al-Rahman adalah cinta Allah yang dilimpahkan bagi segenap makhluk-Nya tanpa pilih bulu, sedangkan al-rahim adalah cinta yang diperuntukkan bagi orang yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Dari kata-kata al-rahim inilah kata-kata rahim dalam bahasa Melayu/Indonesia berasal. Cinta Tuhan kepada orang mukmin yang taqwa dan beramal saleh merupakan cinta yang istimewa dan wajib diberikan sebagaimana cinta seorang ibu kepada anak kandungnya. Cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud batinnya itu dipandang oleh para sufi sebagai asas kejadian atau penciptaan alam semesta, sebab tanpa al-rahman dan al-rahim-Nya tidak mungkin alam dunia yang begitu menakjubkan dan penuh kenikmatan ini dicipta oleh Yang Maha Kuasa yang sekaligus Maha Pengasih dan Penyayang. Selain itu cinta juga merupakan asas bagi perkembangan dan pertumbuhan, serta perluasan dan pertahanan dari keberadaan makhluq-makhluq – terutama manusia. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Ahli-ahli tasawuf juga percaya bahwa cinta merupakan asas dan dasar terpenting dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam, ketaqwaan dan keimanan seseorang akan rapuh. Hilangnya cinta dalam segala bentuknya dalam diri sebuah umat akan membuat peradaban dan kebudayaan dari umat tersebut akan rapuh dan mudah runtuh. Di lain hal dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta melengkapi jalan ilmu atau pengetahuan. Peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan berkembang subur apabila hanya didasarkan pada ilmu beserta metodologi dan tehnologi yang dihasilkan dari ilmu. Cinta menyempurnakan jalan ilmu, sebab cinta merupakan dorongan terpendam dalam diri manusia untuk selalu mencari yang sempurna dalam hidupnya. Dorongan menimbulkan kehendak, hasrat dan kerinduan mendalam, dan dengan demikian cinta menggerakkan manusia berikhtiar sekuat tenaga dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang dilengkapi jalan cinta juga membuat seseorang mampu mencapai makrifat (ma`rifa) atau kebenaran tertinggi yang merupakan rahasia terdalam dari ajaran agama.

Ibn `Arabi menuturkan tentang jalan ilmu dan jalan cinta sebagai berikut, “Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta serta teori belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual melampaui batasnya, maka ia disebut intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun orang yang memiliki ilmu ini tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya sendiri. Inilah yang disebut emosionalisme. Yang ketiga ialah pengetahuannya yang disebut Pengetahuan tentang Hakikat. Pengetahuan ini membuat manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar, mengatasi batasan-batasan pikiran biasa dan pengalaman empiris. Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan keduanya, atau memakai salah satu dari keduanya secara berganti-ganti. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakikat yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini. Itulah sufi sejati, darwish yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.”

Cinta juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan merubah keadaan jiwa manusia yang negatif menjadi positif. Itulah antara lain yang diajarkan Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M, ketika umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling buruk dalam sejarah klasiknya. Di sebelah barat Perang Salib yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Di sebelah timur bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan anak-cucunya menyapu bersih dan memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan besar-besaran Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada tahun 1256 M. Kota Baghdad luluh lantak menjadi puing-puing dan ratusan ribu penduduknya dibantai sehingga bekas ibukota kekhalifatan Abbasiyah dan pusat utama peradaban Islam ketika itu berubah menjadi kota mati untuk belasan tahun lamanya. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Rumi – sebagaimana telah dikemukakan -- berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam menstransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu. Sebagai ekspresi dari cinta Jalaluddin Rumi juga berkreasi dalam bentuk tarian, salah satu maha karya Rumi adalah SUFI MEHFIL, sebuah tarian yang dipopulerkannya bersama komunitasnya Mevlevi Order. Sufi Mehfil merupakan sebuah tarian dalam tradisi sufi yang bermakna sebagai Pesta Para Sufi, yang dikenal dengan tarian ‘SAMA’. yaitu bentuk tari yang gerakan tariannya “The Whirling Dance” (memutar tubuh berlawanan dengan arah jarum jam) dilakukan secara bersama oleh sejumlah orang penari dibawah bimbingan seorang Mursyid. Gerakan yang ada dalam tarian itu menunjukkan kesediaan para Pecinta Tuhan untuk masuk ke dalam diri, menghilangkan ego untuk kembali kepada kesejatian diri, dan merasakan kenikmatan yang tak mampu untuk dijelaskan dengan kata-kata. Pesta para sufi ini lahir manakala seorang Pencari Tuhan bertemu dengan Sang Kekasih Yang Maha Suci, ketika merasakan kasih yang ada dalam hati dan dalam diri meletup-letup, maka perasaan ini akan ditransfer menjadi energi gerak dalam bentuk menari. Tarian yang dilakukan adalah sebuah ekspresi untuk merayakan kehidupan. Konon, ketika menari seperti itu, para penari mengalami ekstase yang di kalangan para sufi dipahami sebagai tingkat pencapaian perasaan penyatuan dengan Tuhan. Bahkan, ada pula yang mengaku gerakan yang tercipta ‘’seolah-olah” bukan dari diri si penari. Dari kasih inilah yang membuat seorang pencari seperti Rumi memiliki jiwa sangat lembut, dirinya tidak lagi bisa membenci atau melihat perbedaan suku, ras maupun agama. (www.shalimow.com/islam/sufi-mehfil-jalaludin-rumi.html).

Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya.

KOMENTAR TERHADAP PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI

Abdul Hadi WM menuturkan, bahwa karya religius dan profetik Matsnawi memang bukan sebuah buku falsafah yang ditulis secara sistematis dan runut. Ia berbeda misalnya dengan Kasyf al-Mahjub Ali Utsman al-Hujwiri, Ihya` Ulumuddin Imam al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah Ibn `Arabi. Dalam karya agungnya itu Rumi menyebarkan pemikiran, gagasan dan perenungannya dalam untaian karangan bersajak yang indah, menggunakan metafora (ishti`ara), tamsil dan kias. Kalau Imam al-Ghazali dan Ali Utsman al-Hujwiri menggunakan bahasa diskursif dari falsafah dan ilmu, Jalaluddin Rumi menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz). Kedua cara memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa dari masing-masing pembacanya.

Whinfield, salah seorang penerjemah karangan Rumi dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa Matsnawi merupakan pemaparan tasawuf eksperiensial atau yang dialami secara langsung oleh pengarangnya. Ia bukan merupakan uraian tentang apa dan bagaimana tasawuf. Melalui karyanya Rumi mengungkapkan pengalaman dan gagasan keagamaannya secara puitik. Sedangkan kodrat pengalaman yang disajikan Rumi dalam karyanya benar-benar bersifat keagamaan, yaitu suatu pengalaman yang tidak semata-mata dipompa oleh pemikiran falsafi dan pengetahuan formal tentang agama, melainkan suatu pengalaman yang memiliki daya dan corak hidupnya sendiri disebabkan oleh dorongan ’cinta’ yang membara dalam diri orang yang mengalaminya.

Pemikiran Mawlana Jalaludin Rumi bila kita lihat secara mendalam ternyata memang tidak memiliki konsep metode pemikiran. Malahan sebagian orang menganggap bahwa pemikiran Jalaludin Rumi tidak lain sebagai salah satu pemikiran “kegelapan“ dalam arti masih terpengaruhi oleh doktirn-doktrin agama dan agak bersifat mistis. Namun demikian kita dapat mengambil suatu pelajaran dari pemikiran Jalaludin Rumi bahwa Ia menekankan untuk mendapatkan sebuah pengetahuan kita tidak boleh mendewakan rasionalisme dan empirisme sebagai jalan dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini Rumi berusaha menawarkan sebuah alternatif didalam jalan mendapatkan pengetahuan yaitu dengan iluminasi. Dengan jalan iluminasi, menurutnya manusia dapat mendapatkan pengetahuan yang abadi karena datangnya pengetahuan tersebut berasal dari Tuhan dan pengetahuan manusia hanya berfungsi sebagai jembatan dalam upaya memperoleh pengetahuan yang berasal dari Tuhan.

Disisi lain, sebagian penulis anti-Islam kerap mengklaim bahwa Rumi bukanlah seorang Muslim. Para penulis itu kerap mengutip puisi Rumi yang diterjemahkan oleh RA Nicholson dari Divani Shamsi Tabriz. Inilah puisi yang digunakan para anti-Islam untuk memalsukan akidah seorang Rumi: Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim. Bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Aku bukan dari Timur atau Barat. Bukan keluar dari samudra atau timbul dari darat. Bukan alami atau akhirat. Bukan dari unsur- unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal usul mana pun. Tempatku adalah ‘Tanpa Tempat’, jejak dari yang ‘Tanpa Jejak’. Bukan raga ataupun jiwa. (Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009)

Dalam puisinya itu, Rumi seolah-olah tak mengaku seorang Muslim. Betulkan tudingan itu? Dr Ibrahim Gamard seorang psikolog yang juga seorang yang telah mempelajari sufisme selama 30 tahun membantah tudingan itu. Menurut dia, puisi yang diterjemahkan Nicholson itu tak berasal dari puisi Rumi yang asli. Dalam sebuah puisinya yang asli, Rumi secara terang-terangan mengaku sebagai pelayan Al Quran sepanjang hayatnya. Dia juga menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad SAW. Atas dasar itulah, kata Gamard, Rumi adalah seorang Muslim yang taat. Penyair sufi yang terkenal itu tutup usia pada 17 September 1273. Dunia berduka ketika Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. (Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009).

Sufisme Secara Pengertian Dan Sejarah

Belajar Menjadi Sufi.

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.

Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para ascetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.

Sejarah Paham
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[1]. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam kehidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.

Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [2].

Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik. Pertikaian antar umat Islam karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[3]

Definisi Sufisme
Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof. Dr. P. Van De Woestijne).
Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).
Pendapat Bahwa Sufisme/Tasawuf Berasal Dari Islam:
Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [4]
Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [5].
Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada ALLAH).
Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran seperti: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain ALLAH adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis, sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan dirinya kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dll). Dalam Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada ALLAH. Karena jika memang mereka percaya ALLAH adalah yang paling kuat dan berharga, maka menggantungkan kepada selain ALLAH adalah taghut (sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan ALLAH sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis).
Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dll sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis (bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam.
Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof. Dr. P. Van De Woestijne).
Tokoh Tasawuf di Indonesia
Tokoh-tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Hamzah Al-Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili, Syekh Yusuf Al-Makasari dan Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[8]

Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[2] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati, Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati, Syekh Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, Syekh Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Mbah Kriyan, Syekh Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon, dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain. [9]

Contoh Paham
Berikut contoh paham Sufi atau paham tasawuf:

Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual



Empat tingkatan kedalaman beragama

Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.

Sebuah tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.

Sekilas Paham Tasawuf al-Banjari [5]***
Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia maujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.

Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayang-bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapusnya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini.

Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik [6] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [7]

Kesenian Sufi
Sufisme telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama (Whirling Dervishes / Tarian Sufi / Tarian Rumi) dan musik seperti Qawalli.

Catatan
Hakekat tasawuf oleh Qardhawi
Asal-usul Ajaran Sufisme
Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung: Nuansa 2005) hlm. 177
Place of Tasawwuf in Traditional Islam
Islamic Spirituality, the forgotten revolution
Masalah Mistik Tasawuf & Kebatinan, MH. Amien Jaiz, PT Alma'arif - 1980 Bandung
Hakekat Tasawuf dan Sufi[1]
Anwar, Rosihan. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia 2009) hlm. 225
Referensi dari Cirebon
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002) hlm.23


Sumber:
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas - Sufisme

Sumber Kehidupan

Salinan-salinan yang buram keluar dari Surga,
Lukisan-lukisan duniawi yang pucat dicipta ’tuk binasa,
Duka apa ini meski keindahanmu jadi hancur
Namun yang memberi tetap selamanya bertahan?

Oh, jangan sakiti hatimu dengan derita yang sia-sia:
Seluruh percakapan yang tinggi 
memikat telinga yang terpukau,
Segala pemandangan tersepuh emas, 
semua tindakan berani cemerlang
Akan hilang – musnah, 
meski tak seperti yang kita takutkan.

Selama mata air kehidupan terus tercurah,
Tiap aliran yang kecil meng-alir penuh ke induknya.
Karena baik aliran maupun sumber 
dapat selamanya mengalir,
Alangkah bodohnya ketakutanmu, 
betapa keluh kesahmu sia-sia!

Apakah sumber ini, 
inginkan engkau mengetahui benar-benar?
Jiwa yang menyebabkan segala sesuatu diciptakan.
Pasti sungai-sungai takkan berhenti mengalir
Sampai terbungkam sumber-sumber keabadian.

Selamat berpisah, dan dengan pikiran tenang
Minumlah lagi dan lagi: 
biarlah yang lainnya suka menganggap
Mungkin dapat menemukan saluran yang kering,
Atau mengukur aliran yang tak dapat diukur.

Dunia yang hina ini diberikan kepadamu untuk sementara.
Tersedia sebuah tangga yang dengannya 
engkau dapat bercita-cita;
Dan langkah pertamamu, berjuang untuk terus mendaki,
Dari mineral ke tumbuhan; lalu ke tingkat yang lebih tinggi

Ke kehidupan hewan; lantas, Manusia
Berpengetahuan, berakal, dan beriman. 
O sungguh tujuan yang sangat mengagumkan!
Tubuh ini, dari remah-remah debulah ia mulai berasal
Betapa indahnya terbentuk segala kesempurnaan!

Namun perjalananmu belum berhenti sampai di sini: 
engkau akan menjadi
Malaikat yang bijak dan tempat tinggalmu di Surga.
Teruslah berusaha, 
akhirnya terjunlah ke dalam Samudera yang luas, 
sehingga
Tetesmu yang sedikit 
membuat lautan-lautan meluap tujuh kali tujuh lipat.

”Putera Tuhan!” 
Tidak, 
tinggalkanlah kata yang tak dapat disebutkan itu;
Katakanlah, 
”Tuhan adalah Yang Maha Esa, 
Yang Maha Suci, 
Kebenaran yang satu.”

Apakah meski bingkai dirimu 
akan menjadi layu, tua, dan mati,
Jika jiwa tetap segar muda dan abadi?

Divan-i Syamsi Tabriz, SP, XII, Jalaluddin Rumi

Memahami Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi

“Karena itu, 
sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.

Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.

Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon.

Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”

(The Matsnawi 4:30)


Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. 
Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, 
dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. 
Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, 
yang isinya membahas tentang banyak hal. 

Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, 
Murtadha Muthahhari mengatakan,
 “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, 
yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik 
yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”

Pembahasan tentang hakikat manusia 
adalah salah satu bahasan khusus 
yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. 

Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. 
Padahal itu merupakan hakikat dirinya. 
Imam Khomeini pernah mengatakan 
“Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit.” 

Dengan mengetahui esensi manusia 
akan mengantarkan seseorang 
kepada pengetahuan akan Tuhan.

Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya 
melalui alam dan dalam diri manusia. 
Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik 
maka hidup kita pun akan baik. 

Allah berfirman : 
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka 
ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) 
dan pada diri mereka sendiri. 
Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa 
al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). 
Tidakkah cukup bahwa 
Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.” 
(QS. Al-Ankabut : 53)

Manusia adalah makhluk yang unik.
 Hingga kini fisiknya saja masih diteliti 
dan masih banyak rahasia yang belum terpecahkan. 

Terlebih lagi dari sisi jiwanya. 
Yang merupakan inti dari segala hal. 

Dalam hadis banyak disebutkan 
tentang keutamaan ma’rifatun nafs ini 
(pengetahuan tentang hakikat diri). 

Misalnya, Imam Ali berkata,
 “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, 
maka 
dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, 

“Janganlah kalian bodoh 
dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, 
karena kalau kalian bodoh dengan itu 
berarti kalian bodoh dengan segala hal.”, 

“Cukuplah pengetahuan seseorang itu 
kalau mengetahui hakikat dirinya dan 
cukuplah kebodohannya 
kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”

Maulawi Rumi adalah 
termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, 
sehingga dia mencapai puncak makrifat dan keyakinan. 
Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. 
Dalam bait pertama dia mengatakan : 
“Karena itu, 
sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, 
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.”

Dari segi fisiknya, 
manusia adalah bagian dari makrokosmos, 
karena kita hidup di alam. 
Kita membutuhkan makan, 
kita membutuhkan air, 
kita perlu sayuran, 
kita pun perlu untuk makan daging. 

Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri 
dan tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun? 
Atau 
makanan hanyalah sebagai penunjang saja 
agar kita bisa bertahan hidup? 

Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia?

Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, 
(bukan fisiknya) adalah makrokosmos. 
Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. 

Sebagaimana perkataannya Imam Ali, 
“Apakah kalian mengira kalian, 
hanya tubuh kecil ini, 
padahal kalian adalah alam yang sangat besar.”

Aneh memang manusia itu 
lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya 
sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, 
tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. 

Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh 
dengan sebuah perumpamaan:

“Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah 
  padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”

Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, 
dan buah merupakan hasil akhir dan harapan petani penanam buah. 
Sedangkan alam ibarat ranting, 
ranting tercipta demi buah, 
ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. 

Jadi yang paling penting itu adalah buahnya 
bukan ranting atau pun pohon. 

Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa 
alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah 
akan manusia. 
Agar manusia bisa memanfaatkannya 
untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. 
Jadi inti dari itu semua adalah 
alam diciptakan untuk manusia, 
yang harus dijadikan sebagai perantara 
untuk mencapai ridha Allah.

Tapi sayang 
berapa banyak dari manusia ini 
yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan 
bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan. 

Dan akibat dari itu adalah 
penyimpangan dan keserakahan 
untuk mendapatkan kekayaan dengan menggunakan segala cara. 
Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal yang kita inginkan. 
Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam. 
Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita 
malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. 

Sebagaimana Allah berfirman, 
“Apabila kami berikan nikmat kepada manusia,
 ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) 
tapi apabila ia tertimpa kejahatan, 
ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”

Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, 
alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, 
Rumi melanjutkan: 
“Kalau bukan mengharap dan menginginkan buah
betapa pekebun itu akan menanam pohon.”

Pohon hanya sebagai perantara sang petani 
untuk mendapatkan buah, 
karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. 

Begitu juga hakikat manusia itu 
tidak akan bercahaya 
tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, 
tubuh harus mengikuti ruh, 
dan harus seiring dengan ruh, 
jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) 
yang mengendalikan.

Kalau kita pandang sekilas 
nampaknya kita bagian dari alam, 
kita tidak bisa lepas dari alam, 
tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh 
rahasia-rahasia alam 
maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa 
alam diciptakan untuk kita, 
alam berasal dari kita, 
alam sebagai pemandu dan pengingat kita 
akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, 
sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah 
padahal pohon asalnya dari buah. 
“Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah 
(tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.”

Maulawi belum menerangkan secara rinci 
akan hakikat manusia, 
dia baru menerangkan bahwa 
kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) 
dan bukannya bagian dari alam, 
karena alam yang ini diciptakan 
demi cintanya Allah pada manusia 
sebagai bukti, pengantar dan pengingat 
akan kebesaran-Nya.

Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, 
debu yang mengepul ketika kuda lewat, 
debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya. 

Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda 
karena tidak mungkin jika debu diinjak kaki kuda 
menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda.

Manusia seharusnya 
menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. 
Manusia seharusnya 
merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. 
Manusia seharusnya 
menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. 

Adakah manusia yang seperti itu ?

Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, 
mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, 
merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, 
menjaga kelestarian alam dan penghuninya, 
merekalah yang senantiasa mengingatkan kita 
kepada Pencipta alam yaitu Allah, 
merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.

Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. 
Karena seharusnya setiap individu adalah 
menjadi debu di kaki-Nya. 
Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri 
seperti para wali Allah, 
supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, 
keagungan di atas keagungan.

“…Setiap individu adalah debu, 
Hanya telapak kaki kuda itu 
menjadi cap kaki-Nya di atas debu,
jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu 
agar engkau dapat menjadi Laksana mahkota 
di atas kepala raja.”

Namun bagaimanakah caranya 
untuk mengetahui hakikat diri ini, 
setelah kita mengetahui bahwa 
kita adalah makrokosmos 
dan alam sebagai wasilah 
kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya? 

Dan bagaimanakah agar supaya 
hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? 
Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja?

Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri 
tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, 
karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri 
yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, 
kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. 
Kita terpaku dan terpana 
dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air 
padahal hakikat bulan ada di langit.

Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, 
menerangkan tentang cara 
untuk mencapai makrifah diri ini, 
dia mengatakan bahwa 
untuk mencapai makrifah ini adalah 
dengan cara Taskiyatun nafs, 
membersihkan diri dari debu keegoisan, 
mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan 
dan mengosongkan diri dari selain-Nya. 

Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya 
menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, 
dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap. 
Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan 
dan tidak pernah tersandung, 
jalannya akan senantiasa lurus 
dan tidak pernah bengkok 
karena selalu dalam sinaran-Nya.

Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya 
dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya 
kita bisa tahu siapa diri kita, 
apa hakikat diri kita yang sebenarnya. 
Kita harus senantiasa berkontemplasi 
agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. 

Rumi bertutur:

“Oh sucikanlah seluruh jiwamu 
dari debu keegoisan 
bebaskanlah dirimu 
dari sifat mementingkan diri sendiri 
sehingga
 kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih 
tanpa noda, 
lihatlah dalam lubuk hatimu 
pengetahuan para nabi 
tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.”

Itulah sosok Maulawi Rumi, 
Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, 
telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, 
telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya. 
Sehingga 
dengan lancar dan gamblang 
menggambarkan kepada kita 
cara mengetahui dan menjadi debu 
di kaki-Nya.

 Kita sebagai manusia 
yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja 
harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, 
agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.

Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya 
dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu 
dia merasa kesal 
karena tidak pernah bertemu dengan manusia. 
Dia hanya selalu bertemu 
dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. 
Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. 
Dan ingin selalu mencarinya, 
walau pun butuh waktu yang lama. 

Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya:

“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, 
dan lentera di tangannya.
 Ia berkata, 
“aku bosan dengan hantu dan hewan, 
aku rindu bertemu manusia, 
hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. 
Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, 
mereka berkata: 
“kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang 
ia tak ditemukan
 ia Menjawab,
 “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.”

Sumber : Majalah Syi’ar terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta