Kamis, 21 April 2016

Manzilah atau Maqam

| DALAM KAFILAH ROHANI yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan.
Dari tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah station yang harus mereka lewati. Darjat mereka juga bergantung pada banyaknya station yang sudah mereka singgahi. Pada setiap station selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. Sangat sulit menceritakan pengalaman pada station tertentu kepada mereka yang belum mencapai station itu.
Dalam bahasa Tasawwuf, station itu disebut Manzilah atau Maqam. Pengalaman rohani yang mereka rasakan disebut Hal.
Ada segelintir orang yang sudah mendekati station terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka. Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut Awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi Cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir:
“Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas CahayaMu.” (QS 57:13).
Dalam kelompok Awliya’ juga terdapat darjat yang bermacam- macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja diantara orang-orang yang tinggi) disebut Awtad, tiang-tiang pancang. Disebut demikian kerana merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerana kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.
lbnu Umar meriwayatkan Hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menolak bencana –kerana kehadiran Muslim yang soleh– dari seratus keluarga tetangganya.”
Kemudian ia membaca firman Allah:
“Sekiranya Allah tidak menolakkan sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini.” (QS 2: 251).
Penghulu Para Awliya’ adalah Quthb Rabbani. Di antara Quthb dan Awtad ada Abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerana bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru.
“Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Kerana merekalah manusia mendapat curahan hujan, kerana merekalah manusia ditolong.” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi Saw:
“Kerana merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.”
Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya:
“Apa maksud kerana merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kerana mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Kerana permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Kerana doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”
Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bahagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terima kasih khusus kepada mereka.
Kata Rasulullah Saw:
“Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu kerana banyak solat atau banyak puasa.”
Sangat mengherankan; bukanah untuk menjadi Awliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikir, doa, dan ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, Para Sahabat hairan. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?”
Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim).
Dalam hadis lain, Nabi berkata:
“Bishidqil wara’, wa husnin niyyati, wa salamatil qalbi, wan-Nashihati li jami’il muslimin” (Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim)." (lihat Al-Durr Al-Mantsur, 1:767).
Jadi, yang mempercepat orang mencapai darjat yang tinggi di sisi Allah Swt bukanlah frekuensi solat dan puasa. Bukankah semua ibadah itu hanyalah ungkapan rasa syukur kita kepada Allah, yang seringkali jauh lebih sedikit dari anugerah Allah kepada kita?
Yang sangat cepat mendekatkan diri kepada Allah, PERTAMA, adalah Al-Sakha (kedermawanan). Berjalan menuju Allah berarti meninggalkan rumah kita yang sempit –keakuan kita. Keakuan ini nampak dengan jelas pada “aku” sebagai pusat perhatian. Seluruh gerak kita ditujukan untuk “aku”. Kebahagian diukur dari sejauh mana sesuatu menjadi “milikku.”
Orang yang dermawan adalah orang yang telah meninggalkan “aku.” Ia sudah bergeser ke falsafah “Untuk Dia”. Kerana itu Nabi Saw bersabda:
“Orang dermawan dekat dengan manusia, dekat dengan Tuhan dan dekat dengan Syurga. Orang bakhil jauh dari manusia, jauh dari Tuhan dan dekat dengan neraka”.
Tanpa kedermawanan, solat, puasa, haji dan ibadah apa pun tidak akan membawa orang dekat dengan Tuhan. Dengan kebakhilan, makin banyak orang melakukan ibadat makin jauh dia dari Tuhan. Orang dermawan sudah lama masuk dalam Cahaya Tuhan, sebelum mereka masuk ke SyurgaNya. Kedermawanan telah membawanya dengan cepat ke station-station terakhir dalam perjalanannya menuju Tuhan.
KEDUA, yang mengantarkan orang sampai kepada kedudukan Abdal, adalah kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim. Kesetiaan yang tulus ditampakkan pada upaya untuk menjaga diri dari perbuatan yang merendahkan, menghinakan, mencemuh atau memfitnah sesama Muslim. Di depan Ka’bah yang suci, Nabi Saw. berkata:
“Engkau sangat mulia. Tetapi disisi Allah lebih mulia lagi kehormatan kaum Muslim. Haram kehormatan Muslim dirusakkan. Haram darahnya ditumpahkan.”
Belum dinyatakan setia kepada Islam sebelum orang meninggalkan keakuannya. Banyak orang merasa berjuang untuk Islam, walaupun yang diperjuangkan adalah kepentingan akunya, kepentingan kelompoknya, kepentingan golongannya. Mereka memandang golongan yang lain harus disingkirkan, kerana fahamnya tidak menyenangkan faham mereka. Mereka hanya mahu menyumbang bila projek itu dijalankan oleh golongannya. Mereka hanya mahu mendengarkan pengajian bila pengajian itu diorganisasi atau dibimbing oleh orang-orang dari kelompoknya. Apa pun yang diperjuangkan tidak pernah bergeser dari keakuannya. Ia merasa Islam menang apabila kelompoknya menang. Ia merasa Islam terancam bila kepentingan golongannya terancam.
Ia telah beragama, ia telah mukmin; tetapi Agamanya masih berkutat dalam keakuannya. 
An-nashihat lil muslimin (kesetiaan yang tulus kepada kaum Muslim) melepaskan keakuan seorang mukmin. Ia memberinya kejujuran dalam ketaatan, ketulusan niat, dan kebersihan hati. Ia juga yang mengantarkannya kepada kedudukan tinggi di sisi Allah. Kerana kedermawanan dan kecintaan kepada kaum Muslim.
Anda juga dapat menjadi kekasih Tuhan.Wahai hamba-hamba Allah, berangkatlah kalian menuju Tuhanmu. Percepatlah perjalanan kalian dengan kedermawanan dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh kaum Muslim.
Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar