Sabtu, 30 April 2016

Perjalanan Spiritual Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi.

UNESCO, sebuah badan PBB untuk pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan menetapkan tahun 2007 menetapkan sebagai "Tahun Rumi", bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahiran Jalaluddin Rumi, seorang tokoh sufi dan penyair terkenal bukan hanya di dunia Islam. (http : //www. Eramuslim.com, Kamis, 01/03/2007).

Rupanya, UNESCO mengapresiasi Rumi begitu besarnya. Karena arah pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan ke depan sangat mendambakan sebuah peradapan yang beradab dan manusiawi. Peradaban yang tidak hanya mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan ansich hanya bertumpu pada nalar atau logika dan empirisme, tetapi lebih pada pada penguatan peradaban berbasis spiritualitas. Tanpa dilandasi nilai-nilai dan cita-cita ruhani yang mantap, kebudayaan suatu bangsa akan mudah rapuh, dan akibatnya suatu bangsa akan mudah diombang-ambing oleh bangsa lain yang lebih kuat.

Fritjof Capra (1991:20) mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan tindakan sebagai hasil dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas membiarkan makna agama mengalir ke dalam kehidupan sehari-hari, tulisan pemikiran, dan segala aktivitas apapun. Jadi dalam membangun peradaban nilai-nilai ruhani harus selalu mengaliri dalam setiap derap langkah dan karya serta pikir suatu masyarakat bangsa kalau ingin bangsanya menjadi kuat dan bermartabat.

Pemikiran Jalaludin Rumi bersifat Iluminasionisme, yaitu sebagai suatu isme yang memandang bahwa hanya hati dan kalbu serta pensucian jiwa adalah satu-satunya sumber dan media bagi manusia untuk menggapai pengetahuan, makrifat, dan ilmu hakiki terhadap objek-objek dan realitas-realitas eksternal. (Ghulam Muhsin Ibrahimi; 438).

Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya. (Jalaluddin Hamayi:494).

Rumi merupakan tokoh sastra dan spiritual yang dikenang sepanjang masa melalui buah karyanya. Meski dunia telah mengalami perkembangan dan perubahan, era yang silih berganti, pemikiran rumi tetap aktual dan dan rindukan di segala jaman, karena tema-tema tulisannya banyak berhubungan dengan masalah-masalah universal, cinta, keadilan, kemanusiaan dan perdamaian Rumi banyak menulis puisi-puisinya ketika masih tinggal di Persia. Buah pikir Rumi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di sekitar ia menetap, tetapi dibaca banyak orang se antero jagad sampai ke Iran, Afghanistan, Tajikistan dan diterjemahkan sampai ke negara Turki, Azerbaijan, AS dan Asia Tenggara. Rumi pertama kali mengenal sufisme dari Syamsuddin dari Tabriz, seorang Muslim yang sengaja hidup miskin dan mengembara ke mana-mana. Ia sangat mencintai gurunya itu. Rasa kehilangan yang dalam saat Syamsuddin wafat, dituangkan Rumi dalam musik dan lirik-lirik puisinya yang bertajuk "Divani Syamsi Tabrizi." Puisi-puisi Rumi menunjukkan rasa cintanya pada Allah dan tokoh ini telah memberi pengaruh besar pada sastra, pemikiran dan ekspresi keindahan di dunia Islam. Selama berabad-abad, karya-karya Jalaluddin Rumi memberikan pengaruh yang signifikan pada karya sastra berbahasa Persia, Urdu dan Turki, Maka tidak heran bila bangsa-bangsa tersebut menjadi bangsa yang memiliki peradapan yang cukup membanggakan. Rumi telah menanamkan kecintaan pada Allah, Nabi Muhammad saw, sikap toleransi dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Dunia yang dibangunnya menjadi jantung, dunia di mana matahari, bulan dan bintang beredar sesuai hukum, perintah, harmoni dan kedamaian. Disinilah letak kelebihan Rumi dibandingkan dengan pemikir-pemikir yang lain. Rumi dianggap sebagai monumen pemikiran dan seorang tokoh jenius yang luar biasa. (http : //www. Eramuslim, Kamis, 01/03/2007).

Figur Rumi oleh Unesco dijadikan model pengembangan peradaban dunia pada masa mendatang.

SEJARAH SOSIAL JALALUDDIN RUMI

Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil Al Haqqani (1998) menuturkan, Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Attar terkagum-kagum saat melihat seorang bocah berusia delapan tahun yang tengah berjalan di belakang sang ayah. Tiba-tiba, dari mulut Attar terucap sebuah kalimat, ‘’Tengah datang ke sini sebuah lautan (sang ayah) yang di belakanganya diikuti sebuah samudra (si bocah).’‘

Sang penyair besar itu pun meramalkan kelak si bocah akan menjadi tokoh spiritual yang besar. Sang penyair besar itu pun lalu menghadiahkan sebuah kitab yang ditulisnya bertajuk Asrarnama kepada anak kecil itu. Berbilang tahun, ramalan Attar itu akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan. Ketika menginjak usia dewasa, bocah cilik itu benar-benar menjadi salah satu tokoh spiritual dan penyair sufi terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Sang penyair sufi legendaris asal Persia itu bernama Jalaluddin Ar Rumi. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset. Nama lengkapnya adalah Syekh Mawlana Muhammad bin Muhammad bin Husain al Khatabi Al Bakri yang kemudian dikenal dengan nama Jalaluddin Ar Rumi (Asrifin,tt:223).

Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awal 604 H, atau tanggal 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ayahnya masih keturunan dari Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi adalah seorang cendekia yang sholeh, mistikus yang berpandangan ke depan, dan merupakan seorang guru yang terkenal di Balkh. (http://www.shalimow.com)

Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Pada tahun 1219, ketika Jalaluddin Rumi berusia 12 tahun, ayahnya, Bahauddin Walad, secara tiba-tiba bersama keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan menuju barat. Alasan yang dinyatakan orang (secara positif tetapi tanpa bukti) mengenai kepindahan ini, sebagai akibat dari inspirasi Ilahi maupun intrik manusiawi, tentu saja fiktif. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Bahauddin, seperti ribuan orang lainnya, melarikan diri sebelum datangnya gerombolan Mongol yang sangat mengerikan, yang tengah membumi hanguskan Khurasan dan sudah mendekati kota asalnya. Berita tentang penjarahan ini sampai di tempat-tempat yang asing dalam perjalanan mereka menuju Baghdad atau tempat lain di Baghdad ke Mekkah, saat mereka menuju ke Damaskus dan akhirnya menetap di Rum (Turki). (http: mistikrumi. blogspot.com)

Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh tanpa alasan yang jelas. Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khwarizmi ketika itu, Muhammad Khwarizmi-syah, menentang keberadaan Tariqat Kubrawiyah yang dipimpin oleh Bahauddin Walad. Pendapat lain yang tidak sedap ialah karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara Mongol yang ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi. Tetapi pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan Jengis Khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan bagan-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Bahauddin Walad mula-mula membawa keluarga menuju Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh tahun. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi yang tengah dilanda krisis internal, sekonyong-konyong diserbu oleh Jengis Khan sebagai pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang Mongol yang dikirim ke Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu keluarga Rumi telah meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama keluarga Rumi melakukan perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju Damaskus. Pada akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal terakhir yang menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di Konya, Anatolia. Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini termasuk wilayah kemaharajaan Rumawi Timur atau Byzantium. Pada akhir abad ke-11 M Konya direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di Anatolia hingga abad ke-13 M. Keterangan lain menyebutkan, mobilitas ini buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Saljuk Alauddin Kaykobad. Rumah mereka yang pertama adalah Zarandah, kira-kira 40 mil sebelah tenggara Konya, dan di situ Jalaluddin Rumi menikah. Pada tahun 1226 lahirlah anaknya yang tertua, Sultan Walad. Kemudian Bahauddin beserta keluarganya pindah ke Konya yang merupakan ibokota kerajaan Bani Saljuk Barat. Dikisahkan bahwa dia telah menjadi seorang teolog yang terkenal, seorang guru dan khatib besar yang dimulikan oleh para muridnya dan sangat dihormati oleh pihak kerajaan karena bertindak sebagai penuntun spiritualnya. Sekitar waktu inilah Burhanuddin Muhaqqiq at Tirmizi seorang petani murid Burhanuddin ketika masih tingal di Balkh tiba di Konya. Di bawah pengaruhnya dikatakan bahwa, Jalaluddin yang sekarang berusia 25 tahun menjadi sangat bergairah kepada disiplin dan ajaran-ajaran para Sufi (orang-orang lelaki atau perempuan yang berusaha menyatukan diri mereka dengan Tuhan). Selama 10 tahun berikutnya ia mencurahkan diri untuk meniru Pir-nya dan mengalami seluruh maqam kehidupan Tasawuf, sehingga karena Burhanuddin wafat pada tahun 1420, maka dia memangku jabatan Syeikh, sehingga dengan demikian mulailah, sekalipun tidak di rencanakan terlebih dahulu langkah untuk menciptakan persaudaraan antar murid.

Pribadi Rumi memang sangat menarik dan jumlah muridnya terus bertambah. Jalaluddin pun menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf selama 8 tahun. Tahun 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri. Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, mencegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan! Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’.

Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi.

Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Dan selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Ketika usianya menginjak 48 tahun, Rumi mulai memilih hidup sebagai seorang sufi. Rumi benar-benar mulai berubah. Ia sangat menghormati guru tasawufnya itu. Perlahan-lahan, Rumi mulai meninggalkan tugasnya sebagai seorang guru. Selain memilih hidup sebagai sufi, ia pun mulai menggubah puisi. Sebagai kenangan atas jasa sang guru yang mengenalkannya dengan kehidupan sufistik, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz. (Republika On Line Rabu, 18 Maret 2009)

Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama sahabatnya Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. Tarian ini disebut “SAMA”. Sampai meninggalnya, Rumi tak pernah berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. (http://id.shvoong.com)

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau. Dunia berduka ketika Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. Pada tahun 2007, UNESCO memperingati 800 tahun kelahiran Rumi. Tepat pada 30 September 2007, sekolah sekolah di Iran membunyikan bel untuk menghormati sang ulama dan penyair sufi besar itu. (Republika.co.id).

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI

Untuk menyelami pikiran cerdas seorang maka tidak bisa tidak harus membaca karyanya dan juga terjemahan dan ulasan tentang karya-karyanya, akan tetapi untuk yang terakhir ini rasanya sulit, sebab menghitung karya-karya komentar terhadap karya Jalaluddin Rumi hingga akhir hanyatnya suatu hal yang rumit (Annemarie Schimmel:2001:5).

Karya utama Jalaluddin Rumi, yang secara umum dianggap sebagai salah satu buku luar biasa di dunia, adalah Matsnawi-i-Ma'anawi (Couplets of Inner Meaning). Selain itu, ada sejumlah karya yang dibukukan seperti Percakapan informalnya (Fihi ma Fihi), surat-surat (Maktubat), Diwan dan hagiografi Manaqib al-Arifin. (http://sudhew.wordpress.com.menyelami-karya-jalaluddin-rumi/28/12/2010)

Abdul Hadi WM menyebutkan, sebagai penyair atau sastrawan Rumi melahirkan karya yang tidak sedikit. A. J. Arberry sebelum menulis bukunya Classical Persian Literature (1958) telah meneliti karya-karya Rumi dalam banyak naskah di berbagai tempat. Dia mendapatkan bahwa Rumi telah menulis tidak kurang dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal (sajak-sajak cinta mistikal), ruba’i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima teratur AABA yang sangat populer dalam sastra Persia) dan matsnawi, karangan bersajak seperti prosa berirama dalam sastra Melayu. Kecuali dia juga menulis karangan prosa termasuk rasa`il (wacana ilmiah) dan khitabah (khotbah).

Karangan puisi dan prosa dikumpukan beberapa bunga rampai seperti berikut:

1. Divan-Syamsi-i-Tabriz.
Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan yang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlaq dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diraihnya di jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari 36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.

2. Matsnawi-i-Ma`nawi.
Artinya karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi enam jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila Divan-i-Syamsi Tabriz diilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz, Matsnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid dan sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar Rumi bersedia memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk karya sastra seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sana’i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-`Attar.

3. Ruba`iyat.
Walaupun tidak terkenal seperti Divan dan Matsnawi, namun sajak-sajak dalam antologi ini tidak kurang indah dan agungnya dari sajak Rumi yang lain. Bunga rampai ini terdiri dari 3.318 bait puisi. Melalui kitabnya ini Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang agung bukan saja dalam sejarah sastra Persia, namun juga dalam sejarah sastra dunia.

4. Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam).
Kumpulan percakapan Rumi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Buku ini membicarakan terutama sekali persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya. Ia sekaligus merupakan bukti bahwa seorang sufi seperti Rumi juga giat membicarakan persoalan sosial dan keagamaan yang hangat pada zamannya.

5. Makatib.
Kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya Syalahuddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.

6. Majalis-i-Sab`ah.
Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan majlis-majlis keagamaan. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang zaman, yang telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk mencari kebenaran-kebenaran terdalam dari ajaran agama, kekuatan dari kebenaran tersebut sebagai pendorong dan pembimbing umat manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng. Pencarian yang panjang itu telah membawa sang sufi ke dalam penjelajahan dan pengembaraan ruhani yang berliku-liku dan penuh rintangan, namun buahnya adalah pengalaman dan kebahagiaan ruhaniah yang lezat dan tidak ternilai harganya. Semua itu memperkuat keyakinan sang sufi bahwa, seperti dikatakan al-Qur’an (50:6), “Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri” dan “Dia selalu bersamamu (“wa huwa ma`akum ayna-ma kuntum QS 57:4) ). Lagi, “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah” (QS 2:115). (www.facebook.com/not.php?note_id).

Rumi juga pernah berujar, semua realitas ini merupakan bagian dari realitas yang lain, Apapun yang ada di dunia ini berasal dari sana. (Jaluddin Rumi Terj. A.J. Arberry:2002:83).

Kandungan ayat suci tersebut, menurut Rumi tidak dapat ditafsirkan sebagai ungkapan pantheistik, sebab yang dimaksud sebagai wajah Allah ialah ‘wajah rohani’ atau ‘rupa batin’ Tuhan yang hanya dapat disaksikan dalam pikiran dan perenungan yang dalam, yaitu sifat Pengasih dan Penyayang-Nya (al-rahman dan al-rahim), yang terdapat kalimah Basmallah dan ayat kedua Surat al-Fatihah. Para sufi menyebut sifat-sifat ilahiyah ini baik sebagai mahabbah maupun `isyq. Keduanya sama-sama berarti cinta, namun `isyq adalah cinta yang berlipat ganda dan sangat kuat hingga menimbulkan dorongan kreatif untuk menjelmakan sesuatu sebagai bukti kecintaannya yang mendalam. Inilah tema penting dan pokok karya para pengarang sufi dalam bahasa apa pun dia menulis, Arab, Persia, Turki, Urdu, Shindi atau pun Melayu.

Al-Rahman adalah cinta Allah yang dilimpahkan bagi segenap makhluk-Nya tanpa pilih bulu, sedangkan al-rahim adalah cinta yang diperuntukkan bagi orang yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Dari kata-kata al-rahim inilah kata-kata rahim dalam bahasa Melayu/Indonesia berasal. Cinta Tuhan kepada orang mukmin yang taqwa dan beramal saleh merupakan cinta yang istimewa dan wajib diberikan sebagaimana cinta seorang ibu kepada anak kandungnya. Cinta sebagai sifat Tuhan dan sekaligus wujud batinnya itu dipandang oleh para sufi sebagai asas kejadian atau penciptaan alam semesta, sebab tanpa al-rahman dan al-rahim-Nya tidak mungkin alam dunia yang begitu menakjubkan dan penuh kenikmatan ini dicipta oleh Yang Maha Kuasa yang sekaligus Maha Pengasih dan Penyayang. Selain itu cinta juga merupakan asas bagi perkembangan dan pertumbuhan, serta perluasan dan pertahanan dari keberadaan makhluq-makhluq – terutama manusia. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Ahli-ahli tasawuf juga percaya bahwa cinta merupakan asas dan dasar terpenting dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Tanpa cinta yang mendalam, ketaqwaan dan keimanan seseorang akan rapuh. Hilangnya cinta dalam segala bentuknya dalam diri sebuah umat akan membuat peradaban dan kebudayaan dari umat tersebut akan rapuh dan mudah runtuh. Di lain hal dalam mencapai rahasia ketuhanan, jalan cinta melengkapi jalan ilmu atau pengetahuan. Peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak akan berkembang subur apabila hanya didasarkan pada ilmu beserta metodologi dan tehnologi yang dihasilkan dari ilmu. Cinta menyempurnakan jalan ilmu, sebab cinta merupakan dorongan terpendam dalam diri manusia untuk selalu mencari yang sempurna dalam hidupnya. Dorongan menimbulkan kehendak, hasrat dan kerinduan mendalam, dan dengan demikian cinta menggerakkan manusia berikhtiar sekuat tenaga dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya. Jalan ilmu yang dilengkapi jalan cinta juga membuat seseorang mampu mencapai makrifat (ma`rifa) atau kebenaran tertinggi yang merupakan rahasia terdalam dari ajaran agama.

Ibn `Arabi menuturkan tentang jalan ilmu dan jalan cinta sebagai berikut, “Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama pengetahuan intelektual, yang dalam kenyataan berisi informasi dan kumpulan fakta-fakta serta teori belaka, dan apabila pengetahuan ini digunakan untuk mencapai konsep-konsep intelektual melampaui batasnya, maka ia disebut intelektualisme. Yang kedua menyusul pengetahuan tentang keadaan-keadaan, mencakup baik perasaan emosional dan perasaan asing di mana orang mengira telah mencerap sesuatu yang tinggi. Namun orang yang memiliki ilmu ini tidak dapat memanfaatkan untuk keperluan hidupnya sendiri. Inilah yang disebut emosionalisme. Yang ketiga ialah pengetahuannya yang disebut Pengetahuan tentang Hakikat. Pengetahuan ini membuat manusia dapat mencerap apa yang betul, apa yang benar, mengatasi batasan-batasan pikiran biasa dan pengalaman empiris. Para sarjana dan ilmuwan memusatkan perhatian pada bentuk pengetahuan pertama. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk kedua. Yang lain memadukan keduanya, atau memakai salah satu dari keduanya secara berganti-ganti. Akan tetapi orang yang telah mencapai kebenaran ialah mereka yang tahu bagaimana menghubungkan dirinya dengan hakikat yang terletak di balik kedua bentuk pengetahuan ini. Itulah sufi sejati, darwish yang telah mencapai makrifat dalam arti sebenarnya.”

Cinta juga memiliki kekuatan transformatif, yaitu kekuatan merubah keadaan jiwa manusia yang negatif menjadi positif. Itulah antara lain yang diajarkan Jalaluddin Rumi dan sufi-sufi lain pada abad ke-13 M, ketika umat Islam di Dunia Arab dan Persia berada dalam periode paling buruk dalam sejarah klasiknya. Di sebelah barat Perang Salib yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-11 M belum kunjung berakhir dan terus mencabik-cabik kehidupan kaum Muslimin. Di sebelah timur bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan anak-cucunya menyapu bersih dan memporak-porandakan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya adalah serbuan besar-besaran Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, dari Transoksiana pada tahun 1256 M. Kota Baghdad luluh lantak menjadi puing-puing dan ratusan ribu penduduknya dibantai sehingga bekas ibukota kekhalifatan Abbasiyah dan pusat utama peradaban Islam ketika itu berubah menjadi kota mati untuk belasan tahun lamanya. (www.facebook.com/not.php?note_id)

Rumi – sebagaimana telah dikemukakan -- berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam menstransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu. Sebagai ekspresi dari cinta Jalaluddin Rumi juga berkreasi dalam bentuk tarian, salah satu maha karya Rumi adalah SUFI MEHFIL, sebuah tarian yang dipopulerkannya bersama komunitasnya Mevlevi Order. Sufi Mehfil merupakan sebuah tarian dalam tradisi sufi yang bermakna sebagai Pesta Para Sufi, yang dikenal dengan tarian ‘SAMA’. yaitu bentuk tari yang gerakan tariannya “The Whirling Dance” (memutar tubuh berlawanan dengan arah jarum jam) dilakukan secara bersama oleh sejumlah orang penari dibawah bimbingan seorang Mursyid. Gerakan yang ada dalam tarian itu menunjukkan kesediaan para Pecinta Tuhan untuk masuk ke dalam diri, menghilangkan ego untuk kembali kepada kesejatian diri, dan merasakan kenikmatan yang tak mampu untuk dijelaskan dengan kata-kata. Pesta para sufi ini lahir manakala seorang Pencari Tuhan bertemu dengan Sang Kekasih Yang Maha Suci, ketika merasakan kasih yang ada dalam hati dan dalam diri meletup-letup, maka perasaan ini akan ditransfer menjadi energi gerak dalam bentuk menari. Tarian yang dilakukan adalah sebuah ekspresi untuk merayakan kehidupan. Konon, ketika menari seperti itu, para penari mengalami ekstase yang di kalangan para sufi dipahami sebagai tingkat pencapaian perasaan penyatuan dengan Tuhan. Bahkan, ada pula yang mengaku gerakan yang tercipta ‘’seolah-olah” bukan dari diri si penari. Dari kasih inilah yang membuat seorang pencari seperti Rumi memiliki jiwa sangat lembut, dirinya tidak lagi bisa membenci atau melihat perbedaan suku, ras maupun agama. (www.shalimow.com/islam/sufi-mehfil-jalaludin-rumi.html).

Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia, pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan, kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya.

KOMENTAR TERHADAP PEMIKIRAN JALALUDDIN RUMI

Abdul Hadi WM menuturkan, bahwa karya religius dan profetik Matsnawi memang bukan sebuah buku falsafah yang ditulis secara sistematis dan runut. Ia berbeda misalnya dengan Kasyf al-Mahjub Ali Utsman al-Hujwiri, Ihya` Ulumuddin Imam al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah Ibn `Arabi. Dalam karya agungnya itu Rumi menyebarkan pemikiran, gagasan dan perenungannya dalam untaian karangan bersajak yang indah, menggunakan metafora (ishti`ara), tamsil dan kias. Kalau Imam al-Ghazali dan Ali Utsman al-Hujwiri menggunakan bahasa diskursif dari falsafah dan ilmu, Jalaluddin Rumi menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz). Kedua cara memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa dari masing-masing pembacanya.

Whinfield, salah seorang penerjemah karangan Rumi dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa Matsnawi merupakan pemaparan tasawuf eksperiensial atau yang dialami secara langsung oleh pengarangnya. Ia bukan merupakan uraian tentang apa dan bagaimana tasawuf. Melalui karyanya Rumi mengungkapkan pengalaman dan gagasan keagamaannya secara puitik. Sedangkan kodrat pengalaman yang disajikan Rumi dalam karyanya benar-benar bersifat keagamaan, yaitu suatu pengalaman yang tidak semata-mata dipompa oleh pemikiran falsafi dan pengetahuan formal tentang agama, melainkan suatu pengalaman yang memiliki daya dan corak hidupnya sendiri disebabkan oleh dorongan ’cinta’ yang membara dalam diri orang yang mengalaminya.

Pemikiran Mawlana Jalaludin Rumi bila kita lihat secara mendalam ternyata memang tidak memiliki konsep metode pemikiran. Malahan sebagian orang menganggap bahwa pemikiran Jalaludin Rumi tidak lain sebagai salah satu pemikiran “kegelapan“ dalam arti masih terpengaruhi oleh doktirn-doktrin agama dan agak bersifat mistis. Namun demikian kita dapat mengambil suatu pelajaran dari pemikiran Jalaludin Rumi bahwa Ia menekankan untuk mendapatkan sebuah pengetahuan kita tidak boleh mendewakan rasionalisme dan empirisme sebagai jalan dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini Rumi berusaha menawarkan sebuah alternatif didalam jalan mendapatkan pengetahuan yaitu dengan iluminasi. Dengan jalan iluminasi, menurutnya manusia dapat mendapatkan pengetahuan yang abadi karena datangnya pengetahuan tersebut berasal dari Tuhan dan pengetahuan manusia hanya berfungsi sebagai jembatan dalam upaya memperoleh pengetahuan yang berasal dari Tuhan.

Disisi lain, sebagian penulis anti-Islam kerap mengklaim bahwa Rumi bukanlah seorang Muslim. Para penulis itu kerap mengutip puisi Rumi yang diterjemahkan oleh RA Nicholson dari Divani Shamsi Tabriz. Inilah puisi yang digunakan para anti-Islam untuk memalsukan akidah seorang Rumi: Bukan Kristen atau Yahudi atau Muslim. Bukan Hindu, Budha, sufi, atau zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun. Aku bukan dari Timur atau Barat. Bukan keluar dari samudra atau timbul dari darat. Bukan alami atau akhirat. Bukan dari unsur- unsur sama sekali. Aku bukan wujud, bukan entitas di dunia ini atau akhirat, bukan dari Adam atau Hawa atau cerita asal usul mana pun. Tempatku adalah ‘Tanpa Tempat’, jejak dari yang ‘Tanpa Jejak’. Bukan raga ataupun jiwa. (Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009)

Dalam puisinya itu, Rumi seolah-olah tak mengaku seorang Muslim. Betulkan tudingan itu? Dr Ibrahim Gamard seorang psikolog yang juga seorang yang telah mempelajari sufisme selama 30 tahun membantah tudingan itu. Menurut dia, puisi yang diterjemahkan Nicholson itu tak berasal dari puisi Rumi yang asli. Dalam sebuah puisinya yang asli, Rumi secara terang-terangan mengaku sebagai pelayan Al Quran sepanjang hayatnya. Dia juga menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad SAW. Atas dasar itulah, kata Gamard, Rumi adalah seorang Muslim yang taat. Penyair sufi yang terkenal itu tutup usia pada 17 September 1273. Dunia berduka ketika Rumi pergi untuk selamanya. Meski begitu, Rumi masih tetap hidup dalam universalitas puisi-puisinya yang menaklukkan hati setiap insan. (Republika OnLine Rabu, 18 Maret 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar